Selepas
pengajian ba’da subuh, saya kirim pesan ke Pak Dandi. Beliau adalah atasan saya
di kantor. Walau sebenarnya Pak Dandi tidak ingin disebut atasan.
“Tidak
usah lah panggil saya atasan. Kita kan rekan kerja. Kamu bukan bekerja di saya,
tapi bekerja dengan saya. Panggil saja saya bapak, atau kakak,” ucap Pak Dandi
ketika itu.
(Pak,
mau pinjem kunci kantor. Mau pinjem sepedah) isi pesan yang saya kirim.
Sembari
menunggu balasan, saya bersiap-siap untuk perjalanan ini. Tujuannya adalah
observatorium Bosscha, Lembang.
Balasan
Pak Dandi tidak kunjung tiba. Setengah jam sudah saya menunggu. Supaya waktu
menunggu ini tidak percuma, saya melakukan pemanasan. Untuk mempersiapkan tubuh
supaya prima.
Selepas
pemanasan, saya mengecek hape. Balasan datang.
(Saya
simpan kuncinya di pot yang kosong. Nanti simpan lagi di tempat semula. Saya juga
sedang sepedahan ini) Balasan pesan pak Dandi.
Senyum
di bibir saya merekah. Sebab yang ditinggu-tunggu telah tiba. Sepertinya balasan
datang telat karena tadi pak Dandi masih sedang menggowes. Dan baru
sempat membalas saat sedang istirahat.
Tanpa
ba-bi-bu lagi, saya langsung meluncur ke kantor. Lalu mulai mengayuh
sepedah.
Jam
delapan saya memulai kayuhan pertama. Garis start tepat di depan mesjid daarul
haliim. Dalam perjalanan, saya bertemu dengan banyak pesepedah. Tidak jarang
sapaan kami berikan, atau setidaknya sekedar senyuman kami berikan satu sama
lain.
Menuju
Lembang, lebih dari sembilan puluh persen jalanan menanjak. Paha serasa
terbakar saat kaki mengayuh pedal. Setiap kayuhan berikutnya, seperti ada
kobaran api baru yang bermunculan di otot paha. Terlintas keinginan untuk
berhenti di tengah jalan, lalu balik lagi. Tapi semuanya pudar saat bayangan
gedung teropong bintang menari-nari di tempurung kepala. Jelas sekali. Meski lelah,
saya paksakan kaki untuk terus mengayuh. Terus dan terus lagi.
Ada
rasa bahagian saat pintu gerbang observatorium Bosscha terlihat di kejauhan. Rasa
lelah ini terbayarkan sudah. Semakin dekat ke pintu gerbang, pelan-pelan senyum
saya menguap. Terpampang jelas pada plang yang menggantung tepat di
gerbang. Tertulis sebuah kata saja. Adalah “TUTUP”. Saya berhenti mengayuh. Hanya
mematung di atas sepedah. Tatapanku tidak lepas dari kata “TUTUP”. Untuk meyakinkan,
saya melangkah menghampiri pos satpam.
“Buka,
Pak?”
“Tutup,
A. Kalau Minggu tutup. Paling kalau Aa ingin masuk, hari Sabtu,” jawab pak
satpam ramah. Tidak lupa dia memberikan senyum.
“Waddduh,
jadi gak bisa masuk nih Pak?”
“Iya,
A.”
“Walau
hanya sebentar, Pak.”
“Iya,
A. Gak bisa. Paling Sabtu depan kalau Aa mau.”
“Bukanya
Sabtu saja, Pak? Senin sampai Jum’at gimana?”
“Iya,
Senin sampai Jum’at juga buka, A. Kecuali Minggu.”
Saya
hanya manggut-manggut menatap bapak satpam. Kemudian berbincang ngalor-ngidul
sekedar untuk mengakrabkan diri. Untuk menambah teman. Teringat ucapan seorang
bapak alumni ITB tahun ’75 yang saya temui di Ciwidey, saat supervisi kebun di
sana.
“Beberapa
faktor yang menunjang kesuksesan kita adalah: kecerdasan, rekam jejak dan jaringan,”
ucap si bapak kala itu. Masih terngiang jelas kalimat itu. Sampai sekarang. Untuk
itu saya memutuskan untuk menunda pulang, dan memulihkan tenaga sambil
berbincang dengan bapak satpam.
Point
yang saya peroleh hari ini adalah: Ada banyak alasan bagi saya untuk kecewa
pagi ini. Tapi, ada lebih banyak lagi alasan yang bisa membuat saya bahagia. Kuncinya
adalah bersyukur atas apa yang telah kita lalui. Terlebih jika hasil itu
diawali dengan usaha yang maksimal. Hari ini bukan tentang tiba di keinginan. Tapi
tentang sebuah perjalanan. Saya memang tidak bisa melangkah memasuki gedung
peneropongan bintang Bosscha. Tapi ada banyak hal menakjubkan yang saya temui
dalam perjalanan menuju Bosccha. Dan saya bahagia.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar