Senin, 22 Juli 2019

Memberi

Barusan saya foto kopi ijazah di koperasi pesantren. Untuk diberikan ke sekolah guna kepentingan akreditasi. Setelah ini, rencananya saya dan istri akan belanja ayam potong. Istri sedang ngidam opor ayam. Katanya ingin dia saja yang memasak sendiri.


"Kak Niko, ingin itu," my moon menunjuk sebuah tanaman kecil di samping kolam ikan milik pesantren. Daunnya warna hijau dan panjang.

"Apa itu?"

"Daun kunyit."

"Itu kunyit gitu? Bukan ah."

"Iya. Itu kunyit tahu."

"Bukan ah."

"Iya kunyit!"

"Buat apa?"

"Buat campuran masak opor."

Beberapa meter di depan, saya lihat pak Gigih, kepala bagian sumber daya alam, yang tidak lain adalah sang juragan kolam ikan, sedang berbincang dengan beberapa rekannya. Nah, kebetulan ada beliau. Saya akan tanya, apakah yang kata istri saya tanaman kunyit itu, pemiliknya adalah beliau.

"Pak Gigih!"

"Iya pak!"

"Ini punya siapa? Ini bukan kunyit kan?"

Pak Gigih menyobek daun sedikit. Kemudian mencium baunya. "Kayaknya bukan kunyit ini."

"Tuh kan," saya melirik Si Cinta.

"Ih. Itu kunyit tahu."

"Itu bukan katanya." Saya menunjuk pak Gigih.

"Eh, gak tahu juga ketang," ucap pak Gigih tak yakin.

"Saya boleh minta daunnya pak?"

"Boleh pak. Yang di sana saja tuh," pak Gigih menunjuk kolam ikan yang dekat rumah pak Kardi. "Di sana banyak. Ada sereh juga. Ada kencur. Ada cabe. Ada macam-macam di sana. Ambil aja di sana. Minta ke pak Kardi."

"Wah mantap. Siap. Nanti saya ke sana pak ya. Sekarang mau beli ayam dulu ke luar."

"Siap."

Motor matic hitam nyala. Jalan pelan meninggalkan halaman parkir koperasi pesantren.

***

Motor berhenti. Saya parkirkan di samping rumah pak Kardi. Suasana asri menyambut saya dan istri. Ada banyak kolam ikan. Berjajar panjang pohon cabe dan pohon rempah-rempah yang lainnya.

"Assalamualaikum."

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

"Walaikumussalam," ada jawaban dari dalam rumah. Rumah panggung kayu beraroma pedesaan. Ah indah sekali.

"Iya?" Ibu Kardi, istri pak Kardi keluar.

"Pak Kardi ada Bu?"

"Lagi keluar."

"Oh lagi ke luar ya. Tadinya saya mau minta kunyit Bu. Tadi sudah minta ke pak Gigih, katanya ambil saja di dekat rumah pak Kardi."

"Kunyit," ibu Kardi melihat-lihat deretan pohon rempah-rempah di halaman samping rumah. "Di sini gak ada kunyit Pak. Kalo kunyit adanya di kebun sana," ibu Kardi menunjuk hutan.

"Oh. Gak ada Bu ya?"

"Iya. Di sini gak ada. Adanya di kebun di balik hutan itu" ujar ibu Kardi. Kemudian beliau masuk. Tidak lama keluar lagi. Di tangannya sudah ada pisau. "Hayu kita ambil."

"Eh, gak usah Bu. Jauh. Nanti aja gakpapa." Saya khawatir merepotkan ibu Kardi.

"Gakpapa pak. Hayu ibu ambilkan."

Waddduh. Saya dan Si Cinta saling pandang. Gimana? Kurang lebih seperti itu arti pandangan kami.

Saya melihat Si Cinta lagi. Hayu ikut saja. Begitu arti pandangan yang ini kira-kira.

Kami berjalan mengekor ibu Kardi. Berjalan pelan melewati jalur setapak. Kiri dan kanan banyak semak belukar. Lebih dalam lagi ada pohon-pohon besar. Melewati aliran air jernih selebar satu meter.

Sekira tiga menit berjalan, kami tiba di sebuah kebun. Kurang lebih luasnya sama dengan luas lapangan basket. Ada beberapa guludan di beberapa sudut kebun. Setiap beberapa jalur guludan terdapat tanaman yang berbeda. Ada kacang tanah, kencur, jahe, cabe, kacang panjang, dan beberapa tanaman yang saya tidak tahu namanya.

"Hayu sini," ibu Kardi mengajak Si Cinta untuk mengambil kunyit. Ibu Kardi dan istri saya mengambil beberapa ruas kunyit.

Sepuluh menit kami di kebun. Ibu Kardi tidak hanya memberikan kunyit, tapi beliau juga memberikan tanaman jahe, kencur, juga cabe yang baru disemai. Sebab saat mengambil kunyit tadi, istri saya cerita bahwa dia ada poliybag di rumah. Setelah mendengar cerita itu, ibu Kardi memberikan tanaman rempah-rempah tadi.

"Terima kasih ibu. Mohon maaf kami merepotkan. Ini untuk ucapan terima kasih kami," ucap saya sambil memberikan rupiah yang tak seberapa.

"Eh, tidak apa-apa Pak. Ibu niatnya cuma memberi." Ucap ibu Kardi.

Kami saling kekeuh. Ibu Kardi tetap tidak menerima.

Kami kembali melangkah meninggalkan kebun. Sembari berbincang santai mengisi perjalanan.

***

Motor melaju ke rumah dinas. Hendak pulang setelah dari kebun dengan ibu Kardi.

"Mun, nanti jika ada rezeki, kita beli sesuatu untuk ibu Kardi ya."

"Iya," jawab Si Cinta. Kemudian memeluk saya dari belakang.

***

"Kak Niko cobain opornya," my moon menyodorkan sendok yang ada beberapa tetes kuah opor. Uapnya masih mengepul.

SRUUPPT

Saya mencicipi.

"Enak!"

Si Cinta balik ke depan kompor. Mengaduk aduk kuahnya lagi.

"Mun, nanti kalau sudah matang, kita kasih ibu Kardi ya."

"Iya. Nanti kita bawa puding juga," tambah Si Cinta.

***

Jam setengah enam sore. Motor melaju pelan. Saya pakai sarung, kaos, dan peci hitam. Si Cinta mengenakan gamis warna biru dongker.  Kami hendak ke rumah pak Kardi. Berniat berbagi opor pada ibu Kardi. Yang kami berikan tak seberapa memang, tapi kami ingin sekali membalas kebaikan ibu Kardi tadi siang. Semoga dengan saling memberi ini, silaturahmi kami, khususnya Si Cinta dengan ibu Kardi semakin erat lagi. Aamiin.

