Minggu, 29 September 2013

Alun-Alun Anyer (11)



                Siang di Cilegon lebih panas dari siang di Bandung. Sengatan panasnya terasa menyusup melalui pori-pori kulit. Akang mengusap dahinya yang bercucuran keringat.

                Akang duduk pada bangku panjang di halte depan mesjid agung Cilegon, bersama beberapa calon penumpang lainnya. Deretan mobil di jalan raya menyerupai iring-iringan acara karnaval. Kendaraan-kendaraan itu, yang umum maupun kendaraan pribadi, merayap mengikuti kecepatan mobil yang ada di depannya. Kendaraan roda dua lebih gesit pergerakannya. Ukurannya yang ramping membuat motor-motor itu dapat dengan mudah menyelip pada celah sempit di antara dua mobil.

                Dari kejauhan, Akang melihat mobil angkot warna silver jurusan Cilegon-Anyar. Segera Akang berdiri. Ia melangkah mendekat pada bahu jalan. Saat angkot mendekat, Akang melambaikan tangannya isyarat untuk menghentikan angkot. Mobil angkutan umum roda empat itu berhenti tepat di hadapan Akang. 

                “Karang Bolong, A?” Akang mendekat pada jendela pintu depan. Sepintas pemuda yang sudah satu tahun lebih tidak menginjakan kakinya di tanah Banten itu melirik ke bagian belakang. Baru ada dua penumpang di dalamnya.

                Muhun, A,” sopir angkot berusia sekitar akhir dua puluhan mengulum senyumnya.

                Ada warna kelegaan di wajah Akang. Akhirnya, setelah numayan lama menunggu, angkot yang dicari-cari hadir juga. Akang membuka pintu depan. Ia ingin duduk nyaman di kursi depan. Bersebelahan dengan sang pengendara.

                Angkot melaju pelan. Kecepatannya sama dengan mobil yang ada di depan dan belakangnya. 

                Laju angkot mulai menyepat setelah keluar dari kota Cilegon. Jumlah kendaraan lebih sedikit. Kondisi jalan tampak lebih lengang.

                Seorang penumpang bapak-bapak berhenti di pertigaan Krenceng dekat stasiun kereta api. Setelah transaksi dengan sopir usai, angkot silver kembali melaju. Lebih kencang dari sebelumnya.

                Penumpang satunya, seorang perempuan dengan berseragam kantoran menghentikan laju Angkot. Ia berhenti di pertigaan Ciwandan. Praktis, kini hanya tinggal seorang saja sisa penumpang. Yaitu Akang. 

                Angkot kembali berjalan. Membelah jalan raya Anyar-Cilegon. 

                Ringkon hape dengan lagu dangdut memecah kebisuan. Reflek Akang menatap sumber suara. Sorot mata Akang berhenti pada sebuah hape kecil yang tergeletak di dashboard depan sopir. Setelah itu Akang mengarahkan pandangannya pada wajah pemuda berusia beberapa tahun lebih tua darinya yang sedang memegang kendali angkot. Pada waktu yang sama, sang sopir juga menatap wajah Akang. Mereka beradu senyum. Senyum yang timbul lebih karena musik dari hape milik sang sopir.

                Sambil tetap melajukan angkotnya, sang pengemudi menerima panggilan untuknya. Sementara Akang kembali menatap ke kaca bagian depan mobil. Kembali menatap jalan.

                “Halo,” pemuda di samping Akang memberi respon. Setelahnya ia lebih banyak diam. Fokus pada jalan, juga mungkin pada kalimat yang diucapkan oleh lawan bicaranya yang entah berada di tempat mana. Sesekali sopir muda itu hanya menjawab dengan kata “Oke” dan “Oke” saja.

                “Oke. Oke,” sang sopir muda itu mengangguk setiap kali mengatakan kata “Oke”.

                “Oke,” sang sopir di sebelah Akang kembali mengangguk. “Tapi ulah sakitu teuing atuh. Tambahan saeutik lah.” Jika didengar dari ucapannya, sepertinya dia sedang melakukan penawaran pada sang lawan bicara.

