Senin, 18 April 2016

Kesehatan Kita, Juga Milik Mereka



           Seorang teman, namanya Eris, kawan satu kamar di daarul haliim. Mengirim sepotong kalimat yang tidak begitu panjang di grup whats app santri. Meski pendek,  tapi memiliki rasa yang sangat lezat menurut saya. Kurang lebih isinya seperti ini:

Mari jaga kesehatan. Sebab bukan hanya dirimu yang membutuhkan kesehatanmu. Tapi juga amanah yang sedang menggelayut di pundakmu. Masih ingat bagaimana dampak yang timbul ketika Pak Satim sakit? Sampah menumpuk di setiap depan rumah. Hingga kita harus membersihkannya sampai larut malam. Maka jagalah kesehatan. Tidak sekedar untuk dirimu. Tapi juga bagi amanah yang butuh kesehatanmu.

Sebuah deretan kata yang hanya terdiri dari beberapa kalimat. Tapi langsung menusuk hati kala saya selesai membacanya. Tidak main-main. Ujung pisau kalimat itu menghujam ke dasar hati. Bagaimana tidak? Sebab saya adalah satu dari beberapa aktor dalam peristiwa yang Eris kutip dalam kalimatnya. Agar lebih jelas, saya akan coba kisahkan lagi episode itu. Begini:

Adalah pak Satim. Usianya setengah baya. Beliau adalah tim keamanan sekolah daarul fikri yang lokasinya hanya sepelemparan batu dari ponpes daarul haliim. Tugas jaga sang juru keamanan ini dimulai dari setelah isya hingga menjelang adzan subuh. Begitu terus setiap hari. Selain pekerjaan pokok ini, pak Satim juga memiliki pekerjaan sampingan. Yaitu sebagai petugas kebersihan komplek perumahan sekitar daarul haliim. Saban pagi pak Satim mendorong gerobak berkeliling komplek, untuk mengambil plastik sampah yang sudah setia menunggunya di depan rumah warga. Butuh beberapa kali balikan bagi pak Satim hingga plastik-plastik itu ludes dan berpindah tempat ke pembuangan akhir. Menjelang siang hingga sore hari, jika sedang ada di asrama, tidak saya temukan lagi sosok pak Satim. Sepertinya itu adalah jam istirahat beliau. Penampakan pak Satim dapat dilihat lagi malam hari. Di pos jaga depan sekolah daarul fikri.

Suatu hari, pak Satim sedang tidak sehat. Hingga menyebabkannya memohon izin dari pekerjaannya sebagai penjaga malam. Otomatis tugasnya sebagai juru kebersihan juga alpa. Kemudian apa yang terjadi dengan pos satpam? Tentunya sekolah menugaskan pengganti selama pak Satim sakit. Lalu bagaimana dengan nasib plastik sampah di setiap rumah warga? Hari pertama ketiadaan pak Satim belum terasa efeknya. Tapi apa yang terjadi setelah hari-hari berikutnya? Pelan-pelan plastik sampah menumpuk di halaman depan rumah warga. Hingga akhirnya asatidz daarul haliim mewasiatkan kepada para santri ikhwan dewasa untuk mengamalkan ilmu yang telah dimiliki. Satu kalimat saja yang dikutip. Yaitu: Kebersihan adalah sebagain dari iman. Alhasil, pasukan santri ikhwan turun. Kami menyingsingkan lengan baju. Pada kalimat “menyingsingkan lengan baju” ini merupakan kalimat denotatif. Kalimat dengan arti yang sebenarnya. Bukan apa-apa, kami khawatir baju kami kotor dicium sampah, hehe... Kami lembur membasmi sampah hingga larut malam. Setelah rampung, kami langsung tepar.

Kembali pada kalimat dari whats app Eris di atas. Kisah tentang pak Satim ini bisa kita jadikan sebagai pelajaran. Pelajaran agar kita selalu menjaga kesehatan diri. Tubuh adalah amanah dari Allah. Yang namanya amanah tentunya harus kita jaga agar tubuh senantiasa dalam kebugaran. Banyak peluang kebaikan yang bisa kita lakukan dengan kondisi tubuh yang prima. Lain halnya jika tubuh kita sedang sakit. Akan terasa berat meski hanya untuk menggeser pintu kebaikan supaya bisa terbuka. Lebih jauh lagi, dan ini adalah memang maksud utama dari tulisan kali ini. Sebab bukan hanya diri kita yang membutuhkan kesehatan kita. Tapi juga amanah yang sedang menggelayut di pundak masing-masing dari kita. Mari kita jaga kesehatan. Dengan rutin berolahraga, juga mengkonsumsi makanan sehat. Serta masih banyak lagi upaya untuk memperoleh kesehatan lainnya. Jika sekiranya kita tetap disapa sakit padahal telah sekuat tenaga dan jiwa menjaga kesehatan. Itu adalah lain cerita. Allah pasti memiliki rencana lain. Tentunya adalah rencana terbaik bagi kita. Tugas kita adalah hanya berusaha saja. Berusaha untuk menunaikan amanah terhadap tubuh kita. Begitu.
***

Sabtu, 09 April 2016

Bersihkan Dulu, Lalu Berhias



Seperti biasa, malam Jum'at adalah jadwal para santri laki-laki besar ponpes Daarul haliim berkumpul di teras depan rumah Kyai Rofiq. Agendanya adalah mengaji. Lebih tepatnya mengaji khusus untuk para santri ikhwan generasi pertama.

