Senin, 13 November 2017

Sungai



Zulfa tidak hadir lagi. Kondisi kebugarannya belum seratus persen. Nida dan Pak Okin kembali berdua saja di bangku beton. Seperti pertemuan sebelumnya. Hanya meja beton sebagai penghalang mereka.

"Sudah dibaca bukunya?" Pak Okin menunjuk buku yang tergeletak di meja beton.

"Sudah Pak."

"Semua bab?"

"Belum sempat semua. Sementara baru baca yang bab perairan darat dulu. Hehe." Ada sedikit malu di wajah Nida.

"Gakpapa. Kebetulan hari ini materi kita tentang perairan darat. Setelah itu kita lanjut bahas soal-soalnya."

Pak Okin menyiapkan pulpen dan kertas kosong. Ia letakkan kertas putih itu di atas buku tebal kumpulan soal olimpiade geografi. Kemudian pulpen di atasnya lagi.

"Oke. Sebelum kita bahas perairan darat, saya ingin bertanya dulu."

Nida melihat Pak Okin. Siap menerima pertanyaan.

"Ada berapa objek material geografi?"

"Lima." Jawab Nida cepat.

"Sebutkan!"

"Hidrosfer, litosfer, atmosfer, biosfer dan antroposfer."

"Apa definisi hidrosfer?"

"Lapisan air yang menyelimuti bumi."

"Meliputi apa saja?"

"Perairan darat dan laut."

"Apa saja jenis perairan darat?"

Nida diam. Berpikir sejenak. Mengingat-ingat apa yang sudah ia baca beberapa malam lalu.

Pak Okin menunggu.

"Mmm. Sungai. Danau. Rawa dan air tanah."

"Oke bagus. Hari ini insyAllah kita akan bahas bagian sungai saja dulu."

Pak Okin mengambil buku dan kertas. Ia pangku di pahanya. Jemari kanan Pak Okin menggenggam pulpen. "Saya ingin tanya lagi."

Nida mengambil buku pinjaman Pak Okin. Bila pertanyaannya sulit. Nida berniat untuk membuka buku.

Pak Okin tersenyum. Paham dengan maksud tingkah Nida.

"Masih ingat dengan pelajaran siklus hidrologi? Jika masih, jelaskan perbedaan siklus pendek, sedang dan panjang?"

"Terjadi penguapan di laut, kemudian hujan di laut lagi. Itu siklus pendek." Ada jeda. "Terjadi penguapan di laut. Lalu uap yang sudah menjadi awan tertiup ke daratan. Kemudian turun hujan dan airnya kembali ke laut. Itu siklus sedang." Ada jeda lagi. Nida menarik nafas. "Sementara pada siklus panjang, awannya tertiup ke dataran tinggi lalu terjadi hujan air atau hujan salju. Dan ujungnya air itu kembali ke laut lagi." Nida menutup jawabannya dengan sebuah senyuman. Giginya tampak. Putih dan tersusun rapih.

"Setelah turun hujan. Sebelum kembali ke muaranya di laut. Apa yang terjadi pada air yang mengguyur bumi?"

"Ada sebagian air yang terserap ke dalam tanah. Namanya proses infiltrasi, yaitu proses penyerapan air ke dalam tanah secara vertikal. Lalu ada sebagian air yang mengalir di atas bumi. Namanya run off. Atau aliran permukaan."

"Oke." Pak Okin memuji jawaban Nida. "Pada proses run off, air mengalir melalui apa?"

"Lewat sungai, selokan-selokan atau yang sejenisnya."

"Bagus," Pak Okin puas. "Apa maksud saya memberikan urutan pertanyaan seperti tadi? Adalah ingin memberikan gambaran dimana letak keberadaan dan peran sungai dalam siklus hidrologi."

Nida manggut tanda mengerti.

"Sekarang sudah paham apa peran sungai dalam siklus hidrologi ya?" Pak Okin bertanya meyakinkan.

Nida mengangguk.

"Yakin?"

"InsyaAllah Pak."

"Memang apa peran sungai?" Pak Okin menguji.

"Sebagai jalan atau saluran tempat kembalinya air dari hulu menuju muaranya di hilir, yaitu laut."

"Bagus. Berarti selesai sudah pengantar untuk materi hari ini. Sekarang saatnya kita masuk ke materi inti. Sebelum kita bahas definisi, jenis, pola aliran, bagian sungai dan yang lain-lainnya. Terlebih dulu kita akan bahas manfaat sungai bagi kehidupan manusia." Pak Okin menerangkan. "Bagi saya, pada bagian inilah mengapa saya cinta geografi. Dalam geografi kita tidak hanya belajar bagaimana suatu fenomena itu terjadi. Tapi kita diajarkan juga mengapa terjadi dan apa dampaknya bagi manusia. Sehingga kita bisa paham dengan peran kita sebagai kholifah. Melanjutkan titah Sang Pencipta yang telah diberikan kepada kakek moyang kita, yaitu Nabi Adam as. Juga kita bisa mengerti apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin kita perbuat pada bumi."

"Dengan pahamnya kita tentang apa tugas kita di dunia, insyaAllah kita akan sekuat jiwa menjaga bumi kita. Dan dengan bekal pengetahuan geografi, insyaAllah kita akan arif dalam mengelola dan memanfaatkannya."

"Sekarang." Pak Okin diam sebentar. "Sebelum saya jelaskan. Menurut Nida. Apa saja manfaat sungai bagi manusia?"

"Hehe," Nida ketawa kecil. "Saya boleh lihat buku Pak ya." Pinta Nida.

Pak Okin membuka tangan kanan. Telapaknya terarah ke atas. Lalu menunjuk pada buku. Isyarat mempersilahkan.

Nida membuka-buka lembar buku. Mencari bagian manfaat sungai. "Untuk irigasi," telunjuk Nida mencari kalimat setelahnya. "Untuk pembangkit listrik." Telunjuk Nida bergeser lagi,"Untuk prasarana lalu lintas, untuk penunjang industri, untuk perikanan, juga untuk keperluan sehari-hari seperti untuk mandi, mencuci dan bahkan minum." Nida selesai membaca semuanya. Lalu melihat Pak Okin lagi.

"Begitu banyak manfaat sungai bagi kehidupan manusia. Bahkan, pada zaman dulu, sungai menjadi penyebab lahirnya peradaban-peradaban besar dunia. Seperti Mesopotamia yang berdiri di sekitar sungai Efrat dan Tigris. India yang tumbuh di pinggiran sungai Indus. Cina bertumbuh di dekat sungai Kuning dan Yang Tse. Juga Mesir yang lahir di sisi sungai Nil." Pak Okin menambahkan.

"Bahkan. Dari buku yang pernah saya baca. Peradaban Mesir menjadi besar, salah satu penyebabnya karena Mesir optimal dalam memanfaatkan sungai sebagai lalu lintas surat-surat informasi ke daerah-daerah kekuasaannya.

"Lewat sungai Nil Pak?" Nida bertanya.

"Ya. Menyusuri sungai Nil. Sungai terpanjang di dunia. Dengan panjang sekitar enam ribu enam ratus tujuh puluh kilometer."

"Pada buku lain. Disebutkan bahwa Mesir itu adalah hadiah dari sungai Nil. Sebab hampir seluruhnya Mesir adalah hamparan Padang pasir. Hanya empat persen saja daratan Mesir yang berpenghuni manusia. Dan itupun hanya di pinggiran sungai Nil saja. Dapat kita bayangkan seandainya Nil tidak melewati Sahara. Maka tidak akan pernah ada yang namanya Mesir. Nil dan Mesir itu satu paket. Mereka berjodoh."

Saat Pak Okin mengatakan kalimat "Mereka berjodoh", mata Pak Okin bertabrakan dengan mata Nida yang memang sedari tadi melihat Pak Okin yang sedang menjelaskan. Ada setruman lembut ketika dua pasang mata itu beradu. Pancarannya berbeda dengan pandangan-pandangan sebelumnya. Ada sederet kalimat yang dikatakan oleh sorot mata-mata mereka. Sederet kalimat yang tidak mampu disuarakan lidah Nida dan lidah Pak Okin.

