Tampilkan postingan dengan label Kisah Adam dan Putri. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kisah Adam dan Putri. Tampilkan semua postingan

Selasa, 20 Mei 2014

Tempat Terindah

                
Malam belum terlalu larut. Kali ini Adam dan Putri pergi ke kamar lebih awal dari biasanya. Sepasang suami-istri itu sudah dirangkul oleh selimut yang sama. Putri merengkuh tubuh tegak Adam. Ia sandarkan kepalanya pada dada bidang sang suaminya itu. Sudah sejak beberapa menit yang lalu mereka berbincang. Ya, seperti inilah kebiasaan mereka. Selelah apapun yang dirasa karena sisa kegiatan siang tadi, mereka akan selalu menyempatkan untuk mengobrol. Meski hanya membincangkan hal-hal yang kecil.

                “A. Kalo menurut Aa, tempat yang paling indah itu dimana?” Putri bertanya untuk yang kesekian kalinya. Malam ini Putri memang lebih mendominasi perbincangan. Mungkin karena Adam merasakan lelah yang lebih dari hari-hari sebelumnya. Jemari Putri bermain di dada Adam.

                “Surga,” jawab Adam cepat. Hanya satu detik setelah tanya sang istri.

                Putri mendongakan kepalanya bermaksud menatap wajah sang suami. “Maksud Neng itu tempat yang ada di dunia, A. Lagian, emang Aa sudah pernah liat surga?” Putri sedikit protes.

                “Aa memang belum pernah lihat surga, tapi setidaknya Aa bisa membayangkannya dari ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang gambaran surga,” Adam menjelaskan alasan dari jawaban sebelumnya.

                Kepala Putri masih mendongak. Tatapnya masih pada wajah Adam.

                “Walaupun memang Aa tahu, jika bayangan indah Aa tentang surga itu masih belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan surga yang sebenarnya,” Adam menambahkan jawabannya.

                Putri diam. Kali ini dia menyerah pada argumen sang suami. Putri kembali menormalkan posisi kepalanya. Jemarinya kembali bermain di dada Adam.

                “Iya deh...,” Putri mengakui kekuatan kalimat sang suami. “Untuk tempat yang ada di dunia gimana? Mana yang menurut Aa paling indah?”

                “Mmmm,” Adam melipat keningnya hingga menjadi bergelombang. “Apa ya?”

                Putri kembali mendongakan kepalanya. “Pasti pantai ya?” dia mencoba menebak.

                “Mmm, pantai bagus, tapi bukan yang terbaik kalo menurut Aa.”

                “Oya, pasti sawah ya? Aa kan suka kalo melihat pemandangan persawahan,” tebakan Putri diakhiri dengan sebuah senyuman.

                “Sawah indah, tapi bukan yang terbaik juga.”

                “Terus apa?”

                “Mmmm, apa ya?” Adam berpikir. Putri menunggu jawaban. “Kalo untuk tempat terbaik kedua sepertinya sekolah.”

                “Sekolah?”

                “Iya.”

                “Alasannya?”

                “Karena disana Aa bisa melakukan salah-satu kegiatan yang paling Aa sukai, yaitu mengajar,” Adam menatap wajah Putri. Dia tersenyum.

                “Mmmm,” Putri manggut pelan. Muka bagian kanannya bergeser lembut di dada Adam. “Oya, kalo yang paling indahnya?” Putri mendongak lagi.

                “Mmmm, kasih tahu gak ya...,” Adam masih mencoba menggoda Putri disela-sela rasa lelahnya.

                “Iiiiih. Kasih tahu atuh...,” Putri merengek manja. Dia mencubit pinggang sang suami. Tubuh Adam bergidik karena cubitan wanita di pelukannya.

                “Kasih tahu gak ya.....,” sekali lagi Adam menggoda.

                “Iiiiiih!” lagi-lagi Putri mendaratkan cubitannya.

                “Nanti atuh InsyaAllah besok Aa kasih tahunya ya.”  

                “Sekarang!”

                “Besok aja ya, soalnya Aa sudah ngantuk berat nih.”

                Putri lebih mendongakan kepalanya. Dia bermaksud untuk memaksa sang suami untuk mengeluarkan jawabannya sekarang juga. Namun, maksud itu lenyap saat pandangan Putri terfokus pada wajah sang suami yang tampak lelah. Memang, hari ini Adam pulang dari sekolah lebih sore dari biasanya.

