Senin, 14 Mei 2012

Enam Pasang Mata

Beberapa waktu lalu, saat aku belum tinggal di asrama darussalam, aku mengontrak sebuah rumah kecil, bareng dengan enam mahasiswa lainnya. Ke enam temanku itu berasal dari daerah yang sama, yaitu Indramayu. Sementara aku sendiri, berasal dari Anyer, Banten. Perbedaan daerah asal, budaya dan bahasa daerah yang digunakan tidak menghambat kedekatan diantara kami. Meskipun memang, terkadang ada saja konflik kecil diantara kami.

Enam dari tujuh penghuni rumah mungil itu adalah mahasiswa S1, termasuk diriku. Dan satu sisanya adalah mahasiswa pasca sarjana. Namanya adalah Jayus Riyadusshalihin. Kami biasa memanggilnya dengan sebutan kang Jayus. Kami sepakat untuk menunjuknya sebagai orang yang dituakan. Karena dialah yang paling dewasa diantra kami. Tidak jarang dia memberikan petuahnya pada kami untuk bekal menjalani hidup kedepannya. Seperti saat itu, ketika jadwal kultum setelah solat magrib. Saat itu kami berkumpul di ruang tengah. Kami duduk dengan posisi melingkar.

Setelah dibuka dengan sebuah do’a dan sedikit basa basi, kang Jayus mengambil sehelai kertas dari bukunya. Kemudian ia menyobek secarik kertas itu menjadi dua bagian sama besar. Kertas yang sudah disobek itu ia remas-remas hingga membentuk bola kertas kecil. Tiba-tiba saja, tanpa aku duga sebelumnya, kang Jayus memberikan dua bola kertas itu padaku. Ia memerintahkan aku untuk melempar satu kertas itu. Aku sedikit kebingungan, karena perintah kang Jayus tidak jelas. Hendak kemana aku melempar kertas itu.

“ Lempar kemana?” tanyaku.

 “ Terserah,” jawab kang Jayus.

 Aku perhatikan seisi ruangan. Setelah dirasa menemukan sasaran yang tepat, aku langsung melempar kertas di genggamanku. Aku lempar kertas itu ke tengah-tengah kami. Bola kertas itu tergeletak tepat di pusat lingkaran duduk kami. Sesaat kemudian, kang Jayus memerintahkan aku lagi untuk melemparkan bola kertas satunya. Kali ini perintahnya lebih jelas.

 “ Lempar kertas satunya kesini!” telunjuk kang Jayus mengarah pada lantai dihadapannya. Tanpa banyak pikir lagi, aku langsung melempar bola kertas ke hadapan kang Jayus.

 Untuk sejenak kami terdiam. Membisu tanpa kata. Hanya mata kami saja yang saling berpandangan satu-sama lain. Ditengah keheningan, kang Jayus melebarkan bibirnya. Ia menebar senyum pada enam pemuda yang sedang menatapnya bingung.

 “ Apa yang Antum rasakan?” tembak kang Jayus padaku.

 Aku mengernyitkan dahi. Memang, nampaknya kang Jayus sangat suka membuat orang lain kebingungan dengan pertanyaan-pertanyaan tidak jelasnya.

 “ Adakah perbedaan antara lemparan pertama dengan lemparan kedua?” kang Jayus menegaskan. Aku jawab saja ada. Pada lemparan pertama aku kebingungan hendak melempar kemana , karena tidak ada tujuan disana. Tapi pada lemparan kedua, dengan pasti dan tidak terselip sedikitpun keraguan, aku langsung melempar, karena tujuannya sudah jelas.

 Mendengar jawabanku, kang Jayus tersenyum simpul.

 “ Seperti itulah hidup kita. Kita akan kesulitan dalam menentukan kemana langkah akan tertuju jika kita tidak memiliki tujuan yang jelas. Namun sebaliknya, jika hidup kita sudah memiliki tujuan, maka akan dengan mudah dan pasti kita melangkah. Karenanya, kita harus memiliki tujuan hidup! Kita harus memiliki cita-cita! Kita harus memiliki mimpi! Mimpi besar!” kesimpulan kang jayus untuk kultum malam itu. 

 “ Jika kita sudah memiliki tujuan, kita akan tahu saat jalan kita sedang melenceng. Karenanya kita segera meluruskan jalan kita lagi. Dan jika kita sudah memiliki tujuan, kita akan tahu seberapa jauh lagi jarak yang harus kita tempuh untuk bisa tiba pada tujuan kita. Karenanya kita akan bisa mengukur sisa perjalanan kita.”

 “ ... dan jangan tanggung-tanggung. Milikilah mimpi yang besar. Karena saat kita memiliki mimpi di angka dua, ketika kita berhasil mewujudkan mimpi itu, maka kita akan mendapatkan angka dua tersebut. Tapi, saat kita meletakan mimpi kita di angka sepuluh, saat kita sukses mewujudkannya, kita akan menggenggam angka sepuluh itu. Kalaupun kita tidak bisa mendapatkan angka sepuluh itu, setidaknya kita telah mendapatkan angka tujuh, delapan atau sembilan. Dan semua angka-angka itu lebih besar dari angka dua.”

 “ Tapi ingat, memiliki mimpi besar saja belum cukup. Mimpi sebesar apapun, hanya akan menjadi sebuah impian kosong jika tidak ada tindakan dari kita untuk mewujudkannya. Mimpi itu hanya akan menjadi khayalan belaka. Percuma. Dan satu lagi! Jangan pernah lupa untuk menyempurnakan perjuangan kita dengan berdo’a kepada Sang Maha Pengabul do’a, yaitu Allah SWT. Karena sehebat apapun kita berjuang, hanya Dia satu-satunya yang menentukan tercapai atau tidaknya.”

 Enam pasang mata menatap kang Jayus dengan serius. Kepala kami manggut-manggut mendengar petuahnya. Mendapati hal itu, kang Jayus melihat kami bergiliran. Ia menyisir kami satu persatu.

 “ Awas! Kita tidak akan pernah bisa merubah mimpi kita menjadi nyata, jika kita belum bisa merubah prilaku sehari-hari kita!” tutup kang Jayus. Ia mengarahkan matanya padaku. Tatapannya lama singgah di wajahku. Aku salah tingkah karenanya. Aku palingkan wajahku pada enam teman yang lain. Ternyata mereka ikut-ikutan melihatku. Aku kembali melirik kang Jayus. Ia masih menerorku. Aku menunduk.


 Saat aku mengangkat wajah. Kudapati enam pasang mata menyoroti sebuah kamar yang pintunya terbuka. Di dalam kamar itu, tampak dua buah lemari berdampingan. Lemari baju dan lemari buku. Kondisi kedua lemari itu  sangat tidak terurus. Di atasnya terdapat tumpukan kaos dan buku yang tidak keruan. Pemilik kedua lemari itu tidak lain adalah diriku. Ia, diriku.    

Minggu, 13 Mei 2012

Suara Seksi


Jika aku ditakdirkan bertemu orang baru. Seseorang atau beberapa orang melihatku dengan pandangan heran. Jika ada teman bicara, mereka saling berbisik. Sesekali melihat diriku ditengah-tengah bisikan itu. Setelah itu tersungging senyuman. Senyuman yang penuh dengan tanya. Paling tidak pertanyaan yang aku ajukan sendiri pada hatiku. Ada apa ini? Kenapa mereka seperti itu? Mereka saling berbisik satu sama lain, melihatku, lalu menyunggingkan senyuman. Aku bertanya-tanya.

Namun, belakangan ini aku tahu jawabannya. Jawaban dari berjuta pertanyaan yang mengendap di kepalaku. Adalah suaraku. Suaraku yang terbilang kecil untuk ukuran usia, jenis kelamin, serta tinggi dan berat badanku. 

“ Suaranya kaya suara wanita,” bisik orang-orang yang baru mengenal diriku. Bisikan itu dia gumamkan pada teman di sampingnya. Tidak jarang, aku mendengarkan bisikan itu.

“ Lucu. Suaranya kecil,” ujar orang-orang baru lain.

Ia, memang seperti itulah adegan yang sering terjadi ketika aku berkenalan dengan orang baru. 

“ Dulu, saat kita pertama bertemu, satu hal yang paling menarik perhatianku adalah suaramu, Ko. Ketika itu suaramu terbilang sangat aneh untuk seorang laki-laki. Tapi, lama-kelamaan, seiring berjalannya waktu dan semakin seringnya intensitas pertemuan kita, suaramu itu menjadi tidak aneh lagi, mungkin karena keseringan dengar kali ya?” ungkap beberapa orang teman pada sesi curhat-curhatan tentang memori perkenalan kami dulu. Redaksi kalimatnya ada sedikit yang berbeda, tapi intinya tetap sama. 

Beberapa adegan yang hingga saat ini masih tergambar jelas di tempurung kepalaku adalah sebagai berikut:

Pertama. Saat itu aku berjalan dengan tergesa-gesa. Alasannya adalah jam kuliah pagi sudah masuk. Hari itu aku masuk jam tujuh. Sementara jam di hape menunjukan angka tujuh lebih sepuluh. Hari itu jadwal kuliah padat, bergerendel dari pagi hingga menjelang ashar. Aku belum sempat sarapan. Beruntung, di depan gerbang menuju kampus, disana ada yang jualan roti kukus. Segera aku menghampiri gerobak itu. Penjualnya seorang ibu setengah baya.

“ Rotinya satu Bu,” pintaku.

Si ibu masih sedang membereskan beberapa peralatan dagangnya. Tanpa melihat diriku, sang ibu bertanya balik, “ Rasa apa Neng?” 

WHAT! NENG!? Aku dipanggil “Neng”. Aku mengernyitkan dahi.

“ Rasa apa Neng?” tanya ibu sekali lagi. Kali ini sambil melihat ke arahku. Betapa terkejutnya si ibu saat menyadari sesosok makhluk yang berdiri di hadapannya memiliki kumis dan janggut tipis. Wajah si ibu mengkerut layaknya kerupuk yang tersiram air. Si ibu lalu tersenyum.

Aduh, punten atuh nya A. Dikira ibu, si Aa teh, awewe,” ujar si ibu dibumbui senyuman permohonan maaf. 

Si ibu melayaniku. Aku memberikan sejumlah uang. Kemudian meluncur menuju kampus.

Kedua. Saat itu aku sedang pusing. Istilah kerennya, aku sedang galau. Bagaimana tidak? Tugas numpuk, menunggu segera dikerjakan. Uang makan menipis. Alhasil, beberapa waktu kebelakang, aku tidak bisa mengatur waktu dengan baik. Dua minggu sudah aku tidak mencuci baju. Pakaian di lemari habis. Hanya tinggal satu saja yang bersih. Itupun sedang aku kenakan. Mau tidak mau, aku harus segera mencuci. 

Galauku semakin menjadi-jadi. Aku dihadapkan pada sebuah cabang pilihan yang sulit. Satu cabang menghendakiku untuk segera mencuci segunung pakaian kotor. Tapi, konsekuensinya tugas tertunda penyelesaiannya. Sedangkan dikumpulkannya esok hari. Cabang lainnya mengharuskanku segera menyelesaikan tugas, dengan konsekuensi, esoknya aku harus rela mengenakan kaos dengan aroma yang numayan menyengat hidung. 

Akhirnya aku berjudi. Keduanya akan aku kerjakan bersamaan. Tugas tetap dikerjakan. Mencuci baju juga aku laksanakan. Namun, untuk urusan mencuci, aku gunakan jasa laundri. Walaupun uang semakin menipis saja, yang penting tugas beres dan esok hari baju sudah bersih dan wangi. Perkara uang, itu bisa dipikirkan lagi nanti.

Aku jejalkan tumpukan pakaian kotor pada kantong plastik ukuran jumbo. Aku berlari menuju tempat laundri dekat asrama. 

Pintu laundri terbuka. Aku masuk sembari mengucapkan salam. Di dalam, tak kutemui penjaga seorangpun. 

“ Permisi !” ucapku dengan suara sedikit mengeras.

Setelah beberapa lama, akhirnya ada sahutan juga, “ Iya Teh, tunggu sebentar ya,” seseorang menjawab dari dalam. 