Oh Gusti. Kenapa harus seperti ini? Ini adalah sebuah kesalahan. Lirih Pak Okin dalam hati. Mohon jaga kami. Mohon jaga kami. Mohon jaga kami. Mohon dengan sangat.

Pak Okin penuh harap mampu melakukan apa yang bisa dilakukan sungai kala setumpuk limbah tertumpah. Pelan-pelan sungai kembali menjernihkan dirinya lagi. Semoga waktu dapat membantu dadanya yang tertumpahi setumpuk rasa agar hatinya bisa jernih kembali. Semoga saja. Semoga.

Nida menunduk. Jiwanya berdesir. Dia merasakan ada aroma sungai Nil di sekitarnya. Mungkinkah aroma itu bersumber dari seorang laki-laki yang sedang duduk di hadapannya? Diakah sungai Nil itu? Sungai Nil untuk hidupnya.

***

Bulan



Nida melangkah lima meter di belakang Pak Okin. Sedikit lebih jauh dari biasanya jika sedang ada Zulfa.

Tidak banyak percakapan dalam perjalanan pulang sore ini. Pak Okin terus melaju. Nida mengekor di belakang. Sesekali melihat tas yang digendong Pak Okin. Lebih banyak menunduk menatap jalan.

Nida memeluk buku hidrologi yang Pak Okin pinjamkan sebelum bimbingan olimpiade geografi tadi selesai. Di tengah-tengah buku terselip selembar kertas soal yang barusan telah dibahas. Soal itu titipan Pak Okin untuk Zulfa yang hari ini izin tidak masuk karena sakit.

Pak Okin berhenti. Ia membalik badan. Nida juga ikut menghentikan jalannya. Terlambat satu langkah. Pak Okin dan Nida berdiri berhadapan. Empat meter jarak yang memisahkan mereka.

"Kalau sempat Nida baca semua bab untuk satu minggu kedepan. Tapi jika tidak. Minimal Nida dahulukan yang bab perairan darat. Karena pertemuan selanjutnya insyaAllah kita akan bahas itu," ujar Pak Okin.

"Iya Pak," jawab Nida pendek. Lalu menunduk pada jalan. Kedua tangannya masih memeluk buku.

"Oke. Jangan lupa soal yang tadi kasihkan ke Zulfa ya." Pinta Pak Okin. Pak Okin menunjuk asrama tempat tinggal Nida. "Saya duluan ya." Isyarat untuk menegaskan perpisahan mereka sore ini.

"Iya," Nida mengangguk.

"Assalamualaikum."

"Walaikumussalam."

Pak Okin balik badan. Kembali melanjutkan langkahnya. Nida juga lanjut berjalan. Tapi berbelok ke jalan yang berbeda dengan yang ditempuh Pak Okin.

***

Selepas isya. Jam 20.45. Nida duduk sendiri di saung depan asrama. Biasanya berdua dengan Zulfa. Tapi malam ini Zulfa sudah tidur. Pemulihan setelah sakit demam kemarin lusa.

Di hadapan Nida tergeletak buku pinjaman dari Pak Okin. Empat puluh lima menit sudah Nida mempelajari bagian materi perairan darat. Lebih tepatnya hanya empat puluh menit. Lima menit terakhir Nida rehat. Ia hanya diam memandang bulan separuh yang menempel di langit malam ini. Bayangan Nida terbetot pada minggu-minggu yang telah lewat. Saat ia dan Zulfa mendapat pelajaran tentang bulan dari Pak Okin.

"Jika boleh saya mengarang, menurut saya bulan itu adalah sebuah lambang kesetiaan," ujar Pak Okin ketika itu.

"Kesetiaan?" Zulfa bertanya.

"Iya," Pak Okin mengangguk menegaskan. "Bumi berputar memutari matahari dalam waktu 365 seperempat hari. Selama waktu yang panjang itu bulan selalu mendampingi bumi. Tidak pernah lepas meski sedetik pun. Tidak pernah."

