Minggu, 06 Desember 2015

Aku Harus Kemana?

Barusan aku mengunci pintu, hendak melangkah menujumu.

 

Tapi di luar ada tamu, katanya ingin menemuiku.

 

Bagaimana menurutmu?

Kamis, 03 Desember 2015

Sudah Menginjakan Kakinya di Bumi

       Ada sebuah foto masuk ke grup WA santri Daarul Haliim. Foto ini dikirim oleh Gari, sang ketua santri. Tertulis sebuah kalimat: Menikah usia dini banyak problem. Satu detik setelah melihat foto itu, saya langsung membuka perbincangan.

Saya: Propaganda berbahaya itu!

Asep: Itu pembodohan publik!!!!

Guskar: Iya betul. Kyai Rofiq dan Kyai Wahhab juga nikah muda kan? Hehe.

Gari: Kyai Rofiq 30. Kyai Wahhab kalo gak salah 26.

Alawi: Syekh Romadhon Albuthy 16 tahun.

Gari: Maaf salah wi.

Alawi: Jadi yang benar berapa?

Gari: Syekh Romadhon Albuthy 19 tahun. Syekh Ahmad Kaftaru 16 tahun. Menikah dengan istrinya yang berusia 14 tahun.

Alawi: Ayo, musyawarah dulu dengan orang tua, lalu istikhoroh dan tawakal jika sudah berazzam.

Saya: Semua santri ikhwan bisanya cuman wacana doang, termasuk saya. Kita kalah jauh sama alawi tuh. Kalah telak. Hehe.

Gari: Setujuuuuu Nikoooo. Alawi sudah menginjakkan kakinya di bumi. Semenetara kita masih saja melayang di awang-awang.

Guskar: Juara dah kang Alawi.

Alawi: Alhamdulillah.

Guskar: Kapan kawin lagi kang Alawi?
***

Selasa, 01 Desember 2015

Tiket ke Surga



Hehe, saya pikir itu Bahasa sunda yang lembutnya. Harap maklum Teh, orang Banten, sundanya ada sedikit perbedaan.

Tidak apa-apa Kang. Inilah indahnya perbedaan. Saya jadi ketawa kan, hehe. Hampir enam tahun di Bandung masa belum fasih sunda Bandung Kang. Kapan-kapan main atuh ke saung angklung udjo. Supaya tahu banyak tentang budaya sunda.

Siap. Insya Allah. Saya belum pernah ke saung udjo. Nanti anterin ya.

Boleh, tapi bayarin tiketnya ya, hehe.

Waddduh. Kalo gitu nanti saya nabung dulu ya. Biar bisa bayarin tiket buat Teteh.

Tiket ke surga :-)

Seperti Tidak Waras



Kamu terlalu banyak diam. 


Kadang juga berucap sendirian.


Kamu mulai aneh. Ada apa gerangan?


Itu tanya seorang teman.


Baiklah akan coba aku jawab.


Begini.


Ada suara yang hanya bisa didengar dalam keheningan.


Saat tidak terdengar, itu bukan berarti tidak ada. Tapi boleh jadi telinga hati kita terlalu bising oleh yang lain. Karena itu aku diam.


Dan dalam desau angin, aku mendengar lirih bisik tanya seseorang. 


Aku jawab tanya rahasia itu. Karenanya aku seperti tidak waras. Layaknya katamu tadi.  

Sabtu, 28 November 2015

Yang Datang

       "Bro, saya hanya tidak ingin melihatmu meratap menyesali apa yang sesungguhnya bisa kamu dapatkan. Patut kamu pahami, bahwa wanita akan memilih laki-laki sederhana yang datang kepadanya dibanding seorang pria tampan yang sebenarnya dia cintai tapi hanya diam saja di tempat. Sekarang, bangunlah. Lalu kejar dia," ucap Mamat.

        "Tidak perlu kamu tahu apakah ucapanku ini buah dari pohon kepahitanku di masa lalu atau hanya sekedar pengetahuan dari buku-buku. Yang harus kamu tahu, adalah isi di dalam dadamu," kata Mamat lagi. Aku tidak tahu apa yang sedang dia tulis di laptopnya. Sebab tatapku enggan untuk pindah dari langit-langit kamar. 

        "Sekarang, buang malumu lalu ambil kesempatan, atau tetap diam di sini kemudian menghabiskan sisa usia dalam laut penyesalan." Kudengar suara geseran kursi. Mamat melangkah menghampiri pintu. Sepertinya dia akan ke toilet.
      

Jumat, 27 November 2015

Dan Apakah Kamu Tahu?



Kamu tahu, aku pernah berlari sepuluh kilometer tanpa henti?

Saat itu banyak orang yang memujiku. “Kamu hebat, Dek!” kata mereka.

Kamu tahu, aku juga pernah push up ratusan kali di beranda asrama?

Si Adek kecil melotot manatapku. “Kakak kuat!” ucap dia dengan mulut menganga.

Kamu tahu, aku pernah meminta maaf atas kesalahanku? Ini adalah perkara paling berat menurutku. Sebab harus kuruntuhkan dulu gedung gengsi yang bertingkat-tingkat. 

Kemudian sayup-sayup kudengar lirih bisikan teman-teman yang menyanjungku. Walau sejatinya bukan itu yang aku inginkan.  

Dan apakah kamu tahu, aku tak bisa melakukan apa-apa jika bayangmu tetiba menyelinap di kepalaku?

Aku hanya bisa terbaring lemah di atas ranjang. Dengan tatapan kosong pada langit-langit kamar. 

Aku tidak mampu berbuat apa-apa. Karena senandungmu terus terlantun di sudut otakku, kemudian berhenti dan menetap pada ruang hatiku.

Lalu aku hanya ingin bertanya. Apa yang harus aku lakukan?