Selasa, 20 Mei 2014

Tempat Terindah

                
Malam belum terlalu larut. Kali ini Adam dan Putri pergi ke kamar lebih awal dari biasanya. Sepasang suami-istri itu sudah dirangkul oleh selimut yang sama. Putri merengkuh tubuh tegak Adam. Ia sandarkan kepalanya pada dada bidang sang suaminya itu. Sudah sejak beberapa menit yang lalu mereka berbincang. Ya, seperti inilah kebiasaan mereka. Selelah apapun yang dirasa karena sisa kegiatan siang tadi, mereka akan selalu menyempatkan untuk mengobrol. Meski hanya membincangkan hal-hal yang kecil.

                “A. Kalo menurut Aa, tempat yang paling indah itu dimana?” Putri bertanya untuk yang kesekian kalinya. Malam ini Putri memang lebih mendominasi perbincangan. Mungkin karena Adam merasakan lelah yang lebih dari hari-hari sebelumnya. Jemari Putri bermain di dada Adam.

                “Surga,” jawab Adam cepat. Hanya satu detik setelah tanya sang istri.

                Putri mendongakan kepalanya bermaksud menatap wajah sang suami. “Maksud Neng itu tempat yang ada di dunia, A. Lagian, emang Aa sudah pernah liat surga?” Putri sedikit protes.

                “Aa memang belum pernah lihat surga, tapi setidaknya Aa bisa membayangkannya dari ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang gambaran surga,” Adam menjelaskan alasan dari jawaban sebelumnya.

                Kepala Putri masih mendongak. Tatapnya masih pada wajah Adam.

                “Walaupun memang Aa tahu, jika bayangan indah Aa tentang surga itu masih belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan surga yang sebenarnya,” Adam menambahkan jawabannya.

                Putri diam. Kali ini dia menyerah pada argumen sang suami. Putri kembali menormalkan posisi kepalanya. Jemarinya kembali bermain di dada Adam.

                “Iya deh...,” Putri mengakui kekuatan kalimat sang suami. “Untuk tempat yang ada di dunia gimana? Mana yang menurut Aa paling indah?”

                “Mmmm,” Adam melipat keningnya hingga menjadi bergelombang. “Apa ya?”

                Putri kembali mendongakan kepalanya. “Pasti pantai ya?” dia mencoba menebak.

                “Mmm, pantai bagus, tapi bukan yang terbaik kalo menurut Aa.”

                “Oya, pasti sawah ya? Aa kan suka kalo melihat pemandangan persawahan,” tebakan Putri diakhiri dengan sebuah senyuman.

                “Sawah indah, tapi bukan yang terbaik juga.”

                “Terus apa?”

                “Mmmm, apa ya?” Adam berpikir. Putri menunggu jawaban. “Kalo untuk tempat terbaik kedua sepertinya sekolah.”

                “Sekolah?”

                “Iya.”

                “Alasannya?”

                “Karena disana Aa bisa melakukan salah-satu kegiatan yang paling Aa sukai, yaitu mengajar,” Adam menatap wajah Putri. Dia tersenyum.

                “Mmmm,” Putri manggut pelan. Muka bagian kanannya bergeser lembut di dada Adam. “Oya, kalo yang paling indahnya?” Putri mendongak lagi.

                “Mmmm, kasih tahu gak ya...,” Adam masih mencoba menggoda Putri disela-sela rasa lelahnya.

                “Iiiiih. Kasih tahu atuh...,” Putri merengek manja. Dia mencubit pinggang sang suami. Tubuh Adam bergidik karena cubitan wanita di pelukannya.

                “Kasih tahu gak ya.....,” sekali lagi Adam menggoda.

                “Iiiiiih!” lagi-lagi Putri mendaratkan cubitannya.

                “Nanti atuh InsyaAllah besok Aa kasih tahunya ya.”  

                “Sekarang!”

                “Besok aja ya, soalnya Aa sudah ngantuk berat nih.”

                Putri lebih mendongakan kepalanya. Dia bermaksud untuk memaksa sang suami untuk mengeluarkan jawabannya sekarang juga. Namun, maksud itu lenyap saat pandangan Putri terfokus pada wajah sang suami yang tampak lelah. Memang, hari ini Adam pulang dari sekolah lebih sore dari biasanya.

