Selasa, 06 September 2016

Ibu Jono

Kami memanggilnya Ibu Jono. Sesungguhnya, hingga hari ini, saya belum tahu nama asli beliau. Kami menyebut beliau Ibu Jono, sebab almarhum suaminya adalah Bapak Jono.

Dalam satu Minggu, setidaknya dua kali kami mengunjungi rumah ibu Jono. Yaitu setiap hari Senin dan Kamis. Secara bergantian, dua orang santri mengambil makanan untuk buka puasa sunnah para santri.

Pagi ini, suatu kebahagiaan bagi santri, ibarat mentari pagi yang cerah, ibu Jono berkunjung ke asrama santri ikhwan. Saat itu hanya ada dua orang yang tersisa di asrama, yakni saya dan Tian. Kami terima sang tamu istimewa itu dengan sambutan sehangat mungkin yang kami bisa.

Kami bertiga duduk di ruang tamu. Ibu Jono duduk di sofa dekat pintu. Tian memilih sofa tengah. Sementara saya kebagian kursi empuk yang paling jauh dari pintu. Kami membuka obrolan dengan saling bertanya kabar. Ibu Jono bertanya bagaimana kabar para santri dan saya menanyakan hal yang serupa pada wanita istimewa itu. Adalah tentang kabar beliau dan keluarganya. Kemudian ibu Jono bertanya tentang keadaan pesantren. Saya dan Tian hanya menjawab yang kami ketahui saja. Lebih dari batas pemahaman kami, saya dan Tian hanya menjawab dengan kalimat "tidak tahu, Bu" saja. Tentunya dengan dibumbui sebuah gelengan dan senyum tipis saja.

Di ruang tamu, kami berbincang selama dua jam. Dari jam sembilan hingga jam sebelas. Waktu selama itu, seperti hanya sekejapan mata bagi saya. Sebab kami sangat larut dalam isi obrolan. Terlebih bagi saya pribadi. Ada banyak pelajaran hidup yang saya petik dari penggalan kisah hidup yang telah dilewati oleh ibu Jono dan keluarga. Saya pikir buah-buah matang yang telah saya petik dari pohon kehidupan ibu Jono, harus saya ikat dengan tulisan. Sebagaimana yang telah diucapkan oleh imam Syafi'i, bahwa ilmu itu ibarat hewan buruan, maka ikatlah ia dengan tulisan. Dan, diantara buah ranum nan segar yang saya petik itu adalah sebagai berikut:

Satu. Ibu Jono adalah seorang pensiunan guru matematika. Dalam perjalanan karirnya, beliau pernah menjabat sebagai kepala sekolah SMA.

"Justru, yang sekarang jadi orang, itu adalah siswa-siswa yang nakal. Kebanyakan dari mereka pernah saya tampar," ibu Jono menyimpulkan beberapa peristiwa yang ia ceritakan pada saya dan Tian. Kemudian diakhiri dengan tawa yang lepas.

"Walau mereka nakal, tapi mereka nurut. Mereka sangat hormat pada guru. Tidak seperti sebagian murid sekarang yang manja, yang kena cubit sedikit sudah lapor polisi. Gurunya sendiri dipenjarakan. Sulit untuk mendapatkan keberkahan ilmu jika seperti itu," tambah ibu Jono.

Dilain kisah, wajah ibu Jono sumringah saat menceritakan bagian yang ini. "Kalau ada siswa yang tidak bisa mengerjakan soal matematika, saya suruh duduk di meja saya, saya perintahkan mereka untuk mengerjakannya di samping saya. Dan lucunya, biasanya mereka jadi bisa," ibu Jono kembali tertawa lepas.

"Kalo Aa Gym, saat dia kesulitan mengerjakan soal, biasanya dia seperti ini," ibu Jono mengemut ibu jari tangan kanannya. Mencoba menirukan tingkah salah satu muridnya dulu. Kemudian ibu Jono tertawa lagi.

"Hormat pada guru, maka ilmu kita akan bermanfaat," ibu Jono menyimpulkan.

Dua. Semua anak ibu Jono, kini telah menjadi orang. Satu diantaranya tinggal di Kanada. Semuanya jebolan universitas ternama.

"Dulu, universitas hanya ada sedikit. Sekarang mah banyak. Dulu, susah mengajak orang untuk sekolah. Harus dipaksa, harus ditarik-tarik dulu. Mbak saya juga sudah nikah ketika kelas empat SD," kenang ibu Jono.

