Sabtu, 09 Oktober 2010

Jakarta Tinggal Kenangan, Yogyakarta Berikutnya


Dulu, aku sangat anti dengan yang namanya organisasi. Ketika masih SD, SMP, dan SMA, aku acuh terhadap organisasi. Organisasi mengganggu sekolah, kerjaannya rapat melulu, menghabiskan waktu, pikirku waktu itu. Namun, sekarang, ketika aku sudah dan sedang mengecap pendidikan di perguruan tinggi, aku baru merasakan dampaknya. Dampak dari anti-patinya aku dengan organisasi.

Dari semua teman-teman yang kumiliki, orang-orang yang menjadi pionir itu pasti selalu jebolan dari organisasi, organisasi apapun itu. Dan, orang –orang yang hanya menjadi follower atau pengikut, mereka adalah orang yang satu tipe dengan diriku. Aku menyesal, aku sangat menyesal dulu tidak aktif di organisasi.

Namun, aku tidak ingin merasa rugi untuk yang kedua kalinya. Aku harus bercermin kepada kehidupanku terdahulu. Aku harus belajar dari pengalaman-pengalamanku. Dengan berbekal pepatah yang berbunyi,” lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali,” dan,” tidak ada kata terlambat untuk belajar,” dengan kedua pepatah itu, aku mencoba untuk berubah. Aku tidak mau sisa waktu hidupku hanya dihabiskan dengan menjadi pengekor. Aku ingin menjadi pionir. Aku ingin menjadi pemimpin peradaban. Untuk itu, sekarang aku mulai terjun ke dunia organisasi, baik yang intra kampus maupun yang ekstra kampus. Dan, Alhamdulillah, seiring berjalannya waktu, jiwa kepemimpinan yang aku inginkan itu mulai tumbuh. Jiwa follower terkikis sedikit demi sedikit bak tanah yang tererosikan oleh air.

Salah satu organisasi ekstra kampus yang aku ikuti adalah Imahagi (Ikatan Mahasiswa Geografi Indonesia). Imahagi adalah organisasi semua mahasiswa jurusan Geografi, baik yang kependidikan ataupun yang non kependidikan. Ada dua jenis keanggotaan di Imahagi. Pertama adalah anggota biasa. Semua mahasiswa yang terdaftar sebagai mahasiswa jurusan Geografi di semua universitas se-Indonesia, mereka terdaftar sebagai anggota Imahagi. Dan yang kedua adalah anggota pengurus. Hanya beberapa mahasiswa saja dari setiap universitas yang menjadi pengurus. Untuk di kampusku, yaitu Universitas Pendidikan Indonesia, ada empat mahasiswa yang menjadi pengurus Imahagi. Pertama adalah kang Adit, nama lengkapnya Aditya Permana. Dia mahasiswa angkatan 2008. Dalam kepengurusan himpunan jurusan pendidikan Geografi (HMG) UPI periode tahun ini, dia menjabat sebagai ketua. Kang Adit adalah pengurus pusat Imahagi. Amanah dia sebagai staff bidang penelitian dan pengembangan (Litbang). Yang kedua adalah teh Nurul. Sama dengan kang Adit, mereka berdua angkatan 2008. Amanah teh Nurul adalah sebagai staff bidang Litbang. Yang ketiga dan keempat adalah mahasiswa angkatan 2009. Mereka bernama Yoga Septian dan Niko Cahya Pratama, yang tidak lain adalah penulis sendiri. Yoga Septian diamanahi sebagai ketua bidang organisasi, sedangkan amanahku adalah sebagai staff bidang infokomtek (informasi, komunikasi dan teknologi).

Aku, yoga dan teh Nurul, lingkup kepengurusannya berbeda dengan kang Adit. Karena kang Adit pengurus pusat, jadi tanggung jawabnya adalah se-Indonesia. Sedangkan kami (aku, Yoga dan teh Nurul), lingkup kepengurusannya adalah Imahagi wilayah II, yang mencakup daerah Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten.

Beberapa hari yang lalu, Imahagi wilayah II menyelenggarakan rapat kerja (raker), yang bertempat di Universitas Muhammadiah Prof. Dr. Hamka (UHAMKA), Jakarta. Sebagai pengurus, maka kami wajib mengikuti raker itu, karena salah-satu agenda yang akan dibahas adalah program-program kerja semua bidang. Kami berangkat hanya bertiga saja, karena teh Nurul sedang sakit waktu itu. Dengan berbekal Bismillah dan sedikit uang hasil mengajukan proposal ke pihak jurusan, Hari Sabtu pagi kami meluncur menuju ibu kota. Kami datang ke UHAMKA sedikit terlambat. Pihak tuan rumah menyambut kami dengan hangat, mereka memperlakukan kami bak keluarga mereka sendiri.

Masih jelas dalam ingatanku, betapa tajamnya tatapan sahabatku, Yoga Septian, ketika dia melihat mahasiswi UHAMKA berkerudung hitam.

“ Nik, Nik, lihat arah jam dua belas, Nik, yang pake kerudung hitam, cadas, Nik,” ujar Yoga Sumringah. Tangannya menggoyang-goyang tanganku, namun matanya tetap memandangi mahasiswi berkerudung hitam itu.

“ Nik, lihat tuh, Nik,” paksa Yoga kepadaku. Dia menggoyang-goyang tanganku lebih keras. Aku melipat kertas promosi buku-buku Geografi terbitan erlangga yang diberikan panitia raker. Aku mengangkat wajah hendak melihat mahasiswi yang dimaksud Yoga. Dan, Masya Allah, tidak salah apa yang dikatakan Yoga. Mahasiswi berkerudung hitam itu memang cantik. Dia terlihat anggun dengan balutan kerudung hitam itu. Sejenak aku sedikit tergoda. Ada getaran-getaran aneh di dadaku. Namun, tiba-tiba aku teringat dengan bidadari syurgaku. Aku merasa berdosa kepada dia, meskipun diantara kami masih tidak ada ikatan, tapi aku yakin dengan sorot mata itu, aku yakin dengan tutur katanya.

Dalam undangan, tertulis acara raker ini akan berlangsung selama dua hari. Hari pertama acaranya adalah seminar yang bertemakan tentang kegeografian, dan hari berikutnya adalah pelaksanaan raker Imahagi wilayah II. Di hari pertama, seminar berjalan dengan lancar. Panitia menjalankan tugasnya dengan baik. Banyak sekali pertanyaan dari peserta seminar. Setiap mahasiswa dari universitas yang berbeda beradu memberikan pertanyaan terbaik yang dimiliki. Adu gengsi sangat terasa sekali. Harga diri kampus dipertahankan di seminar ini. Pun dengan kami, kami tidak mau kalah. Pertanyaan-pertanyaan berbobot kami layangkan kepada pemateri. Bagian yang paling panas dan yang paling aku ingat adalah ketika kami beradu jawaban dengan mahasiswa Universitas Indonesia (UI). Kejadian itu bermula ketika pemateri memberikan kesempatan kepada hadirin untuk menjawab pertanyaan dari Mahasiswa UNJ (Universitas Negeri Jakarta). Dengan tanpa mengambil tempo, salah-satu mahasiswa Universitas Indonesia mengacungkan tangannya. Pemateri mempersilahkan mahasiswa UI untuk menjawab. Mahasiswa UI berdiri. Dia membetulkan jas almamater warna kuning kebanggaan UI. Bisikan-bisikan kagum pecah dikalangan peserta seminar. Mahasiswa itu menjawab dengan suara tegas dan lancar. Tepuk tangan pecah untuk mahasiswa UI itu. Pemateri tersenyum mendengar jawaban sehebat itu.

“ Baik, jawaban yang bagus dari mahasiswa UI, ada yang ingin mencoba menjawab lagi?” pemateri menawarkan lagi kepada hadirin. Sepertinya dia sengaja melakukan hal ini, supaya seminar berjalan dengan seru dan tidak monoton.

Aku melihat Yoga menggerak-gerakan kepalanya memperhatikan peserta seminar. Dia melihat ke depan, ke samping kanan, ke samping kiri, kemudian ke belakang, lalu balik lagi melihat pemateri. Dia menarik nafasnya dengan panjang, kemudian mengangkat tangannya tinggi-tinggi.

“ Iya, dari UPI Bandung ingin mencoba menjawab, silahkan,” pemateri mempersilahkan Yoga untuk menjawab. Pemateri itu tersenyum, mungkin dia sedang merasa gembira karena telah menghidupkan suasana seminar.

Seorang panitia laki-laki berjalan menghampiri Yoga. Dia memberikan sebuah mikrofon. Yoga berdiri, dia merapihkan jas abu-abu kebanggaan kami. Sepintas aku melihat Yoga melirik ke arah mahasiswi UHAMKA berkerudung hitam yang duduk tidak jauh dari meja kami. Yoga memberikan sebuah senyuman. Wanita berkerudung hitam itu membalas senyum Yoga. Laksana Popeye yang baru makan bayam. Aura Yoga menjadi berbeda dari sebelumnya. Seperti ada kekuatan misterius yang membelai jiwa Yoga. Tidak pernah aku sangka-sangka sebelumnya, Yoga memberikan jawaban spektakuler layaknya jawaban para ahli Geografi. Jangankan para peserta seminar, pemateri yang bertitel profesor pun memberikan aplaus meriah untuk Yoga. Sebelum duduk, sekali lagi aku menangkap basah Yoga sedang melirik wanita berkerudung hitam. Jika aku boleh menilai, citra UPI meningkat setelah seminar ini.

Pada hari berikutnya, rapat kerja dimulai. Tempatnya masih sama dengan tempat seminar kemarin, yaitu di auditorium FKIP (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan). Namun, hari ini tata ruangnya terlihat sedikit berbeda, terlihat seperti ruang sidang DRP yang sering kulihat di layar TV. Meja kursi dibariskan lurus berdasarkan fraksi perfraksi. Di bagian depan, meja pimpinan sidang terlihat megah, palu sidang tersimpan rapih di atasnya. Poster bapak presiden RI dan wakilnya tertempel di dinding belakang meja pimpinan sidang. Di sebelah kanan meja, berdiri sebuah bendera merah putih, di sebelah kirinya adalah bendera Imahagi.

Setelah melalui perdebatan yang cukup alot, terpilihlah saudara Haris dari UNJ sebagai pimpinan sidang I, saya sebagai pimpinan sidang II, dan Lila Amalia Faramadina dari UHAMKA sebagai pimpinan sidang III. Lila itu tidak lain dan tidak bukan adalah mahasiswi berkerudung hitam yang cantik jelita.

Rapat kerja ini dibuka pada pukul delapan kurang sedikit, dan diawali dengan pemaparan program kerja setiap bidang, kemudian dilanjutkan dengan tanya-jawab dari anggota Imahagi lainnya kepada setiap bidang perihal gambaran program kerjanya masing-masing. Pasca sesi tanya-jawab itu, ada proker yang dihapus dan ada proker yang ditambahkan. Tentunya proses dalam mencari kesamaan suara terkait proker yang dihapus dan ditambahkan itu tidak mudah. Perdebatan-perdebatan panas terhadir diantara komisariat antar universitas. Lagi-lagi, jika aku boleh menilai, citra UPI semakin meningkat pasca raker ini.

Jam dua siang lebih sedikit, rapat kerja selesai. Semua komisariat dikumpulkan panitia di taman kampus. Acaranya adalah coolling down, setelah sebelumnya panas-panasan di meja sidang. Selain pendinginan, kami juga membicarakan tentang raker nasional Imahagi yang akan dilaksanakan pada tanggal 16-17 oktober 2010, di Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta. Semua pengurus Imahagi wilayah II diharuskan untuk hadir, tanpa terkecuali.

