Jumat, 30 September 2011

Cerita Tentang Dia (Allah Tuhanku, dan Tuhan Kita Semua)


Dialah Allah, Tuhan Yang Maha Esa, yang tidak ada Tuhan selain Dia. Dialah Sang Maha Raja. Kerajaannya meliputi luas langit dan bumi. Dia raja yang paling Kuasa, raja yang paling Perkasa, raja yang paling Bijaksana, raja yang paling Adil, raja yang paling Mulia. Dialah Raja dari segala raja.

Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dia memberikan rizki kepada semua makhlukNya, dari makhluk yang paling kecil hingga yang paling besar, tanpa terkecuali. Dialah Allah, yang maha Memelihara segalanya. Dia mengatur seluruh jagat raya ini. Dia mengatur lintasan setiap galaksi, lintasan setiap planet, lintasan bulan. Dia yang mempergantikan siang dan malam. Dia yang menurunkan hujan dari langit. Dia yang melukis pelangi. Dialah yang memberikan sinar kepada mentari, sinar yang membawa kehidupan untuk makhluk lainnya.

Allah Maha Pencipta. Dia menciptakan segala yang ada di bumi, di langit dan seisinya. Dialah yang maha Mengadakan. Dialah yang memberikan ilmu kepada Thomas Alfa Edison, hingga dia bisa mencipta sebuah lampu bolham. Dialah yang mengilhamkah kepada James Waat, sampai akhirnya dia bisa membuat mesin uap. Dialah yang menuntun wright bersudara, yaitu Wilbur Wright dan Orville Wright untuk menciptakan pesawat terbang. Dialah yang membimbing Ts’ai Lun hingga bisa membuat kertas. Dialah Allah, yang memudahkan manusia zaman sekarang dalam menjalankan kegiatannya. Memudahkan melihat pada malam hari dengan adanya lampu listrik. Memudahkan bepergian jauh dalam waktu yang cukup singkat dengan pesawat terbang. Memudahkan menuliskan dan mengabadikan tulisan pada lembaran kertas. Dialah yang memudahkan segalanya.

Dialah Allah, yang maha Melihat apa-apa yang kita kerjakan. Dia bisa melihat yang dekat ataupun yang jauh. Dia bisa melihat yang jelas ataupun yang disembunyikan. Dia bisa melihat yang besar ataupun yang kecil sekalipun. Dia bisa melihat sesuatu yang terbuka ataupun yang ditutup-tutupi. Dia bisa melihat di siang hari yang terang benderang, ataupun pada malam hari yang gelap gulita. Dia bisa melihat yang ada di atas, di bawah, di samping kanan, di samping kiri, di depan dan di belakang. Dia bisa melihat apa-apa yang ada di dalam dan apa-apa yang ada di luar. Dia bisa melihat isi perut bumi. Dia bisa melihat isi ruang angkasa. Dia mampu melihat segalanya yang selama ini kita sembunyikan. Dia mampu melihat ketika kita diam-diam berbuat maksiat. Dia mampu melihat kebohongan yang tersembunyi dalam diri kita. Dia memperhatikan setiap gerak-gerik dan setiap tarikan nafas kita. Dia bersama kita dimanapun kita berada. Tidak satu detikpun Dia tidak memperhatikan kita.

Dialah Allah, yang maha Mendengar semuanya yang kita ucapkan. Dia mendengar bahasa lisan kita. Dia mendengar bahasa hati kita. Dia bisa menerjemahkan bahasa tubuh kita. Dia mampu mendengar sekelebatan pemikiran yang terbersit dalam hati kita. Dia mendengarkan pembicaraan kita ketika kita diam-diam membicarakan seseorang. Dia menguping ketika kita menggunjingkan seseoarang. Dia mendengarkan semua itu. Tidak satu kata atau satu hurufpun yang tidak Dia dengar.

Dia mendengar bahas setiap binatang. Dia mendengar bahasa angin, bahasa awan, bahasa air, bahasa api, bahasa udara, bahasa semuanya. dia juga mendengar bahasa bulan, bahasa bintang, bahasa komet, bahasa matahari, bahasa galaksi, bahasa gugus galaksi dan bahasa alam semesta. Dia mendengar bahasa segalanya.

Dialah Allah, yang memberikan rezeki melalui orang tua kita. Dialah yang memberikan ilmu melalui perantara guru. Dialah yang melindungi kita dari kejahatan makhlukNya yang jahat. Dialah Allah yang mengurusi segala keperluan makhlukNya. Dia tidak ngantuk dan tidak juga tidur. Tidak satu detikpun Dia luput untuk tidak mengurusi kita.

Dialah Allah, yang maha perkasa. Dialah tempat bergantung dan tempat meminta segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakan. Dia maha pemberi pertolongan. Dia mengabulkan do’a setiap hambaNya yang meminta. Dia mengampuni dosa setiap hambaNya yang memohon ampunan. Dialah yang memberika segalanya yang dibutuhkan oleh makhlukNya.

Dialah Allah, yang menciptakan wanita cantik jelita dan laki-laki gagah perkasa. Dia yang menumbuhkan rasa cinta pada hati-hati hambaNya. Dialah yang menjodohkan orang-orang yang sesuai dengan keperibadian dirinya, yang baik dengan yang baik, yang kurang baik denga yang kurang baik serta yang tidak baik daengan yang tidak baik.

Dialah Allah, yang mengilhamkan diriku untuk membuat tulisan ini. Dialah Allah, yang menuntunmu hingga bisa membaca tulisan ini. Semuanya sudah diatur olehNya. Semuanya sudah tertulis pada kitab lauhul mahfudz.

Dialah Allah yang maha Raja, yang maha Suci, yang maha Kuasa, yang maha Perkasa, yang maha Agung, yang maha Tinggi, yang maha Besar, yang maha Mulia, yang maha Kaya, yang maha Luhur, yang maha Kuat, yang maha Kekal. Dialah Allah, yang maha Segalanya. Dialah Allah, yang tidak bisa kugambarkan melalui tulisan ini. Dialah Allah, yang sungguh-sungguh tidak akan pernah bisa kugambarkan melalui tulisan ini.

Allahu Akbar. Allah Maha Besar. Aku lemah dihadapanMu. Aku mohon bimbingan dariMu. Mohon dengan sangat.
***

Selasa, 27 September 2011

Jawaban yang Diplomatis


InsyAllah, jika Allah memberikan kesempatan padaku untuk menyempurnakan separuh dari agamaku, pasti aku akan menjumpai suatu hari yang mana diriku akan meminang satu dari milyaran wanita penghuni bumi ini. Secara hitung-hitungan sederhana yang didasarkan pada jadwal hidupku, aku baru akan menikah sekitar empat atau lima tahun lagi. Dengan rincian sebagai berikut: dua tahun pertama, aku berusaha agar segera merampungkan kuliahku. Dan dua atau tiga tahun berikutnya akan aku gunakan untuk mencari perbekalan segalanya, baik itu ilmu, materi, fisik, mental dan yang lainnya yang berkaitan dengan bagaimana cara mengelola keluarga dengan baik tentunya.

Terkait calon, atau siapa wanita yang akan aku lamar kelak, sejauh ini, aku sudah memiliki bayangan. Tapi entah, apakah nantinya akan tetap bertahan dengan calon yang satu ini, atau Allah akan membalikan hatiku untuk meminang wanita yang memang telah Allah gariskan untukku. Namun, sejauh ini, jika boleh meminta padaNya, aku tetap ingin dengan yang sekarang sedang bersemayam dihatiku. Dialah wanita yang hingga detik ini bisa kupandang tanpa mataku, suaranya dapat kudengar tanpa telingaku, jemarinya dapat kugenggam tanpa tanganku, baunya dapat kucium tanpa hidungku dan kehadirannya dapat kurasakan tanpa jasadnya disisiku.

Namun, berkenaan dengan calon ini, masih ada tiga rintangan yang menghalangi diriku. Rintangan pertama adalah: apakah dia mau, jika suatu hari nanti aku melamarnya? Baiklah, untuk mempermudah, aku asumsikan saja kami satu hati. Aku bayangkan kelak dia akan menerima dengan sepenuh hati pinanganku. Dan, rintangan yang selanjutnya, atau yang kedua tampak lebih berat dari yang pertama. Mengapa? Mari kita bahas bersama.

Pada rintangan ini, sifatnya eksternal, atau berasal dari pihak luar. Aku tidak tahu, apakah selama jangka waktu empat atau lima tahun itu tidak ada laki-laki lain yang mencoba untuk mengkhitbahnya. Bagiku, disinilah rintangan yang sesungguhnya itu, mengingat, secara kasat mata, dia adalah wanita yang cantik lagi baik perangainya. Jika aku boleh mengarang-ngarang sebuah prosentase, mungkin, lima dari sepuluh laki-laki yang mengenalnya dan sudah siap untuk melaksanakan pernikahan, maka laki-laki itu akan segera melamarnya. Mungkin. Dan, satu hal inilah yang sedikit mengganggu perasaanku. Jika aku berada pada posisi dia yang sedang menjumpai peristiwa seperti ini, yaitu ada seorang laki-laki yang memintaku untuk menjadi isterinya, padahal aku sudah mencintai seseorang (dalam hal ini diriku, misalnya), dan menunggu seseorang itu (aku), untuk segera melamarku, namun tidak juga lamaran itu datang, tiba-tiba ada seorang pangeran lain yang datang. Sungguh, akupun berat untuk menentukan pilihan. Mengingat, usia menikah seorang wanita itu relatif lebih cepat atau lebih muda dari usia menikah laki-laki. Berat bagiku.

Dan yang ketiga, atau yang terakhir, yaitu yang paling penting. Adalah takdirNya. Sehebat apapun upayaku untuk memperisterinya, hanya keputusanNyalah yang menentukan. Jika aku boleh meminta dengan keadaan hatiku yang sekarang, aku menginginkan memang dialah yang ditakdirkan akan menemani diriku dalam mengarungi hidup ini. Dialah yang nanti memasak dan membuatkan sambal terasi pedas, sayur asem dan cah kangkung untukku. Dialah yang nanti mengasuh anak-anak kami yang cantik dan tampan juga soleh dan solehah, insyAllah. Dialah yang menjaga rumah dan harta kami. Dialah yang setia menasihatiku untuk tetap terus berada pada jalan yang benar, yaitu jalan islam. Dialah yang menghiburku dikala aku benar-benar berada dalam keadaan lelah. Dan dialah yang mengingatkanku akan amanah-amanahku sebagai seorang hambaNya.

Sebenarnya, bisa saja niatan suci itu terlaksana lebih cepat dari rencana. Bilamana sebagai berikut: pertama, tiba-tiba aku menemukan harta karun yang cukup besar, yang mana dengan hasil dari harta karun itu aku bisa membahagiakan semua keluargaku, dan setelah itu, baru aku akan melamar dia. Kedua: aku terpilih menjadi salah-satu peserta acara kuis di tv yang berhadiah uang milyaran rupiah, dan tidak disangka serta tidak diduga, aku menjadi juara satunya dan berhak menggondol uang milyaran rupiah itu. Dengan uang itu, aku bisa membahagiakan keluarga, serta segera melamar wanita itu. Dan yang terakhir, ini yang terasa lebih realistis, yaitu, diriku membuat sebuah tulisan. Kemudian tulisan itu aku kirimkan ke penerbit. Alhamdulillah, pihak penerbit menyukai tulisanku. Setelah ada kesepakatan dari dua belah pihak, yakni pihak diriku dan pihak penerbit, maka dicetaklah buku itu. Alhamdulillah lagi, tulisanku itu mendapatkan respon yang baik dari para pembaca, hingga membuat buku itu laris dipasaran. Royalti yang kudapatkan dari buku itu lumayan banyak dan cukup untuk membiayai kehidupan keluargaku, bahkan masih banyak uang sisa yang menganggur di rekeningku. Dengan menghujamkan bismilah dalam hati yang paling dalam, segera aku meminang wanita pujaan.

Wahai dirimu yang berada disana, jika Allah mengilhamkan pada dirimu untuk tahu perasaanku padamu, dan engkau juga memiliki rasa yang sama, berdo’alah untuk semua ini, berdo’a untuk segala kelancarannya. InsyAllah, Dia akan mempermudah ini. Insyallah. Bersama tulisan ini, aku kirimkan sebuah senyuman tulus untuk dirimu. Hanya untuk dirimu wahai bidadari surgaku. Pesanku, teruslah berusaha untuk memperbaiki diri. InsyAllah, akupun akan seperti itu. Mari kita saling mendo’akan, agar kita menjadi hambaNya yang baik. Aamiin.
***

Ridho Allah berada pada ridhonya orang tua. Karenanya, supaya segalanya barokah, maka, sebelum aku melangkah lebih jauh, terlebih dulu aku harus meminta restu dari orang tuaku. Hari ini adalah dua hari terakhirku berada di kampung halaman, dengan jiwa yang sangat gemetar, aku memberanikan diri untuk berbicara pada kedua orang tuaku. Karena sekarang ibu dan bapak tidak tinggal pada rumah yang sama, maka aku putuskan untuk berbicara kepada orang tua yang lebih akrab denganku terlebih dahulu, yaitu ibuku tercinta. Saat itu ibu sedang memasak sendiri di dapur. Segera aku menghampiri ibu dan pura-pura untuk membantunya memasak. Aku melakukan apa yang bisa kulakukan. Aku mencuci bumbu-bumbu dan mengiris-irisnya. Aku mengulek guna menghaluskan bumbu. Ketika momennya pas, aku buku suara.

“ Mah, seandainya ketika kuliah ini Aa ada rezeki nomplok tiba-tiba, dan dengan rezeki nomplok itu Aa bisa membantu kehidupan keluarga, lalu masih ada uang tersisa yang numayan banyak, kemudian Aa melamar seorang wanita, gimana menurut Mamah?” tanyaku dengan suara yang mengalir tanpa ragu. Memang seperti inilah obrolanku jika dengan ibu, semuanya meluncur begitu saja, bagai peluru yang melesat ketika ditembakan. Tidak ada keraguan dan malu sedikitpun.

Setelah pertanyaan itu keluar, pandanganku tertuju pada ibu yang masih sedang konsentrai menguah-nguah pasakan. Ibu tampak tidak kaget sedikitpun mendengar pertanyaanku yang satu ini. Ibu hanya tersenyum sambil memandangi diriku, dimulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Setelah kira-kira pandangannya sampai ujung jemari kakiku, ibu kembali melihat wajahku lagi. Beliau tersenyum lagi padaku, lalu memalingkan pandangannya pada pasakan lagi. Sambil menguah pasakan, ibu belum juga menghapus senyum di bibirnya.

“ Sudah besar ternyata anak laki-laki Mamah yang satu ini. Obrolannya sekarang sudah mengati-ngait tentang pernikahan,” ujar Ibu dengan suara lembut. Aku masih memandangi ibu.

“ Kan masih misalnya Mah,” belaku. Ibu tersenyum lagi.

“ Mamah yakin kalau Aa itu sudah cukup dewasa. Mamah juga yakin, sebelum Aa membicarakan hal ini, Aa sudah mempertimbangkan semuanya dengan sangat matang, Mamah tahu siapa Aa. Jika menurut Aa, segera menikah itu baik, meskipun keadaan Aa masih sedang kuliah, selama Aa itu merasa mampu dan berani untuk mempertanggung jawabkan semua keputusan Aa, Mamahmah setuju-setuju saja. Do’a Mamah pasti menyertai kebahagiaan Aa,” jawaban ibu terdengar begitu merdu di telingaku. Kami saling tatap, lalu melempar sebuah senyuman satu sama lain.

“ Pesan Mamah untuk Aa, perlu Aa ketahui, membina sebuah keluarga itu tidak semudah yang dibayangkan. Jadi, sebelumnya, Aa harus benar-benar mempersiapkan ilmunya dengan sangat matang. Untuk itu, Mamah akan setia mendo’akan Aa, agar Allah mempermudah semuanya. Aamiin,” pesan dan do’a ibu untukku.

“ Aamiin,” jawabku.

Untuk sesaat kami terdiam. Ibu kembali memasak dan aku mengulek bumbu lagi. Tiba-tiba, secara mengejutkan, aku mendengar sura tawa yang terkekeh-kekeh, layaknya tawa genderuwok yang sedang menonton film komedi. Tawa jelek itu bersumber dari belakangku, di belakang aku dan ibu. Sontak, aku dan ibu memalingkan wajah ke belakang. MasyaAllah, benar saja dugaanku. Beberapa meter di belakangku, disana berdiri sesosok makhluk aneh. Makhluk itu hanya mengenakan celana kolor pendek. Model rambutnya mengacung ke atas, layaknya menara pengintai pada jaman penjajahan dulu. Pada lehernya menggantung sebuah kalung yang mirip dengan tasbih. Anehnya, makhluk itu mengenakan baju koko warna putih. Sepertinya, makhul itu hendak bertobat dan meminta wejangan pada kyai yang bersemedi di sebuah goa yang tersembunyi di hutan belantara. Ketika kyai memberikannya nasihat, makhluk itu tidak benar-benar melaksanakan semua nasihat itu. Lantas dia kabur dan berlari, lalu nyasar kesini, ke dapur yang mana diriku dan ibu sedang memasak.

Makhluk aneh itu terkekeh-kekeh lagi. Pandangannya hanya tertuju padaku, tidak pada ibu. Tatapannya sangat tajam. Sepertinya makhluk itu hendak menelanku bulat-bulat.

“ Hahaha… weleh-weleh, disini ada yang lagi ngebet kawin ternyata,” ujar makhluk itu dengan suara yang keras. Seolah-olah dia ingin agar semua orang di dunia ini mendengar ocehannya. Sesosok makhluk ini, tiada lain dan tiada bukan adalah adikku sendiri. Dialah Fadlan, yang biasa kami panggil Adam.

“ Pilih bininya yang cantik ya A,” ujar Adam menambahkan.

“ Hehehe…..,” Adam tertawa lagi. Dia menggerak-gerakan halisnya keatas, seperti ada arti dari tingkahnya itu, namun, ilmuku belum sanggup untuk menerjemahkannya.
***

Masih di hari yang sama, namun pada tempat yang berbeda. Aku dapati bapak sedang membaca sebuah buku di teras samping rumah. Sebuah kaca mata mengait pada kedua daun telinga bapak. Bapak terlihat khusuk dan menikmati buku bacaannya. Sementara aku, hanya bisa mengintip bapak dari ruang paviliun melalui jendela. Nyali ini belum terlalu siap untuk membicarakan sesuatu hal besar pada bapak. Sejenak terpikir, apakah akan dibatalkan saja pembicaraan ini. Tapi, mengingat lagi waktuku di rumah hanya tinggal dua hari saja, sebelum berangkat kuliah lagi ke Bandung, seolah itu menguatkan mentalku. Dengan langkah yang gontai, aku menghampiri bapak. Aku duduk tidak jauh disamping bapak. Nafasku naik-turun, seolah diriku baru saja berlari sejauh sepuluh kilo meter. Aku terengah-engah. Berbeda ketika aku hendak memulai obrolan dengan ibu tadi. Dengan suara yang fals dan terbata-bata, aku bertanya pada bapak dengan redaksi yang kurang-lebih sama dengan pertanyaan yang tadi kusampaikan pada ibu. Setelah mendengarkan dengan seksama kata perkata yang aku sampaikan, bapak menutup buku yang sedang beliau baca, kemudian bapak melepas kacamata yang dikenakan. Bapak merapihkan posisi duduknya. Kini, kami saling berhadap-hadapan satu sama lain. tidak ada hijab sehelai benangpun yang menghalangi.

“ A,” ucap bapak.

“ Iya Pak,” jawabku.

“ Aa sudah besar. Bapak yakin, Aa sudah bisa membedakan yang benar dengan yang salah. Nikah itu sebuah tujuan yang baik, yang mana, dengannya Aa bisa segera menyempurnakan separuh agama Aa. Tapi, sebelumnya, ada satu hal yang perlu Aa ingat. Aa itu adalah anak pertama. Aa memiliki tiga adik. Jika Aa sudah siap dan mampu untuk mengemban amanah sebagai suami untuk isteri Aa, sebagai ayah untuk anak-anak Aa dan sebagai seorang kakak untuk adik-adik Aa, Bapak akan segera melamarkan Aa untuk wanita pilihan Aa itu,” jawaban bapak atas pertanyaanku. Jawaban itu terdengar sangat diplomatis di telingaku. Terimakasih pak, bapak memang bapak nomer satu di dunia bagiku.
***

Senin, 26 September 2011

Melihat Jaket


Setahun yang lalu. Aku memiliki keinginan untuk menjadi santri ponpes Daaruut Tauhiid (DT). Tepatnya pada program pesantren mahasiswa (PPM). Sebelum itu, aku berusaha untuk mencari informasi terkait PPM sebanyak-banyaknya. Semua informasi itu aku gali dari berbagai sumber, seperti: dari teman satu jurusan yang ikut program ini, browsing di dunia maya dan bertanya langsung ke departemen pendidikan ponpes DT. Dari sini, aku mendapatkan banyak info seputar PPM. Setelah info kudapatkan, aku langsung menghubungi orang tua di kampung guna mendapatkan restu untuk berkuliah sambil menuntut ilmu agama di PPM DT. Dan gayung pun bersambut. Niatku ini Alhamdulillah disetujui oleh ibu dan bapak.

Keinginan dari diri sudah ada. Informasi sudah didapatkan. Restu orang tua telah dikantongi. Kini hanya tinggal izin Allah saja yang menentukan apakah diriku bisa masuk PPM atau tidak. Kini tugasku tinggal dua saja, yaitu ikhtiar semampuku dalam melewati seleksi dan berdo’a kepada Allah tentunya.
***
Masih setahun yang lalu. Malam itu aku berniat untuk solat berjama’ah isya di masjid DT. Sebenarnya, kos-kosanku letaknya dekat dengan sebuah masjid, Nurul Falah namanya. Tapi, untuk malam ini, aku ingin sekali lagi merasakan atmosfer solat berjama’ah di DT. Aku merindukan hentakan suara keras imam utamanya. Suaranya keras dan pasti. Siapapun yang mendengarkannya dijamin akan merinding hatinya. Yakin.