                Putri luluh oleh wajah lelah Adam. Dia berhenti memaksa. Wajahnya kembali mendarat pada dada sang suami. Dia merangkul tubuh tegak di sampingnya. Lalu perlahan menutupkan kedua kelopak matanya. Dan, tanpa Putri sadari, Adam melukis sebuah senyum nakal di kanvas bibirnya. Dia berhasil mengelabui istrinya. Meski lelah sebagaimanapun, sesungguhnya bukan perkara yang sulit hanya untuk mengeluarkan satu kalimat saja. Adam kembali tersenyum dalam pejam matanya. Sabar Neng, InsyaAllah besok Aa akan berikan jawaban itu. ujar Adam dalam hati.
***

                Sebuah pagi yang menakjubkan. Aroma udaranya segar menyapa rongga dada Adam. Tapi tidak demikian dengan Putri. Sesak di dalam dadanya tergambar jelas dari wajahnya yang cemberut di hadapan sang suami. Tidak seperti kemarin yang cerah ceria ketika melepas sang suami berangkat mengajar. Penyebabnya hanya satu. Karena saat di meja makan tadi, Adam belum mau memberikan jawaban atas pertanyaannya yang semalam.

                Putri mencium punggung tangan Adam. Adam membalas dengan sebuah kecupan pada kening Putri. Namun, tetap saja muka Putri belum berubah. Masih menekuk. Putri masih merasa kesal. Jika saja bukan karena janji diantara mereka, sesungguhnya Putri enggan untuk melakukan kebiasaan menjelang keberangkatan Adam ini. Ya, mereka memang telah mengikat janji untuk selalu melakukan prosesi cium tangan dan kecup kening saat hendak bepergian. Tujuannya adalah untuk menjaga kemesraan diantara sepasang suami-istri itu. Dan benar saja. Jurus yang satu ini begitu terasa manfaatnya ketika berada pada situasi yang semacam pagi ini. Setidaknya, jurus ini bisa sedikit meredam gejolak yang ada pada dada Putri.

                Adam melangkah menghampiri si putih. Motor vespa warna putih itu siap untuk mengantar sang juragan menuju medan jihadnya.
***

                Menjelang waktu ashar. Matahari sudah condong ke arah barat. Suhu bumi tidak sepanas satu atau dua jam yang lalu. Sinarnya yang beberapa jam lalu itu menyengat kulit, kini sudah tidak lagi. Sinar lembut itu lebih cenderung mampu menenangkan. Lebih bisa membuat nyaman setiap kulit yang menerima pancarannya.

                Putri duduk santai di sofa ruang tengah. Dia sedang membaca sebuah buku.

                Bunyi hape membuyarkan konsentrasi Putri. Ada sebuah pesan masuk. Putri membuka pesan itu.

                Neng, sekarang Aa sedang ada di tempat yang paling indah di dunia.  

                Isi pesan dari Adam. Belum satu menit, sebuah pesan datang lagi.

                Neng mau tahu dimana tempat itu?... :-)

                Putri hendak mengetik balasan. Jemarinya menari di keypad hape.

                TUK TUK TUK

                Belum selesai Putri mengetik, ada suara ketukan pintu di depan. Putri menoleh pada pintu depan.

                TUK TUK TUK

                Putri menyimpan hape di atas sofa. Kemudian dia beranjak menghampiri pintu.

                TUK TUK TUK

                Siapa yang mengetuk pintu? Tidak ada kalimat salam yang Putri dengar. Mungkin ini tamu dari jauh. Pikir Putri sesaat sebelum membuka pintu.

                Tangan kanan Putri menggenggam pegangan pintu. Dia menariknya ke bawah. Hampir bersamaan dengan itu, pintu terbuka. Putri terkejut saat menatap sesosok laki-laki di hadapannya.

                “Lho!” sebuah kata pendek itu mewakili keheranan Putri.

                Seorang laki-laki di hadapan Putri melebarkan kedua ujung bibirnya. Dia tersenyum. Sementara Putri masih mematung di dekat pintu. Seorang laki-laki itu melangkah mendekat pada Putri. Dia menjulurkan tangannya. Masih dengan bingkai wajah yang heran Putri menyambut tangan itu, lalu mencium punggungnya. Tiga detik berikutnya giliran sang pemilik tangan yang mengecup kening Putri.

                “Di sinilah tempat yang paling indah itu. Bagi Aa, ini adalah surga dunia. Tidak ada tempat yang lebih nyaman dari tempat ini. Rumah kita,” bisik Adam pada telinga sang istri. “Selain itu, di sini juga ada bidadarinya. Bidadari itu selalu mencium tangan Aa ketika Aa datang maupun ketika Aa pergi. Dia adalah seorang bidadari surga yang sengaja Allah turunkan ke dunia hanya untuk menemani Aa,” bisik Adam lagi pada Putri.

                Putri tersenyum. Kedua bola matanya berkaca-kaca. Tidak ada kata ataupun kalimat yang mampu dia keluarkan. Sebab sehebat apapun kalimat yang nanti akan keluar, itu tidak akan pernah mampu untuk mewakili sebuah rasa yang kini Putri rasakan. Hanya sebuah pelukan yang mungkin bisa mewakili perasaan itu.

                Putri menabrakan tubuhnya pada tubuh tegap Adam. Dia memeluk sang suaminya. Sebuah pelukan yang sangat erat.

***

Selasa, 12 November 2013

Hujan Sore di Bulan November



                Bagi Adam, tidak ada hujan yang lebih indah selain hujan sore hari di kampungnya. Dari dulu sampai sekarang, keyakinan itu tidak pernah berubah dari kepalanya. Terlebih saat ini. Saat dimana sang laki-laki itu bisa menikmati hujan sore hari di kampung bersama sang istri tercinta.

                Bulan November. Musim hujan telah tiba.

                Sore ini, hujan turun lagi. Adam duduk sendiri pada kursi kayu panjang di teras depan rumah. Matanya syahdu menatap butir-butir hujan yang mengguyur bumi. 

                Putri keluar dari pintu. Ia membawa nampan yang ditumpangi dua cangkir teh hangat. Adam menoleh pada sang bidadarinya. Ia memberi senyum. Sang istri membalas senyum sang suami.

                Putri membungkukan tubuhnya. Ia meletakan dua cangkir teh hangat pada meja di depan kursi panjang. Uap hangat mengepul dari mulut kedua cangkir itu. 

                Ada mengelus kepala sang istri. “Makasih, Neng.”

                Putri menjawab dengan sebuah senyuman saja. la langsung duduk di samping Adam. Kepalanya disandarkan pada pundak kokoh sang suami. Dengan kepala yang masih tertempel pada pundak sang pangeran, Putri menoleh menatap wajah laki-laki tampan di sampingnya. Putri tersenyum lagi.

                Adam menggeleng pelan. Ia mengarahkan matanya pada sebuah wajah yang rupawan. Mata sepasang suami istri itu beradu. Adam membalas senyum Putri. Ia memberikan bonus sebuah ciuman di kening sang istri. Putri memejamkan kedua matanya. Ia menikmati kecupan bibir sang suami.

                Adam menyimpan satu tangannya di kepala Putri. Sambil terus menikmati hujan, tangannya mengelus-elus lembut kepala sang istri. Mereka semakin merapat. 

                Tabrakan antara hujan dengan atap rumah menimbulkan nada alam yang indah. Sebuah nada yang menentramkan telinga siapapun yang mendengarnya. Terlebih bagi Adam.

                “A,” Putri melirik sang suami.

                “Iya,” Sahut Adam. Matanya tidak lepas dari butiran hujan. Tangannya masih mengelus kepala sang istri.

                “Saat hujan sore seperti ini, biasanya apa yang paling sering Aa lamunkan?”

                “Banyak.”

                Putri kembali melihat hujan.

                “Banyak gimana maksudnya, A?”

                “Tergantung pada apa yang sedang ada di kepala Aa.”

                Putri menoleh pada sang suami lagi. “Kalau sekarang?”

                Adam melirik sang istri. “Mmmm,” sebentar ia mengarahkan matanya ke atas. “Sekarang Aa sedang memikirkan kenangan tentang mimpi-mimpi Aa yang dulu,” Adam kembali melihat wanita paling cantik di dunia yang sedang bersandar pada pundaknya.

                “Tentang mimpi masa lalu?” Putri memasang raut wajah penuh tanya. Ia meminta untuk dijelaskan.

                Adam tersenyum melihat wajah sang istri. Ia paham maksud dari raut itu.

                “Jika Aa renungkan, Allah itu sangat baik pada Aa. Dia hampir selalu mengabulkan apa yang Aa impi-impikan.”

