Jumat, 23 September 2011

Keluarlah Wahai Pemuda !!!!


Aku punya teman. Dia berkuliah di Universitas Negeri Semarang (UNES). Beberapa waktu yang lalu, kami mengobrol lewat jejaring sosial di dunia maya. Waktu itu aku belum mudik, karena masih ada kegiatan di Bandungnya. Ketika itu aku bertanya kepada temanku, apakah dia sudah mudik atau belum? Temanku itu menjawab, sudah. Tapi, dia bilang hanya beberapa hari saja di rumahnya. Dia merasa tidak betah di rumah. Bukan karena tidak kangen pada keluarga, dia seperti itu. Alasannya adalah karena di rumah semuanya telah siap sedia. Tidak butuh perjuangan untuk mendapatkan yang diinginkan. Mau makan enak, sudah tersedia di meja makan. Ingin jajan, tinggal menjulurkan tangan pada orang tua. Hendak menonton acara televisi, hanya tinggal tiduran di depa tv dan menekan tombol warna hijau pada remot. Pokoknya, semuanya serba mudah. Tapi, dibalik kemudahan itu, tersimpan sebuah akibat yang sangat buruk, yaitu penyakit paling berbahaya nomer satu di dunia yang menghambat sebuah keberhasilan. Adalah kemalasan. Karenanya, temanku itu memilih untuk kembali lagi ke kampusnya di Semarang. Dia berencana akan pulang ke rumah lagi hanya satu hari menjelang lebaran idul fitri tiba.

Satu yang paling ku ingat dari obrolanku dengan temanku itu adalah sebuah analogi yang dia utarakan saat memperkuat pemikirannya tentang kemalasan. Dia menyebutnya dengan istilah ‘teori lingkungan’.

Temanku (T): Tahu kenapa Jepang jauh meninggalkan Indonesia dalam banyak bidang?

Aku (A): Apa?

T: karena kondisi alam Jepang lebih buruk dari Indonesia. Tanah Jepang tidak sesubur tanah Indonesia. Lebar wilayahnya tidak seluas Indonesia. Sumber daya alamnya tidak semelimpah Indonesia. Tapi, justru karena semua kekurangan itulah yang menyebabkannya menjadi negara maju.

A: sepakat!

T: dan kondisi alam mereka yang serba kekurangan itu, yang pada akhirnya membuat mereka, para penduduk Jepang berpikir keras, bagaimana caranya agar mereka tetap bisa hidup dengan kondisi yang ada. Dengan begitu, mereka menuntut ilmu lebih giat, bekerja lebih keras dan hidup lebih disiplin. Dan mereka menuai hasilnya sekarang. Jepang adalah satu dari beberapa negara paling maju di dunia.

A: setuju!

T: kondisi berbanding terbalik terjadi pada negara tempat kita chating sekarang ini. Sebenarnya saya gak tega membicarakannya, tapi, mau gak mau kita harus membicarakannya. Kita tidak boleh menutup-nutupi kekurangan kita ini. Semua kondisi yang ada: wilayah yang luas, lautan yang luas, tanah yang subur, kekayaan alam yang super melimpah dan masih seabreg kelebihan lainnya. Semua hal itu membuat panduduknya merasa termanjakan. Tapi, justru karena hal itulah mengapa penduduk negara tempat kita chating ini relatif malas-malas.

A: agree !

T: kecuali saya ya, hehe...

A: yang ini saya tidak setuju, hehe juga...

T: kembali ke topik. Dan hal inilah yang pada akhirnya menjadikan negara tempat kita chating ini tertinggal jauh dari banyak negara, khususnya Jepang. Namun, kita jangan tarbawa oleh pandangan yang sudah melekat pada penduduk negara kita selama ini. Jangan karena penduduknya di-cap malas, kita juga ikut-ikutan malas. Justru itu harus menjadi pemicu bagi kita, khususnya generasi penerus, untuk meluruskan anggapan-anggapan itu. Kita harus tiru semangat Jepang. Kita tiru semangat belajar, kerja keras dan disiplin penduduknya. Coba bayangin Ko! Seandainya sekarang ini semua pemuda Indonesia memiliki itu semua. Akan menjadi negara semaju apa Indonesia beberapa tahun kedepan? Mungkin Jepang juga bisa kita lampaui, mengingat Indonesia didukung dengan fasilitas yang super mewah, yaitu kekayaan alam yang banyak itu.

