Selasa, 20 Mei 2014

Tempat Terindah

                
Malam belum terlalu larut. Kali ini Adam dan Putri pergi ke kamar lebih awal dari biasanya. Sepasang suami-istri itu sudah dirangkul oleh selimut yang sama. Putri merengkuh tubuh tegak Adam. Ia sandarkan kepalanya pada dada bidang sang suaminya itu. Sudah sejak beberapa menit yang lalu mereka berbincang. Ya, seperti inilah kebiasaan mereka. Selelah apapun yang dirasa karena sisa kegiatan siang tadi, mereka akan selalu menyempatkan untuk mengobrol. Meski hanya membincangkan hal-hal yang kecil.

                “A. Kalo menurut Aa, tempat yang paling indah itu dimana?” Putri bertanya untuk yang kesekian kalinya. Malam ini Putri memang lebih mendominasi perbincangan. Mungkin karena Adam merasakan lelah yang lebih dari hari-hari sebelumnya. Jemari Putri bermain di dada Adam.

                “Surga,” jawab Adam cepat. Hanya satu detik setelah tanya sang istri.

                Putri mendongakan kepalanya bermaksud menatap wajah sang suami. “Maksud Neng itu tempat yang ada di dunia, A. Lagian, emang Aa sudah pernah liat surga?” Putri sedikit protes.

                “Aa memang belum pernah lihat surga, tapi setidaknya Aa bisa membayangkannya dari ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang gambaran surga,” Adam menjelaskan alasan dari jawaban sebelumnya.

                Kepala Putri masih mendongak. Tatapnya masih pada wajah Adam.

                “Walaupun memang Aa tahu, jika bayangan indah Aa tentang surga itu masih belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan surga yang sebenarnya,” Adam menambahkan jawabannya.

                Putri diam. Kali ini dia menyerah pada argumen sang suami. Putri kembali menormalkan posisi kepalanya. Jemarinya kembali bermain di dada Adam.

                “Iya deh...,” Putri mengakui kekuatan kalimat sang suami. “Untuk tempat yang ada di dunia gimana? Mana yang menurut Aa paling indah?”

                “Mmmm,” Adam melipat keningnya hingga menjadi bergelombang. “Apa ya?”

                Putri kembali mendongakan kepalanya. “Pasti pantai ya?” dia mencoba menebak.

                “Mmm, pantai bagus, tapi bukan yang terbaik kalo menurut Aa.”

                “Oya, pasti sawah ya? Aa kan suka kalo melihat pemandangan persawahan,” tebakan Putri diakhiri dengan sebuah senyuman.

                “Sawah indah, tapi bukan yang terbaik juga.”

                “Terus apa?”

                “Mmmm, apa ya?” Adam berpikir. Putri menunggu jawaban. “Kalo untuk tempat terbaik kedua sepertinya sekolah.”

                “Sekolah?”

                “Iya.”

                “Alasannya?”

                “Karena disana Aa bisa melakukan salah-satu kegiatan yang paling Aa sukai, yaitu mengajar,” Adam menatap wajah Putri. Dia tersenyum.

                “Mmmm,” Putri manggut pelan. Muka bagian kanannya bergeser lembut di dada Adam. “Oya, kalo yang paling indahnya?” Putri mendongak lagi.

                “Mmmm, kasih tahu gak ya...,” Adam masih mencoba menggoda Putri disela-sela rasa lelahnya.

                “Iiiiih. Kasih tahu atuh...,” Putri merengek manja. Dia mencubit pinggang sang suami. Tubuh Adam bergidik karena cubitan wanita di pelukannya.

                “Kasih tahu gak ya.....,” sekali lagi Adam menggoda.

                “Iiiiiih!” lagi-lagi Putri mendaratkan cubitannya.

                “Nanti atuh InsyaAllah besok Aa kasih tahunya ya.”  

                “Sekarang!”

                “Besok aja ya, soalnya Aa sudah ngantuk berat nih.”

                Putri lebih mendongakan kepalanya. Dia bermaksud untuk memaksa sang suami untuk mengeluarkan jawabannya sekarang juga. Namun, maksud itu lenyap saat pandangan Putri terfokus pada wajah sang suami yang tampak lelah. Memang, hari ini Adam pulang dari sekolah lebih sore dari biasanya.