                Putri melipat kening. Ia meminta dijelakan lagi.

                “Allah hampir selalu mengabulkan mimpi-mimpi Aa. Allah hampir selalu mewujudkan cita-cita Aa.”

                “Contohnya?”

                “Banyak.”

                “Beberapa yang paling Aa ingat?”

                Adam mengarahkan matanya ke atas. “Mmmm.” Ia mencoba mengingat-ingat mimpinya yang telah terwujud dan paling berkesan.

                “Apa?” Putri tidak sabar ingin segera mendengar jawaban sang suami.

                “Waktu Aa bercita-cita ingin masuk tim sepak bola remaja profesional, tidak lama berselang, setelah berjuang dan berdo’a, akhirnya Allah mewujudkan cita-cita itu. Ketika Aa ingin kuliah di Bandung, padahal waktu itu Aa tidak ada biaya, berkat usaha dan do’a, akhirnya Allah memberi jalan untuk keinginan Aa itu. Saat Aa ingin menulis novel, Allah juga mewujudkan mimpi Aa itu.” Adam mengakhiri ceritanya.

                “Kalau yang paling berkesan yang mana, A?”

                “Banyak.”

                “Yang paling?”

                “Banyak.”

                “Yang paling dari yang terpaling?”

                “Banyak.”

                Wajah Putri mengkerut. Bibirnya sedikit manyun. Pertanda ia mulai kesal.

                Adam tersenyum geli. Ia terhibur oleh pemandangan wajah sang istri.

                “Yang paling dari yang terpaling dan terpaling dan terpalingnya lagi?!”

                Adam tersenyum lagi. Ia kembali mengelus kepala sang bidadarinya yang sedang kesal.

                “Mmmm, apa yah?” Pertanyaan itu mungkin untuk dirinya sendiri. “Oh iya, Aa ingat!”

                “Apa?”

                “Waktu itu Aa melihat seorang wanita cantik. Entah bagaimana, Aa jatuh cinta pada wanita itu. Sehari setelahnya, Aa bercita-cita ingin menjadikan wanita cantik itu untuk menjadi istri Aa. Kemudian Aa tuliskan mimpi itu pada daftar mimpi-mimpi Aa. Dan tidak lama berselang, Akhirnya Allah mewujudkan mimpi Aa itu.”

                Putri bertanya-tanya. Otaknya menerka-nerka. Ada gurat senyuman yang tertahan pada bibirnya.

                Maksudnya? 

                Adam paham gurat wajah itu.

                “Mimpi dan cita-cita yang paling berkesan bagi Aa adalah saat Allah mengabulkan keinginan Aa untuk mempersunting, Neng.”

                Sempurna sudah senyuman itu terbentuk. Putri tidak bisa menyembunyikan senyum manis dari pandangan sang pangerannya. Putri tersipu malu. Adam kembali mengelus kepala sang bidadari tercintanya. Sepasang suami istri itu kembali menatap hujan sore yang belum reda.

                “A.”

                “Iya.”

                “Kalau impian Aa yang sekarang apa?”

                “Banyak.”

                “Salah satunya?”

                “Aa ingin punya anak laki-laki yang tampan dan soleh.”

                Putri melepaskan kepalanya dari pundak Adam. Ia duduk tegak. Matanya tajam memandang sang suami.

                “Neng mau anak perempuan yang cantik dan solehah!”

                “Aa ingin laki-laki.”

                “Neng maunya perempuan, A!”

                “Yaudah, yaudah, Aa ngalah.” Adam mencoba merangkul kembali kepala sang istri. Ia menyandarkan lagi sang istri pada pundaknya. Perlahan Putri tersenyum lagi.

                Mereka berdua kembali menonton hujan sore.

                “Neng.”

                “Iya.”

                “Tapi biasanya Allah sering mewujudkan keinginan Aa lho,” ujar Adam misterius.

                “Aaaaah, Aa!” Putri merengek. Ia kembali melepaskan diri dari pundak Adam. Ia menyubit pinggang sang suami.

                Hujan sore masih belum reda. Nyanyian alam masih bersenandung. Adam kembali merangkul tubuh sang istri tercinta.