Sekitar seperampat jam sebelum waktu adzan, aku meluncur menuju masjid DT. Aku tiba di mesjid hanya beberapa menit saja sebelum adzan. Ketika aku sampai di lantai utama masjid dan duduk pada shaf kedua yang masih tampak kosong, salah satu pengurus masjid, yang usianya masih muda, mungkin usianya hanya beberapa tahun di atasku. Dia berdiri di samping mimbar. Dia bersiap-siap untuk melantunkan adzan. Tidak lama berselang, adzan pun dikumandangkan. Jama’ah yang sudah ada di mesjid, tampak khidmat mendengarkan merdunya lantunan lafadz demi lafadz adzan. Selepas adzan selesai, kami, para jama’ah beranjak untuk mendirikan solat sunah, kemudian dilanjutkan dengan solat berjama’ah isya.

Setelah solat beres, aku turun hendak pulang lagi ke kos-kosan. Aku turun meniti anak tangga mesjid satu persatu. Melewati beberapa jama’ah yang masih sedang sibuk dengan dzikirnya masing-masing. Pada pertengahan tangga, aku dapati sebuah kotak amal yang terbuat dari kaca. Dari luar, aku bisa melihat kumpulan uang kertas yang ada di dalamnya. SubhanAllah, terdapat banyak uang di dalam sana. Dari yang pecahan kecil, sedang, sampai yang besar. Aku terus berjalan melewati kotak itu. Aku kembali menuruni anak tangga tersisa.

Sesampainya di lantai bawah, aku menghampiri tempat penitipan barang. Kurogoh sebuah kartu yang bertuliskan sebuah nomer penitipan di saku samping celana panjangku. Aku berikan kartu itu pada petugas. Dia menerima kartunya, kemudian mengambil sebuah sandal cepit butut warna biru. Sandal cepit butut warna biru itu adalah kepunyaanku. Petugas itu memberikan sandal padaku. Aku terima sandal butut kesayanganku, kemudian berjalan menuju luar mesjid sambil tangan kanan menenteng sandal.

Malam ini, jalanan geger kalong sedang ramai, hingga membuat diriku juga beberapa orang lain harus sabar menunggu untuk menyeberang jalan. Sambil menunggu kendaraan yang sedang lewat, aku membalikan badan mengarah pada mesjid DT lagi. Aku pandangi petugas penitipan barang yang terlihat sibuk karena banyak jama’ah yang hendak mengambil barang yang dtitipkan mereka. Kemudian ku arahkan pandanganku pada sebuah ruangan di lantai dasar mesjid. Ruangan itu hanya disekati oleh dinding dari kaca. Jadi, siapapun dapat dengan mudah melihat aktifitas yang dilakukan oleh orang-orang yang ada di dalamnya. Kali ini, aku dapati beberapa orang sedang duduk sila dan tangannya sedang menggenggam sebuah mushaf Al-Qur’an. Sepertinya mereka sedang tilawah. Ada juga beberpa orang yang sedang memperbincangkan sesuatu. Posisi duduk mereka melingkar. Mereka saling pandang satu-sama lain. Nampaknya mereka sedang melaksanakan mentoring. Salah-satu dari orang-orang itu terlihat sedang membicarakan sesuatu, sedangkan sisanya hanya diam memperhatikan apa yang dibicarakan. Sepertinya memang benar, mereka sedang mentoring.

Namun, yang menjadi perhatianku saat itu adalah sekelompok remaja laki-laki yang juga sedang duduk bergerombol. Mereka terlihat sedang bercanda ria. Terlihat dari gelak tawa mereka. Hampir semua dari remaja itu mengenakan sebuah jaket dengan warna merah tua. Pada bagian punggung jaket itu terdapat sebuah tulisan dengan susunan huruf arab. Aku tidak tahu apa arti dari tulisan itu. Dan di bagian depan sebelah kirinya, tertulis kecil susunan kata “ Program Pesantren Mahasisa, Daaruut Tauhiid, Bandung”. Sepertinya jaket itu adalah jaket kebersamaan program PPM yang ingin aku masuki. Para remaja laki-laki itu terlihat gagah dengan balutan jaket merah itu. Ingin sekali aku menggunakan jaket itu dan menjadi bagian dari mereka. Oh, alangkah bahagianya hati ini jika itu benar-benar terjadi.

Jalanan tampak lebih lengang. Aku melangkah guna menyeberangi jalan menuju bahu jalan sebelah kiri. Sesampainya diseberang, aku kembali melihat para remaja laki-laki di lantai dasar mesjid DT. Aku masih mendapati mereka sedang duduk bergerombol sambil saling bercanda satu sama lain. Sekali lagi aku berfikir, apakah nanti aku akan menjadi bagian dari mereka?

Lamunan itu buyar ketika pandanganku terhalangi oleh mobil-mobil yang berjalan di depanku.
***

Satu tahun kemudian, tepatnya sekarang. Jam dinding yang tertempel di kamarku menunjukan pukul enam lewat empat puluh lima petang. Jadi, kurang-lebih sekitar lima belas menit lagi waktu solat isya tiba. Segera aku dan teman satu kamarku bersiap-siap untuk menuju mesjid DT. Kami berjalan bergerombol menuju sana.

Sesampainya di mesjid DT, iqomat sudah dikumandangkan. Segera kami masuk shaf dan ambil bagian pada solat berjama’ah. Selesai solat, kami berkumpul di lantai bawah mesjid. Kami mengobrol disana. Ditengah-tengah obrolan, aku minta izin teman-teman untuk keluar mesjid duluan, karena aku hendak membeli sesuatu digerai buku yang terletak tidak jauh dari mesjid DT. Aku beranjak dan melangkah menuju luar mesjid. Aku berdiri di bahu kiri jalan, menunggu kendaraan lewat. Sambil menunggu, aku berbalik melihat teman-temanku lagi. Disana, di sebuah ruangan lantai dasar mesjid, yang kini kutahu namanya adalah “Darul Hidayah”, teman-temanku masih sedang mengobrol. Mayoritas dari mereka mengenakan jaket kebersamaan PPM. Jaket itu berwarna merah. Pada bagian punggunya tertulis sebuah tulisan arab, arti dari tulisa itu kurang lebih adalah “Dakwah Untuk Peradaban”. Pada bagian depan sebelah kiri bertuliskan “Program Pesantren Mahasiswa, Daaruut Tauhid, Bandung”.

Maha suci Allah, tanpa saya sadari, bibir ini tersenyum sendiri, seperti ada yang menarik kedua ujung bibirku. Aku tersenyum bukan karena ada sesuatu yang lucu, tapi semata-mata karena takjub dengan kekuatan sebuah impian. Setahun lalu, aku memiliki mimpi untuk bisa menjadi bagian dari remaja laki-laki yang ketika itu mengenakan jaket kebersamaan warna merah. Dan kini, detik ini, di tempat yang sama dengan tahun lalu, namun pada waktu yang berbeda, aku telah menjadi bagian dari mereka. Kini, jaket yang dulu kuinginkan, sekarang sedang membalut erat tubuhku. Sekarang aku benar-benar mengenakan jaket itu. Kini, aku telah menjadi bagian dari keluarga PPM. SubhanAllah, betapa dahsyatnya kekuatan sebuah impian jika dibarengi dengan sebuah perjuangan untuk mewujudkannya.
***

Jalanan sudah mulai lengang. Aku berjalan menyeberangi jalan, lalu meluncur menuju gerai buku. Niatku adalah akan membeli sebuah buku kecil kumpulan hadits arba’in yang disusun oleh Imam Nawawi.

“ Teh, ada hadits arba’in?” tanyaku ketika sampai di gerai buku.

“ Ada A, itu di sebelah sana,” jawab teteh penjaga gerai buku, sambil menunjuk pada salah-satu rak. Aku menghampiri rak yang ditunjukan teteh penjaga gerai. Disana bertumpuk banyak buku-buku kecil yang pada covernya bertuliskan “ Hadits Arba’in”. Aku ambil satu buku kumpulan hadits arba’in itu.

Gerai buku ini tidak terlalu luas. Ukurannya kurang lebih hanya sekitar tiga kali tujuh meteran. Rak buku yang ada, semuanya berdiri mepet pada setiap dinding. Pada bagian tengahnya, terdapat sebuah meja yang di atasnya bertumpuk banyak mushaf Al-Qur’an dan buku seputar keislaman. Pada setiap rak yang berbeda, berbeda pula buku yang dipajang. Sebelum aku membayar hadits arba’in, menyengaja aku melihat-lihat buku pada rak bagian buku fiksi. Siapa tahu ada sebuah buku bagus disana. Jika ada, dan harganya pas dikantong, maka aku akan membelinya.

Aku berdiri menghadap pada rak bagian buku fiksi. Disana berjejer banyak buku berkualitas. Mataku terkunci pada sebuah novel yang pada covernya terselip gambar bintang merah bertuliskan “Best seller”. Aku pernah baca novel itu sekitar tiga tahun yang lalu. SubhanAllah, ceritanya begitu indah. Ingin rasanya suatu hari nanti aku bisa menulis novel sehebat dan selaris novel ini. Mudah-mudahan Allah SWT, mewujudkan impianku ini, aamiin.

Mataku masih terpaku pada novel yang sedang kulihat. Aku masih terbengong sendiri, berdiri mematung di depan rak buku. Tanpa sengaja, pandanganku beralih pada jaket merah yang sedang kukenakan. Tiba-tiba berkelebat sebuah pemikiran. Setahun yang lalu aku menginginkan untuk mengenakan jaket merah ini, dan kini, aku bisa mewujudkannya. Pandanganku beralih lagi pada novel yang tadi menyita perhatianku. Tepat di samping novel itu, terdapat space kosong yang cukup untuk dipajang satu buku lagi. Aku arahkan lagi pandanganku pada novel, kemudian kembali pada jaket merah PPM. Sekali lagi, aku melihat jaket merah yang setahun lalu aku memimpikan untuk memakainya, kemudian ku arahkan lagi pandanganku pada sebuah novel terkenal, lalu pada sebuah space kosong di samping novel itu. Aku meihat jaket merah lagi, lalu kembali melihat space kosong disamping novel.
***

Minggu, 25 September 2011

Bisikan Untukku


Tidak bisa dipungkiri, semenjak aku merasakan itu, hati ini serasa sedang disiram air es. Segar dan dingin. Namun, aku harus tetap hati-hati dalam menyikapi rasa ini. Sedikit saja salah melangkah, fatal akibatnya. Memang benar apa yang telah digembor-gemborkan oleh para pujangga. Sebuah kata yang tersusun dari lima huruf itu bisa merubah semuanya. Yang tadinya buruk, berubah menjadi baik, dan yang awalnya baik, berubah menjadi semakin baik. Kini, di mataku, tidak hanya kotoran kambing yang berubah menjadi cokelat. Tapi, semua benda yang kulihat, berubah menjadi makanan kesukaanku, yakni sambal terasi pedas. Tidak hanya itu, kentutnya Mamat yang terkenal mampu membuat siapapun yang menciumnya bisa koma selama beberapa jam itu, tiba-tiba berubah rasa menjadi seharum minyak wangi kasturi. Ini tidak bohong, memang seperti ini kenyataannya.