                Putri luluh oleh wajah lelah Adam. Dia berhenti memaksa. Wajahnya kembali mendarat pada dada sang suami. Dia merangkul tubuh tegak di sampingnya. Lalu perlahan menutupkan kedua kelopak matanya. Dan, tanpa Putri sadari, Adam melukis sebuah senyum nakal di kanvas bibirnya. Dia berhasil mengelabui istrinya. Meski lelah sebagaimanapun, sesungguhnya bukan perkara yang sulit hanya untuk mengeluarkan satu kalimat saja. Adam kembali tersenyum dalam pejam matanya. Sabar Neng, InsyaAllah besok Aa akan berikan jawaban itu. ujar Adam dalam hati.
***

                Sebuah pagi yang menakjubkan. Aroma udaranya segar menyapa rongga dada Adam. Tapi tidak demikian dengan Putri. Sesak di dalam dadanya tergambar jelas dari wajahnya yang cemberut di hadapan sang suami. Tidak seperti kemarin yang cerah ceria ketika melepas sang suami berangkat mengajar. Penyebabnya hanya satu. Karena saat di meja makan tadi, Adam belum mau memberikan jawaban atas pertanyaannya yang semalam.

                Putri mencium punggung tangan Adam. Adam membalas dengan sebuah kecupan pada kening Putri. Namun, tetap saja muka Putri belum berubah. Masih menekuk. Putri masih merasa kesal. Jika saja bukan karena janji diantara mereka, sesungguhnya Putri enggan untuk melakukan kebiasaan menjelang keberangkatan Adam ini. Ya, mereka memang telah mengikat janji untuk selalu melakukan prosesi cium tangan dan kecup kening saat hendak bepergian. Tujuannya adalah untuk menjaga kemesraan diantara sepasang suami-istri itu. Dan benar saja. Jurus yang satu ini begitu terasa manfaatnya ketika berada pada situasi yang semacam pagi ini. Setidaknya, jurus ini bisa sedikit meredam gejolak yang ada pada dada Putri.

                Adam melangkah menghampiri si putih. Motor vespa warna putih itu siap untuk mengantar sang juragan menuju medan jihadnya.
***

                Menjelang waktu ashar. Matahari sudah condong ke arah barat. Suhu bumi tidak sepanas satu atau dua jam yang lalu. Sinarnya yang beberapa jam lalu itu menyengat kulit, kini sudah tidak lagi. Sinar lembut itu lebih cenderung mampu menenangkan. Lebih bisa membuat nyaman setiap kulit yang menerima pancarannya.

                Putri duduk santai di sofa ruang tengah. Dia sedang membaca sebuah buku.

                Bunyi hape membuyarkan konsentrasi Putri. Ada sebuah pesan masuk. Putri membuka pesan itu.

                Neng, sekarang Aa sedang ada di tempat yang paling indah di dunia.  

                Isi pesan dari Adam. Belum satu menit, sebuah pesan datang lagi.

                Neng mau tahu dimana tempat itu?... :-)

                Putri hendak mengetik balasan. Jemarinya menari di keypad hape.

                TUK TUK TUK

                Belum selesai Putri mengetik, ada suara ketukan pintu di depan. Putri menoleh pada pintu depan.

                TUK TUK TUK

                Putri menyimpan hape di atas sofa. Kemudian dia beranjak menghampiri pintu.

                TUK TUK TUK

                Siapa yang mengetuk pintu? Tidak ada kalimat salam yang Putri dengar. Mungkin ini tamu dari jauh. Pikir Putri sesaat sebelum membuka pintu.

                Tangan kanan Putri menggenggam pegangan pintu. Dia menariknya ke bawah. Hampir bersamaan dengan itu, pintu terbuka. Putri terkejut saat menatap sesosok laki-laki di hadapannya.

                “Lho!” sebuah kata pendek itu mewakili keheranan Putri.