"Mun."

"Iya."

"Kebahagiaan itu akan kita rasakan bukan pada saat kita menerima. Kebahagiaan itu akan kita rasakan justru pada saat kita memberi."

Si Cinta diam saja. Kemudian ada pelukan hangat di belakang.

"Mun, nanti, jika Dede sudah lahiran insyaAllah, kita harus seperti ini mendidiknya ya. Kita memberikan nasihat pada saat kita sedang melakukan apa yang sedang kita nasihatkan."

Di belakang tidak ada jawaban lagi. Hanya pelukan lebih hangat yang saya rasakan.

***

"Assalamualaikum, ibunya ada Pak?"

"Walaikumussalam. Ibu masih di kebun," jawab pak Kardi.

Sambil menunggu ibu Kardi datang, saya dan istri berbincang ringan dengan pak Kardi. Tidak lama, ibu Kardi tiba.

"Ibu, ini ada opor buat ibu," my moon memberikan bungkusan di plastik hitam.

"Aduh, kok jadi ngerepotin gini. Makasih Bu ya," lirih ibu Kardi.

Kami mengobrol sejenak. Hingga menjelang waktu magrib.

Saya dan istri pamit pulang.

"Nanti kalau mau tanaman rempah lagi ke sini saja Bu ya," tawar ibu Kardi.

"Iya Bu. Kami pamit dulu ya. Assalamualaikum," ucap Si Cinta.

"Walaikumussalam," pak Kardi dan ibu Kardi menjawab salam bersamaan.
Motor melaju pelan. Meninggalkan rumah panggung kayu nan asri.

Setiba di rumah. Saat hendak membuka pintu. Di gagang pintu ada plastik putih besar menggantung. Isinya ada roti, selai coklat kacang, dan banyak coklat. Usut punya usut, ternyata itu bingkisan dari nenek yang tadi mampir ke rumah pada saat saya sedang ada di rumah pak Kardi. Selepas menjenguk Intan Ayu, sepupu saya yang juga bersekolah di SMA Nurul Fikri. Nenek mampir ke rumah dinas saya, tapi di rumah sedang kosong, akhirnya nenek hanya memberi kabar via chat what's app. Bahwa beliau menggantungkan bingkisan untuk Si Cinta.

"Waaaaaaah. Rotiiiiiii," Si Cinta sumringah. "Kebetulan banget sedang ingin makan roti. Coklat jugaaaaaa."

MasyaAllah. Sedekah, atau memberi, benar-benar akan langsung dapat balasan dari Tuhan. Wallahu 'alam.

***

Jumat, 15 Maret 2019

Laki-laki


"Mun, Allah itu baik ya. DIA banyak mengabulkan mimpi-mimpi saya. Tidak sedikit memang yang belum tercapai. Tapi banyak juga yang sudah terwujud," ucap saya di sela obrolan sebelum tidur.

"Alhamdulillah," My Moon menanggapi.

"Mun."

"Ya."

"Saya punya mimpi baru."

"Apa?"

"Anak pertama nanti laki-laki."

Si Cinta menatap saya tajam. Melotot. "Perempuan!"

"Laki-laki!"

"Perempuan!!"

"Laki-laki!!"

"Perempuan!!!!!!!"

"Laki-laki!!"

"Perempuan! Orang Mun yang hamil!!!!"

"Saya penyebab kehamilannya!"

"Iiiiih!!!!!!!"

***

IMPIAN

Biasanya, jika sudah memiliki mimpi, atau keinginan, atau cita-cita, saya tanamkan benih itu dalam-dalam di jiwa saya, agar kuat akar yang menopang tumbuhnya pohon mimpi itu. Saya tuliskan mimpi saya di buku harian. Saya coretkan mimpi saya di karton besar. Lalu saya tempelkan karton itu di dinding kamar. Supaya bisa saya tatap setiap kali akan tidur. Hingga perlahan mengendap di alam bawah sadar, lalu menuntun setiap pikiran dan tindakan saya menuju tercapainya impian itu.

Ketika SMA, saya memiliki mimpi menjadi pemain sepak bola profesional. Saya ingin masuk skuad PERSERANG U-18. Selain berdoa dan berusaha dengan terus berlatih, saya tempelkan kata "PERSERANG" di dinding kamar. Alhasil, saat kelas dua SMA, Alhamdulillah saya berhasil tembus tim PERSERANG junior. Mengalahkan ratusan remaja kabupaten Serang yang juga ikut seleksi.

Selepas SMA, saya ingin kuliah di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), di kota kembang, Bandung. Di antara alasannya adalah: supaya bisa nyantri sambil kuliah. Sejak kenal Aa Gym di tv, saya berkeinginan besar untuk belajar di pondok beliau, yaitu Daarut Tauhiid, yang letaknya tepat di samping kampus UPI Bandung.

Saya tulis kata "Universitas Pendidikan Indonesia" di dinding kamar. Saya lihat setiap akan tidur. Setiap kali saya melihat tulisan itu, setiap itu pula semangat saya bertambah besar kobarannya. Hasilnya, Alhamdulillah saya lolos seleksi nasional masuk kampus. Saya jadi mahasiswa UPI Bandung jurusan pendidikan geografi. Setahun berselang, saya mondok di pesantren Daarut Tauhiid. Ikut program pesantren mahasiswa. Bertemu dengan Aa Gym, dan menjadi santri beliau. Lebih tepatnya santri sableng. Sebab jika dihitung-hitung, waktu untuk bermain futsal lebih banyak dibanding waktu yang saya habiskan untuk ikut mengaji. Haha.

Saat masih mahasiswa, satu lagi mimpi besar yang saya miliki, yaitu balik ke kampung halaman. Jika sudah wisuda nanti, saya ingin pulang kampung. Berbakti pada tanah kelahiran. Mengamalkan secuil ilmu demi kemajuan desa tercinta. Saya catatkan mimpi itu di buku harian. Alhamdulilah, selepas wisuda, takdir menuntun saya untuk balik kampung. Saya mengajar di SMA Nurul Fikri Boarding School Cinangka, Serang, Banten, yang letaknya hanya sekitar 13 kilometer saja dari rumah.

