"Kita
harus menghormati guru. Jasa mereka sama besarnya dengan jasa orang tua. Kita
turun ke bumi, wasilahnya sebab kedua orang tua kita. Dan nanti, setelah
meninggal, insyaAllah kita naik ke surga itu karena ilmu yang telah diberikan
oleh guru kita." Ujar Kyai Rofiq pada suatu pengajian.
"Kita
harus memiliki guru. Guru yang dekat dengan Allah. Agar kita bisa dibimbing
juga untuk dekat dengan Allah," tambah Kyai Rofik.
Beberapa bulan
sebelumnya, Aa Gym memberi nasihat. "Kita harus mencari guru. Minta dalam
doa. Minta guru yang dekat dengan Allah, dan bisa membimbing kita untuk dekat
juga dengan Allah".
"Perbanyak
membaca sholawat. Sebab sholawat bisa mewakili ketika kita belum menemukan
guru." Ucap Kyai Rofiq.
***
"Berangkat
pagi. Pulang Dzuhur, sebentar doang. Keluar lagi. Ashar datang. Sore berangkat
lagi. Pulang magrib. Terus nanti malam masih akan keluar!" my Moon protes.
"Ya mau
gimana lagi Mun. Ini kan kewajiban. Acaranya memang sudah selesai. Tapi
peralatan yang sudah dipinjam harus segera dikembalikan. Biar besoknya
tenang."
"Kak Niko
mah ah," decak kecewa Si Cinta. Saya hanya mampu memandangnya yang
tertunduk lemas. Sebab tak ada lagi kalimat yang bisa saya ucapkan untuk
menghibur istri.
"Sabar
Mun ya. InsyaAllah jika perlengkapan sudah kembali semua, saya langsung
pulang."
Si Cinta hanya
diam.
***
22.00
TUK TUK TUK.
KREEEEEK.
"Assalamualaikum."
Tidak ada
sahutan. Saya menghampiri kamar. Si Cinta sudah tidur. Mungkin terlalu lama
menunggu saya datang.
Maafkan saya
My Moon. Semoga tahun ajaran depan amanah saya sebagai pembina OSIS beralih
pada orang lain yang lebih kuat dan hebat. Atau, jika amanah yang didapat tetap
sama beratnya. Semoga hatimu yang kemudian menjadi kuat. Aamiin.
***
"Pak
Niko!" panggil pak Amin, wakil kepala sekolah bidang kesiswaan.
"Siap.
Kenapa Pak Amin?"
"Dampingi
santri lomba ke Lembang ya."
"Kapan?"
"Jumat,
Sabtu, dan Minggu. Tiga hari."
"What!
Jangan saya Pak ya. Coba yang lain saja. Kasihan istri. Kemarin-kemarin sudah
sering saya tinggalin. Akhir-akhir ini beliau sering mual dan muntah
lagi."
"Ini saya
sudah mencari pendamping. Susah. Yang lain ada jadwal ngajar."
"Saya
juga ada jadwal. Coba guru yang ngajar kelas 12 mapel non UN, kan mereka sedang
tidak ngajar."
"Minggu
ini kan mapel non UN mulai belajar lagi. Persiapan USBN. Saya sudah lihat-lihat
jadwal. Susah nyari pendamping lain."
"Waddduh,"
saya menggaruk kepala. Sejenak berpikir mencari alasan untuk tidak pergi. Atau
mungkin ada alasan lain yang lebih baik.
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.
Saya belum
memberi jawaban.
Empat detik.
"Saya mau
berangkat, tapi istri saya ikut ya."
"Ikut ke
Lembang?"
"Iya.
Kasihan jika saya tinggal."
"Mmm.
Nanti saya obrolkan dengan bu Tyas (kepala sekolah) dulu ya."
"Sip."
***
Hape
berdering. Panggilan masuk dari pak Amin.
"Halo
Assalamualaikum."
"Walaikumussalam.
Pak Niko. Jum'at jadi berangkat ya. Istri boleh ikut."
"Boleh
pak?"
"Iya."
"Oke deh.
Makasih Pak Amin."
"Ya.
Sekalian biar Antum dan istri bisa honey moon di Bandung. Hehe."
"Hehe.
Siap Pak." Namun dalam hati saya berujar. Boro-boro bisa money moon pak,
pasti akan sibuk mengurus santri. Tapi saya ada skenario lain yang sudah saya
siapkan. Meski saya akan lebih banyak mengurus santri. InsyaAllah Si Cinta
tetap akan ceria. Yakin dah!
***
Waktu itu,
setelah menikah di rumah istri, di Pekanbaru. Sebelum pulang ke Banten, saya
dan istri silaturahmi ke Bandung, ke pesantren kami, Ar-Risalah, Bandung Barat.
Kami menginap satu malam. Sempat ikut satu kali pengajian bersama Kyai Rofiq.
"Ilmu itu
ada dua. Satu, adalah ilmu yang kita peroleh dengan belajar. Dua, adalah ilmu
yang kita dapatkan dengan tidak belajar. Lantas dari mana ilmu ini didapatkan?
Ilmu yang kedua ini diperoleh dari doa guru. Doa guru yang soleh itu ampuh.
Tidak sedikit cerita orang soleh zaman dulu yang saat di pesantren jarang
belajar karena lebih sibuk berkhidmat pada guru, tapi saat mereka kembali ke
tempat asal, mereka menjadi orang yang bermanfaat di daerahnya. Tidak sedikit
juga kisah santri yang kecerdasannya saat di pesantren tidak tertandingi, tapi
adab terhadap gurunya kurang baik, dan saat kembali ke kampung halaman, mereka
tidak menjadi apa-apa." Jelas kyai Rofiq saat itu.
"Agar
bisa mendapatkan ilmu yang kedua ini, adab kita terhadap guru harus baik.
Supaya berkah ilmu kita. Sebab sejauh mana laku baik kita pada guru, sejauh itu
pula keberkahan ilmu yang akan kita peroleh kelak." Kyai Rofiq menambahkan
nasihatnya.
"Mungkin
Niko dan Fatiha sekarang dalam hatinya berpikir seperti ini, 'Saya kan baru menikah,
kenapa tidak diberikan nasihat pernikahan? Kenapa dikasihnya kok nasihat
seperti ini?'. Betul begitu Nik?" Kyai melihat saya. Beberapa santri
tertawa kecil. Saya hanya melebarkan bibir. Tersenyum.
"Nanti,
saat sudah jauh, saat tidak di pondok lagi, kalian semua akan paham dengan
pengajian sore ini," ujar kyai Rofiq pada saya dan pada semua santri.
"Untuk
mendapatkan ilmu yang kedua. Adab kita harus baik pada guru. Berusahalah untuk
mendapatkan doa baik dari seorang guru. Jika nanti kita sudah tidak di pondok
lagi. Keberadaan kita sudah jauh dari guru. Berusahalah untuk terus sambung
silaturahmi. Meski satu tahun satu kali. Atau setidaknya hati kita harus terus
nyambung dengan guru. Dengan cara apa? Adalah dengan mendoakan guru kita."
Selepas pengajian
sore itu. Saya dan istri sepakat untuk berusaha silaturahmi ke pondok. Jika ada
rezeki dan waktu luang, kami sepakat untuk silaturahmi pada kyai dan ummi.
InsyaAllah.
***
TUK TUK TUK
"Assalamualaikum,"
lirih istri saya di depan pintu depan rumah Kyai Rofik. Sayup-sayup terdengar
jawaban salam dari dalam. Kaki istri saya gemetar.
KREEEK
Ummi melihat
Si Cinta. Si Cinta juga sebaliknya. "MasyaAllah," ucap Ummi kaget.
"Ummiiii,"
istri saya menyambar tubuh Ummi. Guru dan murid itu berpelukan erat. Erat
sekali. Seakan tak mau lepas lagi.
"Ummi apa
kabar?" Tanya istri masih dalam pelukan.
"Alhamdulillah
baik."
"Maaf
Ummi, Fatiha tidak kasih kabar dulu akan ke sini."
"Iya
gakpapa. Hayu duduk dulu," Ummi mempersilahkan kami untuk duduk di kursi
kayu berukir.
"Mbak
Azzaaaa," istri saya melambaikan tangan menyapa Fazza, putri pertama Ummi.
"Teteeeeh,"
Fazza membalas riang. "Kemarin Ummi mimpi teteh ke rumah loh. Teteh lari-lari
ke rumah ini," tutur Fazza.
"Iya,"
potong Ummi. "Beberapa hari lalu Ummi mimpi Fatiha datang. Lari ke rumah
ini. MasyaAllah, Alhamdulillah sekarang beneran datang ke rumah."
"Waaaah.
MasyaAllah," istri menanggapi.
Perbincangan
kedua guru dan murid itu terus berlanjut. Sesekali Fazza ikut gabung dalam
obrolan. Sementara saya lebih banyak diam. Diam sebab masih belum hilang rasa
takjub di hati saya. Takjub pada rengekan Si Cinta yang tidak jarang ingin
silaturahmi ke pondok. Takjub pada mimpi Ummi yang di dalamnya ada sang murid
yang selalu merindukannya. Takjub pada dua hati yang menyambung meski kini ada
jarak yang memisahkan mereka. Teringat kalimat lama yang pernah diucapkan Kyai
Rofiq pada santri. "Meski kita sudah jauh. Selalu doakan guru kita. Agar
tetap nyambung hati dengan hati."
Di ujung
obrolan. Sebelum saya izin ke Lembang untuk kembali mendampingi santri yang
sedang lomba. Sebelum saya menitipkan Si Cinta beberapa hari di pondok. Saya
menatap Ummi, "Ummi, mohon bantuan dan nasihat Ummi untuk istri. Sebab
akhir-akhir ini beliau jarang ngafal dan murojaah lagi."
Saya melihat
istri. Dia tersenyum malu. Malu pada Ummi. Pelan-pelan tangannya merayap ke
paha saya.
Alamak!
Jari tangan
istri berubah menjadi capit kepiting.
ALAMAK!
Lagi.
ALAMAK!!!!!!!
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar