Rabu, 22 Februari 2012

Komunitas Bismillah


Sebenarnya, aku ingin mencoba untuk tidak pulang terlebih dahulu ke kampung halaman. Sejauh ini aku berhasil dalam mewujudkan angan-anganku itu. Ini terbukti dengan tidak pulangnya diriku pada lebaran idul adha kemarin. Sebagai catatan, seumur hidup, baru kali pertama itu aku lebaran tidak di rumah.

Tapi, entah mengapa, tiba-tiba saja muncul keinginan untuk pulang kampung. Rindu itu. Rindu pada semua yang ada disana datang menghampiri diriku. Saat itu, hanya satu yang ada di benakku, yaitu aku harus pulang. Apapun yang terjadi, pokoknya aku harus pulang. Beruntung, kuliah sedang ada libur pasca ujian semester. Namun, masih ada dua pintu gerbang lagi yang harus aku dapatkan kuncinya agar aku bisa pulang, yaitu belajar di PPM dan kerja freelance di SMM. Tapi Alhamdulillah, Sang Maha Pengatur memudahkan segalanya. Tanpa banyak usaha yang rumit, akhirnya aku mengantongi dua perizinan itu sekaligus. Saat itu juga, aku putuskan, hari Minggu besok aku akan pulang. Titik.

Saat di kampung nanti, aku tidak ingin liburan ini tidak mendapatkan manfa’at. Aku ingin episode liburku yang ini berbeda dengan libur-libur yang terdahulu, yang terlalu banyak santai dan berleha-lehanya. Untuk itu, segera kubuat daftar prioritas kegiatan yang harus aku lakukan di kampung. Prioritas utama pada liburan ini adalah silaturahim. Selain silaturahim kepada keluarga tercinta, aku juga harus silaturahim kepada semua saudara, baik itu saudara dari pihak bapak maupun dari pihak ibu. Aku harus sambangi semuanya, tanpa terkecuali. InsyAlloh. Juga tidak lupa kepada teman-teman sintingku. Meskipun mereka sinting, tapi aku tetap merindukan mereka. Terlalu banyak kenangan masa kecilku dengan mereka. Dan semua itu, tidak akan pernah aku dapat melupakannya.

Prioritas selanjutnya adalah: aku harus menyuarakan isi hatiku pada para tokoh masyarakat kampungku, yaitu kampung Cipacung. Sudah cukup lama aku memendam unek-unek ini di dalam hatiku. Rasa-rasanya, ingin segera aku menumpahkan semuanya, agar sedikit bisa tenang perasaanku.

Semuanya bermula saat aku mendengar kabar kalau Komunitas Bismillah (nama kelompok pengajian remaja di kampungku) fakum. Komunitas Bismillah tidak aktif lagi. Dengan kata lain, tidak ada lagi pengajian dan pembinaan untuk kaum muda di kampungku. Aku tersentak ketika mendengar berita itu. Bagaimana tidak!? Ini merupakan sebuah masalah. Masalah besar yang akan menimbulkan dampak yang luar biasa berbahayanya. Dan, jika permasalahan ini tidak segera dicarikan solusinya, maka kehancuran kampungku hanya akan tingga menunggu waktu saja. Ini ibarat sebuah bom waktu untuk kehancuran kampungku tercinta. Bahkan tidak hanya itu. Lambat laun, virus ini akan merambat pada kehancuran sebuah bangsa. Lebih mengkhawatirkan lagi, akan merambat pula pada kehancuran satu-satunya agama yang diridhoi Allah SWT, yaitu islam tercinta. Yaa Allah, semoga terhindar dari yang demikian.
***

Sebelum Komunitas Bismillah fakum. Di kampungku ada empat kali pengajian dalam satu minggunya. Pertama adalah pengajian As-syifa. Pengajian ini untuk bapak-bapak. Pelaksanaannya adalah setiap Senin malam. Dimulai dari setelah isya dan selesai jam sepuluh malam. Kedua adalah pengajian Ar-rohmah. Pengajian ini khusus untuk kaum ibu. Dilaksanakan setiap hari Rabu pagi. Dari jam tujuh hingga jam sembilan. Pengajian ketiga adalah pengajian untuk remaja, baik itu kaum Adam ataupun kaum Hawa. Pelaksanaannya setiap malam Sabtu. Dari setelah isya hingga kurang lebih sampai jam sepuluh malam. Nama dari pengajian ini tidak lain dan tidak bukan adalah “ Komunitas Bismillah”. Kemudian pengajian keempat adalah pengajian umum. Siapapun boleh hadir di pengajian ini. pelaksanaannya setiap malam Minggu, setelah isya. Yang menyelenggarakan pengajian umum ini adalah Pondok Pesantren Nurul Hidayah. Sebuah ponpes yang ada di kampung halamanku.