                “Oke,” sopir itu mengangguk. “Oke,” dia menangguk lagi. “Masih di Ciwandan. Sakeudeung deui nyampe. Tangguan bae heula di dinya.

                “Oke, sip,” sang sopir melepas hape dari telinganya. Ia kembali meletakannya pada dashboard di hadapannya. Ia kembali fokus menatap jalan.

                Mobil masih melaju di jalan raya Cilegon menuju Anyar. Kiri-kanan jalan pemandangannya masih berupa deretan industri yang beberapa tahun terakhir ini semakin banyak bermunculan. Inilah salah satu faktor yang menyebabkan kondisi udara Cilegon semakin mengkhawatirkan saja.

                Punten, A. Tadi Aa bade kamana?” sang sopir muda bertanya pada Akang.

                Akang menoleh. “Karang Bolong, A.”

                Pemuda yang kedua tangannya cekatan memegang kemudi itu kembali menatap jalan. Ia seperti ingin mengutarakan sesuatu. Tapi ada rasa malu yang mengiringi. Ia tersenyum mesem.

                Punten pisan, A. Aa turuna di alun-alun Anyar bae nyah,” pinta sang sopir.

                Lha, saur Aa tadi angkot ieu langsung ka Karang Bolong?

Soalna aya nu bade nyarter angkot abdi, A. Saurna bade ka Serang. Numayan bayarana ageung,” sang sopir muda itu mencoba memberi penjelasan.

Akang diam. Ia seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu. Sang sopir bergantian menatap Akang juga jalan. Menunggu jawaban penumpang satu-satunya ini.

Akang berpikir. Saat ini yang naik angkotnya hanya dirinya saja seorang. Kasihan juga jika seandainya sampai Karang Bolong nanti tidak ada penumpang lagi yang naik. Beda ceritanya jika angkot ini jadi di sewa oleh pelanggannya. Mungkin uang yang akan dia dapatkan hari ini bisa lebih banyak. Pundi-pundi uang itu pasti sangat dia butuhkan untuk membiayai hidupnya. Dan mungkin hidup istri dan anaknya jika memang dia sudah memiliki kelaurga. 

Akang berpikir lagi. Sepertinya dia memang harus mengikuti permintaan sang sopir untuk berhenti di alun-alun Anyar. Sang sopir muda itu sangat membutuhkan pendapatan yang lebih besar. Toh, akan ada banyak angkot lagi di alun-alun nanti.

Akang menoleh pada pemuda di samping kanannya. “Muhun, A. Teu nanaon Abdi turun di alun-alun geh.”

Sumringah sekali sang sopir mendengar kalimat Akang. Ia mengucap terima kasih pada sang penumpangnya itu. 

Angkot masih melaju. Beberapa kilo meter lagi akan segera tiba di alun-alun Anyar.
***

Akang berjalan di trotoar jalan, di antara bahu jalan dan jajaran gerobak para pedagang kaki lima. Kondisi udara alun-alun Anyar tidak berbeda jauh dengan yang di Cilegon. Gilasan ban kendaraan di jalan melambungkan debu-debu yang sedang istirahat di kulit jalan. 

Akang mengelap dahinya yang berkeringat. Ia tetap melangkah menuju mobil angkot yang sedang menunggu penumpang. Angkot itu masih sedang ngetem di jalan depan mesjid agung Anyar. 

Sepuluh meter menuju angkot yang diam itu, langkah Akang terhenti. Penyebabnya adalah seorang pria setengah baya bertubuh sedikit kurus dan dengan rambut yang sudah penuh oleh uban. Pria itu mendekatkan wajahnya pada jendela pintu depan angkot. Sepertinya dia sedang menanyakan trayek angkot itu. beberapa detik setelahnya, pria berpakaian rapih dan berambut putih itu masuk angkot.

Akang buru-buru membalikan badannya. Ia kembali melangkah. Hanya saja kali ini untuk menjauhi angkot yang di dalamnya ada seseorang yang sangat dia kenal. Pria setengah baya itu adalah gurunya saat masih bersekolah di SMA N 1 Anyar dulu. Dia adalah bapak Hikmat. Seorang guru fisika yang terkenal dengan kegarangannya saat di luar kelas, namun berubah menjadi super menyenangkan kala di dalam kelas. Ya, itulah gambaran tentang bapak Hikmat yang masih tersimpan jelas di kepala Akang. 

