Minggu, 27 Maret 2016

Amalkan



                Dulu, ketika saya SMA, guru saya pernah bilang bahwa banyak teman masa kuliahnya yang berasal dari Malaysia. Dan itu tidak hanya satu dua guru saja yang mengatakan kalimat itu. Masih ada beberapa guru lagi yang menyuarakan kata-kata yang sama. Sekarang, saat saya kuliah, tidak sedikit juga dosen yang mengatakan bahwa ada banyak mahasiswa asal Malaysia yang kuliah di Indonesia. Tapi itu dulu. Sekarang lain lagi ceritanya. kisah telah berbalik. Bahwa sekarang, justru mahasiswa Indonesia yang banyak menempuh studi di negeri Jiran. Termasuk beberapa rekan saya yang lebih memilih melanjutkan kuliah ke Malaysia ketimbang di negerinya sendiri. 

                Menurut humas kedutaan Indonesia di Kuala Lumur, bapak Eka A. Suripto, mahasiswa Malaysia yang belajar di Indonesia berjumlah 2.355 orang. Sedangkan mahasiswa Indonesia yang menempuh studi di Malaysia berjumlah lebih dari lima ribu pelajar. Waw, lebih dari dua kali lipatnya. Adanya pembalikan arus pendidikan ini tentu bukan tanpa alasan. Boleh jadi sekarang kualitas pendidikan Malaysia lebih baik dari Indonesia. Itulah mungkin yang menjadi alasan sebagian pelajar Indonesia ingin belajar di negerinya Siti Nurhaliza. 

Supaya lebih benderang, mari kita lihat peringkat negara dengan kualitas pendidikan terbaik. Tahun 2015. Ternyata jawaranya jatuh pada Singapura. Negeri kecil di pinggir Selat Malaka itu menyalip Finlandia yang dalam 14 tahun terakhir secara berturut-turut duduk di kursi puncak dengan kkualitas pendidikan terbaik. Lantas Malaysia duduk di kursi nomer berapa? Adalah pada posisi nomer 52. Kemudian bagaimana dengan Indonesia? Negeri kita ada pada 17 strip di bawah Malaysia. Indonesia ada di urutan nomer 69. Jelas sudah sekarang, sepertinya memang kualitas inilah yang manjadi penyebab utama dari perubahan arah arus pendidikan Indonesia dan Malaysia. 

                Satu pertanyaan yang bernyanyi-nyayi di kepala saya. Mengapa?

                Dulu, petronas (perusahaan minyak Malaysia) belajar pada pertamina (perusahaan minyak Indonesia). Petronas belajar tentang production sharing contract (kontrak bagi hasil). Jika diibaratkan, pertamina adalah gurunya, sedangkan petronas adalah muridnya. Setelah banyak tahun terlewati, lalu apa yang terjadi pada nasib dua perusahaan minyak negara itu? Data ini mungkin dapat menjelaskannya. Pada index PIW (Petroleum Intelligent Weekly tahun 2007, petronas ranking 17 untuk urutan perusahaan minyak. Sementara pertamina ada di urutan 30. Sekarang ternyata sang guru posisinya ada di bawah si murid. Selain itu, keuntungan tahun 2014, petronas mengantongi pundi-pundi sebesar 20 milyar dollar Amerika. Sedangkan pertamina sangat-sangat jauh di bawah itu. Jika pun 138 BUMN Indonesia digabung jadi satu, penghasilannya tetap tidak bisa melampaui petronas seorang diri. 13,5 milyar dollar adalah jumlah keuntungan dari gabungan banyak BUMN Indonesia. Weleh-weleh!
 
                Pertanyaan yang ada di kepala saya masih sama. Kenapa? Kenapa seperti ini? Dan pertanyaan pendek ini telah lama bersemayam di otak saya. Lama sekali tidak kunjung terjawab. Bertahun-tahun belum saya temui jawabannya. Hingga akhirnya, tanda tanya besar ini baru saya temukan jawabannya. Dan itu saya temukan dari ucapan Bunda asal Malaysia yang sedang belajar di pesantren Daarul haliim. Ponpes tempat saya belajar sekarang. Saat itu sang Bunda berucap seperti ini. “Orang Indonesia pinter-pinter. Ilmunya banyak dan tinggi. Kita orang Malaysia kalah. Tapi orang Indonesia sedikit dalam mengamalkan ilmunya. Semantara kita orang Malaysia, saat dapat ilmu, langsung diamalkan.”

                Ternyata oh ternyata, inilah jawabannya. Sederhana sekali sebenarnya. Adalah Pengamalan ilmu. Ini sejalan dengan kalimat indah yang pernah dikatakan oleh Imam Ghozali. Bahwa semua orang celaka, kecuali yang berilmu. Dan yang berilmu celaka, kecuali yang mengamalkan ilmunya. Juga yang mengamalkan ilmunya celaka, kecuali yang mengamalkan ilmunya dengan ikhlas

                Jika boleh saya mengubah kalimat Imam Ghozali di atas yang ada kaitannya dengan tulisan kali ini. Jadinya mungkin akan seperti ini: Semua negara terbelakang, kecuali negara yang berilmu. Semua negara berlimu terbelakang, kecuali negara yang mengamalkan ilmunya. Semua negara yang mengamalkan ilmunya terbelakang, kecuali negara yang telah mengamalkan ilmunya dengan ikhlas. Titik.

                Jika kita mau merenungkan lebih jauh lagi. Sebuah negara, tidak terkecuali Indonesia, adalah seumpama jasad. Sementara ruhnya itu adalah penduduk yang menempati negara-negara tersebut. Kualitas jasad akan dipengaruhi oleh kualitas ruh di dalamnya. Pun demikan, kualitas negara, baik atau tidaknya, juga dipengaruhi oleh kualitas penduduk yang menempatinya. Jika kita ingin Indonesia tercinta kita menjadi sebuah negara yang baik dan berjaya. Tentunya kita harus menjadi seorang penduduk yang baik. Seorang penduduk yang terus belajar dalam mencari ilmu. Seorang penduduk yang kemudian mengamalakan ilmunya. Seorang penduduk yang mengamalkan ilmu-ilmunya dengan tulus ikhlas. Jika masing-masing dari kita telah menjadi seperti itu. Maka akan terhimpun penduduk dengan kualitas super. Jika sudah begitu, maka berjayanya Indonesia bukan hanya sekedar impian belaka. Demikian. Wallahu’alam.   
***

Sabtu, 26 Maret 2016

Going Extra Miles




               Kayuhan kaki bertambah cepat. Laju sepedah semakin kencang meluncur. Kali ini sepedah kuning yang saya kemudikan melintas jalan perumahan. Sepintas saya menoleh ke sebelah kiri. Di sana ada sebuah tanah lapang seluas lapangan basket. Ada beberapa anak kecil berlari-lari. Mereka sedang memperebutkan sebuah bola. Seketika itu jari saya reflek menekan rem depan. Sepedah langsung berhenti. Sebab berhenti dadakan, roda belakang agak sedikit terangkat.

                Saya simpan kaki kanan di tanah, bermaksud agar sepedah tetap berdiri seimbang. Mengapa saya berhenti? Tujuannya hanya satu. Adalah karena sepak bola. Sebab anak-anak itu sedang bermain bola. Saya ingin nonton. Sekaligus bernostalgia. Mengenang masa kecil dulu. 

                Ingatan langsung melesat ke masa lalu. Saat usia saya sama dengan umur anak-anak yang sedang bermain bola. Di sana, di kampung saya. Di pesisir pantai barat pulau jawa. Di Selat Sunda. 

                Adalah Cipacung. Sebuah kampung kecil di kawasan wisata pantai Anyer, Banten. Tidak sedikit penduduk Serang Barat yang menyebut Cipacung dengan julukan Brazilnya Serang Barat. Mengapa? Sebab kampung kecil itu ibarat sebuah pabrik yang menghasilkan para pemain sepak bola handal. Setidaknya untuk daerah Banten. Hampir setiap generasi, ada saja pemuda Cipacung yang masuk klub sepak bola profesional yang tersebar di kota jawara itu. 