"Pendidikan itu penting. Penting sekali. Kita harus sekolah untuk mendapatkan ilmu. Semua anak saya wajib kuliah. Hanya anak bungsu yang dulu tidak mau kuliah. Dia matematikanya lemah. Dia bilang ingin kerja saja," ujar ibu Jono.

"Saya bilang pada dia 'Ibu itu sarjana, kamu tidak malu kalau hanya lulus SMA saja, orang ibunya saja bisa jadi sarjana kok, masa anaknya tidak'. Setelah itu dia mau kuliah juga. Dan lulus sebagai sarjana hukum," kata ibu Jono.

"Setiap pagi, sebelum berangkat sekolah, saya selalu mentitahkan untuk solat dhuha pada anak-anak saya. Setelah itu baca AlQur'an minimal satu ayat. Setiap hari harus seperti itu," jelas ibu Jono pada saya dan Tian. Kami berdua mengangguk pelan. Kagum dengan setiap kalimat dari ceritanya.

Tiga. Kami, para santri, mengenal ibu Jono sebagai sosok yang dermawan.

"Saya dan almarhum bapak, sepakat untuk selalu berbagi rezeki pada sesama. Selama kami ada rezeki lebih, bapak selalu mengingatkan saya untuk berbagi. Saya selalu berdo'a pada Allah, 'Yaa Allah, mohon selalu ingatkan saya untuk terus berbagi'. Pokoknya hidup itu harus berbagi," Tutur ibu Jono.

"Kamu pasti ingat saat bapak meninggal?" Ibu Jono bertanya pada saya.

Saya mengangguk.

Benar, saat itu bapak Jono solat ashar di mesjid pondok. Selepas solat, saat turun dari tangga, beliau jatuh. Penyakitnya kambuh. Asatidz dan para santri membantu bapak Jono. Beliau dibawa ke rumah sakit terdekat. Dan, tidak lama setelah itu, bapak Jono meninggal.

"Sehari sebelum kepulangannya, ternyata bapak membagi-bagikan sebungkus tahu pada semua warga komplek. Saya sendiri tidak tahu itu. Saya baru tahu setelah bapak tiada. Para warga yang menceritakannya. Bapak itu sering berbagi. Bapak itu selalu berbagi." Kenang ibu Jono.

Empat.

"Kita harus mengalah demi kebaikan. Alhamdulillah, selama hidup, saya tidak pernah memiliki musuh. Kita harus berbaik sangka pada siapapun. Pokoknya, selama nama kita tidak disebut, meski arahnya tertuju pada kita, kita jangan marah. Meskipun smesh-annya pada kita, selama nama kita tidak disebut, kita harus husnudzon saja bahwa itu bukan untuk kita." Nasihat ibu Jono.

"Meski ada yang memusuhi kita, kita harus tetap berbuat baik. Kita harus mewariskan kebaikan untuk keturunan kita. Ingat! Karma itu ada! Jika kita menendang orang, pasti nanti kita juga akan ditendang orang. Jika tidak terjadi pada kita, pasti anak atau cucu kita akan ditendang orang. Karenanya kita harus selalu berbuat baik. Agar kita bisa mewariskan kebaikan untuk anak dan cucu kita nanti."

Kemudian ibu Jono mengisahkan bagaimana keajaiban-keajaiban yang menyapa hidup beliau bersama bapak Jono. Setiap kali keajaiban itu datang, setiap itu juga mereka mengucap syukur. Pada beberapa kejadian yang di luar logika, ibu Jono selalu melakukan sujud syukur. Jujur, saya dibuat kagum dengan kisah ibu Jono dan bapak Jono. Pada kebaikan mereka. Dan pada semua keajaiban yang dianugerahkan Allah pada mereka. Saya takjub.

Di sela-sela ibu Jono menceritakan kisahnya dengan bapak Jono, saya tidak tahan untuk mengajukan sebuah pertanyaan.

"Ibu," saya mencuri tanya pada jeda ceritanya. "Saya boleh tanya?"

"Iya." Ibu Jono mempersilahkan.

"Selama hidup bersama bapak, saya pikir pasti pernah ada perbedaan pendapat, atau mungkin sampai bertengkar. Nah, jika itu sedang terjadi, bagaimana ibu dan bapak menyelesaikannya?"

Ibu Jono tersenyum menatap saya. Wajah beliau sumringah seperti segera ingin menjawab pertanyaan saya.

"Kami tidak pernah bertengkar mulut. Tidak pernah ada suara."

Saya mengernyitkan dahi. Maksudnya?

