Jumat, 05 Februari 2016

Kredibilitas, Keberanian dan Dakwah



Menuntut llmu adalah wajib bagi setiap muslim. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits nabi. Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim laki-laki dan muslim perempuan”. Sebagaimana telah kita ketahui, bahwa definisi wajib adalah mendapat pahala jika dilaksanakan dan berdosa jika tidak. Artinya, siapapun yang mencari ilmu, insyaAllah akan mendapat pahala. Sebaliknya, kita akan mendapat dosa jika tidak belajar (menuntut ilmu). Apakah kita ingin mendapat pahala? Atau dosa? Itu bergantung pada pilihan kita. Mau belajar atau tidak.

                Setelah kita belajar, konsekuensinya kita akan tahu atau mengerti atau paham. Jika sudah demikian, maka kita termasuk pada golongan orang yang berilmu. Pertanyaannya, apakah tugas kita sudah cukup hanya sampai disitu saja? Tentu tidak. Imam Ghozali pernah mengatakan bahwa, semua orang celaka, kecuali yang berilmu. Yang berilmu celaka, kecuali yang mengamalkan ilmunya. Yang mengamalkan ilmunya celaka, kecuali dengan ikhlas. Kalimat indah dari ulama besar ini menjelaskan kepada kita bahwa tugas kita belum selesai hanya dengan tahu ilmu saja. Tapi masih ada tahapan selanjutnya yang harus kita lalui. Yaitu mengamalkan ilmu yang telah kita peroleh. Apa yang akan terjadi jika kita tidak mengamalkan ilmu yang telah dititipkan kepada kita? Sebuah hadits ini mungkin dapat menjawabnya. Orang yang paling keras siksanya adalah seorang berilmu dan tidak diberi manfaat oleh Allah dengan sebab ilmunya. Orang semacam ini adalah satu dari tiga orang yang menjadi bahan bakar neraka.

                Ilmu itu ibarat pohon, dan pengamalan adalah buahnya. Jika ilmu tanpa amal, itu seperti pohon yang tak berbuah. Hambar. Dalam sebuah syair disebutkan bahwa, orang alim yang tidak mau mengamalkan ilmunya, mereka akan disiksa sebelum disiksanya para penyembah berhala. Naudzubillah

                Katakanlah kita adalah seorang yang memiliki ilmu dan sudah mengamalkan ilmu kita. Kemudian kita menjadi orang yang alim. Apakah juga sudah cukup sampai disitu saja? Tentu tidak. Pengamalan ilmu kita belum selesai disana. Masih ada orang-orang yang harus kita ajak untuk menjadi orang baik. Mereka adalah orang-orang di sekitar kita. Terlebih keluarga kita. Sebagaimana termaktub dalam surat At-Tahrim ayat 6, Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. Apakah kita ingin orang-orang yang kita cintai masuk ke dalam tempat menakutkan seperti itu? Jawabannya tentu tidak. 

                Kita butuh alat untuk menyampaikan ilmu kita kepada orang lain. Alat itu adalah komunikasi. Komunikasi merupakan jembatan tersampaikannya ilmu yang kita miliki kepada sasaran. Kita semua telah tahu, bahwa tugas kita hanya menyampaikan saja. Mereka ikut atau tidak dengan ajakan kita, itu mutlak hak Allah. Kita tidak bisa masuk pada ranah yang satu ini. Hanya saja, ada beberapa faktor yang patut kita beri perhatian lebih demi mendapatkan hasil maksimal dengan usaha penyampaian kita pada masyarakat. Agar lebih banyak orang yang mendapatkan hidayah Allah melalui jembatan yang kita buat. 

                Pertama, adalah kepercayaan orang lain kepada kita, atau yang lebih keren disebut dengan istilah kredibilitas kita. Jika kepercayaan terhadap kita baik, maka akan lebih terbuka bagi mereka dalam mendengarkan setiap kalimat yang kita keluarkan. Dan muaranya akan berpengaruh pada hasil yang kita inginkan. Yaitu mereka mengikuti apa yang kita dakwahkan. Sebaliknya, ketika kredibilitas kita kurang baik, atau bahkan tidak baik, maka orang-orang akan berpikir seribu kali untuk mengikuti apa yang kita sampaikan. Lebih mengkhawatirkan lagi, sekedar untuk mendengar kalimat-kalimat kita pun mereka enggan.
 
                Hal yang menentukan kredibilitas kita di mata orang lain adalah sikap atau akhlak. Saat akhlak keseharian kita baik, maka itu akan membangun kepercayaan orang-orang terhadap kita. Sebagaimana telah dicontohkan oleh sang teladan terbaik kita, yakni manusia yang paling agung, Nabi Muhammad SAW. Semua tindak tanduk dan laku lampah beliau, menjadikannya orang yang paling dipercaya di lingkungannya. Tidak hanya kawan, lawanpun mengakuinya. Semua kepercayaan itu tidak datang dengan sendirinya. Tapi dibangun dengan akhlak yang beliau tampakkan dalam sikapnya sehari-hari. Tentunya, ucapan sejarah agung ini patut menjadi contoh bagi kita untuk kehidupan kita. 

                Kedua, adalah kepercayaan diri terhadap diri kita sendiri. Dalam konteks keberanian untuk berbicara, atau menyampaikan isi dakwah. Terkadang kita grogi dalam berbicara. Terlebih berbicara di depan umum. Pendalaman pemahaman kita terhadap materi yang akan kita sampaikan sepertinya bisa membantu menambah percaya diri kita untuk memulai pembicaraan. Selebihnya, jam terbang adalah guru terbaik bagi kemampuan berbicara kita di hadapan banyak orang. Untuk itu, buang jauh-jauh rasa malu. Jangan pernah takut dengan kesalahan yang mungkin kita lakukan. Seperti sebuah kalimat sederhana yang keluar dari lidah bersih seorang ustadz, “Jangan malu, atau takut salah. Jika seperti itu terus, lalu kapan kita akan bisanya?!”. Demikian.
***

Rabu, 03 Februari 2016

Aku Ingin Seperti Al-Qur’an Bersampul Merah Itu



Aku ingin seperti Al-Qur’an bersampul merah itu, yang selalu kamu bawa kemana-mana, disimpan di dalam tas hitam kecil, dan dibaca setiap kali kamu menemukan waktu luang

Aku ingin seperti Al-Qur’an bersampul merah itu, yang selalu kamu buka selepas solat, dipandang dengan tatapan lembut, lalu kamu peluk dan cium mesra setiap menyudahinya

Selasa, 02 Februari 2016

Sembunyi Dimana?

Aku mau sembunyi dimana? Di balik malam? Tapi esok matahari akan kembali

Atau sembunyi di kutub selatan saat matahari ada di utara? Tapi enam bulan kemudian matahari akan balik ke selatan. Bahkan selama enam bulan berikutnya, aku akan terus bersamanya

Jadi aku mau sembunyi dimana?

Selama otakku masih ada di kepala, aku tidak bisa sembunyi dimanapun? Karena matahari sudah menetap di dalam kepala

Aku mau sembunyi dimana?

Mau sembunyi dimana?

Sembunyi dimana?

Dimana?

?

Senin, 01 Februari 2016

Apakah Kamu Mau Bersamaku?



Saat musim hujan, tak selalu kutuliskan matahari untukmu. Sesekali mungkin iya, selebihnya kamu akan disibukkan oleh tulisan-tulisanku, untuk kamu koreksi.

Kala musim panas, tidak akan sering aku menulis gerimis untukmu. Kadang-kadang mungkin iya, lebih banyak kamu akan sibuk bersama tulisan-tulisanku, untuk kamu perbaiki.

Aku hendak bertanya. Apakah kamu mau bersamaku?

Tapi kamu akan direpotkan oleh tulisan-tulisanku yang berserakan dimana-mana.

Aku hendak bertanya lagi. Apakah kamu mau bersamaku?