"Selama mendampingi bumi, bulan tidak sekedar diam dan duduk saja. Tapi ada peran yang ia lakukan."

"Peran?" Zulfa bertanya lagi.

"Saat di pesantren dulu, guru saya pernah mengatakan bahwa diciptakannya bulan itu adalah sebagai penunjuk dan penanda waktu. Bagi siapa? Tentunya bagi bumi. Dengan apa bulan memberitahukannya? Adalah dengan bentuk bulan yang terus berganti pada setiap harinya."

Nida dan Zulfa diam saja saat itu. Mereka menunggu penjelasan selanjutnya.

"Saat masuk bulan baru, bulan tak menampakkan bentuknya. Ia bersembunyi di bawah horizon. Ia baru akan muncul setelah masuk tanggal dua atau tiga. Wujudnya hanya segaris cahaya tipis yang melengkung. Beberapa malam berikutnya bentuk bulan menyerupai sebuah senyuman seorang wanita yang melengkung indah. Mempesona. Lalu beberapa malam setelahnya wajah bulan tampak separuh. Seperti bola yang dibelah dua. Itu adalah tanda bahwa sudah masuk malam ke tujuh atau ke delapan pada bulan itu."

Nida terkesiap. Ia kembali pada raganya malam ini. Di saung depan asrama.

Nida melihat lagi bulan yang separuh. Terang. Sebagai hiasan langit malam ini.

Nida ingat Pak Okin lagi.

"Saat bulan penuh. Bulan purnama. Ketika malam lebih cemerlang dari malam-malam sebelumnya. Itu tanda bahwa sudah masuk pertengahan bulan. Yaitu sekitar tanggal tiga belas, empat belas, atau lima belas."

"Pada paruh kedua. Sekira enam atau tujuh malam selepas purnama. Bulan tampak separuh lagi. Jika kita kembali umpamakan bola yang dibelah dua. Maka pada paruh kedua ini wajahnya adalah seperti belahan berbeda dengan wajah bulan pada paruh pertama."

"Akhir bulan. Bentuknya kembali tiada. Ia istirahat di bawah horizon. Sedang mempercantik diri untuk menyambut hari di bulan yang baru."

"Jika boleh saya menambahkan. Selain penunjuk waktu. Bulan adalah hiasan pada kanvas malam. Untuk siapa? Tentunya untuk bumi."

Ketika itu Kening Zulfa dan Nida mengkerut. Pak Okin tersenyum mendapati itu.

"Setelah lelah sehabis kegiatan siang hari, bumi butuh rehat di malam hari. Jika langit tidak tertutup awan, bersama jutaan taburan bintang, bulan adalah hiburan untuk bumi. Sebagai pengantar tidur. Juga tersebab sinar lembutnya hasil pantulan dari sinar matahari. Adalah selimut hangat untuk bumi. Untuk bumi yang kedinginan dibelai malam."

"Waaah. Bulan setia banget ya," Zulfa sumringah. "Cintanya bulan pada bumi pasti besar banget."

Nida tersenyum tipis.

"Mungkin saja," Pak Okin menanggapi celetukan Zulfa. "Boleh jadi itu karena ada sebagian bumi yang menyatu dengan bulan. Pun sebaliknya."

"Sebagian bumi? Maksudnya Pak?" Kali ini Nida yang bertanya. Lembut suaranya.

"Menurut hipotesis yang paling dipercaya. Bahwa pada masa pembentukan tata surya dulu. Ada sebuah benda langit seukuran planet mars yang menabrak bumi. Nama benda langit itu adalah theia. Pasca tabrakan. Ada sebagian materi bumi dan materi theia yang hancur dan berhamburan ke angkasa. Yang kemudian puing-puing serpihan itu kembali tertarik oleh gravitasi bumi lalu menyatu kembali. Pun dengan theia yang hancur parah. Pelan-pelan benda langit itu menarik sisa-sisa material hasil tabrakan untuk disatukan kembali. Theia kembali terbentuk meski dengan bentuk yang lebih kecil. Juga terlahir dengan nama baru. Luna. Atau bulan. Ia terkena pengaruh tarikan bumi. Lalu hingga hari ini, sebab gaya tarik antara keduanya. Bersamaan dengan bumi yang berevolusi mengitari matahari. Bulan juga berevolusi memutari bumi."

