Senin, 30 Oktober 2017

Going Extra Miles


Selepas mengajar di kelas XII IPS 2, saya ada jam lagi di kelas saya. Kelas X IPS 1. Sebelum masuk, saya rehat sejenak di kantor guru.

"Pak Niko, saya lupa, ini ada titipan dari anak kelas sepuluh," ujar Pak Prio Purwanto. Guru matematika yang duduk tepat di samping kanan saya.

Pak Prio menyerahkan bungkusan kripik ukuran jumbo.

"Dari siapa Pak?"

"Aduh, saya lupa orangnya."

"Dari anak saya bukan? Kelas sepuluh IPS satu?"

"Aduh, saya lupa. Saya belum kenal anaknya, hehe."

***

"Assalamualaikum!" Sapa saya di pintu kelas.

"Walaikumussalaaam Stadz!" Jawab beberapa anak serempak. Sisanya masih asik mengobrol.

BRUK BRUK BRRUKK

Enam sampai delapan siswa setengah berlari menghampiri saya. Mereka berebut mencium tangan kanan saya.

"Kripik sudah diterima Stadz?" Tanya seorang siswa yang lebih dulu dapat tangan saya.

Saya mengernyitkan dahi. Mencerna pertanyaan.

"Oooh, kripik yang bungkusnya besar?"

"Iya Stadz."

"Sudah. Terima kasih ya. Itu dari siapa?"

"Dari kami Stadz."

"Kami?"

"Iya. Itu hadiah untuk kelas kita. Kita dapat penghargaan kelas paling disiplin apel pagi. Tadi hadiahnya dapat banyak. Itu satu buat Ustadz."

"WAH!!!!"

Saya terkejut. Bukan karena hadiahnya. Tapi karena penghargaan yang diraih kelas kami. Kelas X IPS 1.

Senyum saya mengembang. Pokoknya, sebelum saya instruksikan anak-anak ke perpustakaan untuk reading time pada jam wali kelas siang ini. Saya harus bicara dulu dengan mereka. Harus. Tentang satu hal saja. Ya, tentang satu hal saja. Tidak lebih.

***

"Oke. Agenda kita hari ini adalah reading time di perpustakaan. Namun sebelumnya, ada satu hal yang ingin saya sampaikan."

Masih ada sedikit obrolan di dalam kelas. Serupa suara lebah yang mendengung.

"Sssssstttt." Seorang siswa mendesis. Isyarat perintah diam.

Pelan-pelan kelas hening.

"Sebelumnya saya ingin bertanya dulu."

Para siswa melihat saya. Menunggu pertanyaan.

"Kira-kira, kenapa kelas kita bisa mendapat penghargaan kelas paling disiplin apel?"

"Karena kelas kita jarang telat Stadz!" Celetuk seorang siswa di pojok.

"Oke. Ada lagi?"

"Karena kita dipimpin oleh ketua kelas yang keren Stadz!" Celetuk siswa lain. Dia ucapkan sambil menunjuk ke arah ketua kelas.

"Hahahaha!" Kelas bergemuruh.

"Mmm, okeee," saya manggut-manggut sembari tersenyum.

"Ada lagi?"

"Karena do'a dari orang tua dan guru Stadz." Jawab yang lain.

"Cie cieee...," goda beberapa siswa.

"Ya ya. Itu benar. Perlu diketahui. Orang tua teman-teman itu selalu mendoakan yang terbaik untuk teman-teman. InsyaAllah saya saksinya. Boleh jadi penghargaan ini adalah salah satu jawaban atas doa orang tua teman-teman."

"Oke. Saya rasa sudah cukup. Sekarang saya ingin mencoba memberikan tambahan jawaban. Tapi saya ingin bercerita dulu."

Anak-anak merapihkan posisi duduk mereka.

"Dulu. Ada seorang remaja yang hobi bulu tangkis. Dia sangat rajin latihan dengan teman-temannya. Waktu latihannya adalah jam tujuh. Tapi dia datang lebih awal dari yang lain. Dia datang ke lapangan jam enam. Dia latihan sendiri sebelum latihan bareng teman-temannya. Begitu terus setiap waktu latihan. Hingga suatu hari. Apa yang terjadi pada remaja yang satu ini?"

Anak-anak tidak ada yang mau menjawab. Mereka hanya diam.

