Sabtu, 30 November 2013

Langit Berwarna jingga (17)



Jam kayu besar berdiri kokoh di dekat mimbar. Bandulnya berayun-ayun. Jarum pendek menunjuk angka tiga. Jarum panjangnya ada di angka sebelas. Beberapa menit lagi waktu ashar akan tiba.

Fajar dan Sabil duduk terkulai di dalam mesjid, di dekat jendela. Mereka lelah. Seharian penuh kedua guru bantu itu mengajar di MA Kepuh. Tenaganya terkuras. Otaknya menguap.

Sabil tampak sedikit lebih segar dibanding Fajar.

“Gak kerasa, Jar ya.”

“Apa?” Fajar menoleh malas pada Sabil.

“Perasaan baru kemarin lusa saya pindah ke sini. Juga seperti kemarin kita masuk kuliah. Eh, sekarang sudah mau lulus lagi,” jelas Sabil dengan pandangan menerawang ke mihrab imam.

Fajar menatap Sabil. Lalu ikut menerawang seperti Sabil. Tapi yang ditatap bukan mihrab, melainkan jam kayu besar. “Iya, ya. Waktu terasa cepat berlalu.”

“Dua bulan lagi kita sudah mau wisuda. Setelah itu fokus ngajar. Kemudian nabung. Lalu nikah deh,” Sabilmelirik Fajar. Lalu kembali menerawang pada mihrab. Ia tersenyum sendiri.

Mendengar kata menikah, rasa lelah Fajar sedikit berkurang. Terlebih kata itu keluarnya dari Sabil. Sahabat sekaligus sang kakak dari Dian. 

“Kamu ingin punya istri yang seperti apa, Jar?” tanya Sabil dengan tidak menatap wajah orang yang ditanya. Dia masih terbuai dengan imajinasi pikirannya sendiri.

Fajar menoleh cepat pada Sabil. 

“Istri?!” Ada nada kikuk dari pertanyaan pendek Fajar.

“Iya,” ucap Sabil tenang saja.

“Mmm..., ya standar lah. Sama seperti keinginan laki-laki pada umumnya.”

“Standarnya seperti apa itu?”

“Solehah. Pintar. Cantik. Pokoknya sebangsa itu lah.”

“Mmhh,” Sabil manggut-manggut.

“Kalau kamu, Bil?” Fajar bertanya balik. Ia lebih menegakan posisi duduknya.

“Sepertinya begitu juga. Sama dengan yang tadi kamu sebutkan.”

Bandul jam kayu besar masih terus berayun. Jarum panjang tepat menunjuk angka dua belas. Bersamaan dengan itu, berdentang seperti bunyi lonceng tiga kali dari jam itu. Tinggal hitungan menit, ashar akan segera tiba.

“Oya, kalau untuk adik ipar nanti, kamu inginnya seperti apa, Jar?”

“Adik ipar? Suami untuk adik saya, Rani, maksudnya?”

“Iya.”

Fajar berpikir sebentar.

“Apa ya?” Fajar menerawang menatap langit-langit mesjid. “Pada intinya saya berharap laki-laki itu baik dan bisa membimbing Rani ke arah yang lebih baik lagi. Mungkin itu.”

Sabil manggut-manggut. Dan kembali menerawang ke arah mihrab imam.

Fajar melirik Sabil. Dia melirik dengan diam-diam. Ingin sekali ia bertanya balik soal kriteria adik ipar yang diingikan oleh Sabil. Tapi apa mau dikata. Nyalinya lenyap entah kemana. Fajar tidak berani. Atau mungkin belum berani.

“Jar,” panggil Sabil membuyarkan lamunan Fajar yang sedang memupuk keberanian untuk bertanya. 

“Iya,” Fajar kikuk. Sepanjang sejarah hidupnya, baru kali ini Fajar grogi saat berbincang dengan Sabil.

“Kalau untuk bayangan wanita yang nanti akan di lamar, apakah sudah ada?”