                Hujan sore di kampung pada bulan November ini masih juga belum reda.
***

Kamis, 13 Juni 2013

Izinkan Aa Menyebutkan Tujuh Kelebihan Neng



Tidak seperti makan siang sebelum-sebelumnya. Kali ini hening mendominasi. Hanya suara gemeletak piring yang beradu dengan sendok saja yang terdengar. Sesekali Adam mengajak ngobrol sang istri, tapi orang yang diajak ngobrol tetap diam. Putri diam seribu bahasa. Wajahnya lebih sering menekuk. Semuanya berawal ketika tadi pagi, saat Putri mencoba membangunkan sang suami untuk beres-beres rumah bareng. Ya, seperti inilah memang kebiasaan keluarga baru ini. Setiap hari libur mereka sepakat untuk berbenah rumah berjamaah. 

Setelah solat subuh tadi, Adam rebahan sejenak di tempat tidur. Mendapati hal itu, Putri langsung membangunkan sang suami kembali. Bukannya langsung bangun, Adam malah pura-pura tidur. Beberapa kali sang istri menggoyang-goyangkan tubuhnya, namun Adam tetap enggan untuk membuka kedua matanya. Hingga akhirnya Putri menggelitiki pinggang sang suami. Karena tak tahan, akhirnya Adam bangun juga. 

Nah, disinilah semuanya berawal. Pasca digelitikin, Adam langsung duduk. Ia memasang wajah datar. Mukanya tak berekspresi. Persis seperti orang yang kesurupan. Untuk beberapa detik Adam masih belum bergerak. Awalnya Putri biasa-biasa saja. Tapi lama kelamaan akhirnya ia curiga juga. Wajah Putri berubah menjadi tegang. Ia khawatir terjadi apa-apa dengan suaminya tercinta. 

“A.... A...!” Putri memanggil-manggil sang suami. Tapi Adam tetap diam.

“A...!” Putri menggoyang-goyang tubuh lelaki yang disayanginya itu. Namun Adam tak kunjung memberi respon juga. Adam masih duduk terpaku. Pandangannya datar kedepan. Menyeramkan.

Putri kebingungan. Ia tak tahu apa yang harus dilakukan. Perlahan bibir tipisnya mengumamkan ayat-ayat suci Al-Qur’an. 

Adam masih belum bergerak.

Rasa takut Putri semakin menjadi-jadi. Mulutnya belum berhenti mengaji. Tak terasa, karena saking takutnya, kedua mata Putri berembun. Perlahan embun itu mengalir membentuk parit di kedua pipi lembutnya.

TOWEEEWW!

Mata Adam melirik ke arah wajah sang istri yang sedang ketakutan. Putri terperanjat kaget. Hampir saja ia hendak lari dari kamar. Tapi niat itu ia urungkan saat mendapati sebuah senyuman nakal terlukis di bibir sang suami, yang kemudian dilanjutkan dengan tawa kemenangan. Sebuah kemenangan karena telah berhasil mengerjai sang isteri.

Belum hilang tawa di mulut Adam. Tampaknya ia gembira sekali. Namun apa yang terjadi pada Putri? Embun di matanya belum mau pergi. Rasa kesal yang bercampur dengan rasa takut sisa tadi berbaur menjadi satu. Ia memalingkan wajahnya dari sang suami. Apa-apaan ini?! Benar-benar sebuah becandaan yang sangat tidak lucu?! Putri menggerutu dalam hati. 

Adam masih nyengir. Mirip kuda yang baru diberi makan rumput segar.
***

Dapat diramalkan apa yang terjadi setelah kejadian pagi tadi. Ya, Putri masih ngambek. Tapi, walaupun begitu, ia tetap berusaha untuk menjalankan kewajibannya sebagai seorang isteri. Hanya saja, sepanjang setengah hari ini ia lebih banyak diam. Acara bersih-bersih rumah bersama hari Minggu ini terasa sangat hambar. Pasangan pengantin baru ini seperti bekerja sendiri-sendiri. Tak ada lagi ketawa-ketawa penghias seperti pada hari Minggu sebelum-sebelumnya. Sesekali Adam memang mencoba mengajak ngobrol. Tapi sayangnya, sang isteri tetap membungkam mulutnya.

Dan, perang dingin ini masih terjadi di sini. Di meja makan siang ini. Putri masih cemberut. Sementara pada kursi yang hanya dipisahkan oleh meja makan saja, Adam mesem-mesem gak jelas. Entah apa yang ada dalam tempurung kepalanya saat ini. 

Setelah makan siang selesai, Putri langsung membereskan meja makan. Alat-alat bekas tadi makan langsung dicuci dan diletakan kembali ke tempatnya masing-masing. Kemudian Putri langsung meluncur menuju sofa ruang tengah. Untuk meredam rasa kesal yang masih bercokol di hati, Putri membaca buku.

Setengah jam sudah Putri tenggelam dalam pikiran yang dijelaskan oleh isi buku. Setidaknya ia bisa sejenak melupakan rasa kesalnya kepada sang suami.

“Hai, Neeeeeng....”

 Tanpa permisi Adam duduk di samping Putri. Putri menoleh malas. Ia menatap buku lagi.

 “Neng,” goda Adam sekali lagi. 

 Putri melihat wajah suaminya lagi. Meskipun dengan terpaksa. 

“Apa?!” jawab Putri dengan nada kesal.

 Adam nyengir. Ia menggerak-gerakan alisnya berulang kali. Kemudian nyengir lagi.

“Neeeeeng,” goda sang suami sekali lagi. Kali ini dengan suara yang lebih lembut. Alisnya lagi-lagi Adam gerak-gerakan genit.

“Neng kenapa...? Perasaan dari pagi Aa perhatikan cemberut mulu... Memang Aa punya salah ya...?”

“Pake acara pura-pura gak tahu lagi!” gerutu Putri.

“Oooooh, yang tadi pagi ya? Baiklah, kalo gitu Aa minta maaf soal itu ya. Ia, Aa ngaku salah.”

“Gak mau!”

Putri kembali membaca buku. Ia tak menghiraukan sang suami yang sedang duduk di sampingnya, mencoba untuk meminta maaf.

Adam mulai mengerutkan dahi. Ia mulai sedikit bingung harus dengan cara apa lagi agar isteri tercintanya tidak ngambek dan wajahnya berseri kembali.

Tak memakan waktu lama, bibir Adam kembali mengembang. Ia tersenyum menyeringai. 

Pelan-pelan Adam mendekati sang istri. Posisi duduknya kini hanya beberapa inci saja dari Putri.

“Neng,” ucap Adam dengan nada dibijaksana-bijaksanakan.

 Putri diam saja. Ia masih tetap membaca buku.

“Aa ngaku salah. Aa minta maaf atuh ya. InsyaAllah Aa gak akan berbuat seperti itu lagi,” masih dengan suara yang mirip dengan suara seorang guru besar di padepokan silat jika sedang bicara. Berat dan berwibawa. 

Putri tetap diam.

Adam mulai menghela nafas panjang. Ia diam sejenak. Mencoba membiarkan isterinya mencerna kalimat yang telah ia ucapkan.

“Baiklah kalo begitu,” Adam menghela nafas lagi. “Neng boleh tetap marah ke Aa. Dan Aa akan tetap ridho kepada isteri Aa yang solehah ini walaupun Neng tetap marah pada sang suami yang banyak dosanya ini. InsyaAllah Aa ridho. Asalkan sebelumnya Aa minta Neng untuk menyebutkan tujuh kelebihan yang Aa miliki dimata Neng. Hanya tujuh. Itu saja permintaan Aa. Boleh?”

Putri berhenti membaca. Ia menoleh pada suaminya. “Gak ada!” Putri kembali membaca buku.

Adam menghela nafas. Sekali. Dua kali. Tiga kali.

“Baiklah, kalo Neng gak mau mah gak papa,” Adam diam sejenak. “Aa ada satu permintaan lagi. Jika Neng berkenan, Aa mohon Neng untuk bersedia mengizinkannya. InsyaAllah Neng tidak dituntut untuk melakukan apa-apa. Neng cukup hanya mendengarkan saja. Mendengarkan Aa menyebutkan tujuh kelebihan yang Neng miliki dimata Aa. Itu saja,” ucap Adam sebijaksana mungkin.

Putri masih mematung menatap buku di tangannya.

“Aa anggap diamnya Neng ini pertanda setuju. Nanti setelah Aa selesai berbicara, silahkan jika Neng masih tetap ingin mendiamkan Aa. InsyaAllah Aa akan tetap ridho kepada isteri Aa yang solehah ini.”

Mendengar ucapan sang suami yang sepertinya memang serius, Putri mulai merasakan gak enak duduk. Seperti ada yang mengganjal di hatinya. Namun tetap, ia masih diam.