Masya Allah, sekalinya ada sahutan, aku dipanggil teteh. Saat pemilik laundri menyadari bahwa ia salah tebak, secara reflek matanya melotot. Bibirnya nyengir kuda. Dengan malu-malu, sang pemilik laundri melayaniku. Satu langkah aku keluar laundri, sayup-sayup kudengar tawa yang ditahan-tahan.  

Ketiga. Saat itu aku sedang ada jadwal di SMM (super mini market). Ketika itu aku masih menjadi karyawan freelance. Numayan, mengisi waktu luang disela-sela kuliah, itung-itung sedikit meringankan pundak orang tua. 

Saat itu aku sedang mengamati pajangan barang. Tak sengaja kudapati seorang ibu terlihat sedang bingung mencari sesuatu. Mendapati itu, aku langsung menghampirinya.

“ Permisi Bu, ada yang bisa dibantu?” tawarku.

Sang ibu masih sibuk melihat-lihat barang. Tatapannya fokus pada pajangan.

“ Kalau madu di sebelah mana ya Mbak?” 

Aku ajak sang ibu untuk mengikutiku. Aku meluncur menuju pajangan madu. Sang ibu mengikuti dari belakang. Mengenai bagaimana raut wajah dan gumaman yang keluar dari hati sang ibu aku tidak mengetahuinya.
***

Belum selesai. Masih ada satu lagi pengalaman yang sulit untuk dilupakan. Memori ini terjadi beberapa tahun lalu. Ketika aku masih tergabung dalam skuad klub sepak bola PERSERANG. Satu dari beberapa klub terbaik di Banten. 

Saat itu sedang berlangsung kompetisi nasional tingkat usia dibawah 18 tahun. Kompetisi itu berlangsung di Pandeglang, salah-satu kabupaten yang ada di Banten. Kompetisi berlangsung selama dua minggu. Karenanya, selama waktu itu, klub perserang menyewa sebuah hotel di dekat alun-alun Pandeglang. Namanya adalah “Hotel Paranti”. Sebuah hotel yang terhitung baik menurutku.

Di hotel itu, kami, para pemain, diperlakukan bak seorang raja. Semua kegiatan diatur sedemikan rupa, agar kondisi para pemain tetap bugar saat berkompetisi nanti. Pola makan diatur. Menunya super bergizi. Kami diberikan banyak vitamin. Disediakan juga tukang pijat profesional, yang sewaktu-waktu bisa digunakan jasanya saat badan terasa pegal. 

Suatu pagi. Saat itu hari Minggu. Setelah melaksanakan latihan pagi di lapangan alun-alun, kami bersih-bersih diri. Jam sembilan kami sarapan dengan menu super nikmat dan bergizi. Selepas itu, aku dan dua orang rekan satu timku jalan-jalan mencari udara segar ke halaman depan hotel. Kami sepakat untuk duduk santai di depan studio radio paranti fm. Saat itu sedang berlangsung siaran on air. Dari luar studio, kami mendengarkan sambil mengobrol ringan. Tanpa diduga sebelumnya, seorang kru radio menghampiri kami. Dia tahu jika kami adalah pemain perserang. Untuk itu, kru itu meminta kami bertiga untuk menjadi bintang tamu pada siaran on air itu. WAW, sebuah tawaran menarik menurutku saat itu. Aku yakinkan kedua temanku. Mereka menyetujui. Akhirnya, kami masuk studio siaran. 

Studionya berukuran tidak kecil, juga tidak terlalu besar. Pada temboknya ditempel alat kedap suara, tujuannya mungkin supaya suara di dalam studio tidak menggema. Ada komputer, mikrofon, dan beberapa alat lain yang tidak kuketahui namanya. Satu diantaranya adalah alat besar yang terdiri dari banyak tombol. Kami duduk pada kursi yang berseberangan dengan sang penyiar. kami disuruh memperkenalkan diri pada para pendengar. Setelah itu ditanya banyak pertanyaan terkait kompeisi nasional tingkat usia dibawah 18 tahun dan juga seputar tim kami, yaitu perserang. 