Aku sudah kehabisan kata-kata guna menggambarkan apa yang kurasakan untuknya, untukmu wahai bidadari surgaku, yang hingga detik ini aku tidak tahu, apakah engkau tahu atau tidak dengan rasaku ini. Aku benar-benar bingung dengan apa yang harus kulakukan. Inginnya aku tetap diam dengan rasa ini. Aku sadar. Aku sangat berbeda jauh dengan Ali bin Abi Tholib. Bedanya sangat jauh sekali. Seperti langit dan bumi. Bahkan tidak hanya itu. Perbedaan kualitas kami, jauhnya adalah sejauh-jauh jarak yang ada di jagat raya ini. Tapi, kapasitasku yang sama sebagai seorang hambaNya, aku ingin berusaha untuk belajar seperti Ali dengan cinta platonisnya yang sangat istimewa kepada Fatimah. Aku ingin seperti itu.

Tapi, disisi lain hatiku. Fitrah seorang manusia adalah memiliki cinta, baik itu mencintai ataupun dicintai. Amat bahagia rasanya jika seseorang dicintai oleh orang-orang yang dia citai. Meskipun, memang, ada batas-batas yang tidak boleh sampai terlewati sebelum benar-benar ada ikatan yang resmi. Dan, pada batas-batas inilah aku tidak mampu melakukan lebih, karena memang seperti itulah harusnya.

Untuk dirimu wahai bidadari surgaku. Aku bingung sebingung-bingungnya. Aku tidak tahu dengan apa yang harus kulakukan. Mungkinkah ini adalah sebuah hukuman bagiku dari Allah, Tuhan kita, yang karena penyebabnya adalah aku tidak mampu melewati rintangan hati ini. Sebuah rintangan yang terlihat sederhana, tapi sangat menyulitkan. Mungkinkah?

Sepertinya memang benar bisikan putih itu. Sebuah bisikan yang pernah kudengar dengan sangat jelas pada suatu hari dalam kesendirianku. Mungkin sekaranglah waktu untukku melakukan perintah demi perintah yang termaksud dari bisikan itu.

Sabarlah wahai anakku, sabarlah dengan rasa yang telah Dia anugerahkan untukmu. Jangan sampai engkau salah langkah. Teruslah ikuti kata hatimu yang paling dalam. Teruslah mengikuti petunjuk-petunjuk itu. Buatlah duniamu sendiri. Dunia yang akan menjadi penawar untuk kegelisahan hatimu ini,” bisikan ini terdengar lembut olehku. Namun, aku tidak tahu dari mana datangnya.

Membuat dunia sendiri? Dunia seperti apakah itu??” aku kebingungan dan bertanya pada hatiku sendiri. Sesaat kemudian, bisikan itu muncul lagi.

Dunia yang selama ini mampu menjadi penawar untuk racun yang menghampiri dirimu. Dunia yang selama ini mampu menyegarkan jiwamu dikala sedang panas, dan mampu menghangatkan jiwamu dikala kedinginan. Dunia yang membuatmu senang dikala engkau merasa sedih. Dunia yang engkau buat sendiri dengan pena dan kata-katamu itu. Dunia yang engkau cintai wahai anakku,” bisikan itu terdengar sekali lagi, dengan sangat jelas. Sepertinya aku tahu dunia apa yang dimaksud oleh bisikan itu.

Tapi apakah benar dengan yang engkau katakan ini?” aku bertanya lagi untuk meyakinkan hatiku.

Sangat bisa wahai anakku, bisa sekali. Perlu engkau ketahui, inilah salah-satu maksud kenapa Dia memberikan kemampuan itu padamu. Inilah salah-satu dari maksud itu. Pergunakanlah dengan baik. Pergunakanlah dengan baik. Pergunakanlah dengan baik,” semakin lama bisikan itu semakin melemah, dan kemudian menghilang.

Setelah bisikan itu benar-benar hilang, aku terdiam dan mengingat kembali kata demi kata yang kudengar. Saat itu, satu saja yang terpikir olehku, yaitu MENULIS. Menulis untuk menciptakan duniaku sendiri, dunia yang aku inginkan.
***

Semoga saja aku kuat dengan diam ini. Diam untuk menyembunyikan rasa ini. Diam mencoba untuk menjaga diriku, juga dirinya. Diam untuk menjaga kesucian rasa ini. Meskipun semua ini bukanlah hal yang mudah.

Untuk dirimu, wahai bidadari surgaku, hanya melalui tulisan ini, aku berani mengungkapkan isi hatiku. Tidak banyak yang akan kukatakan. Hanya satu saja, yaitu, AKU MENCINTAIMU.

Duhai Allah, yang telah memberikan rasa ini padaku, hamba mohon, berikanlah sedikit saja tanda untukku. Tanda yang mampu membuat jiwa ini merasa tenang. Melalui apapun itu, yang penting aku bisa membaca petunjuk itu. Duhai Allah, sebagai penutup tulisan ini, hamba memohon hanya kepadaMu. Jika dia adalah tulang rusuk yang Engkau gariskan untukku, jadikanlah aku imam yang baik bagi dia dan anak-anak kami kelak. Jadikanlah dia pendamping yang baik untukku, baik untuk kehidupan dunia maupun kehidupan akhiratku, begitu juga diriku untuknya. Dan, seandainya takdir menggariskan sebaliknya, berikanlah aku pengganti yang baik, begitupun dengan dia, berikan juga dia pendamping yang baik. Dan, buatlah aku, ataupun dia rela dalam menerima apapun takdir yang Engkau berikan untuk kami. Hamba mohon Yaa Allah.

“ Yaa Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang –orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqon: 74)

Jumat, 23 September 2011

Keluarlah Wahai Pemuda !!!!


Aku punya teman. Dia berkuliah di Universitas Negeri Semarang (UNES). Beberapa waktu yang lalu, kami mengobrol lewat jejaring sosial di dunia maya. Waktu itu aku belum mudik, karena masih ada kegiatan di Bandungnya. Ketika itu aku bertanya kepada temanku, apakah dia sudah mudik atau belum? Temanku itu menjawab, sudah. Tapi, dia bilang hanya beberapa hari saja di rumahnya. Dia merasa tidak betah di rumah. Bukan karena tidak kangen pada keluarga, dia seperti itu. Alasannya adalah karena di rumah semuanya telah siap sedia. Tidak butuh perjuangan untuk mendapatkan yang diinginkan. Mau makan enak, sudah tersedia di meja makan. Ingin jajan, tinggal menjulurkan tangan pada orang tua. Hendak menonton acara televisi, hanya tinggal tiduran di depa tv dan menekan tombol warna hijau pada remot. Pokoknya, semuanya serba mudah. Tapi, dibalik kemudahan itu, tersimpan sebuah akibat yang sangat buruk, yaitu penyakit paling berbahaya nomer satu di dunia yang menghambat sebuah keberhasilan. Adalah kemalasan. Karenanya, temanku itu memilih untuk kembali lagi ke kampusnya di Semarang. Dia berencana akan pulang ke rumah lagi hanya satu hari menjelang lebaran idul fitri tiba.

Satu yang paling ku ingat dari obrolanku dengan temanku itu adalah sebuah analogi yang dia utarakan saat memperkuat pemikirannya tentang kemalasan. Dia menyebutnya dengan istilah ‘teori lingkungan’.

Temanku (T): Tahu kenapa Jepang jauh meninggalkan Indonesia dalam banyak bidang?

Aku (A): Apa?

T: karena kondisi alam Jepang lebih buruk dari Indonesia. Tanah Jepang tidak sesubur tanah Indonesia. Lebar wilayahnya tidak seluas Indonesia. Sumber daya alamnya tidak semelimpah Indonesia. Tapi, justru karena semua kekurangan itulah yang menyebabkannya menjadi negara maju.

A: sepakat!

T: dan kondisi alam mereka yang serba kekurangan itu, yang pada akhirnya membuat mereka, para penduduk Jepang berpikir keras, bagaimana caranya agar mereka tetap bisa hidup dengan kondisi yang ada. Dengan begitu, mereka menuntut ilmu lebih giat, bekerja lebih keras dan hidup lebih disiplin. Dan mereka menuai hasilnya sekarang. Jepang adalah satu dari beberapa negara paling maju di dunia.

A: setuju!

T: kondisi berbanding terbalik terjadi pada negara tempat kita chating sekarang ini. Sebenarnya saya gak tega membicarakannya, tapi, mau gak mau kita harus membicarakannya. Kita tidak boleh menutup-nutupi kekurangan kita ini. Semua kondisi yang ada: wilayah yang luas, lautan yang luas, tanah yang subur, kekayaan alam yang super melimpah dan masih seabreg kelebihan lainnya. Semua hal itu membuat panduduknya merasa termanjakan. Tapi, justru karena hal itulah mengapa penduduk negara tempat kita chating ini relatif malas-malas.

A: agree !

T: kecuali saya ya, hehe...

A: yang ini saya tidak setuju, hehe juga...

T: kembali ke topik. Dan hal inilah yang pada akhirnya menjadikan negara tempat kita chating ini tertinggal jauh dari banyak negara, khususnya Jepang. Namun, kita jangan tarbawa oleh pandangan yang sudah melekat pada penduduk negara kita selama ini. Jangan karena penduduknya di-cap malas, kita juga ikut-ikutan malas. Justru itu harus menjadi pemicu bagi kita, khususnya generasi penerus, untuk meluruskan anggapan-anggapan itu. Kita harus tiru semangat Jepang. Kita tiru semangat belajar, kerja keras dan disiplin penduduknya. Coba bayangin Ko! Seandainya sekarang ini semua pemuda Indonesia memiliki itu semua. Akan menjadi negara semaju apa Indonesia beberapa tahun kedepan? Mungkin Jepang juga bisa kita lampaui, mengingat Indonesia didukung dengan fasilitas yang super mewah, yaitu kekayaan alam yang banyak itu.

A: bener juga ya!

T: sangat benar Ko! Oya, semua yang saya jelaskan tadi, saya dapatkan dari seorang teman saya Ko. Dia menyebutnya dengan istilah ‘teori lingkungan’. Lingkungan yang keras, cenderung membuat penghuninya menjadi pekerja keras. Dan lingkungan yang enak, cenderung membuat penghuninya menjadi malas. Tolong sebarin teori lingkungan ini ya Ko! Sebarkan virus baik ini kepada pemuda Indonesia yang antum bisa! Untuk Indonesia yang lebiah baik Ko. Untuk Indonesia kita.

A: insya Allah brother, mohon do’anya supaya dimudahkan...

T: pasti sobat...
***

Hari kelima di rumah. Aku mengidap penyakit yang beberapa waktu lalu menjangkiti temanku, yaitu malas, malas ngapa-ngapain, selain tidur dan bermanja-manjaan di depan tv. Hampir tidak pernah aku keluar, kecuali ketika akan melakukan kewajiban dan yang penting-penting saja.