Setelah resmi pulang kampung. Mimpi saya berikutnya adalah memiliki istri yang usianya lumayan jauh di bawah saya. Sebab ada mimpi berikutnya yang mengekor, adalah memiliki banyak anak. Dan salah satu jalan agar bisa memiliki banyak anak yaitu dengan menikahi wanita yang masih muda. Agar lebih banyak kesempatan melahirkannya. Ternyata, Allah Yang Maha Baik kembali mengabulkan mimpi saya. Usia istri saya adalah delapan tahun di bawah saya. Haha.

Masih ada banyak mimpi yang sudah saya tuliskan. Dan banyak dari mimpi itu yang sudah terwujud. Juga tidak sedikit mimpi yang masih belum tercapai (InsyaAllah dalam proses tahap pencapaian). Contohnya adalah mimpi anak pertama laki-laki. Agar kelak bisa memimpin adik-adiknya yang insyaAllah akan ada banyak. Aamiin.

***

SHOLAWAT

Satu tahun sebelum saya melamar istri saya, ternyata beliau sudah diberikan bocoran oleh Allah melalui mimpi. Selepas mimpi itu, setahun berselang, saya benar-benar maju untuk melamarnya.

Satu minggu sebelum anak Pak Boim lahir, pagi-pagi sekali istri saya bercerita. "Kak Niko, semalam Mun mimpi, istri Pak Boim sudah lahiran, anaknya laki-laki." Tujuh hari setelah ucapan itu, Pak Boim memberi kabar di grup Whats App, bahwa istri beliau sudah lahiran, anaknya laki-laki.

Mendapati dua peristiwa itu, saya merasa horor juga pada istri. Pada beberapa kesempatan, bila istri ingin menceritakan mimpinya, selalu saya awali dengan sebuah pertanyaan yang sama. "Mimpinya bagus atau tidak?". Jika istri bilang bagus. Saya akan mendengarkan. Tapi jika istri bilang tidak. Saya urung untuk mendengar. "Saya gak mau dengar ya. Sepertinya itu hanya bunga tidur saja. Perbanyak dzikir, sholawat, dan tilawah ya." Saya akhiri dengan kalimat anjuran ini.

Saya penasaran, amal kebaikan apa yang istri saya kerjakan. Selidik punya selidik, ternyata istri saya istikomah membaca sholawat minimal seratus sebelas kali setiap harinya. Amalan ini diberikan oleh Kyai Rofiq saat di pondok dulu. Oooh.

Dengan membaca sholawat atas Nabi Muhammad SAW, itu merupakan salah satu bukti kecintaan kita kepada Baginda Nabi SAW. Bukankah dia yang memiliki rasa cinta akan selalu menyebutkan nama orang yang dicintainya? Bukankah dia yang memiliki rindu pada seseorang akan selalu memanggil nama orang yang dirindukannya?

Kecintaan kita pada Baginda Nabi akan tercermin pada sholawat yang kita lantunkan. Entah itu dengan lantang, atau lirih di dalam hati. Dengan membaca sholawat, semoga rasa cinta kita pada Baginda Nabi SAW terus bertambah dan bertambah lagi. Hingga menjadikan cinta kita pada beliau menjadi cinta ranking satu setelah kecintaan kita pada Allah SWT. Sebab Umar bin Khotob ra saja ditegur Nabi ketika beliau berkata seperti ini. "Saya mencintaimu Rasul, melebihi cinta saya kepada siapapun di dunia ini, kecuali cinta saya pada diri saya sendiri."

Kemudian Nabi SAW berkata. "Umar, imanmu belum sempurna, hingga engkau lebih mencintai diriku ketimbang cintamu pada siapapun, termasuk cinta pada dirimu sendiri."

Mendengar teguran Rasul SAW, kemudian Umar ra merevisi kalimatnya. "Mulai saat ini, Demi Allah, saya lebih mencintai dirimu lebih dari siapapun di dunia ini, termasuk cinta saya pada diri saya sendiri."

Lalu Rasulullah SAW berkata lagi. "Wahai Umar, sekarang imanmu telah sempurna."

Semoga kita semua bisa meletakan cinta pertama kita, setelah cinta pada Allah, untuk Nabi Muhammad SAW. Semoga kita bisa membalas besarnya rasa cinta beliau untuk kita sebagai umatnya. Sebagaimana yang tergambar pada beberapa peristiwa yang dulu pernah dikisahkan oleh guru ngaji kita ketika masih kecil.

Satu. Ketika isro-mi'raj, Rasul bertemu dan berbincang langsung dengan Allah SWT. Saat itu Allah mendoakan Nabi, "Segala pemeliharaan dan pertolongan Allah untukmu wahai Nabi, begitu pula rahmat Allah dan segala karunia-Nya."

Pada peristiwa istimewa seperti itu, pada kebahagiaan besar sebab bisa bertemu langsung dengan Tuhan semesta alam, siapa yang diingat Nabi waktu itu?

"Semoga perlindungan dan pemeliharaan diberikan kepada kami (Nabi dan umatnya) dan semua hamba Allah yang Sholeh." Harapan Nabi SAW yang beliau ucapkan pada Allah. Yang beliau ingat adalah kita, umatnya. Pantaskah jika sekarang kita tidak meletakan cinta terbaik kita untuk Rasul SAW?

Dua. Saat detik-detik menjelang kematian, kalimat yang Nabi ucapkan dan yang paling beliau khawatirkan bukan keluarganya, bukan pula para sahabatnya, tapi adalah ini, "Umatku, umatku, umatku." Yang paling beliau ingat adalah kita, umatnya. Pantaskah jika sekarang kita tidak meletakan cinta terbaik kita untuk Nabi SAW?

Sholu 'ala Nabiy!

Allahumma sholli wa salim 'alaa nabiyyinaa Muhammad!

***

"Mun, semoga laki-laki ya."

"Perempuan!"

"Tapi impian saya sering terwujud lho."

"Gakpapa. Waktu itu Mun mimpi lihat dede (bayi)."

"Tapi kan waktu itu mimpinya gak tahu dedeknya laki-laki atau perempuannya."

"Tapi kayaknya dede perempuan."

"Semoga laki-laki."

"Semoga perempuan! Hayu kita buktikan. Impian Kak Niko, atau sholawat Mun yang menang."

Waddduh . Sepertinya saya harus menyiapkan juga nama untuk dede perempuan nih. Ada usul? Hehe.

***

Ke Bandung Lagi


"Kita harus menghormati guru. Jasa mereka sama besarnya dengan jasa orang tua. Kita turun ke bumi, wasilahnya sebab kedua orang tua kita. Dan nanti, setelah meninggal, insyaAllah kita naik ke surga itu karena ilmu yang telah diberikan oleh guru kita." Ujar Kyai Rofiq pada suatu pengajian.