                Kala itu, saya ingin menjadi pemain di generasi saya yang mampu tembus tim profesional. Tentunya saya harus melewati tahap seleksi terlebih dulu. Saat itu, ada ratusan anak muda yang memiliki mimpi yang sama dengan impian saya. Kami harus berjuang untuk menjadi bagian dari tim PERSERANG yang jumlahnya hanya sehitungan jari tangan dan jari kaki saja. Jika ingin masuk, kuncinya hanya satu. Harus lebih hebat skill sepak bolanya dari para kompetitor. 

                Satu dari banyak kenangan yang masih saya ingat hingga hari ini adalah sebuah kalimat pembakar semangat yang diteriakan oleh pelatih. Dengan tatapan tajam, sang pelatih memandang kami. 

“Kalian harus tahu! Saingan kalian tidak hanya orang-orang yang ada di kiri dan kanan kalian saja! Saingan kalian adalah seluruh pemain sepak bola yang ada di muka bumi ini! Jika kalian ingin menjadi yang terbaik! Maka kalian harus pegang bola lebih banyak! Kalian harus latihan lebih lama dari yang lain! Going extra miles!!!!”.   

Mendengar kalimat itu. Semangat saya mendidih hingga ke ubun-ubun. Sejak hari itu saya berlatih lebih banyak dari hari-hari sebelumnya. Singkat cerita, Takdir Allah, saya menjadi bagian dari klub impian itu. Saya menjadi pemain PERSERANG. I make my drams come true

Point yang ingin saya angkat dari tulisan kali ini adalah tentang melakukan lebih. Melakukan lebih untuk mendapatkan yang lebih pula. Orang-orang besar di bidangnya masing-masing, sebelum mereka menginjakkan kakinya di puncak tertinggi hari ini, ada sesuatu yang sangat besar yang harus mereka bayarkan untuk mendapatkan semuanya. Niat yang besar. Pengorbanan yang besar. dan tentunya rintihan do’a yang besar pula. 

Sebut saja Rudi Hartono. Sang legenda hidup milik Indonesia. Dalam dunia bulu tangkis, siapa yang tidak kenal dia. Tidak hanya terkenal di Nusantara, tapi juga di seantero dunia. Bagaimana tidak. Sampai detik ini, belum ada atlet yang mampu menyamai prestasinya di ajang All England. Sebuah kompetisi bintang lima dalam olahraga bulu tangkis. Rudi Hartono menyabet juara delapan kali. Tujuh diantaranya dia raih dengan berturut-turut. Sebuah prestasi yang sangat membanggakan negeri. 

Saat saya membaca kisah hidup sang legenda hidup itu. Ternyata rahasianya hanya satu. Sang Rudi Hartono kecil berlatih lebih banyak dari teman-temannya. Dia rela berangkat lebih pagi agar bisa berlatih lebih lama dari yang lain. Dan itu tidak dia lakukan hanya dalam beberapa hari saja. Tapi dilakukan sepanjang masa dia menempa diri di kawah candradimuka. Sebelum kelak keluar dari kawah dan menjelma menjadi super hero bulu tangkis yang tiada duanya. 

Apakah sudah cukup dengan kisah Rudi Hartono? Jika belum, saya akan kutip kisah agung dari seorang sahabat Nabi Muhammad SAW. Sebelum masuk islam, nama sahabat ini adalah Abdus Syams. Ketika sudah memeluk islam, namanya diganti oleh Rasulullah SAW, menjadi Abdur Rahman. Sebab beliau sering membawa anak kucing, maka orang-orang menjulukinya dengan sebutan Abu Hurairah.

Abu Hurairah terkenal dengan ingatannya yang sangat kuat. Terbukti beliau adalah seorang sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits. Abu Hurairah masuk islam belakangan. Yaitu empat tahun sebelum wafatnya baginda nabi. Sebab itu, setelah menjadi muslim, Abu Hurairah selalu mengikuti kemanapun Rasul pergi. Dia membersamai Rasul kemana saja. Niatnya hanya satu. Ingin menyecap manisnya ilmu langsung dari manusia paling Agung, yakni Rasulullah SAW. 

Saat baginda nabi wafat, Abu Hurairah mengajarkan banyak hadits. Karena saking banyaknya hadits yang diajarkan, tidak sedikit sahabat yang heran. Pertanyaan yang terbit di pikiran para sahabat itu adalah: Mengapa Abu Hurairah banyak sekali menghafal hadits? Padahal dia masuk islam belakangan? Masih banyak sahabat yang masuk islam lebih dulu darinya

Ketika mendengar pertanyaan-pertanyan itu, ini jawaban hebat yang keluar dari mulut Abu Hurairah: Benar, saya memang masuk islam belakangan. Banyak sahabat yang lebih dulu bersyahadat dari saya. Perlu diketaui, saya adalah orang miskin. Saya tidak pandai berniaga seperti para sahabat Muhajirin. Saya juga tidak memiliki lahan, dan tidak bisa berkebun layaknya para sahabat Anshor. Karena itu saya selalu berada dekat dengan Rasul. Saya ingin lebih banyak dekat dengan baginda nabi. saya ingin meneguk manisnya ilmu dari beliau. Mungkin sebab itu saya hafal lebih banyak hadits.

Kata kunci dari jawaban Abu Hurairah adalah bahwa beliau lebih banyak bersama nabi dibanding dengan para sahabat lain. Sebab itu, lebih banyak hadits yang beliau hafal dibanding hadits yang dihafal sahabat-sahabat lain. Masya Allah.

Sekali lagi. Kuncinya adalah going extra miles. Going extra miles-nya Rudi Hartono adalah latihan lebih lama dari teman-temannya. Dan going extra miles-nya Abu Hurairah adalah kebersamaannya dengan Rasul lebih banyak dari para sahabat-sahabat lain. Kemudian, pertanyaan yang kemudian timbul adalah: Lalu apa going extra miles milik kita? Mari kita gali. Agar kelak bisa berdiri di puncak yang paling tinggi. InsyaAllah.
***

Rabu, 23 Maret 2016

Mencoba Lagi



Minggu kemarin, saya pernah mencoba masuk peneropongan bintang Bosscha, Lembang. Setelah mengayuh ribuan kali dari asrama tempat tingga saya di daerah Cihanjuang, Parongpong, menuju Bosscha, Lembang. Ternyata keinginan saya terhalangi oleh sebuah kata yang menggantung di pintu gerbang. “TUTUP”. Seperti yang sudah saya kisahkan pada tulisan sebelumnya, akhirnya saya balik dengan tidak berhasil ke tujuan. Meski sesungguhnya ada hal lain yang tetap saya peroleh selama perjalanan menuju keinginan itu. 

Sabtu pagi, selepas pengajian subuh, saya berniat menuntaskan rasa penasaran saya untuk menginjakan kaki di Bosscha. Saya kembali mengayuh sepedah. Ribuan kali kayuhan, bahkan mungkin lebih. Meluncur perlahan membelah jalan tanjakan menuju Lembang. Tubuh bermandikan keringat. Baju kuyup olehnya. Dan kemudian, lelah itu berakhir dengan sebuah senyuman. Akhirnya saya bisa tiba di keinginan yang sudah seminggu lalu saya idam-idamkan. Bosscha. Sekali lagi saya tuliskan, Bosscha. Ya, Bosscha. 

Sambil menyecap udara segar di sekitar Bosscha, terbersit sebuah perenungan. Sekiranya saya berhenti untuk mencoba lagi, mungkin tidak akan pernah ada episode kaki saya bisa menginjak tanah ini (Bosscha). Pelajaran kali ini adalah tentang mencoba. Tidak peduli berapa kali gagal, yang penting adalah terus mencoba. Lagi dan lagi. 

Teringat kisah tentang seorang wanita dengan sorang anak yang ditinggalkan suaminya. Meski keadaan seperti menghimpit kehidupannya, selama nafas masih berhembus, dia tetap harus melanjutkan hidup. Berbagai upaya dilakukan oleh wanita itu untuk menghidupi diri dan seorang anaknya. Satu dari percobaan itu adalah menulis. Dia menginvestasikan sebagian waktunya untuk menulis. Menulis cerita. Kata demi kata dia rangkai menjadi kalimat. Kalimat menjadi paragraf. Dan paragraf-paragraf itu saling mengait hingga menjadi sebuah buku. Setelah selesai, wanita itu mengirimkan bukunya ke sebuah penerbit. Lantas apa hasil dari banyak waktu, tenaga dan pikiran yang telah dia korbankan? Apakah ceritanya diterima penerbit lantas dicetak dan tersebar di toko buku? Kemudian banyak penikmat cerita yang memborong bukunya? Jawabannya adalah tidak! Naskah yang wanita itu tawarkan ditolak mentah-mentah oleh penerbit. Yang menyedihkan lagi, karyanya tidak dihargai, bahwa ceritanya dipandang sebagai kisah yang ngawur. Hanya sebuah hayalan belaka. 