Ibu Jono paham tatapan saya.

"Kami bertengkar lewat surat."

"Surat?!" Mata saya membulat. Kening bergelombang.

"Jika sedang kesal, saya marah lewat surat. Saya simpan surat itu di meja. Setelah itu bapak juga membalas dengan surat. Pokoknya, jika kami sedang bertengkar, anak-anak tidak boleh ada yang tahu. Mereka harus tahunya kami baik-baik saja," jelas ibu Jono.

"Yang paling membuat saya kesal itu, jika bapak sedang marah, larinya pasti ke makanan. Semua makanan yang ada di rumah pasti habis. Pernah kue satu toples dilahap habis. Pernah juga makanan satu meja dihabiskan," lalu ibu Jono tertawa lepas sebab kenangan ini.

"Waktu itu bapak pernah kesal. Saya tahu dia sedang marah. Saya segera ambil sebagian makanan yang ada di meja. Saya sembunyikan di lemari. Sebab jika tidak begitu, semua makanan di atas meja pasti habis," ibu Jono tertawa lagi.

Ini adalah beberapa buah manis yang saya petik dari obrolan kami. Seperti yang sudah saya tuliskan di depan. Pagi ini, ibu Jono laksana mentari pagi. Kedatangannya menghangatkan pagi saya hari ini. Terima kasih ibu Jono. Terima kasih bapak Jono. Dan terima kasih Allah, karena telah menuntun hidup saya hingga bertemu dengan sepasang Romeo dan Juliet-nya Indonesia. Saya tidak melebih-lebihkan permisalan ini ya. Sebab ibu Jono sendiri yang mengatakannya pada saya.

"Jika sedang bergandengan bersama bapak. Warga selalu memanggil kami dengan sebutan Romi dan Yuli, hehehe..."

Demikian.


***

Senin, 18 April 2016

Kesehatan Kita, Juga Milik Mereka



           Seorang teman, namanya Eris, kawan satu kamar di daarul haliim. Mengirim sepotong kalimat yang tidak begitu panjang di grup whats app santri. Meski pendek,  tapi memiliki rasa yang sangat lezat menurut saya. Kurang lebih isinya seperti ini:

Mari jaga kesehatan. Sebab bukan hanya dirimu yang membutuhkan kesehatanmu. Tapi juga amanah yang sedang menggelayut di pundakmu. Masih ingat bagaimana dampak yang timbul ketika Pak Satim sakit? Sampah menumpuk di setiap depan rumah. Hingga kita harus membersihkannya sampai larut malam. Maka jagalah kesehatan. Tidak sekedar untuk dirimu. Tapi juga bagi amanah yang butuh kesehatanmu.

Sebuah deretan kata yang hanya terdiri dari beberapa kalimat. Tapi langsung menusuk hati kala saya selesai membacanya. Tidak main-main. Ujung pisau kalimat itu menghujam ke dasar hati. Bagaimana tidak? Sebab saya adalah satu dari beberapa aktor dalam peristiwa yang Eris kutip dalam kalimatnya. Agar lebih jelas, saya akan coba kisahkan lagi episode itu. Begini:

Adalah pak Satim. Usianya setengah baya. Beliau adalah tim keamanan sekolah daarul fikri yang lokasinya hanya sepelemparan batu dari ponpes daarul haliim. Tugas jaga sang juru keamanan ini dimulai dari setelah isya hingga menjelang adzan subuh. Begitu terus setiap hari. Selain pekerjaan pokok ini, pak Satim juga memiliki pekerjaan sampingan. Yaitu sebagai petugas kebersihan komplek perumahan sekitar daarul haliim. Saban pagi pak Satim mendorong gerobak berkeliling komplek, untuk mengambil plastik sampah yang sudah setia menunggunya di depan rumah warga. Butuh beberapa kali balikan bagi pak Satim hingga plastik-plastik itu ludes dan berpindah tempat ke pembuangan akhir. Menjelang siang hingga sore hari, jika sedang ada di asrama, tidak saya temukan lagi sosok pak Satim. Sepertinya itu adalah jam istirahat beliau. Penampakan pak Satim dapat dilihat lagi malam hari. Di pos jaga depan sekolah daarul fikri.

Suatu hari, pak Satim sedang tidak sehat. Hingga menyebabkannya memohon izin dari pekerjaannya sebagai penjaga malam. Otomatis tugasnya sebagai juru kebersihan juga alpa. Kemudian apa yang terjadi dengan pos satpam? Tentunya sekolah menugaskan pengganti selama pak Satim sakit. Lalu bagaimana dengan nasib plastik sampah di setiap rumah warga? Hari pertama ketiadaan pak Satim belum terasa efeknya. Tapi apa yang terjadi setelah hari-hari berikutnya? Pelan-pelan plastik sampah menumpuk di halaman depan rumah warga. Hingga akhirnya asatidz daarul haliim mewasiatkan kepada para santri ikhwan dewasa untuk mengamalkan ilmu yang telah dimiliki. Satu kalimat saja yang dikutip. Yaitu: Kebersihan adalah sebagain dari iman. Alhasil, pasukan santri ikhwan turun. Kami menyingsingkan lengan baju. Pada kalimat “menyingsingkan lengan baju” ini merupakan kalimat denotatif. Kalimat dengan arti yang sebenarnya. Bukan apa-apa, kami khawatir baju kami kotor dicium sampah, hehe... Kami lembur membasmi sampah hingga larut malam. Setelah rampung, kami langsung tepar.

Kembali pada kalimat dari whats app Eris di atas. Kisah tentang pak Satim ini bisa kita jadikan sebagai pelajaran. Pelajaran agar kita selalu menjaga kesehatan diri. Tubuh adalah amanah dari Allah. Yang namanya amanah tentunya harus kita jaga agar tubuh senantiasa dalam kebugaran. Banyak peluang kebaikan yang bisa kita lakukan dengan kondisi tubuh yang prima. Lain halnya jika tubuh kita sedang sakit. Akan terasa berat meski hanya untuk menggeser pintu kebaikan supaya bisa terbuka. Lebih jauh lagi, dan ini adalah memang maksud utama dari tulisan kali ini. Sebab bukan hanya diri kita yang membutuhkan kesehatan kita. Tapi juga amanah yang sedang menggelayut di pundak masing-masing dari kita. Mari kita jaga kesehatan. Dengan rutin berolahraga, juga mengkonsumsi makanan sehat. Serta masih banyak lagi upaya untuk memperoleh kesehatan lainnya. Jika sekiranya kita tetap disapa sakit padahal telah sekuat tenaga dan jiwa menjaga kesehatan. Itu adalah lain cerita. Allah pasti memiliki rencana lain. Tentunya adalah rencana terbaik bagi kita. Tugas kita adalah hanya berusaha saja. Berusaha untuk menunaikan amanah terhadap tubuh kita. Begitu.
***

Sabtu, 09 April 2016

Bersihkan Dulu, Lalu Berhias



Seperti biasa, malam Jum'at adalah jadwal para santri laki-laki besar ponpes Daarul haliim berkumpul di teras depan rumah Kyai Rofiq. Agendanya adalah mengaji. Lebih tepatnya mengaji khusus untuk para santri ikhwan generasi pertama.

"Untuk ngaji malam Jum'at di rumah saya, sementara santri ikhwan yang besar-besar dulu," kurang lebih kalimat ini yang dulu kyai Rofiq ucapkan pada kami.

Satu kebiasaan kyai Rofiq sebelum mulai pengajian adalah membawa setumpuk makanan. Dan yang tidak pernah terlewatkan adalah buah-buahan. Biasanya kyai membawa nampan dari dalam, kemudian meletakan makanan dan buah-buah di nampan itu pada meja di hadapan para santri. "Silahkan dimakan dulu," tawar kyai Rofiq.

Jika sudah begitu, biasanya santri saling tatap. Tidak ada bahasa memang, tapi mata mereka yang berbicara. "SIKAT!" mungkin itu arti dari tatapan para santri. Awalnya, tidak ada pergerakan dari santri. Sependek pengamatan saya, tangan para santri mulai ada pergerakan ketika kyai Rofiq menawarkan untuk yang kedua kalinya. "Silahkan dimakan!". Pelan-pelan tangan santri merayap di atas meja. Tentunya dengan mata masih saling memandang. Saat kyai beranjak masuk rumah. Tanpa ada komando, kecepatan tangan santri seolah menyerupai kecepatan cahaya. Serempak mereka menerkam isi nampan. Tidak terkecuali juga tangan saya, hehe.

Episode kali ini, kyai Rofiq menjelaskan tentang kebersihan diri.

"Kata imam Ghozali, agama itu dua, yaitu perintah dan larangan. Dari kedua hal ini, mana yang harus kita dahulukan? Yang harus kita dahulukan adalah larangan," jelas kyai Rofiq. Kami, para santri, duduk terpaku menatap sang kyai.

"Imam Ghozali juga berkata, bahwa asal agama itu adalah larangan. Perintah itu terbatas waktu dan tempat. Sementara larangan tidak." Jelas kyai Rofiq menambahkan.

                "Contoh, kita diperintahkan untuk solat. Solat itu ada waktu-waktunya. Dalam sehari kita diwajibkan solat lima kali. Setiap solat ada waktunya masing-masing. Kemudian, adakah solat setelah solat subuh sampai terbit matahari? Lalu adakah solat setelah ashar hingga terbenam matahari? Tidak ada kan? Lha, inilah maksud dari perintah itu ada batas waktu dan tempatnya."

"Kemudian, setiap bulan Ramadhan, kita ada kewajiban membayar zakat fitrah. Lalu apakah bisa kita berzakat fitrah di bulan selain Ramadhan? Tentu tidak akan bisa kan? Inilah maksud perintah terbatas waktu dan tempat itu."

"Sekarang kita berpindah pada larangan," kyai Rofiq memberi jeda. Sekedar membiarkan kami untuk berpikir. "Misalkan berzinah. Melakukan perzinahan itu haram bagi siapapun. Baik muda maupun tua. Apakah kemudian berzinah boleh dilakukan saat seseorang sudah mencapai usia 40 tahun misalnya? Tidak kan?! Tetap saja tidak boleh. Inilah bukti bahwa larangan tidak terbatas waktu dan tempat." jelas kyai Rofiq. Mata beliau menyisir mata para santri. Saya menunduk.

"Dari sini kita tahu bahwa, menghindari keharaman dan kemaksiatan, itu harus didahulukan dari melakukan ibadah. Membersihkan hati dan diri itu harus didahulukan dari menghias. Ibaratnya seperti ini, apa gunanya kita memakai baju bagus, jika kita belum mandi?" kyai memberi pertanyaan retoris.

"Nabi berkata, takutlah dengan perkara haram, maka engkau akan menjadi orang yang paling ahli ibadah." kyai mengutip kalimat Rasul. Lalu melanjutkan ucapannya. "Kuncinya adalah selalu merasa diawasi Allah. Jika sudah begitu, insyaAllah tidak akan melakukan maksiat. Lalu bentuk syukurnya adalah dengan melakukan ibadah kepada Allah."

"Baik, segini saja dulu untuk ngaji malam ini. Sedikit, tapi mudah-mudahan meresap ke dalam hati. Seperti biasa, setelah ini kita akan dzikir bersama." kyai Rofiq menutup pengajian.

Kyai masuk rumah. Mematikan lampu teras depan. Biasanya kami dzikir dengan lampu padam. Disela-sela dzikir, sebagian santri terisak. Mereka menangis. Saya selalu iri pada mereka. Saya juga ingin seperti mereka.

"Silahkan menangis, sebab hati yang lembut itu mudah menangis jika ingat dosa. Air mata yang menetes karena takut dosa, kelak akan menjadi penghalang pemiliknya masuk neraka," lirih kyai Rofiq di tengah dzikir. "Hati yang keras adalah hati yang sulit nangis meski ingat dosa," kyai menambahkan. Mendengar kalimat kyai, saya takut, ingat dosa yang menumpuk, dan akhirnya mewek juga. Hehe.

                Masya Allah, banyak pelajaran berharga yang saya peroleh dari pengajian malam Jum'at kali ini. Dan kalimat yang masih terngiang di telinga hingga detik ini. Bahkan hingga detik saya membuat tulisan ini. Adalah "Apa gunanya memakai baju bagus, jika kita tidak mandi. Membersihkan, itu didahulukan daripada menghias diri". Wallahu'alam.
***

Minggu, 27 Maret 2016

Amalkan



                Dulu, ketika saya SMA, guru saya pernah bilang bahwa banyak teman masa kuliahnya yang berasal dari Malaysia. Dan itu tidak hanya satu dua guru saja yang mengatakan kalimat itu. Masih ada beberapa guru lagi yang menyuarakan kata-kata yang sama. Sekarang, saat saya kuliah, tidak sedikit juga dosen yang mengatakan bahwa ada banyak mahasiswa asal Malaysia yang kuliah di Indonesia. Tapi itu dulu. Sekarang lain lagi ceritanya. kisah telah berbalik. Bahwa sekarang, justru mahasiswa Indonesia yang banyak menempuh studi di negeri Jiran. Termasuk beberapa rekan saya yang lebih memilih melanjutkan kuliah ke Malaysia ketimbang di negerinya sendiri. 

