Kamis, 28 Juni 2012

Tentara yang Tumbang

 Sore hari. Aku baru tiba dari setelah main sepak bola pada kompetisi antar angkatan di jurusanku. Alhamdulillah pada pertandingan tadi, angkatanku memenangkan permainan itu. Insya Allah, jika sekali lagi saja angkatanku menang, maka tiket babak final akan kami genggam. Aku pulang ke asrama dengan wajah merona.

 Setibanya di asrama, aku langsung meluncur menuju kamarku. Saat melihat hape, ada pesan masuk. Saat dibaca, pesan itu berisi ajakan untuk merumuskan langkah-langkah sebuah organisasi. Organisasi yang roda-roda penggeraknya adalah para santri program pesantren mahasiswa (PPM). Termasuk aku didalamnya. Acaranya akan dimulai setelah isya di Daruul Hajj. Aku termenung mengingat-ingat agendaku. Malam ini, setelah isya. Insya Allah kosong. Berarti, kemungkinan besar aku akan hadir.

 Segera aku mandi. Sebentar lagi tiba waktu magrib.
***

 Dua hijab besar berdiri kokoh. Mereka ibarat tembok berlin yang memisahkan Jerman Barat dan Jerman Timur dulu. Kedua hijab itu memisahkan kelompok santri laki-laki dan santri perempuan. Mereka terbuat dari kayu yang bercatkan warna coklat. Kami, para santri, duduk pada tempat kami masing-masing. Jumlah santri perempuan lebih banyak dibanding dengan santri laki-laki.

 Seorang laki-laki bertubuh subur duduk di depan kami. Ia mengenakan sarung, baju koko dan peci hitam. Ada tonjolan sedikit pada atas peci yang ia kenakan. Ia adalah ketua organisasi terpilih untuk periode tahun ini.

 Sang ketua terpilih membuka acara. Ia mulai dengan beberapa pengantar. Hingga masuk pada acara inti, yaitu pemilihan kepengurusan inti dan koordinator setiap divisi. Untung saja, sang ketua pandai dalam membawa suasana. Jadi, acara ini terasa seperti sedang mengobrol biasa saja. Tidak sedikitpun muncul suasana tegang. Bahkan, sesekali kami dibuat tertawa oleh celotehnya ketua.

 Beberapa santri ditunjuk untuk menempati pos-pos yang ada. Seperti wakil ketua, sekretaris dan bendahara. Setelah dimusyawarahkan terlebih dahulu, terpilihlah orang-orang yang mengemban amanah itu. Selanjutnya, adalah pemilihan untuk koordinator tiga divisi yang ada dalam struktur organisasi. Disinilah terjadi musyawarah yang alot. Mengapa? Sebab beberapa orang yang ditunjuk untuk menjadi koordinator, menolak semuanya. Sayangnya, aku adalah salah-satu dari pemuda yang ditawari itu.

 “Kang, gimana? Bersedia ya?” tawar sang ketua.

 Aku menggelengkan kepala.

 “Gimana Kang?” tanya ketua sekali lagi. Tampaknya ia hendak menegaskan.

 “Jangan saya,” jawabku dengan ditegaskan oleh lambayan tangan.

 “Kalo boleh tahu, alasannya apa Kang?” ketua meminta alasan.

 “Punten sebelumnya,” aku memberi jeda,”Begini. Kedepannya saya kan lagi ada agenda. Ada sesuatu yang harus saya raih. Jadi saya harus fokus pada agenda saya itu. Yang saya takutkan nanti amanah untuk menjadi koordinator ini akan terbengkalai karena perhatian saya terbagi. Jadi, saran saya mah, yang lain aja yang ditunjuk. Akan tetapi, hal ini bukan berarti saya nanti tidak ikut bekerja menjalankan organisasi ini. Saya akan tetap membantu. Cuman, tidak sebagai koordinator, hanya sebagai anggota saja,” aku memberikan alasanku. Mendengar semua itu, sang ketua menerimanya. Akhirnya aku tidak jadi ditunjuk sebagai koordinator. Aku lega, sebab aku bisa fokus untuk meraih mimpiku.

 Musyawarah masih berjalan. Malam bertambah larut. Akhirnya, ada juga santri yang bersedia untuk mengemban amanah sebagai koordinator dari ketiga divisi di struktur organisasi. Acara ditutup. Sebelum bubar, ada beberapa pengumuman dari beberapa santri. Setelah itu, kami pulang. Santri aktif, pulang ke asrama. Santri alumni, meluncur menuju kos-kosan mereka masing-masing.
***

 Tidak seperti biasa. Malam ini ghurfahku penuh dengan santri. Mereka asyik dengan obrolannya. Aku tidak ikut pada perbincangan itu, karena masih ada tugas untuk menyelesaikan laporan hasil Praktikum di Lombok-Bali beberapa waktu lalu. Luar biasa. Aku dibuat mabok karena tugas ini. Ditambah lagi pengumpulannya yang hanya tinggal dua hari saja. Aku harus sprint. Berlari sekencang-kencangnya. Sekencang yang aku mampu.

 Teman-teman larut pada obrolan mereka. Aku sedikit terganggu. Tidak baik jika aku melanjtukan tugas ini. Pikiranku sudah tidak konsen lagi. Aku berhenti mengetik tugas. Mataku tertuju pada modem warna putih yang tergeletak tak bertuan. Aku ambil modem itu, lalu berselancar di dunia maya. Mencoba menghilangkan rasa penat ini.

 Aku menelusuri beberapa situs terkenal. Termasuk situs jejaring sosial. Dan, tak sengaja, aku membaca tulisan seorang santri perempuan. Ia satu program denganku di PPM. Aku eja tulisan itu.

    Kenyataan di lapangan tidak sesuai dengan apa yang dikatakan
    Jundulloh yang tumbang


 Kurang lebih seperti itu kalimatnya. Aku baca lagi.

    Kenyataan di lapangan tidak sesuai dengan apa yang dikatakan
    Jundulloh yang tumbang


 Aku menelan ludah. Aku baca lagi.

    Kenyataan di lapangan tidak sesuai dengan apa yang dikatakan
    Jundulloh yang tumbang


 Aku tersentak. Berulang kali aku menelan ludah. Aku tidak tahu kata-kata itu ditujukan kepada siapa. Namun, aku merasa ada gejolak aneh dalam jiwa saat aku membacanya. Seperti ada puting beliung yang mengacak-acak pikiranku. Sungguh, aku merasa malu karenanya, karena makna dari tulisan itu. Terlebih saat teringat kejadian yang barusan aku alami, yakni, saat aku menolak untuk dijadikan koordinator untuk divisi kajian dan dakwah pada organisasi PPM. Aku menolak karena alasan ingin fokus pada kegiatan pribadiku saja. Aku malu. Aku sungguh malu. Siapa diriku ini, hingga berani-beraninya menolak tugas mulia itu??!!

 Ketika aku ditunjuk dan menolak begitu saja. Hanya sedikit rasa bersalah yang kurasakan. Itupun hanya dua alasannya, yaitu karena tidak enak kepada teman-teman santri lain yang telah mempercayakan tugas itu kepadaku. Dan merasa sudah satu langkah lebih baik dari para santri yang tidak hadir sama sekali (santri yang tidak hadir, padahal tidak sedang ada kegiatan yang penting). Hanya dua itu saja. Aku lupa dengan rasa maluku pada Yang Menciptakan Diriku, karena telah lupa dengan tugasku sebagai makhluk-Nya. Aku melupakan perkara penting itu. Aku telah berdosa.

 Dengan bodohnya aku meninggalkan jalan mulia ini hanya karena alasan remeh-temeh atas nama mimpi. Atas nama cita-cita. Padahal, keduanya bisa saja aku jalankan secara berbarengan. Aku memang bodoh dan tidak tahu rasa terima kasih. Aku egois karena hanya memikirkan kepentinganku saja. Aku egois!

 Terima kasih Yaa Allah. Engkau telah menegur diri yang lemah ini. Terima kasih karena Engkau telah menggerakan hati seorang santri untuk menuliskan suasana hatinya itu, dan Engkau menuntunku untuk membacanya. Mohon ampuni diri ini, Duhai Sang Maha Pengampun. Ampuni hamba.

 Semoga kedepannya, tidak akan pernah ada lagi seorang laki-laki yang bermental lemah. Semoga semua laki-laki memiliki mental yang kokoh dan berani berjuang demi kebangkitan Islam yang damai. Semoga juga, semua perempuan di kolong langit ini berani menyuarakan saat menemukan kebatilan.

    Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan     meneguhkan kedudukanmu. (Muhammad: 7)     

Rabu, 27 Juni 2012

Tak Secerah Langit Pagi Ini

Sebut saja namanya Mawar. Aku mengenalnya saat awal-awal masuk SMA. Ketika itu aku sedang menunggu angkot di halte sekolah, berdua saja dengan teman semasa SMP. Saat aku sedang mengobrol sembari menunggu mobil yang belum kunjung juga datang, seorang teman SMP lain mengahampiri kami. Dia datang bersama dua orang siswi. Bertambah satu peserta obrolan ini. Sementara kedua siswi yang hadir di antara kami, mereka hanya sesekali tertawa menguping. Sesekali juga aku dan kedua siswi itu saling melempar senyum. Itulah awal aku mengenal Mawar.

Mentari timbul tenggelam. Perlahan purnama menipis. Entah sudah berapa puluh, atau ratus kali aku pulang pergi dengan rute rumah-sekolah. Hingga tibalah pada hari itu. Hari yang mana aku mendapat kabar dari seorang teman satu kelas. Kelas 10 A saat itu. Sebuah kabar yang membuat dahiku melipat. Membuat hati ini bertanya-tanya.

 “Ko, istirahat ini nanti ke perpus ya!” pinta seorang teman perempuan satu kelas itu.

 Aku hanya memandang temanku itu saja. Aku belum menjawab permintaannya.

 “Udah jangan banyak mikir, pokoknya ke perpus dulu aja!” ujarnya dengan nada setengah memaksa.

 “Memang ada apa?” akhirnya aku bertanya juga.

 “Ada yang mau kenalan.”

Kenalan!!?? Dengan diriku? Kenapa harus direncanakan segala? Kenapa harus melalui perantara? Padahal akan lebih nyaman jika langsung dan apa adanya. Tapi, wajar, mungkin karena dia adalah seorang wanita, yang mana tingkat rasa malunya lebih besar dari kaum laki-laki. Namun, jika saja aku adalah temannya wanita yang sebentar lagi akan berkenalan denganku ini. Maka aku akan sangat dengan senang hati untuk menyarankan dia agar berkenalannya seolah tidak direncanakan. Mengalir begitu saja. Karena setahuku, berkenalan dengan direncanakan, apalagi melalui perantara itu akan terasa canggung. Kikuk. Seperti ada maksud lain dibalik acara perkenalan itu.

 Dan akhirnya, saat jam istirahat, akupun meluncur menuju perpustakaan. Tidak sedikit siswa kutemui di gudang buku itu. Mereka menjalani aktivitas mereka masing-masing. Di antara banyaknya siswa itu, aku melihat dua orang siswi yang duduk berhadapan pada sebuah meja baca. Aku mengenal satu di antaranya. Dialah teman sekelasku yang tadi memberi kabar bahwa ada seseorang yang ingin kenalan denganku. Dan wanita satunya, samar-samar aku seperti mengenal dia. Iya, benar, aku memang menganalnya. Dia adalah siswi yang beberapa bulan lalu aku temui di halte SMA. Salah-seorang dari dua siswi yang datang dengan teman SMPku.

 Aku masih berdiri memandang mereka dari kejauhan. Mereka juga melihatku. Teman sekelasku tersenyum. Seakan dia memberi isyarat kepadaku untuk segera datang mengahmpiri. Sementara wanita di hadapannya kembali membuang wajah. Ia menundukan kepalanya. Terlihat, bibirnya sedang mengulum senyum. Senyumnya itu berirama rasa malu.

 Aku menghampiri kedua wanita itu. Aku menyapa, lalu duduk pada kursi yang tidak jauh dari mereka. Tapi tidak juga terlalu dekat. Kami masih berada pada satu meja besar yang sama. Dan akhirnya, terjadilah perkenalan itu disana. Di perpustakaan sekolah. Ia, di antara ribuan buku yang membisu.
Benar saja perkiraanku sebelumnya. Acara ini pasti akan beraroma rasa canggung. Terlebih lagi wanita di hadapanku ini. Iya, Mawar tampak grogi sekali. Apalagi setelah teman satu kelasku pamit untuk meninggalkan kami berdua saja di meja besar itu. Saat itu, akupun jadi ikut canggung. Aku minta temanku untuk tetap menemani kami. Tapi dia menolaknya. Aku melihat Mawar di hadapanku, dia hanya menunduk.

 Untuk beberapa saat sepeninggal teman sekelasku, kami hanya diam saja. Namun, karena merasa tidak enak, dengan keraguan yang menyelimuti, akhirnya aku angkat bicara. Aku mencoba sebisaku agar suasana tidak sebeku di Kutub Selatan. Perlahan, kami menikmati perbincangan itu. Sampai bel masuk berbunyi. Kami keluar, menjalani aktivitas kami masing-masing. Aku menuju kelasku, dan Mawar memasuki kelasnya. Kelas 10 B, tetangga kelasku. Kami belajar lagi.

 Mentari timbul tenggelam lagi. Rembulan membesar dan mengecil berulang kali. Selama waktu itu, tidak jarang Mawar mengajak diriku mengobrol. Sekali, dua kali, tiga kali dan seterusnya. Jujur, aku merasa ada sesuatu yang janggal disana. Tidak jarang juga aku memberikan alasan agar aku tidak berduaan dengannya. Namun, karena permintaan itu berulang kali. Sesekali aku penuhi permintaannya itu. Untuk menghindari sesuatu yang tidak diinginkan, aku memilih perpustakaan untuk tempat pertemuan itu.

 Waktu terus berjalan, dan masih seperti itu perlakuannya kepadaku. Bahkan Mawar tampak lebih baik dari sebelumnya. Aku jadi lebih sering mendapatkan hadiah yang tak terduga. Seperti saat itu.

 “Suka bola ya?” tanya Mawar padaku.

 “Iya.”

 “Klub favoritnya apa?”

 “Inter Milan.”

Beberapa hari selepas percakapan itu, aku menerima sebuah kado yang dibungkus dengan sangat rapih dan indah. Saat kubuka. Isinya adalah handuk bergambar lambang klub Inter Milan. Tidak berhenti sampai disitu, masih banyak lagi kejutan-kejutan lainnya. Sungguh, aku merasa ada yang salah disini. Dan akhirnya kau berusha untuk menjaga jarak. Meskipun akhirnya aku tidak berhasil, karena sepertinya Mawar masih tetap berusaha menghubungiku berulang kali.

Suatu ketika, ditengah-tengah perbincangan kami, Mawar mengungkapkan sesuatu. Saat ku selidiki dari redaksi dan nada bicaranya, tampaknya dia akan mengarahkan pada perbincangan yang selama ini aku sangat takuti. Aku harus melakukan sesuatu! Pikirku ketika itu. Mau tidak mau, akhirnya aku alihkan arah perbincangan itu. Dan, Mawar mengikuti arus perbincanganku. Dia melupakan apa yang akan diucapkannya tadi. Untuk sementar itu, aku selamat. Entah nanti?

Dan, hari kelulusan pun tiba. Setelah kami tidak lagi berada di sekolah yang sama, seiring berlarinya waktu, semakin berkuranglah intensitas Mawar menghubungiku. Dan, ketika aku berkuliah di kota kembang sekarang ini, hampir bisa dikatakan tidak lagi Mawar menghubungiku.

Namun, entah apa yang terjadi, belakangan ini Mawar mulai lagi menghubungiku. Dan, tibalah pada sebuah malam itu. Mawar menelfonku.

Seperti biasa, Mawar memulai pembicaraan dengan beberapa basa-basi. Lama kelamaan, tibalah pada saat-saat yang paling aku takuti.

“..........
Bersediakan menjadi pendamping hidup Mawar?
............,” ujarnya dengan sedikit terbata. GLEEK, aku menelan ludah. Akhirnya, aku mendengar apa yang selama ini aku takutkan.     

    “Kenapa? Apa?” aku mengungkap tanya. Entah, karena apa aku bertanya seperti itu. Apakah karena aku tidak mendengar apa yang tadi Mawar ucapkan atau karena aku memang pura-pura tidak mendengar.
Mendengar pertanyaanku, Mawar mengaku tidak berani untuk mengulangi ucapannya  yang tadi. Diputuskanlah pertanyaannya itu dia sampaikan lewat SMS. Obrolan via hape malam itu berakhir. Beberapa menit berselang, SMS Mawar masuk hapeku. Aku terseret pada pusaran kebingungan. Apa yang harus aku katakan padanya.