Selepas subuh, aku tiduran di depan tv, menonton acara tv hingga menjelang siang. Jika acara sedang seru, aku tahan untuk tidak tidur, tapi, jika acaranya membosankan, mata ini tak kuasa untuk tidak terpejam. Seandainya tertidur, aku bangun beberapa saat sebelum dzuhur, bahkan pernah aku terbangun pukul satu siang, yang pada akhirnya membuatku kelabakan untuk segera mandi dan solat dzuhur. Selepas dzuhur, aku jalan-jalan di sekitar halaman rumah atau pergi mengamati kebun. Biasanya aku berjalan mondar-mandir sambil berpikir tentang potensi apa saja yang bisa dikembangkan pada tanah yang numayan luas di halaman samping rumah dan apa-apa juga potensi yang ada pada kebunku itu.

Setelah mengamati halaman rumah dan kebun, aku kembali ke rumah. Tiduran di depan tv. Menonton tv lagi. Tidak berbeda dengan pada saat pagi. Jika acaranya seru, aku tahan untuk tidak tidur, tapi jika bosen, mata ini pasti terpejam. Aku terbangun beberapa saat sebelum ashar, itu jika beruntung, tapi jika sedang apes, aku kebablasan sampai jam empat sore. Jika hal itu terjadi, biasanya adegannya seperti ini: aku membuka mata, kudapati tv masih menyala. Aku beranjak duduk, pandangan ku arahkan ke sekitar dan terhenti pada jam berbentuk lingkaran besar yang tertempel pada dinding. Mataku melotot melihat jam dinding itu. Beberapa detik berselang, mataku normal lagi. Aku menggeliatkan tubuh layaknya se-ekor kucing persia yang baru bangun tidur. Setelah dirasa tubuh mulai segar, aku bangun, lalu berjalan sempoyongan menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu.

Selepas solat ashar, aku duduk santai di teras samping rumah. Menikmati pemandangan halaman samping rumahku. Disana tumbuh tiga pohon mangga yang rindang dan dua pohon mangga yang masih kecil. Ada juga pohon belimbing dan pohon buah cermei. Sambil menikmati pemandangan itu, aku mencoba mencari inspirasi untuk menulis. Saat itu, aku sudah seperti para pujangga handal saja. Melamun sendiri, sambil memegang sebuah buku tulis dan pena. Untuk sesaat aku terbengong, layaknya orang kurang waras yang biasanya nongkrong dijalanan. Tapi, sesaat kemudian, aku tertawa sendiri dan menuliskan sesuatu pada buku yang ada pada genggamanku. Kegitan macam ini berlangsung hingga menjelang waktu berbuka. Jika sedang ingat, aku sempat untuk mandi sore. Tapi jika tidak, aku mandinya selepas solat magrib.

Petangnya, sehabis solat teraweh, aku makan berat. Kemudian langsung pasang lapak di depan tv. Menonton sampai waktu yang tidak bisa ditentukan. Kadang tidurnya dibawah jam dua belas malam, namun terkadang juga lewat dari jam itu. Aku terbangun jika waktu sahur telah tiba. Begitu dan sering begitu kegitanku sehari-harinya selama kepulanganku ke rumah.

Sampai suatu ketika, rasa bosanku sudah mencapai tingkat klimaks. Aku berpikir, apakah kegiatanku dikampung hanya akan begini dan begini saja? Tidak sedikitpun manfaat yang dapat kuambil dari hal yang demikian. Segera ku sergap hape yang sedang dicas. Aku mengetik sebuah pesan, lalu kukirim pada nomer salah-satu teman sekampungku. Tidak lama berselang, ada SMS balesan dari temanku itu.

(Wa’alaikumussalam, ada Ko, kesini aja, ditunggu ya) balesan SMS dari teman.

Segera aku meluncur menuju rumah temanku itu yang jaraknya hanya terpisahkan oleh lima rumah. Sesampainya dirumahnya, aku mendapati dia sedang melemparkan sesuatu benda berukuran kecil yang banyak. Selidik punya selidik, ternyata dia sedang memberikan makan untuk ternak ikan lele yang baru direntasnya. Setelah dia memberikan pakan untuk ternak lelenya, kami mengobrol di bale-bale berukuran satu setengah kali dua meter. Bale-bale itu berada di samping kolam ikan lele dan diteduhi oleh pohon rambutan yang rindang. Sambil mengobrol, kami pandangi riakan kolam ikan karena lelenya bergerak-gerak ke permukaan.

“ Saya menyesal Ko,” ucap Deden tiba-tiba. Mendengar ucapan itu, aku sedikit kaget, kok tiba-tiba Deden berbicara seperti itu. Memang apa yang membuatnya menyesal. Aku penasaran.

“ Menyesal kenapa Den?” tanyaku. Mendengar pertanyaan itu, Deden terdiam sesaat. Dia seperti sedang memikirkan sesuatu.

“ Kamu masih ingat kemana saya pergi setelah lulus sekolah?” Deden balik bertanya padaku.

“ Masih. Kamu kerja di Jakarta kan?”

“ Benar, kamu benar Ko.”

“ Lantas apa yang membuatmu menyesal?” tanyaku.

“ Kamu lihat motor itu!” titah Deden padaku. Tangannya menunjuk ke arah motor besar yang berdiri gagah di halaman depan rumahnya. “ kamu tahu berapa saya beli motor itu? Kamu tahu berapa uang yang keluar selama ini untuk merawat dia? Tidak sedikit Ko. Aku membeli motor itu dari seorang teman dengan harga dua puluh juta. Entah berapa juta uang yang sudah aku hamburkan untuk mendandani motor itu,” Deden menjawab pertanyaan demi pertanyaannya sendiri. Aku hanya diam mendengar semua perkataannya.

“ Belum lagi, tidak sedikit uang yang hilang begitu saja demi memuaskan hasrat jiwa mudaku. Dulu saya sangat suka bermain Ko, jalan-jalan, mencoba untuk menghilangkan penat setelah lelah bekerja,” ucap Deden dengan pandangan yang mengarah pada kolam lelenya.

“ Setelah kontrak kerja saya di Jakarta habis, bapak menyarankan saya untuk membuat usaha ternak lele, saya turuti saran bapak itu. Setelah saya jalani, ternyata berternak lele itu memang enak Ko. Saya sempat berpikir, andai saja dulu saya gak menghamburkan semua uang itu tidak hanya untuk bersenang-senang saja, tapi menyisihkan sebagian untuk modal usaha, mungkin kolam leleku sekarang sudah banyak Ko.”

“ Memang apa yang membuatmu enjoy dengan beternak lele ini?” aku bertanya pada Deden.

“ Banyak Ko. Dengan usaha ini, lebih banyak waktu luang yang saya miliki. Saya lebih bisa bebas mengatur hidup. Tidak diatur-atur seperti masih bekerja dulu. Saya lebih bisa menikmati hidup. Ibadah lebih terasa nikmat Ko. Belum lagi keuntungan yang numayan besar,” jawab Deden atas pertanyaanku.

“ Oh gitu? Memang ternak lelemu sudah berapa kali panen Den?”

“ Baru dua kali, keuntungannya numayan besar Ko. Modal awal yang keluar untuk memulai usaha ini satu juta. Untuk membuat dua buah kolam, menghabiskan uang empat ratus ribu. Beli anakan ikan lele tiga ratus ribu. Dengan tiga ratus ribu itu, saya mendapatkan anakan dua ribu ekor anak lele. Kemudian untuk membeli pangan satu karung, atau kurang lebih satu kuintal, seharga tiga ratus ribu juga. Pangan satu kuintal itu cukup untuk makan lele dari awal hingga panen.

“ Waktu yang dibutuhkan untuk panen itu sekitar dua atau tiga bulan. Sekali panen, keuntungannya numayan sangat besar. Penampung membeli lelenya dengan sistem kiloan. Satu kilo dihargai lima belas ribu rupiah. Untuk mendapatkan satu kilo, rata-rata jumlah lelenya adalah lima ekor. Jadi, dengan jumlah dua ribu lele yang saya miliki, omzet yang saya dapatkan pasca panen adalah sekitar tujuh juta rupiah. Dipotong oleh modal, jadi keuntungan saya dalam sekali panen adalah enam juta rupiah.

“ Kamu tahu gak Ko, berapa gaji saya tiap bulannya ketika bekerja dulu?” Tanya Deden. Aku hanya menggelengkan kepala pertanda tidak mengetahuinya.

“ Saya menerima gaji dua juta perbulan. Sekarang kita bandingkan dengan uang hasil ternak lele ini. Tadi sudah saya jelaskan, untuk bisa dipanen, kurang lebih memakan waktu dua atau tiga bulanan. Coba kita ambil yang tiga bulan saja. Dalam tiga bulan itu, keuntungan yang saya dapatkan adalah enam juta rupiah kan. Nah, jika dihitung perbulannya, pendapatan saya dua juta rupiah juga Ko, sama dengan gaji saya ketika bekerja dulu. Tapi, walaupun jumlahnya sama, tidak bisa dipungkiri lagi, berternak lele ini lah yang lebih untung. Karena saya lebih bisa menggunakan banyak waktu saya untuk kegiatan yang lain. Rencananya, insyAllah, setelah panen yang ini, saya akan tambah dua kolam lagi Ko,” terang Deden panjang lebar padaku. Mendengar itu semua, aku hanya bisa manggut-manggut mengiyakan semua yang dikatakan Deden. Otakku terbayang-bayang sejumlah uang yang Deden ceritakan tadi. Jika seperti di film-film kartun, mungkin buletan hitam pada bola mataku berubah menjadi huruf “Rp”. Dalam hati aku berpikir, kapan aku bisa usaha ternak lele seperti Deden????

Deden beranjak dari duduknya. Dia berjalan menuju kolam lelenya. Aku ikuti deden dari belakang. Kini kami menghadap pada dua buah kolam. Deden mengambil segenggam pakan lele. Bentuk pakan itu bulet kecil-kecil. Deden melemparkan pakan itu ke kolam. Kecipakan air semakin keras ketika lele-lele itu berebut mendapatkan makanannya.
***

Selepas solat taraweh, aku makan besar. Setelah dirasa perut ini kenyang, aku meluncur menuju ruang paviliun rumah. Disana terdapat sebuah kotak berukuran dua puluh satu inci. Jika dinyalakan, pada layar kaca kotak kecil itu muncul gambar bergerak-gerak. Melalui kotak inilah, aku menghabiskan waktu paling banyak selama berada di rumah.

Malam ini acara tv derajatnya sedang-sedang saja. Acaranya tidak seru, namun juga tidak terlalu membosankan. Aku menonton sambil tiduran di lantai keramik, tanpa alas, hanya sebuah bantal yang mengganjal kepalaku. Sambil tiduran, mataku berkedip-kedip melihat tv di hadapanku.