Namun, karena Komunitas Bismillah tidak aktif lagi, otomatis, saat ini hanya tinggal tiga saja majelis ilmu yang ada di kampungku. Boleh jadi, lambat laun, ketiga pengajian tersisa akan hilang juga satu persatu. Ketika kaum remaja sekarang telah tumbuh menjadi kaum bapak dan kaum ibu. Naudzubillahimindzalik.
***

Terhitung, sudah dua hari aku berada di kampung tercinta. Hal ini berarti bahwa, hanya tinggal dua hari tersisa jatahku disini. Karena Kamis besok, aku harus sudah kembali ke Bandung lagi. Namun sayangnya, hingga detik ini, belum juga aku temukan cara untuk mengkomunikasikan kegundah gulanaan yang bersemayam di sudut hatiku. Yaa Allah, segeralah beri jalan itu. Sebuah jalan terang yang bisa memperbaiki semuanya. Mohon Duhai Allah.
***

Langit malam ini sangat cerah. Meskipun jumlahnya tidak banyak, bintang-bintang dilangit tetap berkerlipan dengan genit. Saat ini aku meniti langkah menuju rumah. Aku berjalan sendiri. Lantunan sholawat yang dikumandangkan di mesjid menjadi lagu pengantar perjalananku. Sengaja aku pulang, karena hendak mengambil peci yang tertinggal di kamar. Sebab, malam ini aku hendak mengahdiri pengajian As-syifa.

Sesampainya di kamar yang bercatkan warna biru langit, aku langsung mengenakan peci putih dan bercermin merapihkan diri. Tiba-tiba, terdengar ucapan salam dari luar. Segera kujawab salam itu, lalu keluar kamar hendak membuka pintu.

“ Ko,” ujar sang tamu sambil menyodorkan tangan kanannya padaku. Aku salami dia sambil menundukan badanku. Ternyata, sang tamu itu adalah salah satu pengurus pengajian As-syifa.

“ Ko, jadi MC untuk pengajian malam ini ya!” pinta pengurus pengajian. Untuk sesaat aku terkejut, karena permintaan ini datangnya sangat tiba-tiba sekali. Bagaimana tidak?! Pengajian akan dimulai hanya tinggal hitungan menit saja. Aku bingung saat itu. Apakah aku terima atau tolak saja tawaran ini? Ketika dipertimbangkan lagi, aku teringat dengan salah satu tugas yang harus aku kerjakan disini, dikampung tercinta ini. Yaa Allah, inikah jalan yang kupinta itu? Terima kasih Duhai Allah. InsyAllah, aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang Engkau berikan ini.

Aku tatap wajah pengurus pengajian yang usianya mungkin sama dengan usia bapakku. Tanpa ragu sedikitpun, aku jawab permintaannya,” InsyAllah, saya siap, Pak.”

Kami berjalan bareng menuju mesjid. Untuk mengusir keheningan selama perjalanan, kami mengobrol ringan. Setibanya di mesjid, aku disambut oleh puluhan pasang mata jamaah yang sudah dulu tiba. Aku seperti diteror oleh mata-mata itu. Tidak bisa kupungkiri, nyaliku menciut saat itu. Detak jantungku mendadak semakin cepat. Keringat dingin keluar perlahan di keningku. Guna mengurangi rasa gugup ini, sebisa mungkin aku tersenyum selebar-lebarnya yang aku bisa. Kemudian aku bagikan senyum itu pada jamaah As-syifa.

Aku hampiri bagian acara pengajian dan duduk di samping kanannya. Aku bertanya tentang konten acara, susunan acara dan ustad siapa saja yang mengisi. Setelah semuanya dirasa siap, pengajian segera dimulai.

Pengajian diawali dengan membacakan basmallah bersama. Aku buka pengajian dengan memberikan sedikit pengantar. Setelah itu sambutan dari tokoh masyarakat. Kemudian langsung pada acara inti, yaitu materi dari ustad yang pertama. Sedikit pemberitahuan untuk sidang pembaca. Di As-syifa, setiap pertemuannya ada dua materi dari ustad yang berbeda. Biasanya, masing-masing ustad diberikan jatah sekitar satu jam.

Ustad pertama membawakan materi tentang ilmu. Disela-sela ceramahnya, beliau berbicara tentang kehawatirannya terhadap para remaja wanita masa kini. Kebanyakan dari mereka mengenakan pakaian yang tidak menutup aurat. Saat mendengar ucapan itu, aku langsung sumringah. Mungkin, jika adegan yang sedang aku alami saat ini adalah sebuah film animasi. Saat ini ada sebuah lampu bohlam yang menyala terang di atas kepalaku. Yakin.

Ustad pertama menutup materinya. Aku langsung berdiri dan memberikan penghargaan pada sang ustad. Setelah itu, menyengaja aku diam sejenak. Dalam hitungan detik, suasana mesjid menjadi hening. Hening sekali. Setelah dirasa situasi dan kondisinya pas, dengan terlebih dahulu menghujamkan bismillah dalam hati, aku langsung angkat bicara.

“ Beberapa waktu yang lalu, saat menghadiri majelis pengajian, saya mendengar sang ustadnya bercerita. Beliau bertutur kurang lebih seperti ini. ‘ Dulu, saat saya masih remaja, mungkin sekitar dua puluh tahun yang lalu, saya pernah mengisi pengajian di sebuah kampung yang cukup jauh dari keramaian. Saat tiba di kampung itu, saya sangat terpesona dengan pemandangan yang ada. Bukan pemandangan alamnya yang membuat hati saya tiba-tiba menjadi sejuk itu. Melainkan pemandangan para remajanya. Mereka hilir mudik keluar masuk mesjid. Tangan-tangan indah mereka memeluk mushaf Al-Qur’an. Mereka semua mengenakan pakaian yang menutup aurat.

Saat magrib berlalu dan langit mulai menampakan hitamnya, lantunan ayat-ayat suci berkumandang di setiap rumah yang ada. Maha Suci Allah, sebuah pemandangan yang sangat luar biasa menurut saya.’ Setelah bertutur seperti itu, sang ustad diam sejenak, kemudian melanjutkan ucapannya.’ Beberapa saat lalu, takdir Allah menggariskan saya untuk mengisi pengajian di kampung ini lagi. Saat saya menginjakan kaki di kampung itu, rasanya sangat berbeda dengan ketika saya tiba dua puluh tahun lalu. Pemandangannya sangat jauh berbeda. Tidak ada lagi celotehan anak-anak yang sedang membaca Al-Qur’an saat malam tiba. Suara indah itu kini berubah menjadi suara tivi. Tidak saya temui lagi pakaian remaja yang sesuai syariat. Mereka berpakaian tapi seperti tidak berpakaian,’ ucap sang ustad dengan suara yang meninggi.

Fenomena ini merupakan sebuah masalah besar yang harus segera kita selesaikan bersama. Karena boleh jadi, kejadian serupa terjadi juga di tempat-tempat lain. Boleh jadi juga terjadi di kampung tempat kita dilahirkan dan dibesarkan. Dan, salah satu upaya yang harus kita lakukan untuk pencegahan agar masalah ini tidak bertambah parah adalah dengan melakukan pembinaan terhadap kaum muda kita semuanya. Mari kita lakukan andil semampu kita. Mari kita melakukan itu dimanapun kita bisa. Mampunya hanya di lingkungan kita, hayu! Mampunya hanya di kampung kita, hayu! Mampunya hanya di desa kita, hayu!

Mengapa kaum muda!? Jawabannya tidak lain karena yang akan menjadi penerus tokoh masyarakat, penerus pimpinan kampung, penerus pimpinan desa dan seterusnya dan seterusnya mau tidak mau pastilah kaum mudanya. Bisa kita bayangkan bagaimana keadaan masa depan suatu daerah jika kondisi kaum mudanya tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Dengan mengucap bismillah, mari kita berjuang bersama-sama!
” tutup sang ustad.

“ Tidak menutup kemungkinan, permasalahan serupa juga sedang terjadi di kampung kita tercinta ini. Jika benar demikian, sesuai dengan solusi yang diucapkan sang ustad dari cerita tadi, kita harus segera melakukan pembinaan kembali para remaja di kampung kita ini,” aku memberanikan diri untuk berucap seperti ini. sebagian jamaah manggut-manggut pertanda sepakat dengan apa yang aku ucapkan. Namun, aku juga mendapati beberapa jamaah lain yang menegakan badannya dan memasang wajah heran. Pandangan itu seakan berbicara padaku “ Tahu apa kamu tentang hal ini? Kamu masih kecil! Masih bau kencur! Kamu belum pantas untuk membicarakah permasalahan ini! Sudah, kamu belajar lagi saja sana! Persoalan ini biar kami yang urus!

“ Dan tidak bisa tidak. Langkah awal yang harus segera ditempuh adalah menghidupkan kembali pengajian remaja, yaitu Komunitas Bismillah, yang sedang mati suri. Ini merupakan tanggung jawab kita bersama,” aku kembali memberanikan diri untuk angkat bicara.

Setelah dirasa keluar semua apa yang ada dibenakku, segera aku persilahkan ustad kedua untuk membawakan materinya. Sang ustad beranjak, lalu duduk di mimbar. Beliau memuai ceramahnya. Semua mata jamaah tertuju padanya. Begitupun dengan diriku.

Yaa Allah, mohon kembalikan lagi Komunitas Bismillah. Mohon Yaa Allah.