Beberapa waktu berselang. Tibalah pada sesi tanya jawab. Penyiar mempersilahkan kepada para pendengar untuk mengirimkan SMS atau menelfon. Ketika sesi itu berlangsung, satu hal diluar dugaanku terjadi. Bukannya bertanya tentang tema yang sedang dibicarakan, mereka malah membicarakan tentang suaraku. Dan, mayoritas penelfon berjenis kelamin wanita.

“ Niko suaranya seksi. Aku suka,” ungkap seorang penelfon wanita.

“ Kok bisa sih, suara kamu seseksi itu?” tanya penelfon lain.

“ Aku suka suaramu Niko. Nanti boleh main ke paranti ya?” pinta seorang remaja asli Pandeglang. 

“ Suara kamu seksi. Aku jadi penasaran dengan rupamu!” curhat yang lain. 

Masih banyak lagi ujaran para penelfon lain. Sang penyiar menggeleng-gelengkan kepalanya melihat diriku. Begitupun dengan kedua rekanku. Mereka hanya tersenyum simpul mendapati sahabatnya diperlakukan seperti itu. Aku jawab semua pertanyaan itu apa adanya. Inti dari semua jawabanku adalah: bahwa semua yang kita miliki adalah pemberian terbaik dari Allah yang wajib kita syukuri. Tugas kita adalah bagaimana menggunakan pemberian terbaik itu dengan sebaik-baiknya. Jangan sampai kita menggunakannya untuk hal-hal yang dimurkai Sang Pemberi. Selain itu, kita juga harus fokus pada kegunaan dan kemanfaatannya. Bukan fokus pada komentar orang tentang yang kita miliki itu. Sebab, jika kita fokus pada pendapat manusia. Maka kita akan kecewa saat komentarnya tidak sesuai dengan yang kita inginkan, serta tinggi hati saat komentarnya menyanjung diri. 

Sebelum penutupan, aku dan kedua rekanku memohon untuk dido’akan oleh para pendengar, agar tim kami diberikan yang terbaik pada kompetisi tingkat nasional tahun ini. Sesaat sebelum penyiar menutup, dia berujar bahwa ada satu lagi SMS masuk. Pesan elektronik itu datang dari salah-seorang remaja yang tadi menelfon. Dengan suara lantang khas seorang penyiar radio, sang penyiar itu membacakan SMSnya.

“ Rekan-rekan paranti fm, ini masih ada satu lagi pesan yang masuk. Lagi-lagi pesan ini ditujukan kepada pemain perserang muda yang sedang duduk di hadapan saya. Isi pesannya sebagai berikut: pemilik suara seksi, bagaimana, saya boleh main ke paranti kan? 

Wah, wah, waaaaaah. Tampaknya sedang ada yang penasaran nih, hehehe...” canda sang penyiar.

Mendengar itu, aku hanya bisa melirik pada kedua rekanku. Kami saling tatap satu sama lain. Sang penyiar menutup acara. Sebuah lagu merdu diputarkan. Lagu itu melantun dengan indah dan harmonis.
***

Sabtu, 12 Mei 2012

Langit Berwarna Jingga

Sore yang indah. Langit tampak biru keputihan, karena hamparan awan putih nan lembut menyelimutinya. Awan itu serupa kelambu halus di ranjang pengantin baru. Mentari menjingga. Bentuknya seakan membesar.

 Hari ini, tepat hari ketiga aku di rumah. Saat ini aku sedang duduk berdua saja dengan bapak di teras samping rumah yang menghadap pada halaman. Seperti biasa jika kami sedang berdua, bapak sering memegang buku. Kaca mata tebal mencantel pada daun telinganya. Sementara aku, hanya duduk saja sambil memandangi lembayung senja. Sesekali kami berbincang ringan.

 “ Pak, Aa kan lulusnya mungkin akan telat. Jika semuanya lancar, Insya Allah mungkin lulusnya sekitar satu setengah atau dua tahun lagi. Nah, jika nanti ditakdirkan panjang umur dan bisa lulus, menurut Bapak, Aa langsung pulang ke sini dan langsung ngajar di SMA daerah sini atau di Bandung saja dulu. Ngajar di sana, ngumpulin uang trus lanjut S2 sekalian? Mending yang mana menurut Bapak?”