Kemudian apa yang dilakukan oleh sang wanita itu dengan naskahnya? Apakah dibakar? Atau dibuang ke tong sampah? Atau hanya di simpan di pojokan sebagai penambah aksesoris rumah hingga tebal oleh debu? Tidak! Yang dia lakukan adalah kembali mengirimkan naskahnya ke penerbit lain. Meski jawabannya masih sama. Adalah penolakan. Kemudian, apakah dia menyerah? Ternyata tidak. Wanita itu kembali mengirimkan ceritanya ke penerbit lain lagi. Meski jawabannya tetap sama. Ditolak. Lalu dia kirim lagi. Dan ditolak lagi. Lagi dan lagi. 

Saat itu, dua belas kali sudah naskah ceritanya ditolak penerbit. Tapi apa yang wanita itu lakukan selanjutnya? Jawabannya sudah bisa ditebak. Adalah mencoba lagi. Usaha kerasnya berbuah hasil. Pada percobaannya yang ketiga belas. Ada satu penerbit yang menerima naskahnya. Singkat cerita, apa yang terjadi dengan naskah itu dan penulisnya? Naskah itu berubah dari buku yang ditolak berkali-kali oleh penerbit menjadi buku cerita terlaris di muka bumi. Dan si wanita penulisnya menjelma menjadi orang super kaya. Sekarang, buku itu kita kenal dengan buku “Harry Potter”. Dan wanita itu adalah “JK. Rowling”. Seorang wanita yang konon katanya, kekayaan dari royalti bukunya melebihi pundi-pundi milik Ratu Elizabeth. Ratu yang memimpin negara dimana dia tinggal, yaitu Inggris. Waw! Amazing saya pikir. 

Sering saya berandai-andai. Sekiranya JK. Rowling itu berhenti pada percobaan pertamanya, atau pada percobaan kedua, ketiga, keempat, atau bahkan pada percobaan kedua belasnya. Mungkin tidak akan pernah ada yang namanya buku Harry Potter. Serta tidak akan pernah kekayaannya melampaui kekayaan sang Ratunya. Mungkin hari ini dia masih bergelut dengan kehidupan sulitnya. 

Sekali lagi saya tuliskan. Pelajaran kali ini adalah tentang mencoba. Tidak peduli berapa kali kita menemui kegagalan. Tetap terus mencoba. Sebab kita tidak tahu, pada percobaan keberapa kita akan menemui keberhasilan. Boleh jadi saat kita menyerah pada percobaan kesekian, padahal keberhasilan sedang duduk manis menunggu kita di percobaan selanjutnya. Sayang sekali jika memang seperti itu. Kita berhenti hanya pada jarak satu langkah saja dari impian kita. satu langkah saja. 

Terus mencoba. Mencoba lagi. Lagi dan lagi. Bergerak menuju impian kita. Dia sedang duduk manis menunggu kita. Apakah akan kita sia-siakan dia? Tentu tidak kan?! Untuk itu. mari mencoba lagi. Lagi dan lagi.
***

Minggu, 13 Maret 2016

Tentang Perjalanan

                Selepas pengajian ba’da subuh, saya kirim pesan ke Pak Dandi. Beliau adalah atasan saya di kantor. Walau sebenarnya Pak Dandi tidak ingin disebut atasan.

                “Tidak usah lah panggil saya atasan. Kita kan rekan kerja. Kamu bukan bekerja di saya, tapi bekerja dengan saya. Panggil saja saya bapak, atau kakak,” ucap Pak Dandi ketika itu.

                (Pak, mau pinjem kunci kantor. Mau pinjem sepedah) isi pesan yang saya kirim.

                Sembari menunggu balasan, saya bersiap-siap untuk perjalanan ini. Tujuannya adalah observatorium Bosscha, Lembang.