Namun, untung saja Mawar memberikan jeda waktu padaku untuk tidak menjawabnya langsung. Ia menyediakan dua hari untukku dalam mempertimbangkan permintaannya. Aku masuk pada kubangan yang aku sendiri tidak tahu kubangan apa.

Jarum detik berjalan terasa sangat lambat. Semenit seperti setahun. Se-jam menyamai lamanya satu abad. Otakku jungkir balik memikirkan jawaban terbaik yang akan aku berikan pada Mawar. Jawaban yang tidak boleh ada hati yang terluka. Dengan menikamkan pisau bismillah ke dalam hati, aku menulis surat kecil untuk Mawar.

Assalamu'alaikum Wr Wb...

Kepada Mawar, sahabat saya yang InsyAlloh tetap berada pada lindungan-NYA. Singkat saja, menanggapi SMS Mawar tempo hari, saya meminta maaf karena tidak bisa menjadi sopir untuk kendaraan Mawar yang akan menuju kepada tujuan baik itu. Semoga Mawar bisa segera mendapatkan sopir untuk kendaraan Mawar itu. Seorang sopir yang bisa mengantarkan Mawar kepada tujuan yang dirahmati Alloh SWT. Aamiin.


Wassalam
Sahabatmu.


Aku tidak tahu. Semoga surat ini baik untuk semuanya.

Tidak lama berselang, aku menerima surat balasan dari Mawar. Alhamdulillah, Mawar bisa menerima kenyataan ini. Walaupun memang, aku dapat membaca sedikit nada kekecewaan dari surat balasannya. Aku tidak bisa membohongi hatiku. Hampir saja aku meneteskan air mata setelah membaca surat mini itu.

Untuk menghibur diri, aku berpetualang di dunia maya. Aku tersesat di sebuah situs jejaring sosial. Aku menemukan sebuah tulisan pendek. Entah kenapa, aku ingin sekali membacanya.

pagi ini begitu cerah. .
Tapi tidak sama dengan suasana hatiku. .
Terima kasih Yaa Rabb,
Hari ini ku dapatkan jawaban dari-Mu, setelah 7 tahun penantianku. .
Yaa Allah...
Peliharalah hatiku dari rasa kecewa dan sakit hati. .   T_T


JLEEEB. Seperti ada belati karat yang menusuk ulu hatiku. Sepintas tulisan itu biasa-biasa saja. Namun ada beberapa kata yang seperti meninju diriku. Meninju masa laluku lebih tepatnya. Kata itu adalah “Setelah 7 tahun penantianku”.

Pikiranku kembali mundur menuju masa laluku. Menuju saat aku masih berseragam putih abu-abu. Aku telusuri labirin-labirin memori yang ada. Pada halte depan sekolah. Pada perpustakaan. Pada banyak kado yang terbalut hiasan-hiasan indah. Pada semuanya yang terekam oleh otakku. Juga pada Mawar yang mati-matian untuk mencoba mengungkapkan tiga buah kata yang mungkin satu minggu sebelumnya sudah dia persiapkan. Aku baru sadar, betapa kejamnya diriku ketika itu. Aku musnahkan rasa percaya dirinya saat itu, hanya demi kepentinganku semata. Hanya karena aku tidak ingin mendengarkan tiga buah kata yang akan dia ucapkan. Maafkan aku.

Seorang sahabat pernah memberikan petuahnya padaku. “Lebih baik kamu tegasin saja. Jika seperti ini tidak akan ada ujungnya. Kamu seperti memberi harapan kosong pada wanita itu.”

Sempat terpikir untuk mengikuti saran temanku itu. Namun, saat ditimang-timang lagi, aku merasa tidak mampu. Aku takut akan ada hati yang terluka disana. Akhirnya, aku urungkan lagi niatku itu. Aku tidak mengikuti saran temanku. Tapi kini, setelah aku berada pada ujung cerita, aku baru tahu arti penting nasihat itu.

Jika saja waktu itu aku biarkan dia untuk mengeluarkan sekeranjang kata yang sudah mendesak-desak untuk segera dikeluarkan dari batinnya. Mungkin jalan ceritanya tidak akan serumit ini. Setidaknya bagi Mawar.
Mungkin benar apa kata seorang teman. Aku egois. Aku hanya memikirkan perasaanku saja. Dengan dalih untuk menghargai rasa yang ada pada Mawar untukku. Dengan alasan aku tidak ingin membuatnya kecewa saat aku menjawab pertanyaannya. Dengan pembelaan aku sangat tidak bisa melihat seorang wanita sakit hati, apalagi sampai menangis. Aku tidak bisa. Sungguh tidak bisa.

Namun ternyata, rasa dulu, yang tidak ingin membuat Mawar menelan kekecewaan itu justru membawa pada episode yang lebih pahit bagi Mawar. Dia harus rela memendam rasa yang masih terbungkus rapih itu di brangkas hatinya seorang diri. Tujuh tahun dia berteman sepi. Bercengkrama dengan kesunyian hatinya. Jiwanya mungkin menggantung entah dimana.

Maafkan aku Mawar. Dengan teganya diriku menjatuhkan benih pohon rasa di halaman hatimu. Sementara aku tidak tahu jika dirimu merawat benih itu. Engkau menanamnya. Engkau beri pupuk. Engkau sirami setiap waktu. Hingga pohon itu tumbuh dengan kokoh. Akarnya menancap kuat di pekarangan hatimu itu. Batangnya tumbuh menjulang menunjuk langit. Dahannya merindang. Daunnya merimbun. Bunganya memekar. Serta buahnya yang meranum. Engkau melakukan itu seorang diri. Engkau mungkin merasa sangat lelah. Lelah sekali. Maafkan aku Mawar.

Meskipun kita tidak berada dalam satu mobil yang sama. Semoga kita bisa tiba pada tujuan akhir yang indah itu bersama-sama. Kita bisa bertemu di halaman parkir yang maha luas. Dengan mobil yang berbeda tentunya.

Mawar. Aku yakin. Pasti akan ada pangeran langit tak bersayap yang akan Tuhan turunkan khusus hanya untukmu. Sabarlah Mawar. Meskipun aku tidak bisa menjadi pemandu jalanmu. Engkau akan tetap tersimpan rapih di rak tertinggi pada lemari hatiku. Bersama orang-orang terkasihku lainnya. Engkau adalah sebuah cerita dalam hidupku. Teruslah melangkah Mawar. Bersinarlah kembali. Mekarlah kembali.

Maafkan aku.  

Kamis, 07 Juni 2012

Tidak Ada yang Sempurna


            Dulu, seringkali aku kagum pada orang lain. Dan rasa kekagumanku itu membuat diriku merasa ingin sekali berteman dengan dirinya. Saat zaman SMP, aku kagum kepada salah seorang siswa yang memiliki otak cemerlang. Dia sangat pintar. Serumit apapun rumus matematika ataupun fisika, dia pasti melahapnya dengan enteng saja. Keistimewaan itu membuat diriku mencari cara agar aku bisa berteman dengan dirinya. Dan akhirnya, aku berteman.

Ketika SMA, aku kagum kepada seorang siswa yang jago dalam bermain sepak bola. Dia merupakan satu-satunya siswa SMAku yang masuk skuad salah-satu klub yang ada di daerahku. Mendapati itu, aku sangat ingin seperti dia. Aku mencoba mendekatinya dan berteman dengan dirinya. Dan akhirnya kami berteman.

Dan, sering aku langsung merasa kagum kepada orang-orang baru yang aku jumpai. Mereka unggul di bidang yang mereka geluti masing-masing. Mereka memiliki kepribadian yang baik dan kuat. Pola pikirnya lurus. Sikapnya santun. Dan masih banyak lagi kebaikan lainnya yang kutemui. Namun, setelah sekian lama aku berinteraksi dengan mereka, pasti ada saja kekurangan yang kudapati dari mereka yang aku kagumi itu. Sehebat apapun mereka. Sepintar apapun mereka. Dan sebaik apapun mereka. Aku tidak heran dengan itu semua, karena ini adalah sunnatulloh, yang mana tidak akan ada manusia yang sempurna selain Nabi Muhammad SAW. 

Berdasarkan beberapa cerita di atas, aku bermaskud memberikan gambaran kepada calon isteriku kelak. Seseorang yang telah ditakdirkan oleh Yang Maha Memberi untuk mendampingi hidupku kedepannya. Seseorang yang akan menjadi ibu untuk anak-anakku nanti. Seseorang yang masih dirahasiakan olehNya. Seseorang yang hinga detik ini aku belum tahu bagaimana akhlak dan rupanya. 