A: bener juga ya!

T: sangat benar Ko! Oya, semua yang saya jelaskan tadi, saya dapatkan dari seorang teman saya Ko. Dia menyebutnya dengan istilah ‘teori lingkungan’. Lingkungan yang keras, cenderung membuat penghuninya menjadi pekerja keras. Dan lingkungan yang enak, cenderung membuat penghuninya menjadi malas. Tolong sebarin teori lingkungan ini ya Ko! Sebarkan virus baik ini kepada pemuda Indonesia yang antum bisa! Untuk Indonesia yang lebiah baik Ko. Untuk Indonesia kita.

A: insya Allah brother, mohon do’anya supaya dimudahkan...

T: pasti sobat...
***

Hari kelima di rumah. Aku mengidap penyakit yang beberapa waktu lalu menjangkiti temanku, yaitu malas, malas ngapa-ngapain, selain tidur dan bermanja-manjaan di depan tv. Hampir tidak pernah aku keluar, kecuali ketika akan melakukan kewajiban dan yang penting-penting saja.

Selepas subuh, aku tiduran di depan tv, menonton acara tv hingga menjelang siang. Jika acara sedang seru, aku tahan untuk tidak tidur, tapi, jika acaranya membosankan, mata ini tak kuasa untuk tidak terpejam. Seandainya tertidur, aku bangun beberapa saat sebelum dzuhur, bahkan pernah aku terbangun pukul satu siang, yang pada akhirnya membuatku kelabakan untuk segera mandi dan solat dzuhur. Selepas dzuhur, aku jalan-jalan di sekitar halaman rumah atau pergi mengamati kebun. Biasanya aku berjalan mondar-mandir sambil berpikir tentang potensi apa saja yang bisa dikembangkan pada tanah yang numayan luas di halaman samping rumah dan apa-apa juga potensi yang ada pada kebunku itu.

Setelah mengamati halaman rumah dan kebun, aku kembali ke rumah. Tiduran di depan tv. Menonton tv lagi. Tidak berbeda dengan pada saat pagi. Jika acaranya seru, aku tahan untuk tidak tidur, tapi jika bosen, mata ini pasti terpejam. Aku terbangun beberapa saat sebelum ashar, itu jika beruntung, tapi jika sedang apes, aku kebablasan sampai jam empat sore. Jika hal itu terjadi, biasanya adegannya seperti ini: aku membuka mata, kudapati tv masih menyala. Aku beranjak duduk, pandangan ku arahkan ke sekitar dan terhenti pada jam berbentuk lingkaran besar yang tertempel pada dinding. Mataku melotot melihat jam dinding itu. Beberapa detik berselang, mataku normal lagi. Aku menggeliatkan tubuh layaknya se-ekor kucing persia yang baru bangun tidur. Setelah dirasa tubuh mulai segar, aku bangun, lalu berjalan sempoyongan menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu.

Selepas solat ashar, aku duduk santai di teras samping rumah. Menikmati pemandangan halaman samping rumahku. Disana tumbuh tiga pohon mangga yang rindang dan dua pohon mangga yang masih kecil. Ada juga pohon belimbing dan pohon buah cermei. Sambil menikmati pemandangan itu, aku mencoba mencari inspirasi untuk menulis. Saat itu, aku sudah seperti para pujangga handal saja. Melamun sendiri, sambil memegang sebuah buku tulis dan pena. Untuk sesaat aku terbengong, layaknya orang kurang waras yang biasanya nongkrong dijalanan. Tapi, sesaat kemudian, aku tertawa sendiri dan menuliskan sesuatu pada buku yang ada pada genggamanku. Kegitan macam ini berlangsung hingga menjelang waktu berbuka. Jika sedang ingat, aku sempat untuk mandi sore. Tapi jika tidak, aku mandinya selepas solat magrib.

Petangnya, sehabis solat teraweh, aku makan berat. Kemudian langsung pasang lapak di depan tv. Menonton sampai waktu yang tidak bisa ditentukan. Kadang tidurnya dibawah jam dua belas malam, namun terkadang juga lewat dari jam itu. Aku terbangun jika waktu sahur telah tiba. Begitu dan sering begitu kegitanku sehari-harinya selama kepulanganku ke rumah.