                Balasan Pak Dandi tidak kunjung tiba. Setengah jam sudah saya menunggu. Supaya waktu menunggu ini tidak percuma, saya melakukan pemanasan. Untuk mempersiapkan tubuh supaya prima.

                Selepas pemanasan, saya mengecek hape. Balasan datang.

                (Saya simpan kuncinya di pot yang kosong. Nanti simpan lagi di tempat semula. Saya juga sedang sepedahan ini) Balasan pesan pak Dandi.

                Senyum di bibir saya merekah. Sebab yang ditinggu-tunggu telah tiba. Sepertinya balasan datang telat karena tadi pak Dandi masih sedang menggowes. Dan baru sempat membalas saat sedang istirahat.

                Tanpa ba-bi-bu lagi, saya langsung meluncur ke kantor. Lalu mulai mengayuh sepedah.

                Jam delapan saya memulai kayuhan pertama. Garis start tepat di depan mesjid daarul haliim. Dalam perjalanan, saya bertemu dengan banyak pesepedah. Tidak jarang sapaan kami berikan, atau setidaknya sekedar senyuman kami berikan satu sama lain.

                Menuju Lembang, lebih dari sembilan puluh persen jalanan menanjak. Paha serasa terbakar saat kaki mengayuh pedal. Setiap kayuhan berikutnya, seperti ada kobaran api baru yang bermunculan di otot paha. Terlintas keinginan untuk berhenti di tengah jalan, lalu balik lagi. Tapi semuanya pudar saat bayangan gedung teropong bintang menari-nari di tempurung kepala. Jelas sekali. Meski lelah, saya paksakan kaki untuk terus mengayuh. Terus dan terus lagi.

                Ada rasa bahagian saat pintu gerbang observatorium Bosscha terlihat di kejauhan. Rasa lelah ini terbayarkan sudah. Semakin dekat ke pintu gerbang, pelan-pelan senyum saya menguap. Terpampang jelas pada plang yang menggantung tepat di gerbang. Tertulis sebuah kata saja. Adalah “TUTUP”. Saya berhenti mengayuh. Hanya mematung di atas sepedah. Tatapanku tidak lepas dari kata “TUTUP”. Untuk meyakinkan, saya melangkah menghampiri pos satpam.

                “Buka, Pak?”

                “Tutup, A. Kalau Minggu tutup. Paling kalau Aa ingin masuk, hari Sabtu,” jawab pak satpam ramah. Tidak lupa dia memberikan senyum.

                “Waddduh, jadi gak bisa masuk nih Pak?”

                “Iya, A.”

                “Walau hanya sebentar, Pak.”

                “Iya, A. Gak bisa. Paling Sabtu depan kalau Aa mau.”

                “Bukanya Sabtu saja, Pak? Senin sampai Jum’at gimana?”

                “Iya, Senin sampai Jum’at juga buka, A. Kecuali Minggu.”

                Saya hanya manggut-manggut menatap bapak satpam. Kemudian berbincang ngalor-ngidul sekedar untuk mengakrabkan diri. Untuk menambah teman. Teringat ucapan seorang bapak alumni ITB tahun ’75 yang saya temui di Ciwidey, saat supervisi kebun di sana.

                “Beberapa faktor yang menunjang kesuksesan kita adalah: kecerdasan, rekam jejak dan jaringan,” ucap si bapak kala itu. Masih terngiang jelas kalimat itu. Sampai sekarang. Untuk itu saya memutuskan untuk menunda pulang, dan memulihkan tenaga sambil berbincang dengan bapak satpam.

                Point yang saya peroleh hari ini adalah: Ada banyak alasan bagi saya untuk kecewa pagi ini. Tapi, ada lebih banyak lagi alasan yang bisa membuat saya bahagia. Kuncinya adalah bersyukur atas apa yang telah kita lalui. Terlebih jika hasil itu diawali dengan usaha yang maksimal. Hari ini bukan tentang tiba di keinginan. Tapi tentang sebuah perjalanan. Saya memang tidak bisa melangkah memasuki gedung peneropongan bintang Bosscha. Tapi ada banyak hal menakjubkan yang saya temui dalam perjalanan menuju Bosccha. Dan saya bahagia.

***