Selasa, 27 September 2011
Jawaban yang Diplomatis
InsyAllah, jika Allah memberikan kesempatan padaku untuk menyempurnakan separuh dari agamaku, pasti aku akan menjumpai suatu hari yang mana diriku akan meminang satu dari milyaran wanita penghuni bumi ini. Secara hitung-hitungan sederhana yang didasarkan pada jadwal hidupku, aku baru akan menikah sekitar empat atau lima tahun lagi. Dengan rincian sebagai berikut: dua tahun pertama, aku berusaha agar segera merampungkan kuliahku. Dan dua atau tiga tahun berikutnya akan aku gunakan untuk mencari perbekalan segalanya, baik itu ilmu, materi, fisik, mental dan yang lainnya yang berkaitan dengan bagaimana cara mengelola keluarga dengan baik tentunya.
Terkait calon, atau siapa wanita yang akan aku lamar kelak, sejauh ini, aku sudah memiliki bayangan. Tapi entah, apakah nantinya akan tetap bertahan dengan calon yang satu ini, atau Allah akan membalikan hatiku untuk meminang wanita yang memang telah Allah gariskan untukku. Namun, sejauh ini, jika boleh meminta padaNya, aku tetap ingin dengan yang sekarang sedang bersemayam dihatiku. Dialah wanita yang hingga detik ini bisa kupandang tanpa mataku, suaranya dapat kudengar tanpa telingaku, jemarinya dapat kugenggam tanpa tanganku, baunya dapat kucium tanpa hidungku dan kehadirannya dapat kurasakan tanpa jasadnya disisiku.
Namun, berkenaan dengan calon ini, masih ada tiga rintangan yang menghalangi diriku. Rintangan pertama adalah: apakah dia mau, jika suatu hari nanti aku melamarnya? Baiklah, untuk mempermudah, aku asumsikan saja kami satu hati. Aku bayangkan kelak dia akan menerima dengan sepenuh hati pinanganku. Dan, rintangan yang selanjutnya, atau yang kedua tampak lebih berat dari yang pertama. Mengapa? Mari kita bahas bersama.
Pada rintangan ini, sifatnya eksternal, atau berasal dari pihak luar. Aku tidak tahu, apakah selama jangka waktu empat atau lima tahun itu tidak ada laki-laki lain yang mencoba untuk mengkhitbahnya. Bagiku, disinilah rintangan yang sesungguhnya itu, mengingat, secara kasat mata, dia adalah wanita yang cantik lagi baik perangainya. Jika aku boleh mengarang-ngarang sebuah prosentase, mungkin, lima dari sepuluh laki-laki yang mengenalnya dan sudah siap untuk melaksanakan pernikahan, maka laki-laki itu akan segera melamarnya. Mungkin. Dan, satu hal inilah yang sedikit mengganggu perasaanku. Jika aku berada pada posisi dia yang sedang menjumpai peristiwa seperti ini, yaitu ada seorang laki-laki yang memintaku untuk menjadi isterinya, padahal aku sudah mencintai seseorang (dalam hal ini diriku, misalnya), dan menunggu seseorang itu (aku), untuk segera melamarku, namun tidak juga lamaran itu datang, tiba-tiba ada seorang pangeran lain yang datang. Sungguh, akupun berat untuk menentukan pilihan. Mengingat, usia menikah seorang wanita itu relatif lebih cepat atau lebih muda dari usia menikah laki-laki. Berat bagiku.
Dan yang ketiga, atau yang terakhir, yaitu yang paling penting. Adalah takdirNya. Sehebat apapun upayaku untuk memperisterinya, hanya keputusanNyalah yang menentukan. Jika aku boleh meminta dengan keadaan hatiku yang sekarang, aku menginginkan memang dialah yang ditakdirkan akan menemani diriku dalam mengarungi hidup ini. Dialah yang nanti memasak dan membuatkan sambal terasi pedas, sayur asem dan cah kangkung untukku. Dialah yang nanti mengasuh anak-anak kami yang cantik dan tampan juga soleh dan solehah, insyAllah. Dialah yang menjaga rumah dan harta kami. Dialah yang setia menasihatiku untuk tetap terus berada pada jalan yang benar, yaitu jalan islam. Dialah yang menghiburku dikala aku benar-benar berada dalam keadaan lelah. Dan dialah yang mengingatkanku akan amanah-amanahku sebagai seorang hambaNya.