Menjelang waktu ashar, kami berjalan berbondong-bondong menuju mesjid kampus UHAMKA guna melaksanakan solat berjamaah. Kang adit didaulat sebagai imam solat. Selesai solat, semua komisariat tamu pamit pulang kepada komisariat tuan rumah. Disela-sela itu, aku dan kang Adit kebingungan mencari Yoga.

“ Niko, si Yoga kemana?” tanya kang Adit sambil bersalaman dengan mahasiswa lain. Aku dan kang Adit sepakat untuk berpencar mencari. Aku ke taman kampus dan kang Adit menuju mesjid. Sesampainya di taman, aku mengarahkan pandangan ke sekeliling. Di bangku panjang yang menghadap ke sebuah kolam ikan, aku melihat seorang wanita mengenakan jas hijau dengan seorang lelaki yang memakai jas warna abu-abu. Mereka duduk berdampingan, namun tetap ada jarak. Karena merasa penasaran, aku mencoba lebih mendekat. Setelah aku perhatikan dengan seksama, ternyata yang mengenakan jas hijau itu adalah mahasiswi berkerudung hitam dan yang duduk disampingnya, ajaib, ini sungguh ajaib, lelaki itu adalah sahabatku. Dia adalah Yoga Septian.

Adiknya Sahabatku



Aku sedang ada jam kuliah di ruang sepuluh, lantai empat, gedung fakultas pendidikan ilmu pengetahuan sosial. Jadwal sekarang adalah mata kuliah Geografi tanah. Hari ini yang masuk adalah pak Hendro. Beliau adalah asistennya Prof. Dede Rohmat, salah-satu guru besar di jurusan Pendidikan Geografi. Pak Hendro menjelaskan tentang Pedogenesis atau pembentukan tanah. Sedang asyik menikmati penjelasan pak Hendro, tiba-tiba telepon genggam (hp) yang tersimpan di saku kananku bergetar. Diam-diam aku merogoh saku, sesekali melirik pak Hendro. Ku simpan hp di atas buku tulis. Di layar hp tertulis kata “my sister”, ternyata ini adalah SMS dari adik perempuanku.

(a, wahyu-nya teh yanah,)

sejenak aku berpikir. Wahyunya teh Yanah??? Oh, teh Yanah yang rumahnya hanya dipisahkan beberapa rumah saja dengan rumahku. Tiba-tiba pikiranku berputar-putar, kemudian berhenti pada salah-satu folder yang tersimpan di otakku.

Ipul, ya, kepada Ipul-lah pikiran ini tertuju. Dia adalah saudara tuanya Wahyu, yang barusan tertulis di layar hpku. Nama aslinya adalah Saiful Basri Siregar. Bapaknya berasal dari Medan, namanya Usman Siregar. Sementara ibunya berasal dari kampung Cipacung, yang tidak lain adalah kampungku juga. Namanya adalah Yanah.

Ipul menghabiskan masa kanak-kanaknya di negeri bapaknya. Namun, ketika dia duduk di kelas tiga SD, keluarganya memutuskan untuk hijrah ke kampung ibunya. Ipul memiliki dua orang kakak, satu laki-laki dan satu perempuan. Kakak yang tertua adalah Rahmat. Sekarang dia menetap di Lampung mengikuti istrinya. Kakak yang kedua adalah Lia, tidak berbeda dengan kakaknya yang pertama, Lia menetap di tempat suaminya. Selain kakak, Ipul juga memiliki satu adik laki-laki, namanya adalah yang sudah dijelaskan di muka, yaitu Wahyu, lengkapnya Wahyu Pranata Siregar. Sekarang Wahyu duduk di kelas dua SMP.

Wahyu dan Ipul memiliki kesamaan hobi. Mereka sama-sama sangat menggilai sepak bola. Karena itu, untuk menyalurkan bakat adiknya, Ipul memasukan wahyu ke sekolah sepak bola (SSB) Anyer Pratama, SSB yang dulu menjembatani Aku dan Ipul bisa mengikuti kompetisi nasional tingkat usia di bawah delapan belas tahun.