“Kelebihan Neng pertama di mata Aa adalah pinter masak. Jujur, semenjak Aa kecil hingga sebelum dipersatukan oleh takdir dengan Neng. Aa beranggapan bahwa tidak ada pasakan yang lebih enak dari pasakannya ibu Aa. Tapi ternyata itu salah. Anggapan itu terpatahkan setelah untuk yang pertama kalinya Aa mengunyah makanan hasil pasakannya Neng. Sejak saat itu, pasakan ibu berganti posisi menjadi urutan kedua. Dan pasakan Neng menyodok ke posisi pertama.”

Putri tak menyangka dengan ucapan suaminya barusan. Dadanya mulai berdesir. Suaranya persis dengan senandung gurun pasir yang tertiup angin. Tapi ia masih tetap diam.

“Kelebihan Neng yang kedua adalah cantik. Cantik banget malah. Sungguh, bagi Aa. Tidak ada, dan tidak akan pernah ada seorang wanitapun di dunia ini yang lebih cantik dari Neng. Inilah salah satu alasan mengapa Aa memilih Neng.”

Putri mulai salah tingkah. Sejujurnya ia sangat ingin untuk menatap suaminya. Tapi rasa gengsi masih meringkusnya. Duduknya kini sudah mulai tak nyaman lagi. Putri menggigit bibir bawahnya. Sebisa mungkin ia menahan diri untuk tidak tersenyum.

“Yang ketiga, Neng itu solehah. Bagi Aa, inilah anugerah terindah yang diberikan Allah melalui diri Neng. Jujur Aa sangat bahagia memiliki Neng.”

Semakin keras Putri menggigit bibir bawahnya. Walalupun terpaksa, akhirnya ia menoleh kepada sang suaminya. “Sudah jangan berlebihan!” Putri mencoba marah lagi. Tapi sayangnya raut wajah yang ia pasang seperti tidak singkron dengan apa yang ia ucapkan. Muka Putri mulai memerah. Merona. Senyum yang sedari tadi ia sembunyikan, pelan-pelan mulai menyeruak.

“Sungguh, Aa gak bohong. Jika Neng ingin bukti, buktinya adalah hari ini. Aa tahu, sedari pagi tadi Neng sedang merasa kesal pada Aa. Tapi, walaupun begitu, Neng tetap tidak meninggalkan kewajiban-kewajiban Neng terhadap seorang suami. Misalnya tadi, Neng tetap bersedia menyediakan sarapan dan makan siang untuk Aa. Dan pasakannya tetap enak. Tidak karena Neng sedang merasa kesal, lalu kadar keenakannya Neng kurangi. Tidak.”

Putri benar-benar tak bisa lagi untuk menahan senyuman di bibirnya. Akhirnya kedua ujung bibirnya mulai melebar. Ia benar-benar salah tingkah. Mati kutu karena kalimat dari sang suami. Tak tahu apa yang harus dilakukan, akhirnya Putri menyubit bahu Adam. “Udah jangan berlebihan!” sayangnya, saat Putri berucap, bibirnya malah tersenyum malu-malu.

“Sungguh, ini beneran. Aa gak bohong,” Adam meyakinkan.

“Iiiiihh...," Putri menyubit lagi bahu Adam. Bibirnya masih tersenyum malu.
 
“Kelebihan Neng yang ke empat adalah...”

“Udah, A. Iiiiihhh...,” Putri memotong kalimat Adam. Kedua sejoli itu saling pandang. Mereka salng memberikan senyuman. Kemudian sedikit mulai tertawa.

Dengan gerakan kilat Putri memeluk Adam. Lalu melepaskannya lagi.

“Awas ya kalu nanti Aa mengulangi perbuatan itu lagi!” ucap Putri manja. Mereka berdua tersenyum lagi.

Putri menyubit bahu Adam lagi. Mungkin karena saking gemesnya pada suaminya itu. Kemudian dilanjutkan dengan memeluk tubuh sang suami tercintanya lagi. 

Adam membalas pelukan sang isteri tercinta. Erat sekali Adam merangkul. Dan, saat merangkul itu, Adam mengepalkan tangannya. Pertanda ia menikmati keberhasilannya. Keberhasilan karena telah mampu membuat isterinya tidak marah lagi. Bibir Adam menyeringai. Persis dengan seringaiannya seorang penjahat kelas kakap yang telah berhasil mengelabuhi mangsanya.

Yes! Akhirnya saya berhasil!. Gumam Adam dalam hati. Ia gembira tersebab sang isteri termakan rayuan mautnya.

Bibir Adam menyeringai lagi.
***