Senin, 02 Desember 2013

Sebuah Kepercayaan



                Cinta, barusan aku membaca beberapa lembar dari sebuah buku. Dan aku ingin berbagi hasil yang kudapatkan itu padamu.

                Cinta, katanya, ibadah itu tidak hanya soal solat, zakat, puasa, naik haji, ataupun sejenis yang lainnya. Katanya, ibadah itu luas cakupannya. Segala tindak tanduk kita, setiap hirup nafas dan gerak gerik kita itu bisa saja memiliki nilai ibadah. Hanya saja, ada satu tahapan yang harus kita lalui untuk bisa mendapatkan nilai ibadah itu. Apa? Adalah niat. Untuk apa kita meniatkan apa yang kita laksanakan itu.

                Belum selesai, Cinta. Katanya, untuk kita bisa memiliki niat yang benar dalam setiap tindak tanduk kita, itu bergantung pada benar atau tidaknya akidah kita. Nah, apa itu sebenarnya akidah? Akidah adalah kepercayaan. Ya, akidah adalah kepercayaan. Atau apa yang diyakini oleh seseorang. Akidah itu iman. Iman kepada Allah, kepada malaikat, kepada kitab-kitab, kepada rasul, kepada hari akhir, juga kepada takdir yang baik ataupun yang buruk. Atau yang lebih kita kenal sebagai rukun iman. 

                Cinta, jika dibedah, syariat itu terbagi menjadi dua, yaitu: i’tiqadiah, atau sesuatu yang tidak berhubungan dengan tata cara amal. Misalnya adalah kepercayaan hati kita terhadap Allah, terhadap malaikat, juga kepada rukun-rukun iman yang lainnya. Kemudian yang kedua adalah amaliah. Amaliah adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tata cara amal. Misalnya sholat, zakat, puasa, dan seluruh hukum amaliah lainnya.

                Ada satu hal penting yang harus diketahui, Cinta. Katanya, benar atau tidaknya amal ibadah kita itu tergantung pada benar atau tidaknya kepercayaan kita. jika kepercayaan kita benar, maka ibadah kita pun akan benar dan memiliki nilai ibadah. Pun sebaliknya, jika kepercayaan kita salah, maka ibadah kita itu akan sia-sia belaka. Amal yang kita lakukan itu akan percuma saja. Tidak akan pernah memiliki nilai ibadah. Kita hanya akan mendapatkan rasa lelahnya saja. Sementara pahala yang kita harapkan ituakan menguap entah kemana. Ibarat embun yang disengat matahari. Maka, dalam hal ini, kepercayaan yangbenar itu merupakan fondasi bagi bangunan agama, serta merupakan syarat dari sahnya amal.

                Cinta, dibawah ini akan kucantumkan ayat suci yang berhubungan dengan tulisan ini:

# “Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabb-nya.” (Az-Zumar: 110)

# “Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nai-nabi) yang sebelummu, ‘Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-rang yang merugi.” (Az-Zumar: 65)

# “Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik).” (Az-Zumar: 2-3)

                Cinta, ayat-ayat di atas menunjukan bahwa segala amal itu akan diterima jika diniatkan hanya untuk Allah semata. Dengan kata lain, amal kita tidak akan diterima jika tidak bersih dari syirik.Dan, karena inilah mengapa hal pertama yang didakwahkan oleh para rasul kepada umatnya adalah agar menyembah Allah semata dan meninggalkan segala yang dituhankan selain Dia. Sebagaimana firman-Nya di bawah ini:

# “Dan sesungguhnya kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Beribadahlah kepada Allah (saja), dan jauhilah Thagut itu.” (An-Nahl: 36)

# “... Beribadahlah kepad Allah, sekali-kali tak ada Ilah bagimu selain-Nya.” (Al-A’raf: 59, 65, 73, dan 85)

                Cinta, itulah yang kudapatkan hari ini. Semoga bermanfaat untukku, juga untukmu. Untuk kita. Mari kita belajar lagi. Belajar untuk menjadi pribadai yang disukai oleh Allah SWT.
***