                Menurut humas kedutaan Indonesia di Kuala Lumur, bapak Eka A. Suripto, mahasiswa Malaysia yang belajar di Indonesia berjumlah 2.355 orang. Sedangkan mahasiswa Indonesia yang menempuh studi di Malaysia berjumlah lebih dari lima ribu pelajar. Waw, lebih dari dua kali lipatnya. Adanya pembalikan arus pendidikan ini tentu bukan tanpa alasan. Boleh jadi sekarang kualitas pendidikan Malaysia lebih baik dari Indonesia. Itulah mungkin yang menjadi alasan sebagian pelajar Indonesia ingin belajar di negerinya Siti Nurhaliza. 

Supaya lebih benderang, mari kita lihat peringkat negara dengan kualitas pendidikan terbaik. Tahun 2015. Ternyata jawaranya jatuh pada Singapura. Negeri kecil di pinggir Selat Malaka itu menyalip Finlandia yang dalam 14 tahun terakhir secara berturut-turut duduk di kursi puncak dengan kkualitas pendidikan terbaik. Lantas Malaysia duduk di kursi nomer berapa? Adalah pada posisi nomer 52. Kemudian bagaimana dengan Indonesia? Negeri kita ada pada 17 strip di bawah Malaysia. Indonesia ada di urutan nomer 69. Jelas sudah sekarang, sepertinya memang kualitas inilah yang manjadi penyebab utama dari perubahan arah arus pendidikan Indonesia dan Malaysia. 

                Satu pertanyaan yang bernyanyi-nyayi di kepala saya. Mengapa?

                Dulu, petronas (perusahaan minyak Malaysia) belajar pada pertamina (perusahaan minyak Indonesia). Petronas belajar tentang production sharing contract (kontrak bagi hasil). Jika diibaratkan, pertamina adalah gurunya, sedangkan petronas adalah muridnya. Setelah banyak tahun terlewati, lalu apa yang terjadi pada nasib dua perusahaan minyak negara itu? Data ini mungkin dapat menjelaskannya. Pada index PIW (Petroleum Intelligent Weekly tahun 2007, petronas ranking 17 untuk urutan perusahaan minyak. Sementara pertamina ada di urutan 30. Sekarang ternyata sang guru posisinya ada di bawah si murid. Selain itu, keuntungan tahun 2014, petronas mengantongi pundi-pundi sebesar 20 milyar dollar Amerika. Sedangkan pertamina sangat-sangat jauh di bawah itu. Jika pun 138 BUMN Indonesia digabung jadi satu, penghasilannya tetap tidak bisa melampaui petronas seorang diri. 13,5 milyar dollar adalah jumlah keuntungan dari gabungan banyak BUMN Indonesia. Weleh-weleh!
 
                Pertanyaan yang ada di kepala saya masih sama. Kenapa? Kenapa seperti ini? Dan pertanyaan pendek ini telah lama bersemayam di otak saya. Lama sekali tidak kunjung terjawab. Bertahun-tahun belum saya temui jawabannya. Hingga akhirnya, tanda tanya besar ini baru saya temukan jawabannya. Dan itu saya temukan dari ucapan Bunda asal Malaysia yang sedang belajar di pesantren Daarul haliim. Ponpes tempat saya belajar sekarang. Saat itu sang Bunda berucap seperti ini. “Orang Indonesia pinter-pinter. Ilmunya banyak dan tinggi. Kita orang Malaysia kalah. Tapi orang Indonesia sedikit dalam mengamalkan ilmunya. Semantara kita orang Malaysia, saat dapat ilmu, langsung diamalkan.”

                Ternyata oh ternyata, inilah jawabannya. Sederhana sekali sebenarnya. Adalah Pengamalan ilmu. Ini sejalan dengan kalimat indah yang pernah dikatakan oleh Imam Ghozali. Bahwa semua orang celaka, kecuali yang berilmu. Dan yang berilmu celaka, kecuali yang mengamalkan ilmunya. Juga yang mengamalkan ilmunya celaka, kecuali yang mengamalkan ilmunya dengan ikhlas

                Jika boleh saya mengubah kalimat Imam Ghozali di atas yang ada kaitannya dengan tulisan kali ini. Jadinya mungkin akan seperti ini: Semua negara terbelakang, kecuali negara yang berilmu. Semua negara berlimu terbelakang, kecuali negara yang mengamalkan ilmunya. Semua negara yang mengamalkan ilmunya terbelakang, kecuali negara yang telah mengamalkan ilmunya dengan ikhlas. Titik.