Akang merasa malu seandainya dia satu angkot dengan sang guru itu. Jika benar-benar bersua, pasti akan ada obrolan di dalamnya. Nah, karena hal itulah Akang merasa segan. 

Akang menoleh ke belakang, angkot itu belum juga berangkat. Pelan-pelan ia terus melanjutkan langkahnya. Entah kemana tujuannya. Yang penting Akang harus jauh-jauh pergi dari angkot itu.

Sepanjang langkah hati Akang terus berkecamuk. Kini sang akal sehat yang sedari tadi tertidur di otaknya mulai bangkit. Ia mencoba mengimbangi pikiran kerdil yang menguasi kepala Akang. 

Kenapa saya harus malu untuk bertemu dengan bapak Hikmat? Memang apa kesalahan yang pernah saya perbuat hingga harus begitu? Tidak ada kan? Lantas, jika tidak ada, untuk apa juga saya harus malu? Justru itu akan mencerminkan kepribadian saya yang lemah mental. Sang akal sehat bertubi-tubi mengeluarkan argumennya.

Kenapa saya harus malu? Padahal jarang sekali kesempatan ini munculnya. Padahal kesempatan ini merupakan sebuah kesempatan yang sangat baik. Kesempatan baik untuk bersilaturahim dengan sang guru yang telah banyak memberikan saya ilmu. 

Kenapa malu? Kenapa harus malu untuk melakukan kebaikan? Boleh jadi, saat ini sedang ada setan yang menyelinap ke dalam otak saya. Makhluk terlaknat itu mencoba membisikan kepada hati untuk tidak melakukan sebuah kebaikan. Sebuah kebaikan untuk bersilaturahim dengan bapak Hikmat.   

Sang akal sehat mulai mampu menguasi keadaan. Pikiran kerdil kini benar-benar telah menjadi kerdil. Akang menghentikan langkah. Tanpa banyak pikir lagi, ia kembali membalikan badan, lalu kembali berjalan menuju angkot yang masih diam. Kembali melangkah menuju bapak Hikmat. Akang akan bersilaturahim dengan sang guru fisik yang sudah lama sekali tidak berjumpa.

Langkah Akang tegap. Langkah Akang yakin. Tidak secuilpun rasa ragu mengikuti. Bismillahirrahmannirrahim. Untuk apa malu dalam hal kebaikan? Kerdil sekali jika tidak jadi melakukan kebaikan hanya karena rasa malu! Kerdil sekali!
***

“Karang Bolong, A?” Akang mendekat pada jendela.

Muhun, A,” jawab bapak sopir yang usianya mendekati senja.

Sebenarnya kursi depan kosong, dan Akang akan nyaman jika duduk di sana. Namun, ada hal lain yang lebih baik dari sekedar rasa nyaman. Yakni silaturahim. Inilah sesungguhnya niat utama Akang kenapa naik angkot ini. 

Akang masuk lewat pintu samping. Ia bergabung dengan beberap penumpang yang sudah ada di dalam. Akang duduk tepat di hadapan bapak Hikmat yang sedang khusuk menatap layar hape di tangannnya. 

Assalamu’alaikum, Pak,” sapa Akang. Ia lebih mendekatkan wajahnya ke arah bapak Hikmat.

Bapak guru berambut putih itu menoleh. Satu detik terbengong. Detik berikutnya matanya membulat. “Akang. Wa’laikumussalam.” Bapak Hikmat sumringah. Akang menyalami tangan bapak guru di depannya.

“Gimana kabarnya? Sudah lama kita tidak ketemu?” bapak Hikmat mengusap-usap pundak sang murid. Akang memberi senyum.

“Baik, Pak. Bapak gimana? Sehat?”

Alhamdulillah baik, baik,” bapak Hikmat melepas tangannya dari pundak Akang. “Kenapa sekarang tidak pernah main ke sekolah lagi?”

Akang nyengir. “Mudah-mudahan kedepan bisa silaturahim lagi ke sekolah, Pak.”

“Iya, iya, harus itu,” bapak Hikmat manggut-manggut. “Oya, kapan Akang lulus?” tambah bapak guru berbadan sedikit kurus itu.

Alhamdulilah Akang sudah wisuda, Pak.”

“Lho, kapan? Kenapa tidak ngasih tahu Bapak?”

“Setelah wisuda Akang tidak sempat main ke sekolah, Pak. Kemudian setahun kemarin Akang ikut program pemerintah untuk mengajar selam satu tahun di daerah terpencil,” Akang menjelaskan.

“Oooh,” bibir bapak Hikmat membulat.

Kedua ujung bibir Akang melebar.

“Terus sekarang Akang ngajar dimana?”

Akang nyengir. “Belum, Pak,” jawab Akang pendek. Sebenarnya masih ada kalimat yang ingin Akang utarakan. Namun kalimat itu tertahan di tenggorokannya. 

Alhamdulillah jika belum,” ujar bapak Hikmat.

Akang melipat dahi karena kalimat bapak guru di depannya. Alhamdulillah?
 
“Tahun depan bapak Suroso akan pensiun. Jadi sekolah kita sedang membutuhkan guru kimia baru. Besok Akang datang kesekolah ya,” terang bapak Hikmat semangat sekali.

“Besok ke sekolah? Untuk?” Akang harap-harap cemas.

“Mengajar kimia.”

Wajah Akang sumringah tidak percaya. Matanya membulat menatap bapak Hikmat. Apakah ini sungguhan? Hatinya bertanya-tanya. 

“Ngajar kimia, Pak?”

“Ia. Akang jadi guru di sekolah kita.”

Allahu Akbar! Duhai bapak Hikmat, sesungguhnya kalimat inilah yang tadi ingin Akang keluarkan. Kalimat inilah yang tadi tersendat di kerongkongan Akang. Sudah lama sekali sebenarnya Akang ingin mengajar di SMA N 1 Anyer. Mengajar di almamaternya dulu.

“Besok Akang bawa lamarannya, Pak?

“Sudah tidak perlu. Kita langsung wawancara aja.”

SubhanaAllah! Kenapa bisa semudah ini Yaa Allah? Semuanya terjadi diluar batas pemikiran Akang. Terima kasih Duhai Allah.

Ingatan Akang tiba-tiba melayang pada kejadian beberapa menit yang lalu. Menuju ketika hatinya berkecamuk untuk naik angkot yang sama dengan bapak Hikmat atau tidak. Dengan mengingat memori itu, Akang sangat bersyukur karena akal sehatnya mampu mengalahkan pemikiran kerdilnya. Akang sangat bersyukur. Bersyukur sekali. Jika saja akal sehat Akang tadi kalah, kejadiannya pasti tidak akan seperti ini. Semua kemudahan ini pasti tidak akan pernah ada.

Duhai Allah. Janji-Mu memang pasti kebenarannya. Silaturahim itu baik. Silaturahim itu mendatangkan banyak rezeki. Terima kasih Yaa Allah. Terima kasih Duhai Allah.

Obrolan di antara bapak guru dengan sang murid terus berlanjut. Mereka membincang semuanya. Tentang kondisi sekolah. Tentang pengalaman Akang selama satu tahun mengajar di Ranupane. Tentang semua yang sempat dibicarakan.

Angkot terus melaju di jalan raya Anyar. Sebuah jalan yang menyusuri garis pantai Anyar. Pemandangannya menakjubkan. Kondisi udaranya sudah lebih baik dari sebelumnya.

Bapak Hikmat tertawa. Akang juga tertawa.
***

Sabtu, 28 September 2013

Ranupane (10)

 (SATU TAHUN BERLALU)

                Tiga ratus enam puluh lima hari, sudah lebih dari cukup untuk membuat kulit yang membungkus tubuh Akang menjadi agak kebal terhadap sengatan dinginnya udara Ranupane. Sebuah tempat berpenghuni tertinggi di pulau Jawa. Sebuah desa yang letaknya ada di kaki gunung paling tinggi di pulau Jawa, yaitu Gunung Semeru. 