                Seorang laki-laki di hadapan Putri melebarkan kedua ujung bibirnya. Dia tersenyum. Sementara Putri masih mematung di dekat pintu. Seorang laki-laki itu melangkah mendekat pada Putri. Dia menjulurkan tangannya. Masih dengan bingkai wajah yang heran Putri menyambut tangan itu, lalu mencium punggungnya. Tiga detik berikutnya giliran sang pemilik tangan yang mengecup kening Putri.

                “Di sinilah tempat yang paling indah itu. Bagi Aa, ini adalah surga dunia. Tidak ada tempat yang lebih nyaman dari tempat ini. Rumah kita,” bisik Adam pada telinga sang istri. “Selain itu, di sini juga ada bidadarinya. Bidadari itu selalu mencium tangan Aa ketika Aa datang maupun ketika Aa pergi. Dia adalah seorang bidadari surga yang sengaja Allah turunkan ke dunia hanya untuk menemani Aa,” bisik Adam lagi pada Putri.

                Putri tersenyum. Kedua bola matanya berkaca-kaca. Tidak ada kata ataupun kalimat yang mampu dia keluarkan. Sebab sehebat apapun kalimat yang nanti akan keluar, itu tidak akan pernah mampu untuk mewakili sebuah rasa yang kini Putri rasakan. Hanya sebuah pelukan yang mungkin bisa mewakili perasaan itu.

                Putri menabrakan tubuhnya pada tubuh tegap Adam. Dia memeluk sang suaminya. Sebuah pelukan yang sangat erat.

***

Sabtu, 29 Maret 2014

Nyanyian Hati (19)

Esoknya adalah hari Minggu. Seperti biasa, beberapa santri melakukan operasi bersih, yaitu bersih-bersih kobong atau asrama santri. Kali ini, hanya segelintir santri saja yang ikut gotong royong membereskan kobong santri laki-laki. Beberapa adalah santri yang tinggal di kobong dan beberapa sisanya santri yang menginap di rumah masing-masing yang ikut membantu. Untuk pagi ini, Fajar tidak terlihat diantara para santri itu.

Seusai operasi bersih kobong, Akang mencuci beberapa potong pakaiannya yang kotor. Tiga puluh menit bergelut dengan baju dan celana kotor, deterjen serta air, Akang menggantungkan cuciannya pada tali jemuran di halaman kobong. Jajaran kain basah itu tertimpa hangatnya sinar matahari pagi. Setetes demi setetes air yang masih menempel berjatuhan menyapa bumi.

Akang meluncur kembali ke kamar mandi. Ia hendak mandi. Beberapa santri lain ada yang masih duduk-duduk istirahat sembari mengobrol bermaksud melepas lelah. Lima menit berselang, Akang keluar kamar mandi dengan bugar sebab telah diguyur oleh air segar. Akang melangkah menuju kamarnya. Tidak lupa ia menyapa beberapa santri yang masih mengobrol di teras kobong. Akang masuk kamarnya. Pintunya ia tutup rapat. Di dalam, Akang sedang berganti pakaian.

Pintu kamar Akang terbuka kembali. Tapi hanya sedikit saja. Sekira bisa masuk sinar dan udara pagi saja. Di dalam, Akang sudah berpakaian rapih. Sajadah telah tergelar. Akang berdiri di atasnya. Bersiap untuk mendirikan solat sunah dhuha.

Akang masih berdiri. Rukuk. I’tidal. Turun untuk sujud. Beranjak duduk diantara dua sujud. Sujud lagi. Kemudian beranjak berdiri lagi. Masuk rakaat kedua.

Dari luar, ada seseorang yang membuka pintu kamar Akang perlahan. Dia adalah Fajar. Mendapati Akang sedang solat, Fajar masuk pelan-pelan. Lalu duduk pada karpet, sekitar satu meter di samping Akang. Fajar duduk sila, tidak sabar menunggu Akang meneyelesaikan solatnya. Ia hendak memberikan kabar tentang hari kemarin. Tentang sebuah tulisan pada sebuah halaman buku yang ditulis Anita.

Akang berucap salam. Kepalanya menoleh ke kanan. Lalu salam lagi. Kali ini menoleh ke kiri.

“Kang,” ucap Fajar semangat. Ia tidak memberi jeda bagi Akang untuk sebentar berdzikir.

Akang menoleh. “Iya, Jar?”