Teringat obrolan tadi siang dengan Deden. Ending dari obrolan itu membuatku menambahkan satu lagi daftar mimpi pada buku agendaku, yaitu menjadi juragan lele. Jika saja tadi siang aku tidak keluar menjumpai Deden, dan hanya tiduran saja di ruang paviliun, mungkin aku tidak akan pernah menemukan inspirasi untuk menjadi pengusaha. Memang benar apa yang telah dikatakan Imam Syafi’i. Pemuda itu harus keluar, dengan keluar, maka kita akan menemukan inspirasi. Perumpamaan seorang pemuda yang hanya berdiam diri saja itu seperti air yang tergenang, atau tidak mengalir. Lama-kalamaan, air itu akan menjadi bau dan tidak berguna. Seperti itulah yang aku ingat.

Jam dinding menunjukan pukul sembilan malam. Malam ini aku memiliki rencana untuk datang lagi menemui Deden. Aku akan bertanya banyak seputar usaha ternak lelenya. Aku ingin mendaptkan gambaran lebih, terkait usaha yang satu ini. Segera aku meluncur menuju kamarku. Ganti celana panjang. Mengoleskan sedikit wangi-wangian pada kaos yang kukenakan. Setelah itu aku menghadap cermin guna memandangi diri. Ku ambil sisir kecil warna hitam yang tergeletak di depan cermin. Aku genggam sisir itu, kemudian kurapihkan rambutku. Aku meluncur menuju rumah Deden.

Dalam perjalanan, aku berjumpa dengan ibu-ibu yang sedang makan baso di salah-satu warung penjual baso dadakan. Beginilah satu dari beberapa kebiasaan di kampungku jika sudah masuk bulan Ramadhan. Tidak sedikit ibu-ibu yang menjual baso dan jajanan lainnya. Ibu-ibu itu hanya memasang sebuah meja di depan teras rumahnya, kemudian menyimpan jualannya di atas meja itu.

Beberapa ibu menyapa diriku. Aku balas sapaan mereka dengan seramah mungkin yang aku bisa. Kami saling melempar senyum. Satu dari ibu yang ada di warung baso itu membawa anak laki-laki kecilnya. Usianya mungkin masih sekitar dua atau tiga tahunan. Anak laki-laki itu diduduki disampingnya yang sedang lahap memakan baso. Anak kecil itu terlihat anteng dengan sebuah kue di genggamannya.

“ Tuh ada Pak Niko tuh De,” ucap ibu itu pada anaknya. Kembali aku tersenyum pada sekumpulan ibu-ibu itu. Sepertinya, jejak menjadi seorang guru honor di sekolah dasar kampungku dulu masih membekas erat pada ibu itu. Terbukti, ibu itu masih memanggilku dengan sebutan pak.

“ Nanti kalau Adek sudah besar, jadi seperti Pak Niko ya, jadi orang baik dan pintar,” ujar ibu itu pada anak laki-lakinya. Waduh-waduh, aku merasa paling tidak enak jika sudah ada ucapan seorang ibu yang seperti ini. Sepertinya ibu-ibu itu belum benar-benar mengenal siapa diriku. Mungkin, jika dua puluh empat jam sehari dan seminggu tujuh hari mereka terus berada di sampingku dan memperhatikan semua tindak-tandukku, mungkin mereka tidak akan pernah mengeluarkan sanjungan semacam itu lagi pada diriku. Tapi tak apa, mungkin hal ini adalah sebuah ujian dan sindiran dari Allah untukku. Ujian guna menilai sampai dimana level bersyukurku pada Allah karena Dia masih menyembunyikan hitamku dan sindiran bagi diriku agar terus berusaha untuk benar-benar menjadi orang yang baik dan pintar. Aku hanya tersenyum menanggapi ucapan ibu itu.

Ketika aku izin untuk melanjutkan perjalananku, sayup-sayup aku mendengar obrolan beberapa ibu-ibu itu.

“ Sayang anak perempuan saya masih SD Bu, kalau saja seumuran dengannya, mungkin sudah saya lamar Niko untuk anak perempuan saya,” aku gak tahu ibu yang mana yang berbicara. Waduh-waduh, mulai lagi. Sepertinya ujian itu mulai lagi mengahampiri diriku. Memang, terkadang, jika aku sedang ada di kampung dan menemui para ibu, pasti saja kudapati ucapan-ucapan yang semacam ini. Aku jadi tidak enak hati. Karena aku tidak seperti yang ibu-ibu itu kira. Aku pura-pura tidak mendengar ucapan itu, aku terus melanjutkan langkah menuju rumah Deden. Semakin panjang kulangkahkan kaki ini.

Aku terus melangkahkan kaki menuju rumah Deden. Malam ini suasana terasa tidak seperti biasanya. Berbeda. Hening sekali. Hanya lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an yang terdengar dari pengeras suara Mesjid kampung. Tidak terasa lagi hembusan angin malam. Tidak ada lagi erikan jangkrik dan nyanyian burung malam. Aku melihat langit. Disana bertabur banyak bintang yang berkerlipan. Diantara milyaran bintang itu, bulan sabit terlihat sedang tersenyum pada Bumi.
***

Rabu, 14 September 2011

Wanita di Bahu Kanan Jalan


Mentari berseri pagi ini. Langit mulai terang. Rembulan tampak pucat. Jalanan geger kalong masih sepi. Belum banyak orang yang memulai aktifitas. Aku hirup udara segar pagi ini. Aroma sejuk menjalar keseluruh tubuhku. Masuk melalui hidung menuju paru-paru. Jiwaku terasa nyaman.

Barusan, aku menghadiri apel pagi pada acara orientasi santri baru PPM. Beberapa waktu sebelum apel bubar, aku pamit pada kang Halim. Kang Halim adalah mudabir baru. Dia menggantikan kang Hakmal yang sekarang sudah mengajar di yayasan pendidikan Nurul Fikri.

“ Kang, saya kuliah jam tujuh, boleh pinjem kunci asrama, mau persiapan dulu,” pintaku pada kang Halim. Kang Halim merogoh saku baju kokonya, kemudian tangannya keluar bersama kunci. Kang Halim memberikan kunci itu padaku. Aku terima kunci itu, kemudian bergegas berjalan menuju asrama.

Beberapa langkah berjalan, tiba-tiba salah-satu alumni santri PPM memanggilku.

“ Niko, mau pulang ke asrama?” tanya alumni santri sambil menyalakan motor bututnya. Motor butut itu terlihat tua. Jika motor itu manusia, mungkin usianya senja sekali.

“ Ia kang,” jawabku.

“ Hayu bareng, akang sekalian pulang,” ujar alumni santri PPM yang kos-kosannya tidak jauh dari asrama Darussalam. Aku melangkah menghampiri motor butut itu, kemudian menaikinya.

Motor butut yang kunaiki berjalan terengah-engah karena harus menahan berat badan diriku dan sang pemilik. Terlihat, juragan motor konsentrasi penuh melihat jalan. Motor berbelok ke arah kanan ketika menemui pertigaan di seberang mesjid Da’arut tauhiid, kemudian kembali melaju lurus.

Aku perhatikan suasana sekitar jalanan geger kalong. Masih sepi. Gerobak-gerobak berbagai macam dagangan masih kosong tak berpenghuni, hanya beberapa saja yang sudah buka. Terlihat pemilik salah-satu gerobak sedang membersihkan gerobak kesayangannya. Tangannya dengan cekatan mengelapi setiap jengkal kotoran yang menempel. Ia terlihat serius, layaknya Hanif atau bang Afgan jika sedang bersih-bersih.

Motor butut berjalan pelan, seperti jalannya kura-kura yang dikejar-kejar orang gila kelaparan. Udara terasa semakin dingin seiring semakin cepatnya motor melaju. Pandangan ku arahkan lagi ke bahu jalan yang lain, dan terhenti manakala diriku melihat seseorang yang sedang berjalan meniti bahu kanan jalan. Seketika itu juga, seperti ada aliran listrik yang membakar seluruh tubuhku dan menghentikan aliran darahku. Jantungku seperti berhenti berdetak mendadak. Untuk sesaat mataku terkunci pada seseorang itu.

Seseorang itu berasal dari bangsa Hawa. Ia berjalan pendek selangkah demi selangkah. Tubuh gemulainya terlindungi pakaian sopan, layaknya bumi yang terlindungi lapisan ozon. Melihat penampilan itu, aku pikir tidak akan ada seorang laki-laki manapun yang memandangnya dengan nafsu. Pandangan mereka, para lelaki itu terpental sebelum memikirkan hal yang aneh-aneh.

Jilbab putih lambang kekesucian menutup kepalanya. Kemeja putih besar membalut tubuhnya, disempurnakan oleh jaket dengan dominan warna hitam. Rok hitam tergerai hingga hampir menyentuh tanah. Semua itu membuat diriku, yang sedang melihatnya terkesima. Jilbab putihnya, kemeja putih dan jaket hitamnya, serta rok hitam itu menyejukan qalbuku. Tapi sayang seribu sayang, aku terlarang untuk memandangnya berlebihan, hanya pandangan pertama yang tidak disengaja saja, yang waktunya hanya sekejap ini yang masih terma’afkan. Mataku terasa berat untuk mengalihkan pandangan darinya. Wahai dirimu disana. Jujurku, aku mengagumi dirimu.

Wahai dirimu disana, ma’afkan aku yang seperti ini. Bukan maksud hatiku ingin mengagumi, tapi apa daya, pemilik hati ini menumbuhkan benih rasa itu di hatiku, aku tidak bisa mengelaknya, ataupun menghilangkannya. Wahai dirimu disana, sekali lagi, ma’afkanlah aku yang seperti ini.

Wahai dirimu disana, ma’afkan aku jika menguping suaramu dari kicauan burung walet yang terbang bergerombol di atas asramaku pada pagi dan sore hari. Ma’afkan aku jika diam-diam memandangi wajahmu pada jingganya lembayung senja. Mohon ma’afkan diriku yang menitipkan rindu pada sinar mentari pagi yang menghangatkan jiwamu. Dan mohon ma’afkan diriku yang menjelma jadi butiran hujan yang membasahi dirimu. Mohon ma’afkan semua itu. Ma’afkanlah.

Wahai dirimu disana, jika engkau melihat dan menyadari dengan apa yang sedang kurasakan, janganlah engkau bersedih hati. Jangan khawatir dengan apa yang akan kuperbuat. insyAllah aku akan tetap diam. Diam dengan kebisuanku. Duhai dirimu disana, hanya tindakan seperti inilah yang bisa kulakukan guna meredam gejolak yang ada dalam jiwa, yaitu menumpahkan semuanya pada coretan hati. Bukan tak ingin aku berbuat lebih. Tapi, pengalaman terdahulu pada episode kehidupanku melarang diriku untuk melakukan semua itu. Aku tidak ingin jatuh pada lubang yang sama. Sungguh, aku tidak ingin lagi. Biarlah semuanya mengalir bagai segelas air yang keluar dari mata air di pegunungan. Dia berjalan melalui anak-anak sungai menuju induknya. Kemudian terus mengalir hingga tiba pada muaranya, yaitu lautan. Biarkan semuanya tetap seperti itu saja. Biarlah dia menyusuri jalan yang sudah disiapkan olehNya. Aku serahkan semuanya pada Sang Maha Pengatur segalanya. Biar Dia yang menggariskan hari esokku. Aku yakin, semua yang Dia berikan, pastilah yang terbaik untuk semua makhluknya, termasuk aku dan kamu didalamnya.