                Tidak terasa, sudah satu tahun Akang mengikuti program pemerintah yang menugaskan para sarjana baru untuk mengajar di daerah-daerah pelosok. Sudah dua belas bulan Akang mengemban tugas negara yang mulia ini. Artinya, kini hanya tinggal hitungan hari saja keberadaan Akang di tempat yang mempesona ini.

                Malam ini, selepas waktu isya, Akang pamit keluar rumah kepada sang ayah angkat. Setiap pengajar muda yang ditugaskan mengabdi ke suatu daerah, mereka akan ditempatkan untuk tinggal pada satu keluarga yang ada di tempat tugas itu. Nah, sang kepala keluarga inilah yang menjadi ayah angkat pengajar muda. Begitupun dengan anggota keluarga lainnya. Mereka sudah dianggap sebagai satu keluarga. Tidak hanya statusnya saja, perlakuannya pun sudah seperti layaknya keluarga pada umumnya. Hal inilah salah satu yang membuat Akang begitu betah mengabdi di Ranupane. 

                Akang keluar dengan mengenakan pakaian khas daerah Ranupane. Celana panjang dan baju tebal dari kain wol yang dikenakan memang biasa-biasa saja. Tapi sebuah sarung dan kupluk tebal yang menjadikan Akang sudah seperti penduduk asli desa tertinggi di pulau Jawa ini. 

                Sebuah kupluk tebal warna coklat meringkus kepala Akang. Sarung kotak-kotak di belitkan pada tubuhnya. Kedua ujung sarung itu dipertemukan di depan leher, lalu diikat. Dengan mengenakan pakaian khas Ranupane ini, Akang melangkah perlahan menembus dinginnya udara malam. 

                “Mas Akang, sampean mau kemana?” sapa seorang pemuda seumuran Akang yang sedang nongkrong dengan pemuda lainnya di teras depan rumah.

                “Mau ke Ranupane, Mas,” jawab Akang sambil memberi sebuah senyuman.

                “Ngapain malam-malam begini ke Ranupane? Sampean mau renang, Mas?” canda pemuda lainnya. Tawa pecah di antara kumpulan pemuda itu. Akang tertawa kecil.

                “Gak ngapa-ngapain, Mas. Cuman mau melamun saja.”

                “Mau kami temani gak, Mas?” tawar pemuda yang menyapa Akang di awal.

                “Gak usah, Mas. Melamun itu enaknya hanya sendirian saja. Kalau banyak orang nantinya malah jadi sering ngobrol,” di ujung kalimatnya Akang tertawa renyah.

                “Kenapa sampean gak ke Ranukumolo aja, Mas? Akhir pekan seperti ini biasanya banyak pendaki yang kemah lho,” seorang pemuda lain memberi saran.

                “Kejauhan, Mas. Nembus hutan. Gelap lagi,” Akang nyengir.

                Yowis. Hati-hati, Mas ya.”

                “Iya, Mas. Mari!” Akang melambaikan tangan pada sekumpulan pemuda itu. Mereka membalas lambaian Akang secara bersamaan.

                Akang kembali melanjutkan langkah. Angin malam menyapa tubuh pemuda yang berjalan seorang diri saja itu. Akang melipatkan kedua tangannya di dada. Membentuk pertahanan dari serangan udara dingin malam ini.
***

                Malam ini sedang tidak ada rembulan. Sementara bintang gemintang berkerlipan di langit yang telah merubah kulitnya menjadi hitam. Akang duduk memeluk kakinya yang ditekuk. Ia duduk sendiri menghadap Ranupane, sebuah kolam dengan ukuran beberapa kali luas lapangan sepak bola. 

                Akang menatap wajah langit. Ia tersenyum. SubhanaAllah, indah nian maha karya Sang Pencipta. Gumam Akang dalam hati. Sebelumnya, tidak pernah Akang mendapati wajah langit serupawan malam ini. Di sini, di atap pulau Jawa ini, dengan pencemaran cahaya yang hanya secuil, jumlah kerlipan kecil di langit tampak dua kali lebih banyak ketimbang saat Akang menatapnya di tempat lain. Oh, mempesona.