Duhai calon isteriku, engkau menjatuhkan pilihanmu padaku mungkin karena kekagumanmu pada apa yang ada dalam diriku. Saat itu mungkin engkau dapati banyak yang baik-baiknya dari diriku. Karena itulah engkau memilih diriku yang menjadi pendamping hidupmu. Menjadi imam untuk dirimu. 

Duhai calon isteriku, saat engkau memutuskan untuk menerima pinanganku, mungkin saat itu, satu dari sekian banyak pertimbanganmu adalah kelebihan-kelebihan yang aku miliki. Tapi, sadarkah dirimu wahai bidadariku, kelak, saat ikatan suci mengikat kita, saat kita diteduhi atap rumah yang sama. Saat kita tidur di atas ranjang yang sama. Saat tidak ada lagi rasa sungkan ketika kita berinteraksi. Saat itu pasti engkau akan temui sangat banyak kekurangan yang aku miliki. Hijab mulai tersingkap. Pintu-pintu rahasia yang dulu tertutup rapat, kini telah terbuka dan membuat apapun yang ada di dalamnya tampak dengan jelas. 

Untuk itu, sedari sekarang, engkau harus mempersiapkan mental sebaik mungkin untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan itu semua. Engkau harus siap jika nanti kenyataan tidak sesuai dengan harapanmu dulu terhadapku. Engkau harus siap jika nanti harapan tidak sejalan dengan apa yang terjadi. Tapi, satu yang mesti diingat. Meskipun memang benar itu adalah sunnatulloh, tidak pernah ada manusia yang sempurna selain Rasulullah. Meskipun benar kelak engkau akan menemui banyak kekurangan dariku. Semua itu bukanlah sebuah alasan bagi diriku untuk tidak melakukan yang terbaik untukmu. Untuk keluarga kita. 

Duhai calon isteriku, terlepas karena kecantikan rupa dan jiwamu yang membuatku memilih dirimu, mungkin dan bahkan pasti, kelak, akupun akan menemui banyak kekurangan dari dirimu. Karena aku tahu, tidak akan pernah ada manusia yang sempurna selain khotaman nabiyyin. Namun, meskipun begitu, jangan pernah semua itu engkau jadikan alasan untuk tidak melakukan yang terbaik dalam memperbaiki dirimu. 

Teringat sebuah saran dari seorang teman yang sudah menyempurnakan separuh agamanya. Ketika itu aku meminta nasihat tentang pernikahan.

“Saat berkeluarga nanti, kamu harus siap dengan segala kemungkinan. Kamu harus siap, ketika mendapati pendampingmu tidak sesuai dengan yang kamu harapkan dulu. Sering kali harapan tidak sejalan dengan kenyataan. Dan, kalian harus saling menerima,” ujarnya padaku.

Duhai calon isteriku. Kita dibesarkan oleh dua keluarga yang berbeda, dengan latar belakang yang berbeda pula. Semua itu berpengaruh terhadap pola pikir kita. Boleh jadi, pola pikir diriku dan dirimu berbeda. Selain itu, mungkin masih banyak perbedaan-perbedaan lainnya antara diriku dan dirimu. Tapi, jangan pernah kita jadikan perbedaan itu sebagai tembok besar penghalang keharmonisan keluarga kita. Kita harus saling menghargai dan menerima perbedaan itu, selama tidak bertentangan dengan syari’ah. Karena adanya perbedaan di dunia ini bukan untuk dipertandingkan, tetapi untuk dipersandingkan. 

Kelak, mari kita saling menambal kekurangan yang kita miliki. Mari kita bahu membahu saling membantu dalam memperbaiki kualitas diri dan keluarga kita. Demi terlahirnya generasi penerus yang lebih baik. Generasi penerus yang bisa menegakan kembali panji-panji kebenaran.

Dan, bagi siapapun yang ditakdirkan oleh Allah untuk membaca tulisan ini, begitu pula dengan kalian. Kalian harus segera mempersiapkan segalanya. Kelak, kalian harus menerima dengan lapang dada jika mendapati kenyataan yang ada pada pendamping kalian tidak sesuai dengan yang dulu diharapkan. Kuncinya adalah saling menerima dan saling memperbaiki diri. Jagalah Allah agar tetap ada di hati kita, maka Allah akan menjaga kita.
***