"Waaah," senyum Zulfa mengembang mendengar penuturan Pak Okin.

"Saya boleh tanya Pak?" Nida mengangkat tangan waktu itu.

Pak Okin mengangguk. Silahkan.

"Bulan kan memutari bumi. Dalam sebulan. Ada satu waktu posisi bulan berada di antara matahari dan bumi. Lalu ada satu waktu juga bumi yang berposisi di antara matahari dan bulan. Jika memang seperti itu. Seharusnya gerhana bulan dan gerhana matahari selalu terjadi masing-masing satu kali dalam sebulan. Tapi kenapa kenyataannya tidak? Pertanyaan saya adalah. Kenapa bisa seperti itu Pak? Apakah ada fenomena lain yang mempengaruhi?"

Pak Okin tersenyum. Seperti senyumnya seorang anak kecil yang baru diberikan mainan unik oleh orang tuanya. Sebuah senyum aroma antusias. Mata Pak Okin berbinar.

"Masya Allah," Pak Okin memuji pertanyaan Nida. Ia teringat saat kuliah dulu. Pertanyaan serupa yang pernah Pak Okin utarakan pada dosennya di mata kuliah cosmografi dulu.

"Itu karena orbit bulan miring lima derajat dari orbitnya bumi yang mengelilingi matahari. Karena itu, maka gerhana tidak terjadi setiap bulan. Gerhana bulan atau matahari akan terjadi jika posisi sejajar antara bumi, bulan dan matahari itu saat posisi bulan sedang tepat bersinggungan dengan bidang orbitnya bumi terhadap matahari," jawab Pak Okin. "Begitu," Pak Okin mengakhiri.

"Oooh," Zulfa manggut-manggut tanda mengerti. Nida juga.

Nida terkesiap lagi. Kembali pada raganya yang duduk di saung asrama. Ia masih memandang bulan separuh.

Jam 21.00.

Nida kembali melihat buku di depannya. Berniat untuk melanjutkan bacaannya.

Nida meletakkan jemarinya pada lembar halaman sebelah kanan. Hendak membalik untuk membaca halaman berikutnya. Namun tidak jadi. Ada hasrat lain yang berbisik dan menyuruh Nida untuk kembali pada beberapa halaman sebelumnya. Pada sebuah tulisan tangan yang ditulis di sebelah judul bab baru. Bab perairan darat. Jika dihitung, entah untuk yang keberapa kali Nida membaca tulisan pendek ini. Sebuah tulisan dengan judul "Seumpama Air". Di sana tertulis:

(... Entah itu kala lumer, saat menjadi es, atau ketika menguap. Dia tetap saja adalah air.

Dan seumpama air itu. Mau dikatakan atau tidak. Dituliskan atau tidak. Mau diteriakkan atau dengan bisikan lirih. Dengan terang-terangan atau mengendap-endap. Dia tetaplah akan sama. Adalah cinta...)

Di bawah tulisan itu. Ada dua buah hurup yang ditulis. Huruf O dan huruf P. Inisial untuk nama Pak Okin. Okin Pratama.

Selalu setiap kali setelah membaca tulisan itu. Nida menerawang penuh tanya. Ada misteri besar yang belum bisa ia pecahkan. Sebuah misteri yang bercampur dengan selembar harapan. Seperti harapannya bulan separuh di atas langit malam ini. Berharap dengan pendaran cahayanya ia bisa menghangatkan bumi dari dinginnya malam ini.

WUSSSHH

Angin malam menerpa pohon bambu di samping saung asrama. Daun-daun berdesir. Nida memeluk tubuhnya. Sambil kembali menatap bulan separuh.

***