Sampai suatu ketika, rasa bosanku sudah mencapai tingkat klimaks. Aku berpikir, apakah kegiatanku dikampung hanya akan begini dan begini saja? Tidak sedikitpun manfaat yang dapat kuambil dari hal yang demikian. Segera ku sergap hape yang sedang dicas. Aku mengetik sebuah pesan, lalu kukirim pada nomer salah-satu teman sekampungku. Tidak lama berselang, ada SMS balesan dari temanku itu.

(Wa’alaikumussalam, ada Ko, kesini aja, ditunggu ya) balesan SMS dari teman.

Segera aku meluncur menuju rumah temanku itu yang jaraknya hanya terpisahkan oleh lima rumah. Sesampainya dirumahnya, aku mendapati dia sedang melemparkan sesuatu benda berukuran kecil yang banyak. Selidik punya selidik, ternyata dia sedang memberikan makan untuk ternak ikan lele yang baru direntasnya. Setelah dia memberikan pakan untuk ternak lelenya, kami mengobrol di bale-bale berukuran satu setengah kali dua meter. Bale-bale itu berada di samping kolam ikan lele dan diteduhi oleh pohon rambutan yang rindang. Sambil mengobrol, kami pandangi riakan kolam ikan karena lelenya bergerak-gerak ke permukaan.

“ Saya menyesal Ko,” ucap Deden tiba-tiba. Mendengar ucapan itu, aku sedikit kaget, kok tiba-tiba Deden berbicara seperti itu. Memang apa yang membuatnya menyesal. Aku penasaran.

“ Menyesal kenapa Den?” tanyaku. Mendengar pertanyaan itu, Deden terdiam sesaat. Dia seperti sedang memikirkan sesuatu.

“ Kamu masih ingat kemana saya pergi setelah lulus sekolah?” Deden balik bertanya padaku.

“ Masih. Kamu kerja di Jakarta kan?”

“ Benar, kamu benar Ko.”

“ Lantas apa yang membuatmu menyesal?” tanyaku.

“ Kamu lihat motor itu!” titah Deden padaku. Tangannya menunjuk ke arah motor besar yang berdiri gagah di halaman depan rumahnya. “ kamu tahu berapa saya beli motor itu? Kamu tahu berapa uang yang keluar selama ini untuk merawat dia? Tidak sedikit Ko. Aku membeli motor itu dari seorang teman dengan harga dua puluh juta. Entah berapa juta uang yang sudah aku hamburkan untuk mendandani motor itu,” Deden menjawab pertanyaan demi pertanyaannya sendiri. Aku hanya diam mendengar semua perkataannya.

“ Belum lagi, tidak sedikit uang yang hilang begitu saja demi memuaskan hasrat jiwa mudaku. Dulu saya sangat suka bermain Ko, jalan-jalan, mencoba untuk menghilangkan penat setelah lelah bekerja,” ucap Deden dengan pandangan yang mengarah pada kolam lelenya.

“ Setelah kontrak kerja saya di Jakarta habis, bapak menyarankan saya untuk membuat usaha ternak lele, saya turuti saran bapak itu. Setelah saya jalani, ternyata berternak lele itu memang enak Ko. Saya sempat berpikir, andai saja dulu saya gak menghamburkan semua uang itu tidak hanya untuk bersenang-senang saja, tapi menyisihkan sebagian untuk modal usaha, mungkin kolam leleku sekarang sudah banyak Ko.”

“ Memang apa yang membuatmu enjoy dengan beternak lele ini?” aku bertanya pada Deden.

“ Banyak Ko. Dengan usaha ini, lebih banyak waktu luang yang saya miliki. Saya lebih bisa bebas mengatur hidup. Tidak diatur-atur seperti masih bekerja dulu. Saya lebih bisa menikmati hidup. Ibadah lebih terasa nikmat Ko. Belum lagi keuntungan yang numayan besar,” jawab Deden atas pertanyaanku.

“ Oh gitu? Memang ternak lelemu sudah berapa kali panen Den?”

“ Baru dua kali, keuntungannya numayan besar Ko. Modal awal yang keluar untuk memulai usaha ini satu juta. Untuk membuat dua buah kolam, menghabiskan uang empat ratus ribu. Beli anakan ikan lele tiga ratus ribu. Dengan tiga ratus ribu itu, saya mendapatkan anakan dua ribu ekor anak lele. Kemudian untuk membeli pangan satu karung, atau kurang lebih satu kuintal, seharga tiga ratus ribu juga. Pangan satu kuintal itu cukup untuk makan lele dari awal hingga panen.