                Waktu serasa cepat berlalu. Tidak terasa, setahun sudah Akang hidup di desa mempesona ini. Mengabdikan diri untuk membagikan ilmunya yang didapat selama empat tahun di dunia kampus, kepada anak-anak Ranupane. Walaupun sebenarnya, Akang lebih merasa dirinya lah yang sebenarnya sedang mendapat asupan ilmu. Tidak sedikit ilmu kehidupan yang Akang dapatkan dari para penduduk Ranupane. Dari keluarga angkat yang melayani Akang sudah seperti keluarga yang sebenarnya. Akang belajar tanggung jawab dari para bapak yang seperti tidak memiliki rasa lelah untuk terus berladang demi membahagiakan keluarga. Akang belajar ketulusan dari anak-anak Ranupane. Pokoknya Akang belajar banyak hal di tempat yang menakjubkan ini.

                Akang masih menatap langit. Terhitung, ratusan kali sudah Akang bertatap muka dengan langit malam Ranupane. Malam ini Akang menemukan perbedaan dengan malam-malam sebelumnya. Malam ini, kulit langit seperti lebih hitam. Bintang gemintang seperti telah beranak pinak. Keindahannya menjadi berlipat-lipat. 

                Akang termenung. Selalu saja seperti ini. Apapun itu, selalu saja terasa lebih saat semuanya akan segera ditinggalkan. Selalu saja tampak lebih indah ketika hanya tinggal beberapa saat lagi akan ditinggalkan. Ya, masa bakti Akang di tempat ini telah habis. Besok lusa Akang akan segera meninggalkan semua keindahan yang ia rasakan selama satu tahun terakhir di desa tertingggi di pulau Jawa ini. Akang sadar, bahwa akan ada air mata saat perpisahan lusa nanti. Untuk itu, ia telah menyiapkan mental sekuat baja untuk menghadapi semuanya. 

                Akang menurunkan wajahnya. Kini ia menatap riak-riak Ranupane yang memendarkan kerlipan cahaya bintang. Kilatan kecil kolam raksasa itu seperti sedang mengerlingkan matanya untuk menggoda Akang. Menggoda Akang untuk tidak pergi. Menggoda Akang untuk tetap tinggal di tempat ini. 

                Angin malam Ranupane bertiup lembut. Membuat riak-riak air menjadi lebih banyak. Seolah angin malam itu mendukung apa yang diinginkan sang Ranupane. Ia memberikan bantuan agar kerlipan mata itu menjadi semakin banyak. Hingga membuat keindahan malam ini berpuluh-puluh kali lipat dari sebelumnya.

                Angin malam bertiup lagi. Riakan kolam terus bertambah. Cahaya bintang terus berpendar. Dan, kilatan mata sang Ranupane semakin genit menggoda Akang.
***

                Esoknya, sehari sebelum hari kepulangan, pagi-pagi sekali, Akang kembali mendatangi Ranupane. Kali ini Akang duduk di pinggir kolam sebelah barat. 

                Pagi ini, puncak Semeru belum menampakan dirinya. Ia masih bersembunyi pada gumpalan awan putih. 

Pagi ini, puncak Semeru belum keluar. Ia seperti sedang menyimpan sebuah kejuatan untuk seseorang, yang akan ia berikan saat waktunya telah tiba nanti. 

Pagi ini, puncak Semeru belum ingin keluar. Ia masih berselimutkan gumpalan awan tebal.

Anak panah mata Akang meluncur pada ujung kaki langit sebelah timur. Pada ujung langit itu, Sang Mentari pagi tersaput awan. Ada seberkas sinar Mentari yang mampu menembus bagian awan yang tipis. Seberkas sinar itu serupa tingkat cahaya yang dihujamkan langsung dari langit. Oh, indah sekali. Seberkas tongkat cahaya itu mendarat tepat di hadapan Akang. Seberkas tongkat cahaya itu mendarat tepat di Ranupane. 

Akang menyisir setiap inci tubuh Ranupane. Mata Akang terbelalak mendapati kabut pagi melayang-layang tepat di permukaan Ranupane. Kabut pagi nan lembut itu menyerupai uap yang mengepul di atas secangkir air panas. Kabut kecil itu bergerak-gerak perlahan. Mereka melayang kesana-kemari. Berlenggak-lenggok menari di atas panggung Ranupane. 

Akang kembali menatap kaki langit timur. Perlahan awan yang menutupi, sedikit demi sedikit meninggalkan Sang Mentari pagi. Beberapa detik berjalan, awan itu telah sempurna meninggalkan sumber cahaya bulat yang berwarna jingga itu. Tanpa ada aling-aling, Mentari itu membagikan sinarnya untuk seluruh penghuni desa Ranupane. Sinar itu seperti sebuah suntikan raksasa yang memberikan vitamin semangat untuk setiap makhluk hidup yang menerimanya. 

Akang kembali menatap Ranupane. Sungguh menakjubkan. Pagi ini, Akang mendapati Mentari menjadi ada dua buah. Satu di ujung langit timur, satunya ada di kaki langit timur yang ada di dalam Ranupane. Mengapa? Mengapa sesuatu itu terasa lebih indah saat akan ditinggalakan? Mengapa semuanya mendadak berubah menjadi istimewa ketika akan ditinggal  pergi? Mengapa?
***

                SREEEET

                Akang menutup ret sleting tas besarnya. Semua barang milik Akang sudah masuk. Barang yang memang Akang bawa untuk keperluan selama di desa Ranupane, atapun barang berupa buah tangan yang diberikan keluarga angkat, juga sahabat-sahabatnya selama mengabdi di Ranupane.

                Akang berdiri. Ia melangkah menghampiri jendela kamar. Kaca jendelanya berembun. Akang mengusap embun yang menempel pada salah satu bagian kaca. Melalui bagian kaca yang telah diusap itu, Akang dapat dengan jelas melihat ke arah luar. Sepasang suami istri berusia setengah baya berjalan bersisian. Jika dilihat dari pakaiannya, sepertinya mereka hendak menuju ladang.

                Akang kembali mengusap kaca jendela. Berusaha membuat pandangannya bisa lebih luas lagi melihat ke arah luar. Gesekan antara kaca dengan telapak tangannya menghasilkan bunyi-bunyian serupa suara kaca yang digesekan dengan benda yang terbuat dari bahan karet. Saat dirasa cukup, Akang menghentikan usapan tangannya. Ia lebih mendekatkan wajah pada kaca yang barusan diusap. Akang mengarahkan pandangannya ke balai desa Ranupane yang berdiri tidak jauh di seberang jalan depan rumah.

                Di halaman depan balai desa, terparkir sebuah mobil berplat nomer warna merah. Artinya, keberadaan Akang di desa penuh kenangan ini hanya tinggal menghitung jam saja. Beberapa jam kedepan, Akang mungkin sudah tidak ada di tempat ini lagi. Sebuah tempat yang di sini Akang mengabdi. Sebuah tempat yang di sini Akang mendapatkan banyak imu kehidupan. Sebuah tempat yang menemani masa-masa sulit Akang. Sebuah tempat yang tidak akan pernah mungkin bisa Akang lupakan.

                Akang kembali menjauhkan wajahnya dari kaca jendela. Ia menoleh pada tas besar miliknya yang tergeletak di atas kasur. Akang sangat berharap, tidak akan ada air mata yang mampu menyelinap pada celah matanya. Semoga saja begitu. Sebisa mungkin Akang akan menahan itu.
***

                Pintu mobil sudah terbuka. Di dalam sudah ada dua rekan satu program Akang yang ditugaskan di desa tetangga. Akang belum masuk. Ia masih berdiri mematung di hadapan pintu mobil. Akang berdiri menatap sekumpulan orang yang juga sedang berdiri berjajar di teras balai desa guna melepas kepergian bapak guru muda yang telah membagikan semangat kepada para anak-anak Ranupane. 

                Kepada keluarga angkat. Kepada para sahabat. Kepada murid-murid. Juga kepada semuanya yang ada di desa Ranupane. Sungguh, sampai kapanpun Akang tidak akan pernah bisa melupakan semua kenangan yang ada di tempat ini. Sungguh tidak akan pernah. Tidak akan pernah. Jika saja Akang tidak mengingat kalimat yang kemarin lusa ia berikan pada murid-muridnya saat beberapa dari mereka menangis karena tahu bahwa tugas Akang telah usai, ingin rasanya Akang mengeluarkan air kesedihan di kantung matanya. 