                Jika kita mau merenungkan lebih jauh lagi. Sebuah negara, tidak terkecuali Indonesia, adalah seumpama jasad. Sementara ruhnya itu adalah penduduk yang menempati negara-negara tersebut. Kualitas jasad akan dipengaruhi oleh kualitas ruh di dalamnya. Pun demikan, kualitas negara, baik atau tidaknya, juga dipengaruhi oleh kualitas penduduk yang menempatinya. Jika kita ingin Indonesia tercinta kita menjadi sebuah negara yang baik dan berjaya. Tentunya kita harus menjadi seorang penduduk yang baik. Seorang penduduk yang terus belajar dalam mencari ilmu. Seorang penduduk yang kemudian mengamalakan ilmunya. Seorang penduduk yang mengamalkan ilmu-ilmunya dengan tulus ikhlas. Jika masing-masing dari kita telah menjadi seperti itu. Maka akan terhimpun penduduk dengan kualitas super. Jika sudah begitu, maka berjayanya Indonesia bukan hanya sekedar impian belaka. Demikian. Wallahu’alam.   
***

Sabtu, 26 Maret 2016

Going Extra Miles




               Kayuhan kaki bertambah cepat. Laju sepedah semakin kencang meluncur. Kali ini sepedah kuning yang saya kemudikan melintas jalan perumahan. Sepintas saya menoleh ke sebelah kiri. Di sana ada sebuah tanah lapang seluas lapangan basket. Ada beberapa anak kecil berlari-lari. Mereka sedang memperebutkan sebuah bola. Seketika itu jari saya reflek menekan rem depan. Sepedah langsung berhenti. Sebab berhenti dadakan, roda belakang agak sedikit terangkat.

                Saya simpan kaki kanan di tanah, bermaksud agar sepedah tetap berdiri seimbang. Mengapa saya berhenti? Tujuannya hanya satu. Adalah karena sepak bola. Sebab anak-anak itu sedang bermain bola. Saya ingin nonton. Sekaligus bernostalgia. Mengenang masa kecil dulu. 

                Ingatan langsung melesat ke masa lalu. Saat usia saya sama dengan umur anak-anak yang sedang bermain bola. Di sana, di kampung saya. Di pesisir pantai barat pulau jawa. Di Selat Sunda. 

                Adalah Cipacung. Sebuah kampung kecil di kawasan wisata pantai Anyer, Banten. Tidak sedikit penduduk Serang Barat yang menyebut Cipacung dengan julukan Brazilnya Serang Barat. Mengapa? Sebab kampung kecil itu ibarat sebuah pabrik yang menghasilkan para pemain sepak bola handal. Setidaknya untuk daerah Banten. Hampir setiap generasi, ada saja pemuda Cipacung yang masuk klub sepak bola profesional yang tersebar di kota jawara itu. 

                Kala itu, saya ingin menjadi pemain di generasi saya yang mampu tembus tim profesional. Tentunya saya harus melewati tahap seleksi terlebih dulu. Saat itu, ada ratusan anak muda yang memiliki mimpi yang sama dengan impian saya. Kami harus berjuang untuk menjadi bagian dari tim PERSERANG yang jumlahnya hanya sehitungan jari tangan dan jari kaki saja. Jika ingin masuk, kuncinya hanya satu. Harus lebih hebat skill sepak bolanya dari para kompetitor. 

                Satu dari banyak kenangan yang masih saya ingat hingga hari ini adalah sebuah kalimat pembakar semangat yang diteriakan oleh pelatih. Dengan tatapan tajam, sang pelatih memandang kami. 

“Kalian harus tahu! Saingan kalian tidak hanya orang-orang yang ada di kiri dan kanan kalian saja! Saingan kalian adalah seluruh pemain sepak bola yang ada di muka bumi ini! Jika kalian ingin menjadi yang terbaik! Maka kalian harus pegang bola lebih banyak! Kalian harus latihan lebih lama dari yang lain! Going extra miles!!!!”.   

Mendengar kalimat itu. Semangat saya mendidih hingga ke ubun-ubun. Sejak hari itu saya berlatih lebih banyak dari hari-hari sebelumnya. Singkat cerita, Takdir Allah, saya menjadi bagian dari klub impian itu. Saya menjadi pemain PERSERANG. I make my drams come true

Point yang ingin saya angkat dari tulisan kali ini adalah tentang melakukan lebih. Melakukan lebih untuk mendapatkan yang lebih pula. Orang-orang besar di bidangnya masing-masing, sebelum mereka menginjakkan kakinya di puncak tertinggi hari ini, ada sesuatu yang sangat besar yang harus mereka bayarkan untuk mendapatkan semuanya. Niat yang besar. Pengorbanan yang besar. dan tentunya rintihan do’a yang besar pula. 