Untuk dirimu disana, izinkan aku menggunakan seberkas rindu ini, supaya terang hari-hariku. Izinkan aku menggunakan seteguk rasa ini demi menghilangkan dahagaku. Izinkan aku menggunakan selembar peta kasih ini agar aku tidak salah melangkah dan tersesat. Izinkanlah untuk itu semua.
***

Motor butut yang menggendongku terlihat serakah pada pagi ini. Dia merayap di tengah jalan geger kalong, seakan dia ingin menggunakan sendiri jalanan ini. penyebabnya mungkin karena pagi ini jalanan sedang sepi-sepinya.

Setiap detik yang bergulir, semakin mendekatkan posisi motor pada seorang wanita yang meniti bahu kanan jalan. Kini hanya tinggal beberapa meter saja posisiku dari dia. Detik berikutnya roda motor butut ini semakin maju. Kini posisi motor tua sejajar dengan wanita itu. Ingin rasanya aku menoleh ke arah kanan untuk melihat dia dari samping. Tapi aku tak sanggup. Sungguh aku tak sanggup.

Sang pengendara memutar gas motornya lebih keras. Motor tua berjalan semakin cepat. Kami melewati wanita itu. Kini kami membelakanginya. Posisiku berada di depan dia. Semakin lama motor semakin menjauh meninggalkannya. Aku tak berani melihat ke belakang. Pada pertigaan menuju asrama darussalam, motor belok kanan. Lalu menyusuri jalan yang menurun. Saat itu aku memutar kepalaku guna melihat ke belakang. Di belakang, aku dapati pertigaan jalan yang sepi. Tidak ada kendaraan ataupun manusia yang terlihat. Sepi.
***

Selasa, 06 September 2011

Ekseutif, Bukan Eksekutif


Kebiasaanku, jika hendak mudik, sehari sebelumnya sering kali menginap terlebih dahulu di rumah uwa, di Pajajaran. Tidak terkecuali untuk mudik Ramadhan kali ini. Barusan aku tiba di rumah uwa. Setelah disambut hangat oleh uwa dan para sepupu, yang selanjutnya menyambutku adalah makanan lezat nan bergizi. Menyengaja aku berangkat dari asrama ke Pajajarannya sore menjelang magrib. Agar ketika tiba, beberapa menit setelahnya, adzan langsung berkumandang, atau aku tiba ketika adzan berkumandang, atau juga aku sampai beberapa saat setelah adzan berkumandang. Benar saja perkiraanku. Satu dari ketiga kemungkinan itu ada yang benar. Aku tiba hanya beberapa menit saja sebelum waktu berbuka puasa. Aku datang ketika uwa dan sepupu perempuanku sedang mempersiapkan makanan untuk buka di meja makan. Reflek aku pandangi meja yang penuh dengan berbagai jenis makanan itu. Dalam hati aku bergumam, perbaikan gizi.

Setelah berbuka, kami melaksanakan rutinitas seperti biasanya. Sehabis solat tarawih, aku dan uwa Yulianto mengobrol di teras depan rumah, kami duduk pada sofa warna merah. Di depan sofa itu terdapat meja kecil yang di atasnya berjejer banyak toples yang berisi bermacam-macam jenis kue kering. Sambil asik mengobrol, sesekali tanganku mondar-mandir dengan trayek toples dan mulutku. Saat obrolan kami sedang seru-serunya, aku manggut-manggut mengiyakan apa yang dikatakan oleh uwa. Sementara tangan dan mulutku masih saja tetap bekerjasama dengan sangat baik dalam menghabiskan kue-kue yang ada di hadapan mata. Ini kesempatan langka, jarang-jarang menghampiri diriku, sikat saja, pikirku.

Pada waktu yang bersamaan, uwa Lilis dan anak perempuannya, yang tidak lain adalah sepupuku, mereka sedang asik menonton tv di ruang keluarga. Kebiasaan uwa Lilis jika aku sedang ada di rumahnya adalah hampir satu jam sekali menawariku untuk makan. Selalu begitu dan begitu. Dan, jawaban yang kuberikan juga selalu sama, jika aku merasa masih kenyang. Adalah,” Muhun Wa, engkin deui we, Iko masih kenyang.”

“ Ikoooooo,” panggil uwa Lilis dari ruang keluarga. Mendengar panggilan itu aku dan uwa Yulianto menghentikan sejenak obrolan kami.

“ Iya Wa?” jawabku setengah teriak. Aku menyahut sambil tetap duduk di sofa merah.

Bade emam deui?” tawar uwa Lilis.

Muhun Wa, engkin deui we, Iko masih kenyang,” jawabku seperti biasanya. Setelah menjawab tawaran uwa Lilis, aku dan Uwa yang laki-laki melanjutkan obrolan asik kami. Jejeran toples masih tetap setia menemani kami, sang uwa dan sang keponakannya.
***

Setelah makan sahur, aku langsung meluncur menuju kamar mandi. Selesai mandi, aku mengcek kembali barang bawaanku yang tersimpan rapih di dalam tas gendongku. Niatku, untuk mudik kali ini tidak akan membawa banyak barang. Aku tidak mau repot diperjalanan dengan terlunta-lunta menjinjing tas yang berat. Namun, niat hanya tinggal niat. Uwa Lilis membekali mudikku dengan seabreg titipan. Titipan untuk keluarga yang ada di Anyer, Banten. Ingin tahu berapa banyak semua barang itu? Satu dus besar dan satu kantong plastik warna merah besar. Isi dari kedua wadah itu adalah berbagai jenis barang. Ada kue kering, sayuran, gula merah dan masih banyak lagi jenis barang yang lainnya.

Ketika sang fajar tiba. Ketika terang mulai merayap menghilangkan gelap, ketika itu aku pamitan pada Uwa dan sepupuku. Aku cuim tangan kanan mereka semua. Aku dibekali sejumlah uang oleh uwa Yulianto.

“ Buat tambah-tambah ongkos,” ucap uwa Yulianto sambil menyodorkan uang pada tanganku.

“ Iya, Nuhun Wa,” balasku sambil menerima uang itu. Aku mudik dengan diiringi lambaian tangan saudara-saudaraku itu. Aku berjalan semakin menjauhi rumah Uwa. Tas gendong menempel di punggung, tangan kanan menjinjing dus besar dan tangan kiri membawa plastik besar. Sementara wajahku, mengkerut-kerut menahan beban berat yang kubawa. Segera aku menyetop mobil angkutan umum yang menuju terminal Leuwi Panjang.
***

Kamana A?” tanya sesosok pria dengan badan kekar. Tubuhya dibalut seragam yang bertuliskan salah-satu nama jenis bus angkutan umum.

“ Cilegon A,” jawabku pendek.

“ Oh, Cilegon ya,” pria itu menoleh ke sekitar. Pandangannya terhenti pada sesosok pria lainnya. Tubuhnya tidak kalah kekar, namun, seragam yang membalut memiliki warna yang berbeda. “ Cuy, kadieu, ka Cilegon yoh!” beritahu pria itu pada temannya. Mendengar tawaran itu, pria satunya berlari kecil menghampiriku. Dia meminta barang bawaanku. Aku serahkan dus besar dan plastik merah padanya. Dengan entengnya dia mengangkat kedua barang itu. Dia memasukan kedua barangku itu pada begasi bus. Aku berjalan memasuki bus. Beruntung, kondisi bus masih kosong. Aku bisa bebas memilih tempat duduk yang aku inginkan. Aku memilih duduk di kursi baris ketiga yang tidak satu jejer dengan tempat duduk pengemudi. Pada posisi ini, dapat dengan leluasa aku memandangi sebuah tv yang tergantung di depan bus. Aku simpan tas gendongku di tempat barang, tepat di atas kursi yang kududuki.

Semakin lama, semakin banyak penumpang yang naik. Jika diperhatikan dari usia dan penampilannya, kebanyakan dari mereka adalah mahasiswa yang akan mudik, sama halnya dengan diriku. Aku sedikit kaget ketika melihat seorang akhwat dengan kerudung besar masuk bus. Dia berdiri di depan melihat-lihat kursi kosong. Aku kenal dia. Dia satu organisasi denganku di lembaga dakwah kampus. Aku palingkan pandangan ke jendela. Aku melihat-lihat ke luar. Aku pura-pura tidak meliahatnya. Beruntung, ia duduk di depanku, pada kursi baris kedua yang berbeda baris dengan kursiku.

Penumpang bertambah banyak, tapi tidak memenuhi semua kursi yang ada. Aku duduk sendiri saja, hingga dapat dengan leluasa aku bergerak. Para penjual asongan bergantian menawarkan barang daganan mereka, mulai dari koran dan majalah, minuman kemasan, stroberi, sale pisang, keripik melinjo (emping), dan masih banyak lagi yang lainnya. Para penjual asongan itu turun ketika bus mulai merayap. Semakin lama, semakin jauh bus meninggalkan terminal Leuwi Panjang. Di jalan raya, bus sedikit tersendat jalannya karena macet. Namun, setelah bus masuk tol, bus melaju dengan lancar dan kencang. Perjalanan terasa nyaman. Aku duduk di dekat jendela. Sambil melipatkan kedua tangan di dada, aku pandangi perbukitan hijau sepanjang lintasan tol Cipularang.

Sang asisten pengemudi memutar lagu. Cd yang diputar adalah lagu kenangan. Musiknya merdu mendayu-dayu. Semakin membuatku dan mungkin juga penumpang lainnya merasa semakin nyaman menikmaati perjalanan ini. Aku pandangi video klip lagu yang tersaji di tv yang menggantung. Seorang perempuan cantik dengan rambut terurai lurus menyanyi-nyanyi di dalam tv itu. Aku geser pandangan ke depan pada jalan tol. Pada kaca depan bus, terdapat beberapa tulisan. Iseng-iseng, aku baca tulisan-tulisan itu. Pada sebelah atas terdapat tulisan ‘ Bandung-Merak’, dibawahnya terdapat tulisan dengan ukuran yang lebih kecil, yaitu ‘Via tol Cipularang’. Di bawahnya lagi ada tulisan yang ukurannya sedikit lebih besar dari kedua tulisan di atasnya. Rangkaian huruf itu bertuliskan ‘AC-EKSEUTIF’. Awalnya aku biasa saja. Tapi, setelah kuperhatikan lebih jauh, aku baru sadar, dan kesadaranku itu membuat bibirku tersungging senyum sendiri. Ada kesalahan ejaan disana, pada kata ‘AC-EKSEUTIF’. Ada huruf yang tidak tertuliskan disana, yaitu huruf ‘K’. Seharusnya, yang benar adalah bertuliskan seperti ini ‘ AC-EKSEKUTIF’ bukannya ‘AC-EKSEUTIF’, tapi tidak mengapa lah, mungkin yang membuat tulisan itu lupa memberikan huruf ‘K’nya. Yang jelas, aku terhibur karena kesalahan ini.

Setengah jam perjalanan, asisten sopir menagihi ongkos. Satu persatu dia datangi para penumpang.