"Kemudian dia menjadi pebulutangkis nomer satu di dunia. Sekarang dia telah menjadi legenda hidup bulu tangkis Indonesia. Bahkan dunia. Siapakah dia?"

"Taufik Hidayat!" Jawab seorang siswa.

Saya menggerakkan telunjuk. Isyarat jawabannya belum tepat.

"Dia adalah peraih delapan kali juara All England. Tujuh diantaranya diraih secara beruntun."

"Rudi Hartono!"

"Benar! Dialah Rudi Hartono! Karena dia latihan lebih banyak dari yang lain, maka sekarang dia mendapatkan lebih banyak dari yang lainnya. Kuncinya adalah satu. Ketika kita melakukan lebih. Maka kita akan mendapatkan hasil yang lebih pula!"

"Masih ada lagi," ucap saya sambil menatap anak-anak.

"Acungkan tangan yang suka moto GP?"

Beberapa anak mengangkat tangan mereka.

"Acungkan tangan yang suka Valentino Rossi?"

Beberapa siswa mengacungkan tangan.

"Saya adalah penggemar Rossi. Tapi kali ini saya tidak akan bercerita tentang dia. Saya ingin bercerita tentang salah satu kompetitornya. Yaitu Lorenzo."

"Begini. Pada gelaran moto GP 2014. Juaranya adalah Marques. Keduanya Rossi. Dan ketiga Lorenzo. Saat itu, ada seorang wartawan yang bertanya kepada Lorenzo. Pertanyaannya adalah seperti ini: Apa yang akan Anda lakukan untuk gelaran moto GP tahun depan. Jawaban Lorenzo adalah seperti ini: Saya akan lebih banyak latihan dari yang lain. Lebih banyak berlatih untuk persiapan tahun depan. Kemudian, apa yang terjadi pada moto GP tahun 2015?"

Saya diam.

"Juara dunianya adalah Lorenzo."

Saya diam lagi.

"Lorenzo melakukan lebih. Lalu dia mendapatkan lebih."

Anak-anak melongo.

"Terakhir. Hari ini kelas kita mendapat penghargaan kelas paling rajin apel. Kenapa kira-kira?" Saya akhiri dengan pertanyaan. Sebuah pertanyaan yang tidak butuh jawaban.

"Ini karena kelas kita telah melakukan lebih dari yang lain. Sebab itu kelas kita mendapatkan hasil yang lebih pula."

"Sesungguhnya inilah satu pelajaran yang ingin saya sampaikan pada teman-teman. Yaitu melakukan lebih. Maka kita akan mendapatkan hasil yang lebih pula."

"Going Extra Miles!"

"Going extra miles-nya Rudi Hartono adalah latihan lebih awal. Dan dia sekarang menjadi legenda bulutangkis dunia. Going extra miles-nya Lorenzo adalah latihan lebih banyak. Dan pada tahun 2015 dia menjadi juara dunia Moto GP. Going extra miles-nya kelas kita adalah rajin apel pagi. Dan hasilnya sekarang kita menggondol predikat kelas terdisiplin apel! Alhamdulillah!"

"Ingat! Satu saja pelajaran hari ini! Going extra miles! Jika teman-teman ingin mendapatkan lebih! Maka harus berbuat yang lebih. Titik!!!!"

***

* Nurul Fikri, Sabtu, 9 September 2017

Mimpi

Ketika pertemuan sekolah dengan orang tua siswa, ada informasi menarik yang diungkapkan oleh Ibu Ani Hanifah saat memaparkan program bimbingan dan konseling sekolah. Intinya, ada beberapa persoalan siswa yang paling sering muncul. Peringkat tiga teratas adalah: Belum terbiasa tinggal di asrama, belum menemukan bakat dan minat yang dimiliki, dan belum menemukan orientasi masa depan/cita-cita. Dari tiga hal mendasar ini, kemudian mereka belum menemukan alasan kuat untuk selalu bergairah dalam menjalani hari-hari sekolah.

Saya manggut-manggut mendengar penjelasan Ibu Ani. Teringat saat kuliah BK di kampus dulu.

Kemudian saya teringat satu hal lagi. Yang masih ada kaitan antara kenangan masa kuliah dengan materi Ibu Ani. Adalah menemukan dan menguatkan cita-cita. Kala itu saya berbincang dengan Kang Jayus. Teman satu kosan yang sekarang sudah menjadi dosen muda di Surya Institut. Buah dari obrolan ringan itu kemudian membuat saya semakin bergairah untuk segera menemukan mimpi saya, lalu berjuang keras untuk menjadikannya nyata.

Oke. Saya akan coba. Saya akan coba menyampaikan kembali apa yang saya dapat dari Kang Jayus kepada anak-anak. Semoga mereka bisa merasakan apa yang dulu saya rasakan. Semoga siswa yang belum menemukan impian, segera berusaha untuk menemukannya. Dan semoga siswa yang sudah menentukan mimpinya, terus berusaha keras untuk segera mewujudkannya.

Ah, saya tak sabar ingin segera bertemu anak-anak. Tak sabar.

***

"Acungkan tangan bagi siapa saja yang sudah memiliki cita-cita?"

"Angkat tangan yang tinggi bagi siapapun yang sudah memiliki impian?!" Saya menegaskan.

Anak-anak mengangkat tangan mereka. Antusias!

"Oke. Turun." Saya menyisir wajah anak-anak satu persatu.

"Sekarang angkat tangan bagi yang belum memiliki mimpi, atau yang masih ragu dalam memilihnya?"

Pelan-pelan lima anak mengangkat tangan mereka. Ragu-ragu.

Saya menunjuk satu dari mereka. "Jika boleh saya tahu, kenapa belum memiliki cita-cita?"

"Masih ragu-ragu, Stadz, hehe." Jawabnya sambil menyeringai. Tidak yakin.

"Kamu kenapa?" Saya menunjuk yang lain.

"Bingung Stadz. Kebanyakan."

"Hahahaha." Kelas bergemuruh. Siswa yang satu ini memang tidak jarang membuat kelas dihias tawa karena celotehnya.

"Yaa yaaa," saya manggut dan tersenyum ikut terhibur.

Saya berjalan ke meja. Mengambil dua lembar kertas kosong yang sudah saya siapkan. Lalu kembali ke depan kelas.

Satu lembar kertas ada di tangan kanan saya. Satunya di tangan kiri. Kemudian bersamaan saya remas keduanya. Anak-anak melihat apa yang saya lakukan. Terfokus pada tangan saya yang meremas kertas. Mereka diam saja. Dari warna wajahnya, tampaknya mereka penasaran dengan apa yang akan saya lakukan.

"Saya minta dua orang untuk membantu saya. Silahkan dua orang ke depan!"

Dua siswa beranjak maju. Saya minta mereka berdiri berseberangan. Satu di pojok kanan. Satunya di pojok kiri.

Kelas mendesis oleh bisikan. Bisikan anak-anak yang menertawakan dua temannya di depan. Akan diapakan mereka? Mungkin itu tanya dalam kepala mereka.

"Coba teman-teman perhatikan dua bola kertas ini!" Saya angkat bola kertas di tangan saya. "Ini apa?"

"Bola kertas Staaaaadz," jawab siswa berjamaah.

"Benar. Sekarang saya akan berikan dua bola ini pada teman kita," saya melangkah ke pojok kanan. Memberikan bola pada siswa yang berdiri. Dia menerima dengan wajah yang masih bingung. Masih belum paham maksudnya.

"Oke teman-teman. Sekarang saya minta semuanya perhatikan dua teman kita yang ada di depan. Perhatikan juga dua bola kertasnya. Perhatikan apa yang akan saya perintahkan. Semuanya. Jangan terlewatkan momen apapun, meski satu detik saja. Lalu di akhir saya minta ada yang bisa menarik kesimpulan dari simulasi ini."

"Baik. Ini instruksi pertama saya." Saya memberi jeda. Melihat wajah-wajah di hadapan saya. "Bagi yang pegang bola. Saya minta lemparkan satu bola!"

"Kemana Stadz?" Tanya siswa yang pegang bola. Wajahnya penuh tanya.

Saya tidak jawab. Hanya tersenyum saja. Langkah pertama simulasi ini berhasil.

"Saya minta lemparkan satu bola!" Saya mengulang perintah saya.

"Kemana Stadz?" Dia bertanya lagi.

Saya tidak jawab.

"Silahkan lemparkan satu bola!" Sekarang saya melihat wajah yang memegang bola. Dia melihat saya. Ada pertanyaan pada sorot matanya. Kemana Stadz? Saya jawab dengan gestur terserah. Dengan muka masih bingung dia ragu-ragu melempar bola kertas ke depan.

"Oke!"

Saya kembali melihat anak-anak. Rupa-rupa wajah mereka. Ada yang mengernyitkan dahi. Menyipitkan mata. Mengangkat alis. Mereka mencoba mencari maksud.

"Instruksi selanjutnya. Saya minta lemparkan bola kedua pada teman kita yang sedang berdiri di sana!" Saya menunjuk siswa di pojok kiri depan.

TUWIIIIING!

Bola kertas terbang ke seberang kiri. Mengenai tubuh yang mematung berdiri.

Saya diam beberapa detik. Melihat wajah siswa satu Persatu. Senyum mulai terlukis pada beberapa bibir mereka. Ada yang mengangguk-angguk seperti sudah memecahkan sebuah teka-teki berhadiah besar.

Saya masih diam.

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

"Angkat tangan yang paham dengan arti dari simulasi ini?"

Tujuh siswa mengangkat tangan. Berebut ingin ditunjuk.

"Kamu!" Saya menunjuk yang acungan tangannya paling tinggi.

"Lemparan pertama belum jelas tujuannya. Jadi bingung akan melempar kemana. Tapi lemparan kedua, karena tujuannya sudah ada. Bola langsung dilempar pada instruksi pertama."

"Lantas apa artinya?"

"Kita harus memiliki tujuan yang jelas. Kita harus memiliki impian yang jelas. Supaya kita tidak bingung dalam menjalani hidup ini." Jawabnya yakin.

"Yakiiiin?" Saya menguji.

"Yakin Stadz!"

"Yang lain bagaimana?"

"Iya Stadz. Sama. Setujuuu."

"Oke. Kalau memang seperti itu. Lalu apa yang harus teman-teman lakukan sekarang?"

"Miliki cita-cita!"

Saya tersenyum puas. Jika digambarkan dengan sebuah kata. Kata itu adalah: Bahagia! Sungguh.

"Mulai hari ini. Diawali dari detik ini. Di kelas ini. Mari kita pilih satu impian kita. Yang sudah, silahkan perkuat lagi. Bagi yang belum, tentukan impian itu sekarang juga!"

Pada akhir sesi. Saya membagikan kertas pada anak-anak. Saya perintahkan untuk menuliskan impian mereka. Dengan jelas!

Di ujung waktu. Kami berfoto bersama. Menunjukkan mimpi-mimpi kami. Menunjukkan mimpi kami pada kamera. Menunjukkan mimpi kami pada dunia!

Setelah sesi foto bersama usai. Anak-anak kembali duduk.

"Oke teman-teman. Foto ini akan saya simpan baik-baik. Saya sangat berharap. Sepuluh atau dua puluh tahun yang akan datang. Ketika kita melihat kembali foto ini. Kita tersenyum mengenang memori hari ini. Sebab pada waktu itu kita semua sudah benar-benar membuat mimpi kita menjadi nyata!"

"Aamiin!!!!!!!" Teriak semua siswa.

Saya melihat foto di hape saya. Lalu tersenyum. Sebab di antara anak-anak. Ada saya di sana. Ikut menggenggam sebuah kertas yang ada tulisannya. Saya tidak mau kalah oleh mereka. Saya juga ingin terus menghidupkan impian saya. Terus. Terus sampai mewujud. Hehe.

***

Nurul Fikri, Cinangka, Serang, Banten. Senin, 21 Agustus 2017

Kecerdasan Sosial

"Saya adalah wakil orang tua teman-teman di sini. Jika teman-teman butuh bantuan atau apapun, silahkan ceritakan pada saya," ucap saya di sela-sela pembelajaran.

"Asiiiiiiik," ujar beberapa santri dengan bibir mengembang. Juga wajah sumringah.

"Tapi!" Saya mengangkat telunjuk. Tanda sebuah persyaratan. "Selama permintaan itu baik, dan saya bisa melakukannya. InsyaAllah akan saya bantu," saya melanjutkan kata.