Sebenarnya, bisa saja niatan suci itu terlaksana lebih cepat dari rencana. Bilamana sebagai berikut: pertama, tiba-tiba aku menemukan harta karun yang cukup besar, yang mana dengan hasil dari harta karun itu aku bisa membahagiakan semua keluargaku, dan setelah itu, baru aku akan melamar dia. Kedua: aku terpilih menjadi salah-satu peserta acara kuis di tv yang berhadiah uang milyaran rupiah, dan tidak disangka serta tidak diduga, aku menjadi juara satunya dan berhak menggondol uang milyaran rupiah itu. Dengan uang itu, aku bisa membahagiakan keluarga, serta segera melamar wanita itu. Dan yang terakhir, ini yang terasa lebih realistis, yaitu, diriku membuat sebuah tulisan. Kemudian tulisan itu aku kirimkan ke penerbit. Alhamdulillah, pihak penerbit menyukai tulisanku. Setelah ada kesepakatan dari dua belah pihak, yakni pihak diriku dan pihak penerbit, maka dicetaklah buku itu. Alhamdulillah lagi, tulisanku itu mendapatkan respon yang baik dari para pembaca, hingga membuat buku itu laris dipasaran. Royalti yang kudapatkan dari buku itu lumayan banyak dan cukup untuk membiayai kehidupan keluargaku, bahkan masih banyak uang sisa yang menganggur di rekeningku. Dengan menghujamkan bismilah dalam hati yang paling dalam, segera aku meminang wanita pujaan.
Wahai dirimu yang berada disana, jika Allah mengilhamkan pada dirimu untuk tahu perasaanku padamu, dan engkau juga memiliki rasa yang sama, berdo’alah untuk semua ini, berdo’a untuk segala kelancarannya. InsyAllah, Dia akan mempermudah ini. Insyallah. Bersama tulisan ini, aku kirimkan sebuah senyuman tulus untuk dirimu. Hanya untuk dirimu wahai bidadari surgaku. Pesanku, teruslah berusaha untuk memperbaiki diri. InsyAllah, akupun akan seperti itu. Mari kita saling mendo’akan, agar kita menjadi hambaNya yang baik. Aamiin.
***
Ridho Allah berada pada ridhonya orang tua. Karenanya, supaya segalanya barokah, maka, sebelum aku melangkah lebih jauh, terlebih dulu aku harus meminta restu dari orang tuaku. Hari ini adalah dua hari terakhirku berada di kampung halaman, dengan jiwa yang sangat gemetar, aku memberanikan diri untuk berbicara pada kedua orang tuaku. Karena sekarang ibu dan bapak tidak tinggal pada rumah yang sama, maka aku putuskan untuk berbicara kepada orang tua yang lebih akrab denganku terlebih dahulu, yaitu ibuku tercinta. Saat itu ibu sedang memasak sendiri di dapur. Segera aku menghampiri ibu dan pura-pura untuk membantunya memasak. Aku melakukan apa yang bisa kulakukan. Aku mencuci bumbu-bumbu dan mengiris-irisnya. Aku mengulek guna menghaluskan bumbu. Ketika momennya pas, aku buku suara.
“ Mah, seandainya ketika kuliah ini Aa ada rezeki nomplok tiba-tiba, dan dengan rezeki nomplok itu Aa bisa membantu kehidupan keluarga, lalu masih ada uang tersisa yang numayan banyak, kemudian Aa melamar seorang wanita, gimana menurut Mamah?” tanyaku dengan suara yang mengalir tanpa ragu. Memang seperti inilah obrolanku jika dengan ibu, semuanya meluncur begitu saja, bagai peluru yang melesat ketika ditembakan. Tidak ada keraguan dan malu sedikitpun.
Setelah pertanyaan itu keluar, pandanganku tertuju pada ibu yang masih sedang konsentrai menguah-nguah pasakan. Ibu tampak tidak kaget sedikitpun mendengar pertanyaanku yang satu ini. Ibu hanya tersenyum sambil memandangi diriku, dimulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Setelah kira-kira pandangannya sampai ujung jemari kakiku, ibu kembali melihat wajahku lagi. Beliau tersenyum lagi padaku, lalu memalingkan pandangannya pada pasakan lagi. Sambil menguah pasakan, ibu belum juga menghapus senyum di bibirnya.
“ Sudah besar ternyata anak laki-laki Mamah yang satu ini. Obrolannya sekarang sudah mengati-ngait tentang pernikahan,” ujar Ibu dengan suara lembut. Aku masih memandangi ibu.
“ Kan masih misalnya Mah,” belaku. Ibu tersenyum lagi.
“ Mamah yakin kalau Aa itu sudah cukup dewasa. Mamah juga yakin, sebelum Aa membicarakan hal ini, Aa sudah mempertimbangkan semuanya dengan sangat matang, Mamah tahu siapa Aa. Jika menurut Aa, segera menikah itu baik, meskipun keadaan Aa masih sedang kuliah, selama Aa itu merasa mampu dan berani untuk mempertanggung jawabkan semua keputusan Aa, Mamahmah setuju-setuju saja. Do’a Mamah pasti menyertai kebahagiaan Aa,” jawaban ibu terdengar begitu merdu di telingaku. Kami saling tatap, lalu melempar sebuah senyuman satu sama lain.
“ Pesan Mamah untuk Aa, perlu Aa ketahui, membina sebuah keluarga itu tidak semudah yang dibayangkan. Jadi, sebelumnya, Aa harus benar-benar mempersiapkan ilmunya dengan sangat matang. Untuk itu, Mamah akan setia mendo’akan Aa, agar Allah mempermudah semuanya. Aamiin,” pesan dan do’a ibu untukku.
“ Aamiin,” jawabku.
Untuk sesaat kami terdiam. Ibu kembali memasak dan aku mengulek bumbu lagi. Tiba-tiba, secara mengejutkan, aku mendengar sura tawa yang terkekeh-kekeh, layaknya tawa genderuwok yang sedang menonton film komedi. Tawa jelek itu bersumber dari belakangku, di belakang aku dan ibu. Sontak, aku dan ibu memalingkan wajah ke belakang. MasyaAllah, benar saja dugaanku. Beberapa meter di belakangku, disana berdiri sesosok makhluk aneh. Makhluk itu hanya mengenakan celana kolor pendek. Model rambutnya mengacung ke atas, layaknya menara pengintai pada jaman penjajahan dulu. Pada lehernya menggantung sebuah kalung yang mirip dengan tasbih. Anehnya, makhluk itu mengenakan baju koko warna putih. Sepertinya, makhul itu hendak bertobat dan meminta wejangan pada kyai yang bersemedi di sebuah goa yang tersembunyi di hutan belantara. Ketika kyai memberikannya nasihat, makhluk itu tidak benar-benar melaksanakan semua nasihat itu. Lantas dia kabur dan berlari, lalu nyasar kesini, ke dapur yang mana diriku dan ibu sedang memasak.
Makhluk aneh itu terkekeh-kekeh lagi. Pandangannya hanya tertuju padaku, tidak pada ibu. Tatapannya sangat tajam. Sepertinya makhluk itu hendak menelanku bulat-bulat.
“ Hahaha… weleh-weleh, disini ada yang lagi ngebet kawin ternyata,” ujar makhluk itu dengan suara yang keras. Seolah-olah dia ingin agar semua orang di dunia ini mendengar ocehannya. Sesosok makhluk ini, tiada lain dan tiada bukan adalah adikku sendiri. Dialah Fadlan, yang biasa kami panggil Adam.
“ Pilih bininya yang cantik ya A,” ujar Adam menambahkan.
“ Hehehe…..,” Adam tertawa lagi. Dia menggerak-gerakan halisnya keatas, seperti ada arti dari tingkahnya itu, namun, ilmuku belum sanggup untuk menerjemahkannya.
***
Masih di hari yang sama, namun pada tempat yang berbeda. Aku dapati bapak sedang membaca sebuah buku di teras samping rumah. Sebuah kaca mata mengait pada kedua daun telinga bapak. Bapak terlihat khusuk dan menikmati buku bacaannya. Sementara aku, hanya bisa mengintip bapak dari ruang paviliun melalui jendela. Nyali ini belum terlalu siap untuk membicarakan sesuatu hal besar pada bapak. Sejenak terpikir, apakah akan dibatalkan saja pembicaraan ini. Tapi, mengingat lagi waktuku di rumah hanya tinggal dua hari saja, sebelum berangkat kuliah lagi ke Bandung, seolah itu menguatkan mentalku. Dengan langkah yang gontai, aku menghampiri bapak. Aku duduk tidak jauh disamping bapak. Nafasku naik-turun, seolah diriku baru saja berlari sejauh sepuluh kilo meter. Aku terengah-engah. Berbeda ketika aku hendak memulai obrolan dengan ibu tadi. Dengan suara yang fals dan terbata-bata, aku bertanya pada bapak dengan redaksi yang kurang-lebih sama dengan pertanyaan yang tadi kusampaikan pada ibu. Setelah mendengarkan dengan seksama kata perkata yang aku sampaikan, bapak menutup buku yang sedang beliau baca, kemudian bapak melepas kacamata yang dikenakan. Bapak merapihkan posisi duduknya. Kini, kami saling berhadap-hadapan satu sama lain. tidak ada hijab sehelai benangpun yang menghalangi.
“ A,” ucap bapak.
“ Iya Pak,” jawabku.
“ Aa sudah besar. Bapak yakin, Aa sudah bisa membedakan yang benar dengan yang salah. Nikah itu sebuah tujuan yang baik, yang mana, dengannya Aa bisa segera menyempurnakan separuh agama Aa. Tapi, sebelumnya, ada satu hal yang perlu Aa ingat. Aa itu adalah anak pertama. Aa memiliki tiga adik. Jika Aa sudah siap dan mampu untuk mengemban amanah sebagai suami untuk isteri Aa, sebagai ayah untuk anak-anak Aa dan sebagai seorang kakak untuk adik-adik Aa, Bapak akan segera melamarkan Aa untuk wanita pilihan Aa itu,” jawaban bapak atas pertanyaanku. Jawaban itu terdengar sangat diplomatis di telingaku. Terimakasih pak, bapak memang bapak nomer satu di dunia bagiku.
***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar