Senin, 01 Oktober 2012

Sekejap Saja

Engkau, hanya melihat sekejap saja aku menjadi bunga, yang selalu memekarkan diri hingga akhir waktu. (Niko Cahya Pratama)
***

    Kemarin, aku didaulat oleh seorang teman untuk mengisi materi tentang kepenulisan. Waw! Aku kaget! Apa yang akan aku berikan pada audiens? Pikirku. Aku merasa masih belum mampu untuk itu. Aku masih sedang belajar. Belajar menulis yang baik dan benar.

    “Gak papa Niko, hanya cerita pengalamannya aja kok,” harap temanku.

    Aku menimbang lagi permintaannya.

    “Bisa ya?”

    Aku memejamkan mata.

    “InsyAlloh bisa, hanya cerita pengalaman saja kan?”

    “Iya Niko, makasih ya.”
***

    Mengagumkan sekaligus malu. Mengagumkan karena kini aku sedang duduk di hadapan audiens. Aku duduk bersama dua orang pemateri lain yang menurutku sangat luar biasa. Dulu, saat aku berada pada posisi peserta, aku sempat berpikir, mungkinkan kelak aku bisa duduk di depan sana. Kini, aku berada pada khayalanku dulu. Mengagumkan.

    Malu. Malu karena pengalaman ini merupakan untuk kali pertama bagiku.
***
..................................................................................................................

“Kenapa saya menulis?!” ungkapku pada audiens.
...................................................................................................................


    “Selanjutnya, adalah untuk menghilangkan kegalauan dalam jiwa saya.


    Boleh percaya boleh tidak. Menulis adalah obat paling mujarab untuk penyakit galau.


    Sahabat-sahabat, saya adalah penganut anti pacaran. Bagi saya, pacaran adalah pintu dari banyak dosa. Namun, saya juga sadar, bahwasanya saya adalah hanya seorang manusia, yang mana, pasti memiliki rasa cinta, termasuk cinta kepada lawan jenis, alias wanita.


    Saya akui, telah beberapa kali saya merasakan cinta itu. Namun saya masih waras. Saya tahu, saya akan mendapatkan dosa jika melakukan hubungan itu, dalam artian pacaran. Tapi disisi lain, saya juga sadar, saya akan menderita jika rasa cinta itu tidak segera diungkapkan. Seandainya itu terjadi, ibaratnya saya makan berkali-kali, tapi tidak ada pengeluaran ampas dari sisa-sisa makanan itu, kasarnya adalah buang air besar. Seandainya itu benar-benar terjadi, maka penyakit akan segera menghampiri. Tidak sehat.    


    Sebenarnya bisa saja saya mengungkapkan perasaan saya pada gadis yang saya cintai, namun itu tadi, saya takut dosa. Kemudian, bisa pula saya cerita pada teman terkait rasa yang sedang ada pada hati saya, tapi saya khawatir, curhatanku itu akan bocor lalu sang target mengetahuinya. Saya malu dong.


    Nah, satu-satunya penawar bagi rindu itu adalah menulis. Ia, lewat menulis. Menuliskan warna dari kerinduan yang sedang saya rasa. Dengan menulis, maka tekanan itu dapat tersalurkan pada muaranya. Dan, dengan menulis itu, saya terhindar dari dosa karena pacaran. Selain galau itu hilang, bonus keuntungan yang saya dapatkan adalah terhindar dari dosa-dosa. Begitu sahabat-sahabat, mengapa hingga detik ini saya masih menulis.
.....................................................................................................................


    Sahabat-sahabat, tidak bisa kita pungkiri, virus galau sekarang sedang tenar-tenarnya. Virus itu kini telah mendunia. Sebagaimana telah kita ketahui juga, virus galau itu menyerang pada banyak sendi kehidupan kita, tidak hanya pada asmara saja. Untuk itu, hanya satu pesan saya, menulislah, maka galau itu akan segera hilang. Percayalah!
"
.....................................................................................................................
***

    Bada magrib, takdir mempertemukan aku dan teman-teman ikhwan alumni santri PPM (Program Pesantren Mahasiswa) di depan mesjid Daarut Tauhiid. Disana kami melepas rindu.

    Pada pertengahan perbincangan kami, saat seru-serunya, aku menoleh ke arah kiri, menoleh ke seberang jalan. Dan, DESSS. Aku mematung tiba-tiba.

    Hanya satu detik aku melihat sosok wanita itu. Sekejap saja. Tapi, AAAHHH.

    Oh Tuhan, seandainya saja aku sudah mampu, dalam artian ilmu, mental dan materi, ingin rasanya aku persunting dia. Terlepas itu diterima atau tidak. Ah, agar tidak ribet, anggap saja ia bakal menerima pinanganku. Hanya khayalan ini.

    Aku heran, kenapa aku bisa seperti ini jika tak sengaja sedang memandanginya. Walaupun hanya satu detik, ataupun kurang dari itu. Aku heran, padahal banyak wanita yang sama cantiknya atau mungkin lebih cantik darinya, tapi kenapa hanya pada dirinya aku mematung jika sedang memandangnya. Pesona itu, hanya aku rasakan pada dirinya. Oh Tuhan, jangan siksa aku seperti ini. Aku menyerah. Aku menyerah.

    WUUUSSSSS

    Angin menyapaku. Aku kaget. Aku menengadahkan kepalaku. Kuhentikan langkah namun pandangan masih tetap menatap langit. Awan bergumpal-gumpal. Mereka melaju dengan kecepatan yang tidak lamban. Mereka seperti berlarian karena dikejar sesuatu. Entah apa yang mengejar mereka hingga mereka lari terbirit–birit seperti itu.

    WUUUUSSSSSSS

    Sekali lagi angin aneh itu membelai diriku. Aku tak menghiraukan hiruk pikuk kendaraan di jalan geger kalong. Aku masih berdiri menatap langit.

    MENULISLAH! MENULISLAH! MENULISLAH!

    Masya Allah, terdengar suara bisikan dari langit. Bisikan yang seakan memekikkan telingaku. Bisikan yang mungkin hanya aku saja yang mendengarnya. Karena saat bisikan itu menggelegar, sekejap aku pandangi orang-orang disekitarku. Mereka masih beraktifitas seperti biasa, seakan sedang tidak terjadi apa-apa.

    MENULISLAH!  

    Sekali lagi bisikan itu kudengar keras.

    Baiklah. Kini aku mengerti. Aku tahu apa yang harus kulakukan.

    Aku berteriak dalam hati. Aku berteriak sambil menatap langit.

    NUHUUUUUUUUUN!

    Aku berteriak sekali lagi. Lebih keras dari yang pertama.

    NUHUUUUUUUUUUUUUNN!!!! 

    Kudengar ada balasan dari langit. Sungguh aku kaget!

    SAMI-SAMI!

    WHAT! Aku mengucek-ngucek mata menatap langit. Aku mengucek mata lagi. Aku memandang langit lagi. Kini awan itu diam. Mereka berhenti berlari. Suasana normal kembali.
***