“ Waktu yang dibutuhkan untuk panen itu sekitar dua atau tiga bulan. Sekali panen, keuntungannya numayan sangat besar. Penampung membeli lelenya dengan sistem kiloan. Satu kilo dihargai lima belas ribu rupiah. Untuk mendapatkan satu kilo, rata-rata jumlah lelenya adalah lima ekor. Jadi, dengan jumlah dua ribu lele yang saya miliki, omzet yang saya dapatkan pasca panen adalah sekitar tujuh juta rupiah. Dipotong oleh modal, jadi keuntungan saya dalam sekali panen adalah enam juta rupiah.

“ Kamu tahu gak Ko, berapa gaji saya tiap bulannya ketika bekerja dulu?” Tanya Deden. Aku hanya menggelengkan kepala pertanda tidak mengetahuinya.

“ Saya menerima gaji dua juta perbulan. Sekarang kita bandingkan dengan uang hasil ternak lele ini. Tadi sudah saya jelaskan, untuk bisa dipanen, kurang lebih memakan waktu dua atau tiga bulanan. Coba kita ambil yang tiga bulan saja. Dalam tiga bulan itu, keuntungan yang saya dapatkan adalah enam juta rupiah kan. Nah, jika dihitung perbulannya, pendapatan saya dua juta rupiah juga Ko, sama dengan gaji saya ketika bekerja dulu. Tapi, walaupun jumlahnya sama, tidak bisa dipungkiri lagi, berternak lele ini lah yang lebih untung. Karena saya lebih bisa menggunakan banyak waktu saya untuk kegiatan yang lain. Rencananya, insyAllah, setelah panen yang ini, saya akan tambah dua kolam lagi Ko,” terang Deden panjang lebar padaku. Mendengar itu semua, aku hanya bisa manggut-manggut mengiyakan semua yang dikatakan Deden. Otakku terbayang-bayang sejumlah uang yang Deden ceritakan tadi. Jika seperti di film-film kartun, mungkin buletan hitam pada bola mataku berubah menjadi huruf “Rp”. Dalam hati aku berpikir, kapan aku bisa usaha ternak lele seperti Deden????

Deden beranjak dari duduknya. Dia berjalan menuju kolam lelenya. Aku ikuti deden dari belakang. Kini kami menghadap pada dua buah kolam. Deden mengambil segenggam pakan lele. Bentuk pakan itu bulet kecil-kecil. Deden melemparkan pakan itu ke kolam. Kecipakan air semakin keras ketika lele-lele itu berebut mendapatkan makanannya.
***

Selepas solat taraweh, aku makan besar. Setelah dirasa perut ini kenyang, aku meluncur menuju ruang paviliun rumah. Disana terdapat sebuah kotak berukuran dua puluh satu inci. Jika dinyalakan, pada layar kaca kotak kecil itu muncul gambar bergerak-gerak. Melalui kotak inilah, aku menghabiskan waktu paling banyak selama berada di rumah.

Malam ini acara tv derajatnya sedang-sedang saja. Acaranya tidak seru, namun juga tidak terlalu membosankan. Aku menonton sambil tiduran di lantai keramik, tanpa alas, hanya sebuah bantal yang mengganjal kepalaku. Sambil tiduran, mataku berkedip-kedip melihat tv di hadapanku.

Teringat obrolan tadi siang dengan Deden. Ending dari obrolan itu membuatku menambahkan satu lagi daftar mimpi pada buku agendaku, yaitu menjadi juragan lele. Jika saja tadi siang aku tidak keluar menjumpai Deden, dan hanya tiduran saja di ruang paviliun, mungkin aku tidak akan pernah menemukan inspirasi untuk menjadi pengusaha. Memang benar apa yang telah dikatakan Imam Syafi’i. Pemuda itu harus keluar, dengan keluar, maka kita akan menemukan inspirasi. Perumpamaan seorang pemuda yang hanya berdiam diri saja itu seperti air yang tergenang, atau tidak mengalir. Lama-kalamaan, air itu akan menjadi bau dan tidak berguna. Seperti itulah yang aku ingat.