Ada dua hal yang mengakrabkan aku dan Ipul. Pertema adalah sepak bola dan yang kedua adalah saung di bawah pohon mangga di halaman rumahku. Di saung itu kami sering mengobrolkan tentang masa depan kami. Sering kami lupa waktu jika sedang membicarakan cita-cita masing-masing.

“ Aku ingin masuk tim nasional, Ko. Aku ingin menjadi pemain sepak bola profesional,” ucap Ipul penuh semangat.

“ Mungkin, satu atau dua tahun ini, aku akan mencari klub sepak bola di sekitar daerah kita saja dulu. Aku ‘gak mau jauh-jauh dulu, kasihan ibu ‘gak ada yang jaga. Kamu tahu sendiri kan, Ko, adikku masih kelas dua SMP. Nanti, kalau Wahyu sudah besar, paling tidak sudah kelas dua SMA lah, aku berani untuk meninggalkan ibu ke luar kota,” jawab Ipul, ketika aku bertanya hendak mencari klub sepak bola dimana.

Ipul sangat menyayangi adiknya. Apapun yang Wahyu inginkan, selama itu berhubungan dengan sepak bola, jika Ipul sedang memiliki uang, Ipul pasti memenuhi permintaan adiknya. “ Aku ‘gak ingin adikku merasakan apa yang kita rasakan dulu, Ko. Kamu tahu sendiri kan, bagaimana sedihnya ketika kita tidak mendapatkan sepatu manakala sepatu bola kita rusak,” Ipul membuka kenangan kami, ketika berjuang bersama-sama.
********

“ Jadi, untuk mengambil sampel tanah undisturb itu kita harus menggunakan ring sampel,” ujar pak Hendro dengan logat jawanya yang medok. Wajar, karena beliau berasal dari Yogyakarta. Pak Hendro membalikan badannya ke white board. Beliau memunggungi kami. Tangannya dengan cekatan menggambar sebuah ring sample. Bersamaan dengan itu, aku melihat layar hp lagi. Aku baca ulang SMS dari adik perempuanku.

(a, wahyu-nya teh yanah,)

Karena ada koma, aku berhenti sejenak, kemudian melanjutkan membaca terusan tulisan SMSnya.

(mati.)

APA??!! Hatiku tersentak setelah membaca lanjutan SMS dari adikku. Hanya kata itu yang tersisa, yaitu kata “mati”. Aku merasa benar-benar kaget. Aku baca ulang SMS itu.

(a, wahyu-nya teh yanah, mati.)

Innalillahi waa innalillahirooji’uun, lirihku dalam hati. Wahyu meninggal di usia semuda itu !!! memang, azal itu ditangan Allah, baik tua maupun muda, jika sudah sampai azalnya, pasti akan mati. Tapi, aku masih benar-benar merasa kaget dan tidak menyangka. Padahal, hanya sekitar dua minggu yang lalu aku dan Wahyu mengobrol perihal sepak bola. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Ipul. Dia pasti merasa terpukul karena kejadian ini.

Ada beberapa hikmah yang bisa aku ambil dari kejadian ini. Pertama, azal itu adalah takdir, ketetapan Allah Yang Maha Kuasa. Setiap orang memiliki jadwal kematian masing-masing, kapan dan dimana mereka akan meninggal. Tidak mengenal tua ataupun muda, di tempat ramai ataupun sepi, sedang berbuat baik ataupun maksiat, siang ataupun malam hari, jika waktu itu telah tiba, maka tidak akan pernah ada yang bisa mencegahnya. Begitupun dengan azalku, kapan dan dimananya? Ini masih misteri Illahi. Aku harus mempersiapkan segalanya, agar kelak, jika waktu itu telah tiba, aku sudah siap untuk menghadapinya.

Kedua, yang sedang dirasakan Ipul sekarang, setiap orang pasti pernah atau akan merasakannya. Oleh karena itu, aku harus membahagiakan keluargaku. Aku harus membahagiakan bapak, ibu, dan adik-adikku. Aku harus melakukan yang terbaik bagi mereka. Aku tidak boleh mengecewakan mereka. Aku harus membahagiakan mereka. Harus, harus, dan harus.