"Kemudian. Karena saya adalah wakil orang tua. Jadi teman-teman juga harus nurut. Tentang apapun itu. InsyaAllah semuanya adalah untuk kebaikan teman-teman semua. Sebab tidak ada orang tua yang ingin anak-anaknya celaka."

"Yaaa...," duduk tegap beberapa siswa melemah. Namun, senyum mereka masih ada.

"Demi kebaikan."

"Iya Stadz."

***

"Saya ingin cerita."

Jika ada kata "cerita" dalam kalimat saya. Biasanya kelas menjadi hening. Para santri fokus melihat saya.

"Begini. Ketika sosialisasi international education program yang ke Jordan kemarin. Ada beberapa orang tua yang berharap dan bahkan menekankan agar pihak sekolah memberikan fokus lebih pada rasa persaudaraan antara santri yang ikut ke Jordan dengan yang tidak. Dan saya menangkapnya, sesungguhnya kalimat itu mengarah pada rasa persaudaraan pada semuanya."

"Kemudian. Seusai acara, saya sempat berbincang dengan salah satu orang tua teman-teman," saya berhenti sebentar. "Uniknya, isi obrolan kami memiliki inti yang serupa dengan harapan orang tua yang saya katakan tadi. Yang beliau tanyakan adalah bagaimana hubungan putranya dengan teman-temannya."

"Jika kita tarik sebuah kesimpulan, maka benang merahnya adalah kecerdasan sosial. Bagaimana sikap teman-teman pada orang-orang sekitar. Bagaimana kepedulian teman-teman pada kawan-kawan."

"Pertanyaannya. Mengapa yang dikhawatirkan dan ditanyakan orang tua teman-teman itu adalah rasa persaudaraan dan kepedulian teman-teman? Mengapa yang ditanyakan itu bukan bagaimana nilai akademik atau nilai pelajaran teman-teman?"

Mereka diam. Tidak ada yang menjawab.

"Karena kecerdasan sosial itu jauh lebih penting dari nilai rapot teman-teman."

"Saya sangat berharap. Mulai detik ini, kita semua harus saling peduli. Saling mengingatkan. Kita ikut senang saat teman senang. Kita sedih ketika teman sedih." Saya menekankan kalimat dengan sebuah kepalan tangan.

***

Esoknya. Ujian pertama akan kami mulai. Setengah jam sebelum kelas usia. Saya mengarahkan para santri untuk melakukan pemilihan perangkat kelas. Yakni ketua kelas dan jajarannya. Setelah diskusi tentang cara pemilihan, akhirnya kami putuskan dengan cara musyawarah mufakat.

Santri mulai bermusyawarah. Hasilnya mengerucut pada tiga nama. Dari sini diskusi mulai alot. Hingga akhirnya diputuskan untuk melakukan voting.

Voting dilakukan. Hasilnya disambut sorak riuh rendah. Saya hanya tersenyum melihat pandangan di hadapan saya. Ya, hanya tersenyum. Sebab tidak ada satupun santri yang menampakkan wajah tidak terima dengan hasil pemilihan. Tidak satupun.

Kelas kami tutup dengan foto bersama. Para santri yang terpilih sebagai perangkat kelas saya arahkan untuk jongkok/berdiri selutut. Sementara yang lain untuk berdiri di belakang.

"Ciiiirrss!" Titah saya sambil pegang kamera hape.

Bersamaan dengan senyum anak-anak di depan. Saya ikut tersenyum. Satu saja sumbernya. Adalah kebersamaan mereka. Memang banyak yang mengatakan bahwa hanya Allah yang tahu apa isi hati seseorang. Tapi, ustadz saya di pesantren dulu pernah berkata seperti ini. "Allah melihat hati. Manusia tidak bisa melihatnya. Tapi fisik itu (penampilan, ucapan, raut wajah, dll) menunjukkan bagaimana isi hati."

Alhamdulillah. Ujian pertama insyaAllah telah kamu lewati. Saya yakin, akan ada ujian lebih berat di depan nanti. Semoga kami bisa melaluinya. Meski saya yakin itu tidak mudah.

***

* Rabu, 2 Agustus 2017

Penghargaan Kecil

Berbekal sebuah kalimat seorang guru saat berbincang di kantor.

"Kelas sepuluh IPS tholib sekarang baik-baik. Beda dengan sebelum-sebelumnya," ujar seorang ibu guru.

CLING!

Sontak saya berhenti menulis. Pandangan beralih ke sumber suara. Ibu Wulastrina. Ya, kalimat ini dilantunkan sangat manis oleh Ibu Wulastrina. Yang biasa kami panggil Ibu Lastri, atau juga ustadzah Lastri.

Perlahan bibir saya melebar. Tersenyum diam-diam. Sebuah senyum bukan untuk siapa-siapa. Hanya senyum pertanda ada sebuah ide berkilau di dalam kepala. Akan saya gunakan kalimat ibu Lastri sebagai amunisi untuk membelai lembut hati anak-anak saya. Yang tiada lain adalah kelas sepuluh IPS yang barusan dibicarakan ibu Lastri. Tahun ini saya dapat amanah menjadi wakil orang tua untuk anak-anak kelas X IPS 1.

Pada dasarnya, siapapun suka jika dirinya dipuji. Meski pujian itu kecil dan sederhana. Seperti penghargaan verbal setelah mereka melakukan sebuah kebaikan. Biasanya, pujian itu akan menjadi pemancing untuk kebaikan-kebaikan berikutnya. Setidaknya begitulah yang saya tahu.

***

"Saya ada kabar baik untuk teman-teman semua. Untuk kelas kita," saya beri jeda. Sengaja. Supaya mereka penasaran.

Dua puluh lima pasang mata menatap saya serempak. Menunggu kalimat saya selanjutnya.

"Saya harap kabar baik ini cukup menjadi rahasia kelas kita saja."

Mereka masih diam memandang saya.

"Sepakat?" Saya menegaskan.

"Sepakaaaaaat," jawab anak-anak bersamaan.

"Begini. Kemarin saya dapat kabar dari beberapa pengajar yang sudah masuk kelas ini. Katanya, kelas IPS sekarang baik-baik. InsyaAllah lebih baik dari sebelum-sebelumnya. Bahkan, jika tidak salah dengar, katanya kelas ini lebih baik dari kelas baru lainnya."

Pelan-pelan senyum melengkung di bibir setiap anak. Melihat itu, bibir saya ikut melebar.

"Saya harap anggapan baik ini bisa menjadi pelecut bagi teman-teman untuk menjadi lebih baik lagi. Jika pun misalkan salah, semoga ini dapat menjadi motivasi bagi teman-teman untuk menjadikan anggapan itu menjadi nyata."

Anak-anak masih khusuk melihat saya.

"Sepakat?!"

"Sepakaaaaat!!!!" Ucap anak-anak berjamaah. Bahkan ada beberapa anak yang mengepalkan dan mengangkat tangan. Layaknya para mahasiswa yang tersulut semangatnya oleh pimpinan demo.

Alhamdulillah. Semoga pujian sederhana pada hari ini dapat menjadi penyengat mereka dalam melakukan hal baik lainnya. Semoga.

Saya akhiri kelas dengan mengingatkan anak-anak tentang kerapihan tata ruang dan kebersihan kelas. Juga tidak lupa saya ingatkan tentang program adiwiyata yang akan memberikan award kepada kelas paling rapih dan bersih.

***

Beberapa hari selepas saya sampaikan pujian, matahari kembali terbit di kelas kami. Sebuah pujian kembali hadir dari seorang guru. Adalah bapak Imam, atau Ustadz Imam. Beliau adalah penanggung jawab adiwiyata. Pujian itu sangat sederhana. Tapi saya yakin. Pujian kecil ini teramat sangat berarti bagi anak-anak saya.

"Kelas sepuluh IPS sudah bagus". Puji Pak Imam di grup whatsapp guru SMA. Tema pembicaraan saat itu adalah kebersihan kelas.

Binggo!

Segera! Segera akan saya sampaikan pujian ini pada anak-anak. Semoga setelah nanti saya sampaikan, akan ada keajaiban lagi yang bisa mereka ciptakan. Semoga.

Point penting yang ingin saya sampaikan pada tulisan singkat ini hanya satu saja. Bahwa terkadang sebuah pujian kecil itu dapat menjadi penyemangat dalam melakukan kebaikan lainnya. Semoga ini dapat menjadi pelajaran buat kita semua. Demikian.

* Jum'at, 28 Juli 2017