                Putri luluh oleh wajah lelah Adam. Dia berhenti memaksa. Wajahnya kembali mendarat pada dada sang suami. Dia merangkul tubuh tegak di sampingnya. Lalu perlahan menutupkan kedua kelopak matanya. Dan, tanpa Putri sadari, Adam melukis sebuah senyum nakal di kanvas bibirnya. Dia berhasil mengelabui istrinya. Meski lelah sebagaimanapun, sesungguhnya bukan perkara yang sulit hanya untuk mengeluarkan satu kalimat saja. Adam kembali tersenyum dalam pejam matanya. Sabar Neng, InsyaAllah besok Aa akan berikan jawaban itu. ujar Adam dalam hati.
***

                Sebuah pagi yang menakjubkan. Aroma udaranya segar menyapa rongga dada Adam. Tapi tidak demikian dengan Putri. Sesak di dalam dadanya tergambar jelas dari wajahnya yang cemberut di hadapan sang suami. Tidak seperti kemarin yang cerah ceria ketika melepas sang suami berangkat mengajar. Penyebabnya hanya satu. Karena saat di meja makan tadi, Adam belum mau memberikan jawaban atas pertanyaannya yang semalam.

                Putri mencium punggung tangan Adam. Adam membalas dengan sebuah kecupan pada kening Putri. Namun, tetap saja muka Putri belum berubah. Masih menekuk. Putri masih merasa kesal. Jika saja bukan karena janji diantara mereka, sesungguhnya Putri enggan untuk melakukan kebiasaan menjelang keberangkatan Adam ini. Ya, mereka memang telah mengikat janji untuk selalu melakukan prosesi cium tangan dan kecup kening saat hendak bepergian. Tujuannya adalah untuk menjaga kemesraan diantara sepasang suami-istri itu. Dan benar saja. Jurus yang satu ini begitu terasa manfaatnya ketika berada pada situasi yang semacam pagi ini. Setidaknya, jurus ini bisa sedikit meredam gejolak yang ada pada dada Putri.

                Adam melangkah menghampiri si putih. Motor vespa warna putih itu siap untuk mengantar sang juragan menuju medan jihadnya.
***

                Menjelang waktu ashar. Matahari sudah condong ke arah barat. Suhu bumi tidak sepanas satu atau dua jam yang lalu. Sinarnya yang beberapa jam lalu itu menyengat kulit, kini sudah tidak lagi. Sinar lembut itu lebih cenderung mampu menenangkan. Lebih bisa membuat nyaman setiap kulit yang menerima pancarannya.

                Putri duduk santai di sofa ruang tengah. Dia sedang membaca sebuah buku.

                Bunyi hape membuyarkan konsentrasi Putri. Ada sebuah pesan masuk. Putri membuka pesan itu.

                Neng, sekarang Aa sedang ada di tempat yang paling indah di dunia.  

                Isi pesan dari Adam. Belum satu menit, sebuah pesan datang lagi.

                Neng mau tahu dimana tempat itu?... :-)

                Putri hendak mengetik balasan. Jemarinya menari di keypad hape.

                TUK TUK TUK

                Belum selesai Putri mengetik, ada suara ketukan pintu di depan. Putri menoleh pada pintu depan.

                TUK TUK TUK

                Putri menyimpan hape di atas sofa. Kemudian dia beranjak menghampiri pintu.

                TUK TUK TUK

                Siapa yang mengetuk pintu? Tidak ada kalimat salam yang Putri dengar. Mungkin ini tamu dari jauh. Pikir Putri sesaat sebelum membuka pintu.

                Tangan kanan Putri menggenggam pegangan pintu. Dia menariknya ke bawah. Hampir bersamaan dengan itu, pintu terbuka. Putri terkejut saat menatap sesosok laki-laki di hadapannya.

                “Lho!” sebuah kata pendek itu mewakili keheranan Putri.

                Seorang laki-laki di hadapan Putri melebarkan kedua ujung bibirnya. Dia tersenyum. Sementara Putri masih mematung di dekat pintu. Seorang laki-laki itu melangkah mendekat pada Putri. Dia menjulurkan tangannya. Masih dengan bingkai wajah yang heran Putri menyambut tangan itu, lalu mencium punggungnya. Tiga detik berikutnya giliran sang pemilik tangan yang mengecup kening Putri.

                “Di sinilah tempat yang paling indah itu. Bagi Aa, ini adalah surga dunia. Tidak ada tempat yang lebih nyaman dari tempat ini. Rumah kita,” bisik Adam pada telinga sang istri. “Selain itu, di sini juga ada bidadarinya. Bidadari itu selalu mencium tangan Aa ketika Aa datang maupun ketika Aa pergi. Dia adalah seorang bidadari surga yang sengaja Allah turunkan ke dunia hanya untuk menemani Aa,” bisik Adam lagi pada Putri.

                Putri tersenyum. Kedua bola matanya berkaca-kaca. Tidak ada kata ataupun kalimat yang mampu dia keluarkan. Sebab sehebat apapun kalimat yang nanti akan keluar, itu tidak akan pernah mampu untuk mewakili sebuah rasa yang kini Putri rasakan. Hanya sebuah pelukan yang mungkin bisa mewakili perasaan itu.

                Putri menabrakan tubuhnya pada tubuh tegap Adam. Dia memeluk sang suaminya. Sebuah pelukan yang sangat erat.

***