Punten A,” ucap sang asisten. Dia memberikan selembar karcis padaku. Aku terima karcis itu. Aku baca, pada salah-satu tulisannya terdapat rangkaian huruf dengan tulisan ‘Rp. 65.000,- Busyet, ongkosnya naik sepeluh ribu dari saat terakhir kali aku pulang kampung. Aku rogoh dompet di saku belakang celanaku. Aku buka dompet lusuh itu. Aku ambil uang dua pecahan lima puluh ribu rupiah. Aku berikan uang itu pada sang asisten. Sang asisten memberikan uang kembaliannya padaku. Aku masukan lagi uang kembalian itu pada dompet lusuhku. Sesaat sebelum aku mengembalikan dompet pada sarangnya, hape pada saku samping celanaku bergetar, getarannya lama, sepertinya ini adalah sebuah panggilan telfon. Aku simpan dompet di jok samping yang kosong. Aku ambil hapeku. Pada layar terlihat tulisan ‘My Mother’. Benar saja, ini adalah panggilan dari ibuku. Aku angkat telfon itu. Kami mengobrol agak sedikit lama. Salah-satu topik pembicaraan kami adalah tentang makanan. Aku meminta ibu untuk memasak beberapa jenis makanan. Antara lain: tumis kangkung, sayur asem, goreng ikan asin peda, sambel terasi pedas dan menyediakan juga lalab-lalaban untuk menu buka puasa nanti. Aku rindu semua menu itu. Apalagi yang memasaknya adalah chef terbaik di dunia, siapa lagi kalau bukan ibuku.

Bus masih melaju dengan kencang, menyusuri jalan tol Cipularang.
***

Aku berdiri diantara orang-orang lain yang juga sedang menunggu mobil angkutan umum. Aku memilih berdiri agak jauh dari teteh yang aku kenal, yang tadi kami naik pada bus yang sama. Aku bersembunyi diantara orang-orang yang berdiri. Aku biarkan teteh itu naik angkot lebih dulu. Aku malu jika harus satu mobil lagi dengan dia. Jika benar kami satu mobil dan kami saling melihat satu –sama lain, aku bingung mau nyapa seperti apa dan hendak mengobrolkan apa. Lebih baik aku menghindar saja agar tidak satu angkot dengannya.

Mobil angkot berhenti di halte. Terlihat angkot itu masih kosong. Aku dan beberapa orang berdiri hendak memasuki angkot itu. Sebelum berjalan menuju mobil, aku mengcek kembali barang bawaanku. Aku kaget, benar-benar kaget, sekaget-kagetnya, ketika aku tersadar kalau dompet yang ada di saku belakangku tidak ada, hilang entah kemana. Aku periksa lagi pada semua saku celanaku. Tidak kutemukan. Aku buka-buka tas gendongku, tidak juga ditemukan dompet lusuhku itu. Aku benar-benar bingung saat itu. Untung saja masih ada sejumlah uang yang tersimpan di saku samping celanaku. Beruntung aku mendengarkan apa yang dulu pernah dinasihatkan oleh kedua orang tuaku. Jika hendak bepergian aku disarankan untuk tidak menyimpan semua uang di dompet, tapi sisihkan sejumlah uang lainnya pada kantong celana yang berbeda. Jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada dompetku, maka akan ada uang cadangan yang mungkin berguna yang tersimpan di saku yang lain. Begitulah kurang-lebih nasihat kedua orang tuaku. Nasihat orang tua memang selalu benar. Nasihat mereka pastilah ditujukakan untuk kebaikan anak-anaknya.

Aku tidak jadi naik mobil. Aku duduk lagi pada bangku panjang di halte. Aku kecewa, kenapa dompetku bisa hilang. Padahal terdapat beberapa dokumen berharga disana. Memang, uang yang ada di dompet itu tidak begitu banyak, tapi disana ada kartu tanda pendudukku, ada kartu ATMku, ada kartu mahasiswaku, ada surat bukti pembayaran beberapa program yang aku ikuti dan beberapa dokumen penting lainnya. Aku berpikir sejenak. Apa mungkin dompetku itu tertinggal di bus yang tadi aku naiki? Aku mencoba berpetualang ke beberapa waktu yang terlewat. Aku ingat-ingat ketika aku masuk bus. Aku mengingat ketika memilih tempat duduk. Aku membayangkan saat aku tersenyum melihat tulisan di kaca depan bus. Dan aku mengingat saat ditelfon ibuku. MasyAllah, disana, iya, mungkin disana. Ketika aku hendak memasukan dompetku ke saku, saat itu tidak jadi karena ada telfon dari ibuku, dan waktu itu aku menyimpan dompetku di kursi samping yang kosong. Astagfirulloh, kenapa aku bisa lupa pada dompetku itu. Aku melihat-lihat kesekitar, barang kali bus yang tadi masih ada. Namun na’as, bus itu sudah pergi menuju terminal Merak. Tanpa banyak pikir lagi, segera aku berlari kecil menuju angkot tujuan terminal Merak. Dua barang bawaan yang ada di tangan kanan dan kiriku, tidak lagi terasa berat. Rasa ingin segera menyusul bus dan menemukan kembali dompet lusuh cintaku, mengalahkan rasa berat itu. Aku naik angkot warna merah tujuan Merak. Aku menggumamkan lafazd bismillah dalam hati, semoga Allah memudahkan.

Sepanjang perjalanan, aku hanya berharap, supaya bus yang tadi aku naiki masih ada di terminal Merak dan tidak terburu-buru untuk balik ke Bandung lagi. Tapi, kalaupun bus itu masih ada di terminal, aku pasti kesulitan menemukan busnya, karena terdapat banyak deretan bus di terminal itu. Belum lagi perusahaan bus yang tadi kunaiki tidak hanya memiliki satu armada saja, tapi memiliki banyak armada. Aku terdiam lagi. Saat ini aku hanya bergantung pada pertolongan Sang Maha Penolong, yaitu Allah Swt. Aku sangat mengharapkan uluran tanganNya.

Jalanan menuju Merak tidak seramai seperti jalanan di Bandung. Angkot merah yang kunaiki melaju dengan cepat. Kembali aku merenung, memikirkan kelalaian diriku tadi, hingga melupakan dompet di dalam bus. Kasihan aku pada dompet lusuh yang sudah begitu lama menemani perjalanan hidupku. Wahai dompetku, cintaku, aku mohon ma’af sandainya nanti aku tidak bisa menemukan dirimu lagi. Aku mohon ma’af, mungkin kita sudah tidak berjodoh lagi. Ma’afkan semua kesalahanku yang selama ini telah kulakukan pada dirimu. Ma’afkan aku wahai dompet lusuhku. Aku cinta kamu.

Angkot berhenti di terminal yang sekaligus juga pelabuhan penyeberangan kapal Merak. Aku turun dan membayarkan ongkos pada pak sopir. Sambil menenteng barang bawaanku, aku berlari-lari kecil mencari bus yang tadi kunaiki. Hilir-mudik aku mencari. Berjalan kesana kemari, layaknya seorang ibu yang sedang mencari anaknya yang hilang di tengah kota besar. Sudah cukup lama aku mencari, belum juga kutemukan bus itu. Aku lelah. Keringat mulai membasahi tubuhku. Aku ingin istirahat dulu. Aku duduk pada bangku kayu panjang yang terlihat menganggur di sekitar terminal. Aku simpan barang bawaanku tepat di hadapanku. Aku melepas lelah pada bangku kayu itu.

Sekali lagi aku teringat pada dompet lusuhku. Wahai dompet lusuhku, mungkin memang benar, kita sudah tidak berjodoh lagi. Ma’afkan aku wahai cintaku. Aku pamit untuk pulang ke rumah. Do’akan aku agar selamat sampai tujuan. Aku sayang kamu, wahai dompet lusuhku.

Setelah dirasa capekku hilang, aku beranjak mencoba mencari angkot dengan tujuan Cilegon. Aku berjalan ditengah-tengah terminal yang sangat luas ini. Sambil berjalan menuju halte angkot, aku melihat sebuah bus yang terpisah dari barisan bus-bus lainnya. Sepertinya bus itu sedang istirahat. Aku pandangi bus itu. Mobil besar itu memiliki kulit warna kuning. Jika diibaratkan sesosok manusia, mungkin bus itu ber-ras mongoloid, yang memiliki kulit kecoklatan, dan kadang juga berkulit kuning langsat. Bus itu, merupakan ras mongoloid yang berkulit kuning langsat itu. Aku membaca beberapa rangkaian kata yang ada di kaca depan bus itu. Disana tertulis tiga rangkaian kata, yang paling atas tertulis ‘ Bandung-Merak’ sebelah bawahnya tertulis ‘ Via tol Cipularang’ dan sebelah bawahnya lagi ‘ AC-EKSEUTIF’. Setelah membaca rangkaian kata itu, aku berpikir sejenak. Otakku mencernanya. Sepertinya aku tidak asing pada ketiga kalimat itu. MasyAllah, EKSEUTIF, sebuah kesalahan yang membuatku tersenyum. Sebuah rangkaian kata yang tertulis pada kaca depan bus yang tadi aku naiki. Jadi, bus yang ber-ras mongoloid itu adalah bus yang sedang kucari-cari. Tanpa banyak pikir lagi, segera aku menghampiri bus itu. Di depan bus, berdiri sesosok pria bertubuh kekar yang beberapa jam lalu membawakan barang bawaanku dan memasukannay ke begasi.

“ A.....” panggilku pada pria itu. Pria itu menoleh padaku.

“ Lho, Aa yang tadi kan?” tanya pria kekar itu keheranan.

“ Betul A,” jawabku sambil masih menenteng barang bawaan.

Aya naon A? Bade ka Bandung deui?” tanya pria kekar lagi.

Sanes A, dampet abi hilang, mungkin ketinggalan di bus ini. Abi tiasa ningalian ka lebet bus A?” pintaku pada pria kekar itu.

Oh mangga, mangga A,” jawab pria kekar itu ramah. Jawaban lembut itu berbanding terbalik dengan tubuhnya yang kekar berisi. Saat itu, aku mendapatkan satu lagi pembelajaran hidup, yaitu: jangan terburu-buru menilai seseorang dari penampilannya. Bisa saja orang itu terlihat jahat, padahal hatinya baik. Dan bisa pula sebaliknya. Ada orang-orang yang terlihat baik, padahal aslinya tidak. Intinya, aku harus hati-hati dalam menilai seseorang.

Aku berjalan menaiki bus. Aku melangkah menuju kursi baris ketiga yang beda jejeran dengan kursi pengemudi. Aku dekati kursi itu. Aku melihat baik-baik kursi nomer tiga itu. Pada kursi itu, tergeletak sebuah dompet lusuh warna hitam. Dompet lusuh itu, bagiku bak seorang permaisuri cantik yang sedang duduk manis di Atas singgasana sang raja. Alhamdulillah, aku temukan engkau lagi wahai dompet lusuhku. Kemana saja kau selama ini. Tahukah engkau, kalau aku sangat menghawatirkan dirimu. Cintaku, aku senang, ternyata kita masih sejodoh. Aku cinta kamu wahai dompet lusuhku. Jangan tinggalkan aku lagi ya.
***