"Kita harus memiliki guru. Guru yang dekat dengan Allah. Agar kita bisa dibimbing juga untuk dekat dengan Allah," tambah Kyai Rofik.

Beberapa bulan sebelumnya, Aa Gym memberi nasihat. "Kita harus mencari guru. Minta dalam doa. Minta guru yang dekat dengan Allah, dan bisa membimbing kita untuk dekat juga dengan Allah".

"Perbanyak membaca sholawat. Sebab sholawat bisa mewakili ketika kita belum menemukan guru." Ucap Kyai Rofiq.

***

"Berangkat pagi. Pulang Dzuhur, sebentar doang. Keluar lagi. Ashar datang. Sore berangkat lagi. Pulang magrib. Terus nanti malam masih akan keluar!" my Moon protes.

"Ya mau gimana lagi Mun. Ini kan kewajiban. Acaranya memang sudah selesai. Tapi peralatan yang sudah dipinjam harus segera dikembalikan. Biar besoknya tenang."

"Kak Niko mah ah," decak kecewa Si Cinta. Saya hanya mampu memandangnya yang tertunduk lemas. Sebab tak ada lagi kalimat yang bisa saya ucapkan untuk menghibur istri.

"Sabar Mun ya. InsyaAllah jika perlengkapan sudah kembali semua, saya langsung pulang."

Si Cinta hanya diam.

***
22.00

TUK TUK TUK. KREEEEEK.

"Assalamualaikum."

Tidak ada sahutan. Saya menghampiri kamar. Si Cinta sudah tidur. Mungkin terlalu lama menunggu saya datang.

Maafkan saya My Moon. Semoga tahun ajaran depan amanah saya sebagai pembina OSIS beralih pada orang lain yang lebih kuat dan hebat. Atau, jika amanah yang didapat tetap sama beratnya. Semoga hatimu yang kemudian menjadi kuat. Aamiin.
***

"Pak Niko!" panggil pak Amin, wakil kepala sekolah bidang kesiswaan.

"Siap. Kenapa Pak Amin?"

"Dampingi santri lomba ke Lembang ya."

"Kapan?"

"Jumat, Sabtu, dan Minggu. Tiga hari."

"What! Jangan saya Pak ya. Coba yang lain saja. Kasihan istri. Kemarin-kemarin sudah sering saya tinggalin. Akhir-akhir ini beliau sering mual dan muntah lagi."

"Ini saya sudah mencari pendamping. Susah. Yang lain ada jadwal ngajar."

"Saya juga ada jadwal. Coba guru yang ngajar kelas 12 mapel non UN, kan mereka sedang tidak ngajar."

"Minggu ini kan mapel non UN mulai belajar lagi. Persiapan USBN. Saya sudah lihat-lihat jadwal. Susah nyari pendamping lain."

"Waddduh," saya menggaruk kepala. Sejenak berpikir mencari alasan untuk tidak pergi. Atau mungkin ada alasan lain yang lebih baik.

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

Saya belum memberi jawaban.

Empat detik.

"Saya mau berangkat, tapi istri saya ikut ya."

"Ikut ke Lembang?"

"Iya. Kasihan jika saya tinggal."

"Mmm. Nanti saya obrolkan dengan bu Tyas (kepala sekolah) dulu ya."

"Sip."
***

Hape berdering. Panggilan masuk dari pak Amin.

"Halo Assalamualaikum."

"Walaikumussalam. Pak Niko. Jum'at jadi berangkat ya. Istri boleh ikut."

"Boleh pak?"

"Iya."

"Oke deh. Makasih Pak Amin."

"Ya. Sekalian biar Antum dan istri bisa honey moon di Bandung. Hehe."

"Hehe. Siap Pak." Namun dalam hati saya berujar. Boro-boro bisa money moon pak, pasti akan sibuk mengurus santri. Tapi saya ada skenario lain yang sudah saya siapkan. Meski saya akan lebih banyak mengurus santri. InsyaAllah Si Cinta tetap akan ceria. Yakin dah!
***

Waktu itu, setelah menikah di rumah istri, di Pekanbaru. Sebelum pulang ke Banten, saya dan istri silaturahmi ke Bandung, ke pesantren kami, Ar-Risalah, Bandung Barat. Kami menginap satu malam. Sempat ikut satu kali pengajian bersama Kyai Rofiq.

"Ilmu itu ada dua. Satu, adalah ilmu yang kita peroleh dengan belajar. Dua, adalah ilmu yang kita dapatkan dengan tidak belajar. Lantas dari mana ilmu ini didapatkan? Ilmu yang kedua ini diperoleh dari doa guru. Doa guru yang soleh itu ampuh. Tidak sedikit cerita orang soleh zaman dulu yang saat di pesantren jarang belajar karena lebih sibuk berkhidmat pada guru, tapi saat mereka kembali ke tempat asal, mereka menjadi orang yang bermanfaat di daerahnya. Tidak sedikit juga kisah santri yang kecerdasannya saat di pesantren tidak tertandingi, tapi adab terhadap gurunya kurang baik, dan saat kembali ke kampung halaman, mereka tidak menjadi apa-apa." Jelas kyai Rofiq saat itu.

"Agar bisa mendapatkan ilmu yang kedua ini, adab kita terhadap guru harus baik. Supaya berkah ilmu kita. Sebab sejauh mana laku baik kita pada guru, sejauh itu pula keberkahan ilmu yang akan kita peroleh kelak." Kyai Rofiq menambahkan nasihatnya.

"Mungkin Niko dan Fatiha sekarang dalam hatinya berpikir seperti ini, 'Saya kan baru menikah, kenapa tidak diberikan nasihat pernikahan? Kenapa dikasihnya kok nasihat seperti ini?'. Betul begitu Nik?" Kyai melihat saya. Beberapa santri tertawa kecil. Saya hanya melebarkan bibir. Tersenyum.

"Nanti, saat sudah jauh, saat tidak di pondok lagi, kalian semua akan paham dengan pengajian sore ini," ujar kyai Rofiq pada saya dan pada semua santri.

"Untuk mendapatkan ilmu yang kedua. Adab kita harus baik pada guru. Berusahalah untuk mendapatkan doa baik dari seorang guru. Jika nanti kita sudah tidak di pondok lagi. Keberadaan kita sudah jauh dari guru. Berusahalah untuk terus sambung silaturahmi. Meski satu tahun satu kali. Atau setidaknya hati kita harus terus nyambung dengan guru. Dengan cara apa? Adalah dengan mendoakan guru kita."

Selepas pengajian sore itu. Saya dan istri sepakat untuk berusaha silaturahmi ke pondok. Jika ada rezeki dan waktu luang, kami sepakat untuk silaturahmi pada kyai dan ummi. InsyaAllah.
***

TUK TUK TUK

"Assalamualaikum," lirih istri saya di depan pintu depan rumah Kyai Rofik. Sayup-sayup terdengar jawaban salam dari dalam. Kaki istri saya gemetar.

KREEEK

Ummi melihat Si Cinta. Si Cinta juga sebaliknya. "MasyaAllah," ucap Ummi kaget.

"Ummiiii," istri saya menyambar tubuh Ummi. Guru dan murid itu berpelukan erat. Erat sekali. Seakan tak mau lepas lagi.

"Ummi apa kabar?" Tanya istri masih dalam pelukan.

"Alhamdulillah baik."

"Maaf Ummi, Fatiha tidak kasih kabar dulu akan ke sini."

"Iya gakpapa. Hayu duduk dulu," Ummi mempersilahkan kami untuk duduk di kursi kayu berukir.

"Mbak Azzaaaa," istri saya melambaikan tangan menyapa Fazza, putri pertama Ummi.

"Teteeeeh," Fazza membalas riang. "Kemarin Ummi mimpi teteh ke rumah loh. Teteh lari-lari ke rumah ini," tutur Fazza.

"Iya," potong Ummi. "Beberapa hari lalu Ummi mimpi Fatiha datang. Lari ke rumah ini. MasyaAllah, Alhamdulillah sekarang beneran datang ke rumah."

"Waaaah. MasyaAllah," istri menanggapi.

Perbincangan kedua guru dan murid itu terus berlanjut. Sesekali Fazza ikut gabung dalam obrolan. Sementara saya lebih banyak diam. Diam sebab masih belum hilang rasa takjub di hati saya. Takjub pada rengekan Si Cinta yang tidak jarang ingin silaturahmi ke pondok. Takjub pada mimpi Ummi yang di dalamnya ada sang murid yang selalu merindukannya. Takjub pada dua hati yang menyambung meski kini ada jarak yang memisahkan mereka. Teringat kalimat lama yang pernah diucapkan Kyai Rofiq pada santri. "Meski kita sudah jauh. Selalu doakan guru kita. Agar tetap nyambung hati dengan hati."

Di ujung obrolan. Sebelum saya izin ke Lembang untuk kembali mendampingi santri yang sedang lomba. Sebelum saya menitipkan Si Cinta beberapa hari di pondok. Saya menatap Ummi, "Ummi, mohon bantuan dan nasihat Ummi untuk istri. Sebab akhir-akhir ini beliau jarang ngafal dan murojaah lagi."

Saya melihat istri. Dia tersenyum malu. Malu pada Ummi. Pelan-pelan tangannya merayap ke paha saya.

Alamak!

Jari tangan istri berubah menjadi capit kepiting.

ALAMAK!

Lagi.

ALAMAK!!!!!!!

***

Setengah Lingkaran


Dua tahun lalu, takdir membawa saya untuk pulang ke tanah lahir saya. Kecamatan Cinangka, Serang, Banten. Wasilahnya adalah mengajar di SMA Nurul Fikri Boarding School (NFBS). Kembali ke kampung, adalah sebuah mimpi besar dari sekian banyak mimpi yang saya tulis pada kertas mimpi.

Di NFBS, tidak hanya santri yang boarding (tinggal di asrama) tapi guru dan karyawan juga (rumah dinas). Jika melihat status saya yang baru menikah lima bulan lalu, mendapat rumah dinas (gratis) merupakan sebuah hadiah dari Tuhan. Selain itu, fasilitas makan tiga kali sehari membuat pengeluaran per-bulan menjadi lebih hemat. Lebih jauh dari itu, hidup di lingkungan pesantren adalah hadiah paling istimewa. Teringat obrolan dengan Pak Hilman (guru matematika) saat perkenalan dulu.

"Ada banyak alasan kenapa saya memilih mengajar di NF. Diantaranya adalah lingkungan. Anak saya masih kecil. Saya ingin anak saya mendapatkan lingkungan tempat tinggal yang baik. Ini adalah pesantren, insyaAllah termasuk lingkungan yang baik untuk hidup. Kemudian lingkungan sekitar pesantren juga asri. Banyak hutan. Udaranya segar," ujar Pak Hilman kala itu.
***

Sabtu pagi. Atmosfer di atas NF tampak lebih jingga dari biasanya. Pada beberapa bagian langit tampak awan kelabu kecil menghiasi. Awan nimbostratus yang biasanya menurunkan gerimis.

Saya geser pandangan sedikit ke langit barat. Waw! Ada garis melengkung tebal yang berlapis-lapis. Pada setiap lapisannya memiliki warna yang berbeda-beda. Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Atau yang lebih tenar disebut dengan pelangi. Tidak hanya satu. Tapi dua. Tuhan memberikan bonus satu untuk pagi ini.

"Mun, sini Mun, keluar bentar!" Pinta saya pada istri yang sedang di dalam rumah.

"Ada apa Kak Niko?" Jawab My Moon setengah teriak.

"Lihat keluar! Ada apa di langit?"

KREEEK.

Si Cinta membuka gorden. Dia mengintip dari dalam. "Waaaaaaah. Pelangi. Ada dua. Indah banget."

Benar. Dua buah garis melengkung di langit membuat pagi ini tampak mempesona. Mungkin karena Tuhan sedang meneteskan sepercik keindahan surga ke atas bumi.

"Ayah, kok pelanginya ilang?" Tanya putrinya (entah Asma atau Fatimah) pak Masbukin, tetangga sebelah kanan saya.

"Iya, pelanginya sudah hilang. Yang buat pelangi itu Allah. Kita minta lagi nanti ke Allah ya," sayup-sayup saya dengar dialog pak Masbukin dengan putrinya. Sebuah dialog yang indah didengar.

Pagi ini, selain dua keindahan dzohir yang saya terima dengan melihat dua buah pelangi. Ada tambahan keindahan batin yang saya peroleh. Adalah dialog sang ayah dengan putrinya.

Sekira sepuluh menit berselang. Saat saya hendak berangkat mengajar. Saya temui Salsa, putrinya Pak Fajar, tetangga depan rumah.

"Pelanginya sudah hilang ya?" Saya menyapa Salsa.

"Iya. Pelanginya sudah kembali ke surga," jawab salsa sambil menatap saya. Waw. Amazing. Sebuah jawaban yang saya kira bukan jawaban sembarangan. Sebuah jawaban yang lahir dari hati bersih anak-anak yang telah sekian lama telah dididik dengan baik oleh kedua orang tuanya. Juga dididik oleh lingkungan tempat tinggal yang baik pula. Ternyata bukan satu. Hiburan batin yang saya peroleh juga ada dua pagi ini. Seperti dua pelangi yang melengkung setengah lingkaran di atas langit tadi.
***

Dulu, saya pernah dengar bahwa sesungguhnya pelangi itu tidak setengah lingkaran. Tapi satu lingkaran penuh. Hanya saja saya lupa.


Menjelang siang. Saya ada jadwal mengawas try out kelas dua belas IPS tholib (santri putra).

(Moon, saya lupa, tolong searching di google, kenapa pelangi hanya setengah lingkaran? Koneksi internet kurang baik. Wifii sedang tidak bagus). Isi pesan WhatsApp saya untuk istri di rumah.

Lima belas menit belum ada jawaban. Centangnya masih hitam dua.

(Moon, segera carikan ya. Penting).

TING TONG

(Pelangi sebenarnya berbentuk lingkaran utuh. Kemampuan mata manusia terbatas dalam melihat cahaya. Manusia hanya bisa melihat pelangi yang ada di sudut 42 derajat. Pelangi yang ada di luar sudut itu tidak akan terlihat oleh mata).

(Bukan itu jawabannya Moon).

(Kata google seperti itu).

(Bukan).

(Apa atuh?).

(Karena pelangi yang setengahnya ada di bola matamu. 😎).

(Huweeeek!).

Asem. Balasannya muntah. Haha.
***

Pasrah


Sore itu, saya dan My Moon di atas motor. Dalam perjalanan dari Nurul Fikri menuju Lembah Cikananga. Hendak menengok kolam ikan. Sepanjang perjalanan saya mendengarkan Si Cinta latihan kultum. Sebab beberapa hari lagi dia kebagian jatah ceramah di kelompok pengajian mingguannya (Liqo).

Motor melaju setengah cepat. Sekitar empat puluh kilo meter perjam. Gas saya kurangi. Karena jalanan menurun panjang. Turunan terakhir sebelum tiba di pertigaan Teuneung.

"Barang siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya. Dan Dia memberikan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya," cerocos My Moon di belakang. Dia mengutip ujung ayat dua dan awal ayat tiga surat At-Talaq. Tema yang istri saya pilih adalah tentang pasrah.

"Serahkan semua urusan kita kepada Allah. Biarkan Dia yang menyelesaikan dengan caraNya. Cara terbaik dariNya untuk kita," ujar Si Cinta setelahnya.

Mendengar ucapan istri, saya teringat akan kisah lalu. Tentang sebuah kata yang menuntun saya pada takdir terbaik. Takdir terbaik yang diberikan Allah kepada saya. Takdir yang menjelma menjadi sesosok wanita yang saat ini sedang duduk di belakang saya. Kata itu adalah pasrah. Sama dengan tema kultum pilihan Si Cinta.

Saat itu saya sudah siap menikah. Dan berencana ingin segera menikah. Hanya saja saya bingung, wanita mana yang akan saya pilih untuk menjadi teman di sepanjang usia. Dalam diam, saya banyak memperhatikan wanita baik. Hanya memperhatikan.

Saya menimbang. Hendak mencoba memilih. Tapi sayang. Semakin keras saya berpikir, semakin kusut otak saya. Bingung meringkus isi kepala. Sampai akhirnya tiba pada satu titik. Titik dimana saya serahkan semuanya kepada Sang Maha Perkasa. Terserah Engkau, Allah. Saya pasrah.

Kemudian takdir memilih dia. Seorang wanita yang saat ini masih terus berkata-kata demi melancarkan lidah untuk di pengajian nanti. Kisahnya sudah saya tuturkan pada tulisan sebelumnya (red: Jodoh InsyaAllah/ jurnal no 1 dalam catatan harian suami menyebalkan).

Motor masih melaju. Melucur mengarungi turunan panjang. Pandang saya tertuju pada hamparan laut Selat Sunda di hadapan mata. Kaki langit barat dan pulau besar Sumatera menjadi latar belakangnya. Mempesona.

Saya tersenyum. Teringat lagi sebuah cerita. Cerita dari istri tentang kami, yang dia beberkan waktu malam itu. Adalah kisah tentang dia, saya, dan sebuah kepasrahan.

***

Malam bertambah larut. Tapi lampu kamar masih benderang. Kantuk mulai meringkus. Mata mulai meredup.

"Iiiiih. Kak Niko jangan dulu tidur. Dengerin Mun cerita," My Moon menggoyang-goyang badan saya. Meminta ceritanya didengar. Lebih tepatnya memaksa.

"Iya ini masih dengerin."

"Tapi itu matanya redup."

Saya memaksakan mata untuk tetap melotot. Aduh Gusti.

Si Cinta terus nyerocos. Asik bersilat lidah membuka kenangan masa di pondok dulu. Dari satu kisah ke kisah berikutnya. Dari kisah berikutnya ke kisah berikutnya lagi. Aduh Gusti. Kapan cerita ini akan berakhir?!

"Kak Niko masih ingat gak waktu Kak Niko boyong (selesai nyantri)?" My Moon bertanya.

Saya mengangguk.

"Waktu Kak Niko akan pulang, dan lewat asrama akhwat, ada suara yang bilang 'Hati-hati Kak Niko'. Ingat gak?"

Saya mengangguk.

"Yang bilang itu adalah Mun. Mun juga kaget dengan yang Mun katakan. Kok bisa ya? Seperti ada yang mendorong untuk mengucap itu. Teman-teman santri akhwat juga pada kaget saat dengar Mun mengucap itu." Ujar Si Cinta.

"Selepas Kak Niko pergi, Mun masuk kamar. Ambil buku dan pulpen. Lalu duduk di belakang pintu. Khawatir ada santri akhwat yang masuk. Mun nulis panjang. Lupa isi lengkapnya. Yang paling diingat bagian ini: 'Lidah saya tidak mengatakan itu. Hati juga menyangkal. Tapi kenapa air mata ini menetes saat dia pergi? Apakah ini yang dinamakan cinta?' hehe," Si Cinta menutup kalimatnya dengan tawa malu-malu.