"Untuk ngaji malam Jum'at di rumah saya, sementara santri ikhwan yang besar-besar dulu," kurang lebih kalimat ini yang dulu kyai Rofiq ucapkan pada kami.

Satu kebiasaan kyai Rofiq sebelum mulai pengajian adalah membawa setumpuk makanan. Dan yang tidak pernah terlewatkan adalah buah-buahan. Biasanya kyai membawa nampan dari dalam, kemudian meletakan makanan dan buah-buah di nampan itu pada meja di hadapan para santri. "Silahkan dimakan dulu," tawar kyai Rofiq.

Jika sudah begitu, biasanya santri saling tatap. Tidak ada bahasa memang, tapi mata mereka yang berbicara. "SIKAT!" mungkin itu arti dari tatapan para santri. Awalnya, tidak ada pergerakan dari santri. Sependek pengamatan saya, tangan para santri mulai ada pergerakan ketika kyai Rofiq menawarkan untuk yang kedua kalinya. "Silahkan dimakan!". Pelan-pelan tangan santri merayap di atas meja. Tentunya dengan mata masih saling memandang. Saat kyai beranjak masuk rumah. Tanpa ada komando, kecepatan tangan santri seolah menyerupai kecepatan cahaya. Serempak mereka menerkam isi nampan. Tidak terkecuali juga tangan saya, hehe.

Episode kali ini, kyai Rofiq menjelaskan tentang kebersihan diri.

"Kata imam Ghozali, agama itu dua, yaitu perintah dan larangan. Dari kedua hal ini, mana yang harus kita dahulukan? Yang harus kita dahulukan adalah larangan," jelas kyai Rofiq. Kami, para santri, duduk terpaku menatap sang kyai.

"Imam Ghozali juga berkata, bahwa asal agama itu adalah larangan. Perintah itu terbatas waktu dan tempat. Sementara larangan tidak." Jelas kyai Rofiq menambahkan.

                "Contoh, kita diperintahkan untuk solat. Solat itu ada waktu-waktunya. Dalam sehari kita diwajibkan solat lima kali. Setiap solat ada waktunya masing-masing. Kemudian, adakah solat setelah solat subuh sampai terbit matahari? Lalu adakah solat setelah ashar hingga terbenam matahari? Tidak ada kan? Lha, inilah maksud dari perintah itu ada batas waktu dan tempatnya."

"Kemudian, setiap bulan Ramadhan, kita ada kewajiban membayar zakat fitrah. Lalu apakah bisa kita berzakat fitrah di bulan selain Ramadhan? Tentu tidak akan bisa kan? Inilah maksud perintah terbatas waktu dan tempat itu."

"Sekarang kita berpindah pada larangan," kyai Rofiq memberi jeda. Sekedar membiarkan kami untuk berpikir. "Misalkan berzinah. Melakukan perzinahan itu haram bagi siapapun. Baik muda maupun tua. Apakah kemudian berzinah boleh dilakukan saat seseorang sudah mencapai usia 40 tahun misalnya? Tidak kan?! Tetap saja tidak boleh. Inilah bukti bahwa larangan tidak terbatas waktu dan tempat." jelas kyai Rofiq. Mata beliau menyisir mata para santri. Saya menunduk.

"Dari sini kita tahu bahwa, menghindari keharaman dan kemaksiatan, itu harus didahulukan dari melakukan ibadah. Membersihkan hati dan diri itu harus didahulukan dari menghias. Ibaratnya seperti ini, apa gunanya kita memakai baju bagus, jika kita belum mandi?" kyai memberi pertanyaan retoris.

"Nabi berkata, takutlah dengan perkara haram, maka engkau akan menjadi orang yang paling ahli ibadah." kyai mengutip kalimat Rasul. Lalu melanjutkan ucapannya. "Kuncinya adalah selalu merasa diawasi Allah. Jika sudah begitu, insyaAllah tidak akan melakukan maksiat. Lalu bentuk syukurnya adalah dengan melakukan ibadah kepada Allah."

"Baik, segini saja dulu untuk ngaji malam ini. Sedikit, tapi mudah-mudahan meresap ke dalam hati. Seperti biasa, setelah ini kita akan dzikir bersama." kyai Rofiq menutup pengajian.

Kyai masuk rumah. Mematikan lampu teras depan. Biasanya kami dzikir dengan lampu padam. Disela-sela dzikir, sebagian santri terisak. Mereka menangis. Saya selalu iri pada mereka. Saya juga ingin seperti mereka.

"Silahkan menangis, sebab hati yang lembut itu mudah menangis jika ingat dosa. Air mata yang menetes karena takut dosa, kelak akan menjadi penghalang pemiliknya masuk neraka," lirih kyai Rofiq di tengah dzikir. "Hati yang keras adalah hati yang sulit nangis meski ingat dosa," kyai menambahkan. Mendengar kalimat kyai, saya takut, ingat dosa yang menumpuk, dan akhirnya mewek juga. Hehe.

                Masya Allah, banyak pelajaran berharga yang saya peroleh dari pengajian malam Jum'at kali ini. Dan kalimat yang masih terngiang di telinga hingga detik ini. Bahkan hingga detik saya membuat tulisan ini. Adalah "Apa gunanya memakai baju bagus, jika kita tidak mandi. Membersihkan, itu didahulukan daripada menghias diri". Wallahu'alam.
***