Sebut saja Rudi Hartono. Sang legenda hidup milik Indonesia. Dalam dunia bulu tangkis, siapa yang tidak kenal dia. Tidak hanya terkenal di Nusantara, tapi juga di seantero dunia. Bagaimana tidak. Sampai detik ini, belum ada atlet yang mampu menyamai prestasinya di ajang All England. Sebuah kompetisi bintang lima dalam olahraga bulu tangkis. Rudi Hartono menyabet juara delapan kali. Tujuh diantaranya dia raih dengan berturut-turut. Sebuah prestasi yang sangat membanggakan negeri. 

Saat saya membaca kisah hidup sang legenda hidup itu. Ternyata rahasianya hanya satu. Sang Rudi Hartono kecil berlatih lebih banyak dari teman-temannya. Dia rela berangkat lebih pagi agar bisa berlatih lebih lama dari yang lain. Dan itu tidak dia lakukan hanya dalam beberapa hari saja. Tapi dilakukan sepanjang masa dia menempa diri di kawah candradimuka. Sebelum kelak keluar dari kawah dan menjelma menjadi super hero bulu tangkis yang tiada duanya. 

Apakah sudah cukup dengan kisah Rudi Hartono? Jika belum, saya akan kutip kisah agung dari seorang sahabat Nabi Muhammad SAW. Sebelum masuk islam, nama sahabat ini adalah Abdus Syams. Ketika sudah memeluk islam, namanya diganti oleh Rasulullah SAW, menjadi Abdur Rahman. Sebab beliau sering membawa anak kucing, maka orang-orang menjulukinya dengan sebutan Abu Hurairah.

Abu Hurairah terkenal dengan ingatannya yang sangat kuat. Terbukti beliau adalah seorang sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits. Abu Hurairah masuk islam belakangan. Yaitu empat tahun sebelum wafatnya baginda nabi. Sebab itu, setelah menjadi muslim, Abu Hurairah selalu mengikuti kemanapun Rasul pergi. Dia membersamai Rasul kemana saja. Niatnya hanya satu. Ingin menyecap manisnya ilmu langsung dari manusia paling Agung, yakni Rasulullah SAW. 

Saat baginda nabi wafat, Abu Hurairah mengajarkan banyak hadits. Karena saking banyaknya hadits yang diajarkan, tidak sedikit sahabat yang heran. Pertanyaan yang terbit di pikiran para sahabat itu adalah: Mengapa Abu Hurairah banyak sekali menghafal hadits? Padahal dia masuk islam belakangan? Masih banyak sahabat yang masuk islam lebih dulu darinya

Ketika mendengar pertanyaan-pertanyan itu, ini jawaban hebat yang keluar dari mulut Abu Hurairah: Benar, saya memang masuk islam belakangan. Banyak sahabat yang lebih dulu bersyahadat dari saya. Perlu diketaui, saya adalah orang miskin. Saya tidak pandai berniaga seperti para sahabat Muhajirin. Saya juga tidak memiliki lahan, dan tidak bisa berkebun layaknya para sahabat Anshor. Karena itu saya selalu berada dekat dengan Rasul. Saya ingin lebih banyak dekat dengan baginda nabi. saya ingin meneguk manisnya ilmu dari beliau. Mungkin sebab itu saya hafal lebih banyak hadits.

Kata kunci dari jawaban Abu Hurairah adalah bahwa beliau lebih banyak bersama nabi dibanding dengan para sahabat lain. Sebab itu, lebih banyak hadits yang beliau hafal dibanding hadits yang dihafal sahabat-sahabat lain. Masya Allah.

Sekali lagi. Kuncinya adalah going extra miles. Going extra miles-nya Rudi Hartono adalah latihan lebih lama dari teman-temannya. Dan going extra miles-nya Abu Hurairah adalah kebersamaannya dengan Rasul lebih banyak dari para sahabat-sahabat lain. Kemudian, pertanyaan yang kemudian timbul adalah: Lalu apa going extra miles milik kita? Mari kita gali. Agar kelak bisa berdiri di puncak yang paling tinggi. InsyaAllah.
***