Jam dinding menunjukan pukul sembilan malam. Malam ini aku memiliki rencana untuk datang lagi menemui Deden. Aku akan bertanya banyak seputar usaha ternak lelenya. Aku ingin mendaptkan gambaran lebih, terkait usaha yang satu ini. Segera aku meluncur menuju kamarku. Ganti celana panjang. Mengoleskan sedikit wangi-wangian pada kaos yang kukenakan. Setelah itu aku menghadap cermin guna memandangi diri. Ku ambil sisir kecil warna hitam yang tergeletak di depan cermin. Aku genggam sisir itu, kemudian kurapihkan rambutku. Aku meluncur menuju rumah Deden.

Dalam perjalanan, aku berjumpa dengan ibu-ibu yang sedang makan baso di salah-satu warung penjual baso dadakan. Beginilah satu dari beberapa kebiasaan di kampungku jika sudah masuk bulan Ramadhan. Tidak sedikit ibu-ibu yang menjual baso dan jajanan lainnya. Ibu-ibu itu hanya memasang sebuah meja di depan teras rumahnya, kemudian menyimpan jualannya di atas meja itu.

Beberapa ibu menyapa diriku. Aku balas sapaan mereka dengan seramah mungkin yang aku bisa. Kami saling melempar senyum. Satu dari ibu yang ada di warung baso itu membawa anak laki-laki kecilnya. Usianya mungkin masih sekitar dua atau tiga tahunan. Anak laki-laki itu diduduki disampingnya yang sedang lahap memakan baso. Anak kecil itu terlihat anteng dengan sebuah kue di genggamannya.

“ Tuh ada Pak Niko tuh De,” ucap ibu itu pada anaknya. Kembali aku tersenyum pada sekumpulan ibu-ibu itu. Sepertinya, jejak menjadi seorang guru honor di sekolah dasar kampungku dulu masih membekas erat pada ibu itu. Terbukti, ibu itu masih memanggilku dengan sebutan pak.

“ Nanti kalau Adek sudah besar, jadi seperti Pak Niko ya, jadi orang baik dan pintar,” ujar ibu itu pada anak laki-lakinya. Waduh-waduh, aku merasa paling tidak enak jika sudah ada ucapan seorang ibu yang seperti ini. Sepertinya ibu-ibu itu belum benar-benar mengenal siapa diriku. Mungkin, jika dua puluh empat jam sehari dan seminggu tujuh hari mereka terus berada di sampingku dan memperhatikan semua tindak-tandukku, mungkin mereka tidak akan pernah mengeluarkan sanjungan semacam itu lagi pada diriku. Tapi tak apa, mungkin hal ini adalah sebuah ujian dan sindiran dari Allah untukku. Ujian guna menilai sampai dimana level bersyukurku pada Allah karena Dia masih menyembunyikan hitamku dan sindiran bagi diriku agar terus berusaha untuk benar-benar menjadi orang yang baik dan pintar. Aku hanya tersenyum menanggapi ucapan ibu itu.

Ketika aku izin untuk melanjutkan perjalananku, sayup-sayup aku mendengar obrolan beberapa ibu-ibu itu.

“ Sayang anak perempuan saya masih SD Bu, kalau saja seumuran dengannya, mungkin sudah saya lamar Niko untuk anak perempuan saya,” aku gak tahu ibu yang mana yang berbicara. Waduh-waduh, mulai lagi. Sepertinya ujian itu mulai lagi mengahampiri diriku. Memang, terkadang, jika aku sedang ada di kampung dan menemui para ibu, pasti saja kudapati ucapan-ucapan yang semacam ini. Aku jadi tidak enak hati. Karena aku tidak seperti yang ibu-ibu itu kira. Aku pura-pura tidak mendengar ucapan itu, aku terus melanjutkan langkah menuju rumah Deden. Semakin panjang kulangkahkan kaki ini.

Aku terus melangkahkan kaki menuju rumah Deden. Malam ini suasana terasa tidak seperti biasanya. Berbeda. Hening sekali. Hanya lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an yang terdengar dari pengeras suara Mesjid kampung. Tidak terasa lagi hembusan angin malam. Tidak ada lagi erikan jangkrik dan nyanyian burung malam. Aku melihat langit. Disana bertabur banyak bintang yang berkerlipan. Diantara milyaran bintang itu, bulan sabit terlihat sedang tersenyum pada Bumi.
***

2 komentar:

  1. Nice History sobat,, keep Sipirit 4 growth your history and ambition.... cayooo..^_^
    oia ko, deden hebat ya, padahal masih muda,tapi sudah dapat berfikir ke arah masa depan.. saluut buat deden.. ^^^

    BalasHapus