 Bapak tidak bergeming. Tangannya masih menggenggam buku. Matanya masih membaca. Tapi aku tahu, bapak mendengarkan pertanyaanku.

 “ Gimana pak?” “

Aa sudah dewasa. Aa pasti tahu jalan mana yang baik. Bapakmah terserah Aa saja,” jawab bapak pendek. Hanya itu saja. Benar-benar hanya itu. Bapak membaca buku lagi.

Kaki langit barat semakin menjingga. Mentari sore semakin membesar. Sebentar lagi ia akan istirahat. Melepas lelah di peraduannya.

 Angin laut yang biasanya membelai dedaunan pohon-pohon di halamanku kini tak tampak. Semesta terasa tenang. Setenang jiwaku hari ini. Beginilah suasana hatiku jika sedang di kampung.

 “ Pak, kalo ada rejeki, Aa ingin lanjut S2, tapi, disamping itu juga, saat lulus nanti, Aa ingin segera mencoba untuk membina remaja di sini. Aa ingin membina komunitas bismillah yang sedang fakum,” aku utarakan keinginanku pada bapak yang masih membaca.

Bapak masih membaca. Dengan pandangan masih pada buku, bapak menjawab ucapanku.

 “ A,” bapak memberi jeda.

“ Bapak pernah berada pada usia Aa sekarang ini. Sama halnya dengan Aa, bapak pernah memiliki keinginan yang kurang lebih sama dengan apa yang ada di kepala Aa ini. Saran bapak, jalan manapun yang Aa pilih. Mau itu langsung pulang, ataupun S2 dulu, untuk sekarnag ini, Aa gali saja dulu ilmu di sana sebanyak-banyaknya. Sebanyak yang Aa bisa. Setelah waktunya tiba dan saat Aa merasa siap, silahkan Aa pulang dan amalkan ilmu yang Aa dapatkan itu untuk kemaslahatan di sini.

Kemudian, satu lagi hal penting yang wajib Aa ketahui. Saat Aa berjuang nanti, jalan yang dilewati nanti tidak selalu mulus. Ada kalanya berlubang dan berbatu. Tidak jarang Aa menemui jalan yang terjal dan berliku. Dan mungkin, Aa akan menemui jalan penghubung yang terputus. Ketika semua itu Aa rasakan, Aa seumpama mobil yang kehabisan bensin. Otak Aa seakan tidak bisa digunakan lagi. Aa pasti akan merasa jenuh. Jika Aa tidak pandai dalam mengelola rasa jenuh itu. Maka jalan mulia yang Aa niatkan diawal itu akan terhenti.

 Untuk itu, Aa tidak bisa berjuang seorang diri. Aa butuh orang yang menguatkan Aa. Aa butuh penasihat. Aa perlu penghibur, yang mampu mendinginkan hati dikala kepanasan dan menghangatkannya saat kedinginan. Jika Aa ingin sampai tujuan, Aa harus memiliki orang yang seperti ini.”

Bapak berhenti melihat buku. Ia buka kaca mata tebalnya, lalu menatap diriku.

“ Aa pasti tahu apa maksud Bapak,” ucap bapak diplomatis.

Aku mematung di samping bapak.

“ Pilihlah ibu yang baik untuk anak-anak Aa. Pilihlah pendamping hidup yang mau berjuang bersama dengan Aa. Berjuang dengan ikhlas dalam membangun ummat!”

Aku membeku.

Sumpah, aku antara percaya dan tidak, mendengar bapak mengatakan itu. Mungkinkah ini pertanda bahwa bapak sudah menyalakan lampu hijau? Benar ataupun tidak, aku harus segera memperbaiki diri. Aku harus secepatnya berburu ilmu. Aku harus mengikis rasa jenuh yang sekarang menghantam jiwaku. Meskipun berat, aku akan terus berusaha.

Aku palingkan pandanganku dari bapak. Aku melihat kaki langit barat. Warna jingganya semakin pekat. Sebagian tubuh mentari sudah tercelup kedalam laut. Sebentar lagi, adzan magrib akan berkumandang.
***