Mendengar topik bagian ini, bibir saya menyeringai. Mata terbuka lebar. Lebar yang bukan dibuat-buat lagi. Obrolan mulai menarik nih. Haha.

"Kak Niko tahu gak? Saat di pondok dulu Mun sudah suka ke Kak Niko. Tapi Mun pendam rasa itu dalam-dalam. Sebab Mun merasa bukan siapa-siapa. Mun merasa bukan santri yang istimewa. Selain itu, karena banyak juga santri akhwat yang suka ke Kak Niko."

"What? Serius Mun? Kok saya gak tahu ya, hehe."

"Yeeeh, mana mungkin mereka mau bilang ke Kak Niko. Mereka ceritanya hanya ke sesama akhwat saja. Karena hal itulah Mun mencoba memangkas rasa Mun ke Kak Niko. Mun merasa bukan kelas Kak Niko. Sebab Kak Niko punya kegiatan di kampus, yang pasti banyak wanita cerdas di lingkungan itu. Sebab Kak Niko juga seorang penulis yang mungkin punya banyak teman-teman penulis wanita cantik. Karena itulah Mun sekuat tenaga menghilangkan rasa Mun ke Kak Niko."

"Bukan penulis. Tapi masih belajar menjadi penulis." Saya merevisi kalimat My Moon.

"Iya. Tapi para santri tahunya Kak Niko itu penulis. Karena tulisan Kak Niko sering nempel di Mading pondok. Selain itu, di mata akhwat, Kak Niko itu penampilannya rapih. Menurut akhwat, hanya ada dua santri laki-laki yang penampilannya paling rapih, yaitu Kak Niko dan Kak Agus."

"Haha. Rapih dari Hongkong."

"Ya mungkin menurut Kak Niko tidak. Tapi akhwat menganggapnya seperti itu."

"Haha. Oke lah. Terus apa lagi?" Saya mulai penasaran dengan cerita selanjutnya.

"Iiih. Udah ya. Mun malu," ucap Mun tersipu.

Buset dah. Giliran saya mulai menikmati cerita, eh dia malah mau berhenti.

"Gakpapa Mun. Cerita aja. Itung-itung sebagai bank data untuk saya tuliskan nanti. Biar kisah kita bisa saya abadikan dalam tulisan," saya mencoba mengeluarkan jurus. Supaya Si Cinta mau bercerita lagi.

"Pokoknya waktu itu Mun bunuh rasa suka Mun ke Kak Niko. Sebab dalam pikiran saja Kak Niko itu tidak bisa Mun jangkau. Mun pasrah. Mun serahkan semuanya pada Yang Kuasa saja."

Saya tersenyum.

"Oya. Kak Niko tahu gak?"

"Apa?"

"Tentang mimpi yang Mun ceritakan ke Kyai. Mimpi Mun sekitar satu tahun sebelum Kak Niko bilang ke Kyai ingin melamar Mun."

"Oh mimpi itu. Iya. Kyai sudah cerita. Tapi hanya intinya saja. Kyai hanya bilang bahwa Mun pernah cerita bahwa dulu Mun pernah mimpi di lamar santri ikhwan. Tapi Mun tidak katakan siapa  santri ikhwan  itu. Mun baru berani katakan bahwa Ikhwan dalam mimpi itu saya, ketika saya sudah maju."

"Hehe. Iya."

"Memang gimana lengkapnya mimpi itu?"

"Dalam mimpi itu santri sedang ngaji. Ngaji kitab Al-Hikam," Si Cinta mengawali kisah.

"Nanti-nanti," saya menahan cerita. "Al-Hikam?!" Saya lanjut bertanya meyakinkan.

"Iya," jawab istri saya pendek.

"Masya Allah. Kok sama ya. Waktu saya mimpi setelah solat istikhoroh, saya juga mimpinya sedang ngaji Al-Hikam. {Kisahnya sudah saya tuturkan pada tulisan sebelumnya (red: Jodoh InsyaAllah/ jurnal no 1 dalam catatan harian suami menyebalkan)}. Yang setelah mimpi itu, kemudian saya berpasrah tentang masalah jodoh. Lalu takdir menuntun saya untuk memilih Mun."

My Moon hanya tersenyum. Kemudian bersiap melanjutkan cerita mimpinya.

"Setelah ngaji, Kyai memberi pengumuman bahwa ada santri Ikhwan yang akan bicara. Lalu Kyai memanggil Kak Niko untuk maju."

Saya khusuk menatap istri yang bercerita.

"Kak Niko bilang begini 'InsyaAllah saya akan memberi tahu semuanya tentang siapa akhwat yang akan saya pilih untuk menjadi istri saya. Dan nama akhwat itu sudah saya tulis pada kertas putih ini'. Setelah itu Kak Niko menunjukan kertas itu pada semua santri. Mun kaget dalam mimpi itu. Karena yang tertulis adalah nama Mun. Kemudian Kyai menyuruh Mun untuk maju juga. Lalu Kak Niko memberikan kitab yang sampulnya berwarna biru."

"Kitab warna biru? Kira-kira artinya apa ya?"

"Belum tahu Mun juga."

"Terus?"

"Apanya?"

"Mimpinya."

"Mimpinya sudah. Dan ketika liburan Mun ceritakan mimpi ini ke keluarga Mun. Mereka penasaran pada Kak Niko. Lalu setelah satu tahun, Kak Niko benar-benar maju memilih Mun. Keren banget ya. Klani (kakak perempuan istri) sampe merinding saat Kak Niko maju lho, hehe." Si Cinta tertawa renyah.

"Padahal sebelum Kak Niko maju, Mun sedang semangat-semangatnya ngafal Al-Quran lho. Eh malah nikah. Pokoknya Kak Niko harus tanggung jawab. Kak Niko harus bantu Mun sampe hafal 30 juz!"

"Ya dihafalin lah."

"Tapi Kak Niko hanya nyuruh Mun ngafalin doang. Tapi Kak Nikonya gak ikut ngafal."

"Ngafal Quran itu berat. Saya gak kuat. Biar kamu saja." Saya menutup wajah dengan selimut.

"Iiih! Buka!" Mun sekuat tenaga menarik selimut. Haha.

***

Pasrah adalah bentuk tertinggi dari sebuah kepercayaan. Setelah berusaha sekuat hati dan tenaga, baiknya kita pasrahkan tentang hasilnya. Ada kekuatan Maha Besar yang mengatur segalanya. Sebagai hamba, tugas kita adalah berusaha dan berdoa saja. Sisanya biarkan itu hak Sang Pencipta. Apapun yang kita terima, itu adalah yang terbaik dan yang utama bagi kita. Dari Yang Maha Kuasa.