“Hah?” Fajar kaget tersebab pertanyaan Sabil. “Bayangan?”

“Iya.”

“Mmm...,” Fajar diam sebentar. “InsyaAllah sudah ada.”

“Kalau kamu, Bil?” Fajar bertanya balik untuk menyembunyikan sikap kikuknya.

Sabil tersenyum mendengar pertanyaan Fajar. Sabil memang seperti yang sedang menunggu kedatangan pertanyaan itu.

InsyaAllah sudah.”

Hening. Fajar diam karena canggung dengan isi perbincangan ini. Sementara Sabil lebih karena sibuk dengan pikiran di dalam kepalanya.

“Saya do’ain atuh nanti bisa mendapatkan bidadari impian itu ya,” Fajar mendo’akan Sabil. Ia mengakhiri do’anya dengan tawa kecil.

Sabil menggumamkan kata “Aamiin”. Wajahnya bertambah cerah.

“Saya do’ain juga. Semoga kamu bisa mendapatkan seorang wanita yang jauh lebih baik dari bayanganmu,” Sabil menatap sahabatnya. “Kamu laki-laki baik, Jar. InsyaAllah akan mendapatkan wanita yang super baik pula.”

Fajar tersenyum. Isi kepalanya dipenuhi oleh bayangan wajah Dian. 

“Aamiin Yaa Allah,” Ucap Fajar penuh harap.

Sabil menoleh pada jam. Ia berdiri. “Hayu, Jar. Siap-siap!” Sabil melangkah menuju stand mikrofon di dekat mimbar. Bersiap untuk mengumandangkan adzan ashar. 

Fajar melangkah keluar. Ia hendak mengambil wudhu. Sebab saat baru tiba tadi, ia tidak langsung mengambil air wudhu bersama Sabil.
***

Vespa warna kuning melaju dengan kecepatan sedang di jalan raya susur pantai Anyer. Helm nyentrik khas anak muda membekap melindungi kepala Akang. Sarung tangan hitam yang membungkus kedua tangan Akang mencengkeram kedua ujung kemudi. Jaket kulit membungkus tubuh Akang. Tali tas cangklong membelit pundak sang bapak guru muda itu. 

Hampir sepanjang perjalanan, pikiran Akang hanya tertuju pada sebuah kata yang akhir-akhir ini seperti menghantuinya. Adalah “Menikah”. Tidak di pondok, tidak di sekolah, tidak di kampung, topik yang satu ini selalu menjadi bahan perbincangannya dengan para lawan biara. Di pondok ada Fajar. Di kampung ada para kawan satu angkatan semasa SD dulu yang telah menyempurnakan separuh agama mereka. Bahkan, ada di antara mereka yang sudah memiliki anak. Dan tentunya juga di sekolah. Di tempat Akang mengabdi itu, ada satu sosok guru yang sering kali mencandai Akang perihalpernikahan. Seperti hari ini. Sesaat sebelum kepulangan Akang. Beliau adalah guru pelajaran agama islam. Namanya Bapak Barta.

“Pulang, Pak?” sapa Akang pada Pak Barat yang sudah duduk di jok motor bebeknya.

Pak Barta sedang melihat hapenya. Lalu melirik pada sang penyapa.

“Eh, Pak Akang. Iya, ini baru mau pulang. Pak Akang pulang juga?” Pak Barta melihat layar hape lagi.

“Iya, Pak,” Akang menaiki vespa kuningnya. “Serius amat baca SMSnya, Pak.”

“Oh iya dong. Soalnya isi SMS ini spesial dari sang bidadari Bapak di rumah,” Pak Barta menunjukan layar hapenya pada Akang. Tapi hanya sebentar. Sepertinya sang bapak guru senior itu memang tidak berniat untuk menunjukan isi SMSnya. Melainkan hanya untuk mencandai Akang saja. Pak Barta tertawa. 

“Kapan atuh Pak Akang segera menikah? Apalagi coba yang ditunggu? Ngajar sudah. Usia mencukupi,” Pak Barta memanas-manasi Akang. Ini adalah bukan untuk yang pertama kali. Jika dihitung, entah untuk yang keberapa kali. Tidak terhitung.