                “Sebisa mungkin kita tidak boleh cengeng. Terlebih untuk anak laki-laki,” ucap Akang saat di dalam kelas kemarin lusa.

                Akang melambaikan tangan. Segera ia masuk mobil dan langsung menutup pintunya. Melalui jendela yang terbuka, Akang kembali melambaikan tangan pada semuanya. Pada semuanya yang melepas kepergian Akang. Pada semuanya yang mampu Akang lihat dengan indra penglihatannya. Akang melambai kepada Ranupane.

                Mobil melaju pelan meninggalkan Ranupane. Akang menutup kaca jendela. Ia merebahkan tubuhnya pada sandaran jok. Pandangannya kosong menatap ke depan. Dan akhirnya, setetes kesedihan itu tidak mampu Akang bendung lagi. Ia keluar perlahan pada ujung mata Akang. Dalam hati Akang meralat ucapannya yang kemarin lusa. 

                Silahkan menangis. Silahkan saja menangis jika itu mampu membuat hatimu menjadi tenang. Seorang laki-laki boleh menangis. Sangat boleh.  

                Kembali, setetes air kesedihan itu keluar di ujung mata Akang.

                Mobil terus melaju dengan sangat hati-hati.
***

                Mobil melaju perlahan di jalan sempit yang berkelok-kelok. Saat bertemu dengan mobil lain yang hendak menuju Semeru, salah satunya harus menyisi. Begitu terus jika ada mobil yang berpapasan. 

                Setengah jam pertama, kiri-kanan jalan masih dihiasi oleh ladang-ladang sayuran yang terhampar di punggung perbukitan. Jika dilihat dari kejauhan, ladang itu lebih menyerupai hamparan permadani raksasa yang menutupi bukit. Penuh warna yang teratur. Indah sekali. Sinar emas Mentari pagi mendarat pada punggung bukit yang menghadap ke arah timur. Membuat hamparan ladang sayuran itu menjadi semakin berkilauan saja.  

                Setelahnya, mobil memasuki jalan yang menyerupai terowongan pepohonan. Mobil yang Akang tumpangi menembus hutan kaki gunung Semeru. Pohon-pohon tua dan besar berjajar hampir disetiap tempat yang terlihat. Daun-daunnya lebat menutup sebagian langit. Sesekali sang mobil bisa merasakan ruang terbuka saat ia mememui jalan yang meniti sisi tebing. Saat itulah pemandangan menakjubkan terpampang di bawah tebing. Hamparan kabut pagi yang tebal masih menyelimuti hutan di bawah tebing. Kabut lembut itu bergerak perlahan dengan lemah gemulai. Hamparan putih itu sudah seperti negeri kayangan yang hanya ada di dongeng-dongeng.

                Setelah puluhan menit terlewat, mobil menemui jalan yang lebih lebar dan memadai. Jalan aspalnya sudah mulus. Mobil mulai menambah kecepatannya. Tidak lama, pemandangan samping kiri-kanan jalan kini berubah menjadi hamparan kebun apel. 

                Mobil terus meluncur pada jalan yang kini lebih banyak lurusnya. Sang mobiil lebih mirip anak-anak yang sedang meluncur di prosotan. Melaju tanpa hambatan. Buah-buah apel yang menggantung ranum di pohon menggoda siapapun yang sedang menatapnya merasa ingin memetik dan langsung menyantapnya. Termasuk Akang yang sedari tadi tanpa henti memandang kebun apel.

                Akang menoleh ke belakang. Melalui kaca belakang, ia menatap sebuah gunung raksasa yang seperti sedang memanggil-manggil namanya. Menjelang waktu siang ini, sudah tidak ada lagi awan tebal yang menutupi puncak Semeru. Jelas sekali Akang bisa melhat puncak Semeru yang menunjuk langit. 

                Mobil melewati sebuah gapura besar. Selamat tinggal Ranupane. Selamat tinggal Semeru. Selamat tinggal Lumajang, dan selamat datang Malang. Lusa, Bandung sudah menunggu kedatangan Akang. Setelah itu, giliran Anyar sang tanah kelahiran.
***