"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 216).

Oya, satu lagi. Allah tidak memberikan apa yang kita inginkan. Tapi DIA memberikan apa yang kita butuhkan dan inginkan. Hehe.

Motor masih membelah turunan panjang terakhir sebelum masuk pertigaan Teuneung. Si Cinta selesai berkata-kata. Dia merangkul tubuh saya dari belakang. Lalu saya rasakan kecupan hangat di pundak sebelah kanan saya.

***

Yang Paling Berharga


"Assalamualaikum," saya membuka pintu.

Tidak ada jawaban di dalam.

"Assalamualaikum," sekali lagi. Saya melangkah masuk rumah.

Biasanya Si Cinta langsung menjawab salam. Lalu mencium tangan saya. Kemudian saya balas dengan mengecup kening dan memeluknya erat. Tapi siang ini tidak. Atau mungkin masih belum.

Saya buka pintu kamar. Oh, ternyata Si Cinta sedang asik menggosok pakaian.

"Assalamualaikum."

"Walaikumussalam." Istri saya menoleh. Lalu tersenyum.

"Kak Niko, Kak Niko, tadi ada sensus," ujar Si Cinta buru-buru. Tangannya masih terus bergeser menyetir setrikaan.

"Sensus?" Dahi saya melipat. "Sensus penduduk?"

"Bukan. Itu lho yang meriksa barang-barang rumah," ujar istri meluruskan.

"Oooh. Sidak barang elektronik? Dari NF ya?" Saya jadi teringat tentang pengumuman sidak barang elektronik yang diadakan yayasan.

"Nah iya itu. Tadi dua orang ke sini."

"Siapa aja? Pak Iwan ya?"

"Iya Pak Iwan. Dan sama ibu-ibu satu."

"Siapa?"

"Mun lupa namanya. Yang jelas ibu itu sedang hamil muda. Dan cantik."

Oke. Sebelum saya lanjutkan cerita ini. Saya ingin berkisah dulu tentang asal-usul munculnya kata "Mun". Begini.

Saya suka bulan. Jika langit malam cerah. Tidak jarang saya duduk sendiri di tanah lapang. Memeluk lutut sambil menengadah menatap bulan. Semua gundah seperti menguap meninggalkan hati. Ya. Saya sangat suka melihat bulan.

Dalam bahasa Inggris. Bulan adalah Moon (dibaca Mun). Karena hal ini saya panggil istri saya Mun. Seperti saat melihat bulan. Gundah dalam hati lenyap kala saya memandang wajah Si Cinta yang sedang terlelap tidur. Ya. Saya panggil dia Mun. Sekali panggil, "Mun. Sekali lagi, "Mun". Bila tidak ada sahutan, "Mun. Mun. Mumun!"

***

"Tadi semua barang kita diperiksa," ujar Si Cinta.

"Iya. Itu sidak barang elektronik. Untuk mengecek barang elektronik apa saja yang ada di rumah dinas. Apakah wajar atau berlebihan dalam jenis barang dan penggunaannya. Maksudnya baik untuk menghemat pengeluaran listrik yang lumayan besar akhir-akhir ini."

"Oooh."

"Tadi Pak Iwan sudah periksa semua?"

"Iya. Tadi semua sudah diperiksa."

"Apa saja yang diperiksa?"

"Semuanya yang ada di sini."

"Apa saja?"

"Ya itu. Mmm...," Si Cinta melihat ke atas. Hendak mengingat-ingat. "Kulkas, kipas angin, rice cooker, strikaan, laptop, hape. Mmm...," Si Cinta berpikir lagi. "Ya pokoknya semuanya lah."

"Apa lagi?"

"Iiih. Kok Kak Niko tanyanya sedetail itu sih. Pokoknya semuanya," istri saya mulai kesal. Wajahnya menekuk. Berhasil. Justru warna wajah seperti itu yang saya harapkan.

"Iya apa saja? Saya ingin tahu."

"Pokoknya semuanyaaa!"

"Iya apa saja??"

"Kulkas, kipas angin, rice cooker, strikaan, laptop, hape!"

"Wah. Itu saja? Mun ada yang lupa itu. Ada sesuatu yang belum Mun tunjukan ke Pak Iwan. Sesuatu itu sangat berharga. Lebih berharga dari semua barang yang tadi Mun sebutkan. Sesuatu itu adalah yang paling berharga di rumah ini menurut saya." Saya memasang wajah panik. Pura-pura panik tepatnya.

"Oh iya? Apa?" Wajah Si Cinta penuh tanya.

"Coba Mun tebak."

Saya arahkan mata saya kemana-mana. Melihat barang-barang di kamar. Si Cinta ikut melihat apa yang saya lihat.

"Apa lagi Kak Niko?"

"Itu adalah sesuatu yang paling berharga di rumah ini." Saya mendekati istri saya.

"Apa? Mas kawin? Itu kan bukan barang elektronik."

Saya menggeleng. "Sesuatu itu lebih berharga dari apapun. Dari apapun." Saya lebih mendekat.

"Apa?"

Saya mendekat lagi. "Kamu."

Si Cinta melihat saya. Satu detik. Dua detik. "Apaan sih." Kemudian dia membuang pandang kembali ke strikaan.

"Haha," saya tertawa.

"Apaan sih gak lucu!"

Si Cinta kembali melihat baju yang dia licinkan. Ada senyum yang tertahan di bibirnya. Ah dasar wanita. Seringkali mulut dan mimik wajah tidak serempak. Haha.

Terima kasih Pak Iwan. Dirimu datang sidak pada waktu yang tepat. Hingga saya bisa memanfaatkan momen ini untuk menggoda istri saya. Teringat kalimat dari Ustadz Kholis saat masih liqo dengan beliau. Saat itu status saya masih jomblo.

"Kita (suami-istri) hidup satu atap. Setiap hari bertemu. Setiap saat melihat pasangan kita. Dari bangun tidur sampai tidur lagi. Kebosanan pasti akan menghampiri. Rasa bosan pasti akan menghinggapi kita. Karena hal ini. Maka wajib bagi kita untuk menjaga kemesraan. Dan kemesraan itu harus kita ciptakan. Dia tidak datang dengan sendirinya. Dia harus kita ciptakan. Meski dari hal-hal kecil sekalipun." Begitu kurang lebih kata Ustadz Kholis. Demikian.

***