Jika pembulian seperti ini sedang terjadi, Akang hanya mampu tersenyum saja. Sesekali mengangguk mengiyakan ucapan Pak Barta. 

“Pak Akang, nih dengarkan, katanya, jika ada pemuda yang umurnya sudah mencapai usia menikah,” Pak Barta diam sejenak. Ia seperti sedang berpikir. “Mungkin seusia Pak Akang ini lah kurang lebih. Belum menikah-menikah juga. Katanya itu mengindikasikan bahwa pemuda itu tergolong kepada pemuda yang lemah.”

Pak Barta mengantongi hapenya. Ia melanjutkan kalimatnya. “Ada beberapa indikasi kelemahan,” kata sang guru pelajaran agama islam itu. “Pertama.” Pak Barta mengacungkan jari telunjuknya. “Katanya pemuda itu lemah iman. Dia tidak percaya dengan Ke-Maha Kaya-an Allah. Biasanya alasan mereka itu kan selalu menyoal materi.”

“Kedua.” Pak Barta mengacungkan dua jarinya. Telunjuk dan jari tengah. “Katanya pemuda itu lemah mental. Keberaniannya lembek seperti bubur. Alasannya belum siap-lah atau apa-lah.”

“Ketiga.” Pak Barta memberdirikan jari manisnya untuk menemani telunjuk dan jari tengah. “Mereka lemah komunikasi. Komunikasi dengan siapa? Tentunya dengan orang tua. Mereka berdalih belum ada restu dari orang tua. Padahal mencoba meminta izin saja sebenarnya belum pernah.”

“Terakhir.” Jari kelingking sekarang ikut berdiri. “Ini yang paling menyeramkan,” Pak Barta sedikit mencondongkan wajahnya kedepan. “Adalah lemah syahwat!” pak Bara tertawa renyah. Entah memang ada yang lucu, atau sekedar untuk mengejek Akang.

Akang nyengir.

“Tuh, silahkan direnungkan di rumah. Kira-kira, Pak Akang masuk kategori lemah yang mana,” Pak Barta melanjutkan tawanya.

Pak Barta memperbaiki posisi duduknya pada jok motor. Ia bersiap untuk menyalakan mesin tunggangannya.

Pak Barta memencet tombol starter. Mesin motor menyala. 

“Pak Akang. Sekiranya Bapak menunggu benar-benar sudah siap, maka sampai kapanpun Pak Akang tidak akan pernah menikah. Sama dengan saya juga. Seandainya dulu saya menikah menunggu untuk siap seratus persen dulu, maka hingga detik ini saya tidak akan pernah menikah,” Pak Barta menginjak gigi satu.

“Pak Akang. Nomer satunya ada niatan saja dulu. Kemudian yakinkan pada diri. Setelah itu, dengan sendirinya kesiapan juga akan mengikuti,” Pak Barta memberi senyum perpisahan. “Saya duluan ya. Sudah tidak sabar nih untuk melihat bidadari di rumah,” Pak Barta menutup dengan sebuah tawa.

Motor Pak Barta melaju pelan ke luar gerbang sekolah. Mata Akang mengikuti kepergian sang guru yang kenyang dengan pengalaman itu. Setelah itu Akang diam. Diam mencoba untuk merenungkan setiap kalimat yang keluar dari mulut bertuah Pak Barta. 

Sepanjang perjalanan Akang masih memikirkan obrolan dengan Pak Barta itu.

Vespa masih melaju dengan kecepatan sedang. 

Sebelum perbincangan di tempat parkir sekolah tadi, sesungguhnya Akang sudah mulai serius untuk memikirkan hal sakral ini. Dan pasca perbincangan tadi, Akang menjadi lebih yakin untuk memulai langkah.
Akang kembali teringat dengan ucapan Pak Barta beberapa waktu lalu.

“Pokoknya bilang saja dulu pada orang tua. Itung-itung sebagai pemanasan. Nanti, ketika Pak Akang sudah benar-benar meminta restu untuk yang sebenarnya, maka Bapak dan Ibu tidak kaget lagi mendengarnya.”

Akang meyakinkan diri. Sepertinya dia akan mampir dulu ke rumah. Semoga saja nanti akan ada kesempatan baginya untuk mengutarakan maksud hatinya pada sang bapak dan sang Ibu.

Vespa masih melaju. Akang menarik gas lebih dalam. Si kuning berlari lebih cepat.

Akang berpikir. Mencoba mencari kalimat pembuka apa yang akan ia gunakan dalam perbincangannya nanti dengan orang tua. Dan, di antara itu, muncul bayangan seorang wanita yang tergambar jelas di kepala Akang. Bayangan seorang wanita yang cantik jelita. Siapa lagi kalau bukan Anita.

Gas semakin dalam ditarik. Vespa kuning berlari cepat.

Siang menjelang sore ini, wajah langit Anyer  tampak cerah. Kulitnya masih biru. Beberapa awan cirro cumullus menghiasinya. Awan-awan itu berbentuk seperti sisik-sisik ikan. Di titik lain, ada juga yang menyerupai sekumpulan domba yang dilihat dari atas. Awan-awan itu putih. Terang bercahaya.
***

Jam setengah enam sore. Kaki langit perlahan menjingga. 

Bapaknya Akang sedang duduk sila di teras samping rumah. Beliau duduk menghadap langit jingga. Tangannya memegang sebuah buku tebal yang sedang ia baca. Sebuah kaca mata membantu sang Bapak yang sebagian rambutnya sudah tumbuh uban itu dalam memperjelas susunan kata yang dibaca. Teduh sekali wajah Bapaknya Akang sore ini. Berbeda dengan wajah Akang yang sedang duduk beberapa jarak di belakang sang Bapak. 

Sore ini Akang sudah mengenakan sarung. Tapi pakaian atasnya masih kaos. Tidak berbeda dengan sang Bapak. Akang juga memegang sebuah buku. Hanya saja, buku itu bukan untuk Akang baca. Melainkan hanya sebuah kamuflase untuk tujuan Akang yang sebenarnya. Apa itu? Adalah mengobrol soal masa depan yang sudah sedari siang mengiang-ngiang di kepalanya. Namun sayang seribu kali sayang. Setengah jam sudah terlewat, belum juga Akang berani menyuarakan maksudnya pada sang Bapak.

Akang mulai kesal. Kesal pada dirinya sendiri. Kenapa dia tidak mampu? Apakah memang benar apa yang telah dikatakan oleh Pak Barta tadi siang. Bahwa dirinya telah mengidap sebuah kelemahan di antara beberapa kelemahan mengapa dirinya tidak kunjung juga menikah. Boleh jadi dia mengidap penyakit lemah komunikasi? Atau lemah mental? Dan tidak menutup kemungkinan juga mengidap penyakit lemah iman?Ah!

Yaa Allah.mohon berilah kemudahan. Lirih Akang dalam hati.

“A,” sang Bapak memanggil anak laki-laki sulungnya.

“Iya, Pak,” jawab Akang lemas.

Bapaknya Akang menutup buku tebal di tangannya. Ia melepas kacamata dari wajahnya.

“Kapan Aa mau menikah?”

Akang melotot. Ia tidak percaya. Secepat inikah Allah mengabulkan do’a yang barusan ia panjatkan. 

Separuh tubuh matahari sudah tenggelam di garis horison. Kaki langit barat berwarna jingga. 

Angin sore bertiup lembut. Dan Akang pun tersenyum.
***

Kamis, 28 November 2013

Itu Beneran, Jar? (16)



Hari Minggu. Waktu dhuha pada hari Minggu adalah waktu yang paling Akang sukai. Mengapa? Sebab pada hari libur itu Akang bisa dengan bebas menghirup oksigen segar. Bisa dengan leluasa Akang menikmati sinar mentari pagi. Bisa dengan rasa nyaman yang senyaman-nyamannya Akang menikmati senandung alam. Angin pagi bertasbih. Reranting pohon yang terbelai angin juga ikut bertasbih. Daun-daun tidak ingin ketinggalan menggumamkan tasbih. Akang selalu mencintai waktu dhuha pada hari Minggu. Seperti pagi ini.

Selepas pengajian subuh tadi, Akang langsung rebahan di kamar pondoknya. Akang rebahan tidak untuk tidur lagi. Dia tahu, waktu setelah subuh adalah waktu yang sangat tabu untuk tidur lagi. Terlebih bagi seorang pemuda. Apa yang akan terjadi pada masa depan suatu bangsa jika para pemudanya sering tidur pagi?! Kalimat tanya itu selalu Akang ingat jika sang kantuk menyerangnya pada pagi hari.

Akang rebahan hanya sejenak saja. Sekedar untuk meluruskan kembali urat punggungnya. 

Kali ini Akang tidak sendiri. Satu meter di sampingnya ada Fajar yang menemani. Selepas pengajian tadi, Fajar tidak langsung pulang. Dia menyempatkan diri untuk mempir ke kamar pondok Akang. Silaturahim adalah tujuan utamanya. Silaturahim itu baik. Silaturahim bisa mendatangkan rezeki. Silaturahim dapat memperpanjang umur. Barang kali saja nanti akan mendapatkan salah satu dari beberapa keutamaan itu. Gumam Fajar dalam hati saat melangkah menuju kamar pondok Akang tadi.

Saat dirasa urat punggung lurus kembali. Akang langsung beranjak untuk segera memulai aktifitas. Ia menyergap ember warna biru muda yang di dalamnya sudah tertumpuk beberapa helai pakaian kotor. Akang menaburkan deterjen bubuk pada ember biru muda itu. Lalu meluncur menuju kamar mandi. Sementara Fajar beranjak duduk. Ia mengambil sebuah buku di atas meje kecil milik Akang. Ia segera menyantap hidangan kata-kata dalam buku itu.

Setengah jam berlalu. Akang berdiri menghadap pada tempat jemuran. Ia menggerak-gerakan tubuhnya, selayaknya seorang olahragawan yang sedang melakukan pemanasan. Akang masih menggerak-gerakan tubuhnya. Bermaksud meregangkan kembali ototnya yang setengah jam terakhir ia gunakan untuk mengucek dan memeras cucian. 

Di dalam kamar yang pintunya terbuka, Fajar masih membaca buku. Posisinya bersandar pada dinding kamar. Peci yang tadi dikenakan, kini terkulai lemas di atas meja kecil. Sarung yang dikenakan Fajar menjadi kusut sebab telah beberapa kali dia merubah posisi duduknya. 

Akang mulai menjemur cuciannya. Satu-satu cucian itu ia gantungkan pada tali jemuran. Titik-titik sisa air yang masih menempel pada cucian itu berjatuhan pelan menghantam tanah. Akang mengambil sisa cuciannya. Ia memeras sekali lagi. Lalu digantungkan pada tali jemuran yang masih kosong.

Fajar menutup buku. Lalu disimpan kembali buku itu di tempat semula. Fajar berdiri, dan meregangkan tubuhnya, sudah menyerupai seekor kucing yang baru bangun dari tidurnya.

Fajar keluar kamar. Ia melangkah menuju keran tempat wudhu.

Fajar mengambil wudhu. Kemudian berbalik masuk kamar pondok Akang lagi. 

“Saya pinjem sajadahnya, Kang,” ucap Fajar sambil tetap berjalan. Ia tidak melihat Akang sama sekali.

Fajar menggelar sajadah. Ia mendirikan sholat dhuha.

Akang menjemur cucian terakhirnya.

Alhamdulillahirabbil’alamiin,” gumam Akang dengan perasaan lega. “Akhirnya selesai juga.”

Akang menenteng ember. Lalu disimpan terbalik di dekat tempat wudhu. Kemudian ia langsung duduk di teras dekat tempat wudhu itu. 

Akang duduk santai untuk melepas lelah. Ia hirup oksigen waktu dhuha ini dalam-dalam. Segar. Perlahan lelah itu keluar bersama karbon dioksida yang keluar dari paru-paru Akang. 

Akang beranjak. Ia mengambil air wudhu.

Selepas wudhu, Akang masuk kamar. Ia merapihkan kembali sarung yang terikat di pinggangnya. Sajadah sudah tergelar. Akang mengambil peci yang tergantung pada paku di balik pintu. Ia kenakan peci itu. Lalu bersiap untuk sholat dhuha.

Lima menit terlewat. Akang sholat dhuha empat rakaat dengan dua kali salam. 

Akang berdiri. Ia melipat kembali sajadah yang barusan ia gunakan untuk alas sholat. Lalu disimpan di atas meja kecil. Akang duduk di samping Fajar. Punggungnya disandarkan pada dinding. Akang menghirup nafas panjang. Ada aroma kelegaan dari tarikan nafas itu.

“Capek, Kang?” Fajar menoleh pada Akang.

“Numayan.”

“Tadi banyak cuciannya?” tanya Fajar lagi.

“Numayan.”

Fajar berhenti bertanya. Pandangannya berpaling dari wajah Akang.

Sejenak mereka terdiam.

Fajar kembali menoleh melihat Akang.

“Makanya cepet nikah, Kang. Biar nanti ada yang nyuciin,” ucap Fajar enteng saja.

Akang menoleh cepat. Kedua alisnya naik.

Fajar nyengir.

“Mumpung Teh Anitanya masih free tuh. Jangan dilama-lamain. Keburu ada yang ngeduluin. Nanti Akang nyesel lagi.” Fajar nyengir lagi.

Akang kembali membuang muka dari tatapan Fajar. Ia diam saja. Sengaja untuk tidak menanggapi guyonan Fajar. 

“Kok diam,” Fajar memancing Akang untuk berkata. Namun usahanya itu sia-sia saja. Sebab belum satu huruf pun keluar dari lidah Akang.

“Kang?” 

Akang masih belum menanggapi Fajar.

“Akang suka sama Teh Anita ya?”

Mata Akang menyipit. Ia tidak mengira jika Fajar Akan menanyakan hal ini. Sejujurnya, Akang mulai goyah karena pertanyaan itu. Untuk itu, diam adalah satu-satunya jawaban yang mampu Akang berikan.

“Akang suka sama Teh Anita ya?” tanya Fajar untuk menegaskan.

Lagi-lagi Akang hanya diam.

“Diam itu berarti iya lho,” Fajar belum menghentikan upayanya.

Akang mulai memutar otak. Mencoba mencari cara untuk melawan serangan Fajar.

“Kang?” ucap Fajar.

Akang meyakinkan diri. Daripada nanti keluar kalimat yang lebih berbahaya lagi, lebih baik Akang mencoba untuk bergerak melawan.

Akang menoleh pada Fajar.

“Jar?”

“Iya,” jawab Fajar sumringah. Akhirnya Akang mau angkat bicara juga.

“Kira-kira. Menurut Fajar. Wajar tidak jika ada seorang laki-laki yang mencintai seorang wanita yang cantik juga baik?” Akang mengeluarkan pertanyaan diplomatis. Ia menjawab pertanyaan Fajar dengan sebuah pertanyaan juga. Namun siapa sangka, terselip sebuah maksud di dalam pertanyaan itu.

Fajar tersenyum. Ia faham dengan maksud pertanyaan Akang. Akhirnya, dirimu mau mengakui juga apa yang dirimu rasakan, Kang. Gumam Fajar dalam hati. Fajar tersenyum lagi.

“Jadi kapan nih Akang mau melamar Teh Anita? Hehe...,” Fajar mengakhiri pertanyaannya dengan sebuah tawa. Tawa yang cukup renyah bagi Fajar. Tapi kecut untuk Akang.

Akang tidak menyangka. Dia pikir Fajar akan berhenti menggodanya setelah pertanyaan diplomatis yang ia berikan. Tapi ternyata tidak. Serangan itu masih belum selesai.

“Kapan, Kang? Jika saya perhatikan, sepertinya Teh Anita juga suka itu sama Akang.”

Akang mulai kesal. Dia tidak ingin hanya menjadi objek penderita saja. Akang memutar otak lebih kencang lagi. Mencoba mencari amunisi yang tepat untuk melumpuhkan Fajar.

Akang menatap Fajar lekat-lekat. 

“Jar.”

“Iya, Kang.” Fajar menggerak-gerakan kedua alisnya. Sepertinya dia akan kembali berhasil dalam serangan ini.

“Mungkin nanti saya akan melamar Neng Dian. Adiknya Sabil yang imut dan baik hati itu,” Akang menunjukan wajah yakin pada Fajar. 

“Jaaa,” Fajar menghentikan katanya. Ia menelan suku kata sisanya.

“Kenapa? Tadi mau bilang jangan ya? Hayo ngaku. Jangan bohong. Bohong dosa lho.” Akang bertubi-tubi melancarkan serangan balik.

Warna muka Fajar berubah seratus delapan puluh derajat. Yang awalnya ceria, kini menjadi pucat. Pucat karena terhantam amunisi yang ditembakan oleh Akang. Kendali kini ada di tangan Akang. Senyum kemenangan berpindah pada bibir Akang.

Akang menunjuk wajah Fajar. “Kenapa jangan? Cemburu ya kalau saya mau melamar Dian? Hayo ngaku. Cemburu ya? Kata orang, cemburu itu tandanya cinta lho,” Akang memberikan senyum yang dibuat-buat. “Fajar suka sama Dian ya? Hayo ngaku?”

Fajar mati kutu. Ia seumpama sebuah bola yang menggelinding di ujung tebing. Sekali disentuh saja, maka bola itu akan terjun bebas ke jurang. Hanya keajaiban yang mampu menyelamatkannya. 

“Fajar suka sama Dian ya?” Akang memberikan serangan pamungkas. Fajar semakin tersudut saja.

Fajar diam kebingungan.

Akang diam menikmati kekalahan Fajar. Akang kini telah membalikan keadaan.

“Kang,” ucap Fajar ragu.

“Iya.”

“Men..., menurut Akang. Kira-kira wajar tidak jika ada seorang laki-laki yang mencintai seorang wanita yang imut dan baik hati?” tanya Fajar datar. Ia tidak tahu. Harus gembira atau malu karena pertanyaan ini. Gembira sebab Fajar menemukan tameng penyelamat pada detik-detik libasan pedang akan mengoyak tubuhnya. Dan malu karena ia menggunakan senjata yang tadi telah digunakan oleh Akang.

Akang mengangkat alis. Ia tidak menyangka jika sang lawan akan menggunakan senjata ciptaan dirinya. Sebenarnya Akang belum puas dalam menghajar Fajar. Tapi apa boleh buat. Pertanyaan Fajar barusan adalah sebuah kartu as. Kartu as yang membuat Akang harus rela menghentikan serangannya.

Akang kini diam.

Fajar juga diam.

Satu menit kedua pemuda itu saling diam. Mereka hanya bermain dengan pikiran mereka masing-masing.

Hening.

“Jar,” Akang kembali membuka perbincangan.

“Iya, Kang?”

“Mmm..., Anu..., Itu tadi beneran?”

“Beneran apa, Kang?”

Akang menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.

“Teh Anita benera suka sama saya?”

Akang nyengir.

Fajar tersenyum. Ia tidak menjawab. Ia hanya tersenyum. Lebih tepatnya mungkin menjawab dengan sebuah senyumannya.

Perang berhenti. Keadaan kamar kini menjadi hangat kembali.
***

Jam sebelas siang. Matahari mulai meninggi. Sinarnya terasa lebih menyengat dari jam-jam sebelumnya. 

Fajar keluar kamar pondok Akang dengan langkah yang tegap. Silaturahim pagi tadi mendatangkan sebuah kebahagiaan bagi hatinya. Meskipun awalnya mati kutu karena serangan balasan dari Akang. Setidaknya Fajar telah membuat beban cinta terpendam di hatinya menjadi jinak. Gejolak badai rindu kini mulai tenang kembali. Sebab Fajar telah menemukan muara yang tepat untuk menyalurkan rindu itu. Yaitu dengan berbagi cerita kepada Akang. Berbagi kisah kepada orang yang InsyaAllah tepat. Fajar tahu siapa diri Akang. Ia yakin jika Akang tidak akan sembarangan dalam membocorkan rahasia dirinya.

KRUYUUUK

Alarm yang tersimpan di dalam perut Fajar berbunyi. Niat untuk pulang dia urungkan. Fajar berbelok. Ia masuk rumah sang paman, Ustad Ipun. Fajar mencoba peruntungannya. Barangkali akan ada makanan enak yang bisa ia santap.

Assalamu’alaikum!” ucap Fajar setengah teriak. 

Tidak ada jawaban di dalam rumah. Fajar langsung masuk. Ia melangkah melewati ruang tamu. Kemudian ruang tengah. Dan terus melangkah hendak menuju dapur. 

Assalamu’alaikum,” sekali lagi Fajar mengucap salam.

Anita dan ibunya sedang memasak. Mereka menjawab salam Fajar.

“Masak apa, Bi? Fajar lapar nih,” Fajar cengengesan pada sang bibi.

“Baru datang sudah langsung tanya makan,” Ibunya Anita membawa piring besar berisi masakan yang sudah matang. “Memang habis ngapain sang keponakan Bibi yang satu ini?” beliau melanjutkan langkah hendak menyimpan piring yang dibawanya ke meja makan.

Fajar nyengir. “Dari belakang, Bi. Habis silaturhim dengan Akang,” jawab Fajar. Pandangannya mengikuti langkah sang bibi yang melangkah ke meja makan.

Berucap kata “Akang”, muka Fajar sumringah. Mendapati sang Bibi yang masih di meja makan, Fajar mendekat pada Anita. Ia mendekatkan badannya pada sang sepupunya itu.

“Dari belakang, habis mengobrol dengan Akang,” bisik Fajar mengulangi jawabannya barusan untuk sang Bibi. Tapi kali ini, jawaban lirih itu khusus untuk Anita. Fajar nyengir.

Seperti ada hentakan di dada Anita. Setelah sebuah hentakan itu, detak dadanya perlahan menyepat. Ingin rasanya dia merubah raut wajahnya. Ingin rasanya dia melepas senyum bahagia pada bibirnya. Namun sayang, waktunya tidak tepat. Anita tahu, justru hal itu yang sangat diinginkan oleh Fajar. Karenanya, sekuat tenaga Anita menahan senyumnya untuk tidak keluar.

Mendapati sang sepupunya yang cantik jelita tidak merespon, Fajar meleos kembali. Ia melangkah menjauh dari Anita. 

Anita merasa lega dengan menjauhnya Fajar. Ia sudah tidak kuat untuk segera mengeluarkan senyumnya yang tadi ditahan. Anita tersenyum dengan aroma lega yang bercampur bahagia. Akhirnya, tersalurkan sudah rasa dalam hatinya pada sebuah senyumnya. Namun siapa sangka, seorang pemuda yang dianggap telah menjauh itu kembal lagi. Ia kembali dengan cepat sekali. Sampai-sampai Anita tidak menyadari hal itu. Wajah Fajar tepat berada di samping Anita. Ia sedang menatap lekat sebuah senyum yang tersungging di bibir Anita. 

Anita melotot kaget. Setelah itu tersipu malu. 

Fajar nyengir. Ya, hanya nyengir saja menatap Anita, sang sepupu yang cantik jelita.
***