“Ada kabar baik untuk Akang.”

“Kabar baik?” kedua mata Akang menyipit. Pertanda sedang menerka apa maksud ucapan Fajar.

“Iya,” Fajar mengangguk tegas. “Tentang Teh Anita.”

Kening Akang melipat. Ada segurat senyuman di bibirnya. Akang diam. Ia hanya menatap Fajar. Senyumnya belum hilang dari ujung bibir.

Akang masih menatap Fajar. Senyumya masih tampak.

Akang beranjak dari duduknya. Ia melipat sajadah. Lalu diletakan di atas bantal. Akang melangkah pada pintu. Ia menutupnya rapat-rapat. Akang kembali menghampiri Fajar. Mengambil posisi duduk tepat di hadapan keponakannya ustad Ipun itu. Akang bersiap untuk menerima kabar lebih lengkapnya dari kawan santrinya itu.

Kedua orang santri itu mulai berbincang. Fajar mulai bercerita. Bercerita tentang hari kemarin. Akang memasang wajah serius menatap wajah Fajar. Mendengarkan dengan baik setiap kata yang keluar dari mulut laki-laki di hadapannya.

Fajar terus bercerita. Hati Akang membuncah. Luapan kebahagiaannya itu tergambar dari senyumnya yang mengembang. Terlebih saat Fajar menceritakan kronologis ketika Anita hanya berani memberi jawabannya melalui coretan. Kemudian melangkah masuk kamar. Meninggalkan sang adik sepupu seorang diri.

Belum lepas senyum di bibir Akang. Sebuah senyum penanda kebahagiaan jiwa.

Fajar berhenti berucap. Sang informan itu kini hanya menatap seraut wajah cerah di hadapannya.

Pada kubangan kebahagiaan yang sedang dirasakan hatinya, Akang masih berusaha untuk tetap berpikir setenang mungkin. Ketenangan itu keluar dari sebuah mata air ketauhidan. Pada takdir Allah. Pada suratan tentang jodoh dariNya. Sebab jodoh adalah rahasia Illahi. Setiap kemungkinan masih memiliki peluang yang sama besarnya. Begitu pula tentang Akang dan Anita. Akang memang bahagia, tapi dia tidak ingin berlebihan. Sebab boleh jadi kehendak Allah akan berbeda. Namun, harapan di hati Akang tidak pernah berhenti menyanyikan tentang keinginannya. Keinginan untuk bersanding dengan gadisnya ustad Ipun.
***

Pada sepertiga malam yang tenang. Langitnya cerah. Bulan baru, melengkung bak belahan kecil buah melon. Kerlipan bintang bertaburan serupa serpihan emas yang tersorot matahari. Titik-titik kilau cahaya itu seperti berebut ingin menonjolkan keindahan mereka.

Udara dini hari ini masih perawan. Tiupan angin kecil menyapa dedaunan. Mereka melambai membalas sapaan sang angin dini hari.

Di dalam kamarnya, Akang sedang bersimpuh di atas sebuah sajadah. Akang membisikan kembali nyanyian hatinya. Sebuah nyanyian yang dipersembahkan untuk Sang penggenggam hati. Dipersembahkan untuk Sang Penguasa jagat raya. Raja dari segala raja.

Akang bermunajat. Ia meminta agar takdirNya seiring sejalan dengan harapan sang hati. Akang meminta lagi. Lagi. Dan lagi. Hanya kepada Allah Akang berharap. Hanya kepada Dia Akang memohon permintaan. Sebab sesuatu apapun itu, tidak akan pernah terjadi jika tanpa seizinNya. Pun sebaliknya, segala sesuatu pasti akan terjadi jika atas izinNya. Meski semua makhluk berkumpul mencoba untuk menghentikan kuasaNya. Tidak akan pernah bisa. Sungguh tidak akan pernah bisa.

Sementara di tempat lain. Pada sebuah kamar yang tidak begitu jauh dari kobong Akang. Anita telah lebih dulu menyenandungkan bisik hatinya. Do’anya telah lebih dulu terbang ke langit ke tujuh.

Saat ini Anita sedang rebahan di atas tempat tidurnya. Ia rebahan untuk menunggu waktu subuh. Meski raganya diam. Tapi sang hati tidak pernah berhenti bernyanyi. Bernyanyi tentang keinginannya. Nyanyian hati itu meluncur ke langit. Berkejaran dengan nyanyian yang dilantunkan oleh hati Akang. Dua buah nyanyian itu melesat di antara bintang-bintang.

***

Jumat, 28 Maret 2014

Pertanyaan Titipan (18)

Terkadang, ada beberapa waktu dimana pengajian malam berakhir lebih lambat dari biasanya. Jika ustad sedang semangat dalam menjelaskan materi pengajian, atau saat materi yang diberikan merupakan perkara yang sangat penting untuk diketahui. Seperti malam ini. Saat para santri sedang mendapatkan pengajian akidah.

Beberapa santri masih tidak bergeming dari duduknya. Mereka tampak masih antusias dalam menikmati hidangan pengajian. Namun ada beberapa santri lain yang duduknya sudah bergoyang-goyang. Mereka ingin segera melepas pantatnya dari lantai majelis dan ingin segera merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Seperti Fajar. Dia merasakan kelopak matanya yang perlahan terasa berat. Dan bertambah berat seiring jarum detik jam dinding majelis yang terus berputar.

Betapa sumringahnya Fajar ketika ustad Ipun menutup pengajian. Selepas merapihkan majelis, Fajar berjalan menguntit Akang. Dia hendak bermalam di kamar sahabatnya yang dua tahun lebih tua dari dirinya itu.

“Kang...,” gumam Fajar pelan.

“Iya,” jawab Akang masih tetap berjalan di depan sang penanya.

“Malam ini saya nginep di kamar Akang lagi ya.”

“Hmm,” Akang mengiyakan. Kedua santri itu melanjutkan langkah menuju kobong santri laki-laki.

Setibanya di kamar, Fajar langsung merebahkan tubuhnya di karpet yang sudah tergelar. Dia tidak sempat untuk membuka sarung dan baju kokonya. Bahkan pecinya pun masih menempel di kepala. Kantuk adalah penyebab utamanya.

Akang menggeleng melihat tingkah Fajar.

Akang melepas peci dan baju koko. Lalu ia cantelkan pada gantungan baju di balik pintu. Kemudian Akang duduk di samping Fajar. Ia menempelkan punggungnya pada dinding. Akang menarik nafas panjang. Lalu dikeluarkan. Akang menarik nafas lagi. Lalu dikeluarkan lagi. Perlahan raga Akang rileks kembali.

Akang menoleh pada Fajar. Ditatapnya kedua mata santri yang sedang tepar di sampingnya. Mata itu setengah terpejam. Akang tersenyum menatap pemandangan itu.

“Jar,” panggil Akang.

Fajar menggeliat sedikit. “Hmm...”

“Usia Fajar berapa?”

Fajar menggeliat lagi. Malam-malam begini. Tidak ada angin juga tidak ada hujan, malah tanya usia. Protes Fajar dalam hati.

Fajar membuka matanya perlahan. Ia beranjak duduk. Pandangannya menerawang pada dinding di hadapannya. Sepertinya dia sedang mencoba menghitung biji usianya.

“Dua puluh satu,” Fajar menoleh pada Akang. Lalu berpaling lagi.

Akang manggut-manggut mendengar jawaban Fajar.

“Kapan menikah?”  

Cepat sekali Fajar kembali menoleh pada Akang. “Menikah?!” tanyanya heran. Mungkin heran dengan bunyi pertanyaan dari Akang.

“Iya.”

“Akang aja yang usianya sudah dua puluh empat belum menikah, apalagi saya yang masih dua puluh satu.”

“Dua puluh tiga,” Akang meralat pernyataan Fajar.

“Iya. Tapi tetap saja lebih tua dari saya.” Fajar mengakhiri kalimatnya dengan sebuah cengiran. Jumlah usia Akang yang lebih banyak mungkin penyebab cengiran itu. Akang ikut tersenyum juga. Meski hanya sedikit.

Akang memalingkan matanya dari wajah Fajar. Ia menatap dinding kembali.

Beberapa detik, kedua pemuda itu tidak bersuara. Akang masih menerawang seperti sedang memikirkan sesuatu.

Beberapa detik berikutnya kembali terlewat begitu saja.

Akang melirik Fajar.

“Jar,” panggil Akang lirih.

“Iya,” Fajar menoleh pada sumber suara.

“Saya boleh tanya?”

“Gak boleh.”

Akang bersiap untuk bertanya. Sebab dia tahu bahwa jawaban Fajar barusan hanyalah canda semata.

“Jar.”

“Iya.”

“Teh,” Akang berhenti. “Teh Anita sudah ada yang melamar?”

“Eh!” mata Fajar membulat tersebab pertanyaan Akang. Kedua ujung bibirnya melebar. “Apa Kang?!” Fajar malah kembali bertanya. Bertanya untuk meyakinkan bahwa telinganya tidak salah dengar.

“Apa Kang?!” Fajar bertanya lagi. Senyumnya bertambah lebar. Ada bau-bau ledekan dari bentuk senyum itu.

Akang merasakan ledekan Fajar. Ia tidak tinggal diam begitu saja.

“Neng Dian adiknya Sabil yang imut itu sudah ada yang melamar belum kira-kira ya? Jika belum, saya hendak melamar gadis imut itu,” Akang menutup ledekannya dengan sebuah senyum yang tidak kalah kerennya dengan senyuman Fajar.

Seketika itu juga senyum Fajar hilang. Kini wajahnya menekuk ke bawah.

“Gimana Jar? Fajar tahu gak? Saya berharap sih neng Dian belum ada yang melamar. Biar besok saya langsung bisa melamarnya.” Akang tersenyum lagi.

Fajar berpaling dari Akang. Ia melempar pandangnya pada dinding. Wajahnya masih menekuk. Meski ia tahu Akang hanya bercanda.

Fajar diam.

“Setahu saya Teh Anita belum ada yang melamar, Kang.” Setelah diserang balik, akhirnya Fajar menjawab juga pertanyaan utama Akang.

Akang belum memberi respon atas jawaban Fajar. Ia masih diam. Diam memikirkan sesuatu.

“Jar.”

“Iya.”

“Saya boleh meminta tolong?” pinta Akang.

“Tentang apa?”

Akang menatap Fajar. Fajar juga melihat Akang. Akang sedikit ragu untuk berujar. Fajar siap untuk menampung pinta Akang.
***

Waktu dhuha. Langit sedang cerah. Mentari pagi mulai beranjak. Sinarnya hangat menerpa rumah ustad Ipun.

Hari ini Fajar mengajar agak siang. Untuk itu, dia menyempatkan untuk mampir ke rumah sang paman, ustad Ipun. Selepas sarapan bareng sang paman dan sang bibi, Fajar ikut solat dhuha di mushola rumah. Sepuluh menit setelah itu, Fajar menghampiri teteh sepupunya di ruang tamu. Ia hendak menjalankan amanah yang semalam telah diberikan kepadanya.

Fajar mendapati Anita sedang membaca buku. Ia duduk di sofa sebelah sofa yang Anita duduki.

“Lagi ngapain Teh?” Fajar bertanya basa basi.

“Baca,” Anita menoleh sebentar. Tidak lupa dia memberi seutas senyuman pada sang adik sepupu.

“Oooh,” Fajar mengangguk. Anita kembali membaca.

“Baca buku apa Teh?” Fajar bertanya lagi.

Anita kembali berhenti membaca. Ia menatap Fajar lagi. Ia tidak menjawab. Sang Teteh sepupu itu hanya tersenyum saja. Kemudian menunjukan sampul buku yang ada di tangannya.

Fajar membaca judul buku yang ditunjukan Anita. “Oooh.” Ia mengangguk.

Anita membaca lagi.

“Teh,” ucap Fajar.

“Iya,” jawab Anita pelan. Suaranya lembut sekali. Kali ini ia tetap menatap buku.

“Fajar boleh tanya sesuatu pada Teteh?”

“Mangga atuh tanya saja,” Anita masih tidak berpaling dari buku.

“Teh.”

“Iya,” Anita tetap membaca.

“Teteh udah ada yang melamar belum?”

Anita kaget. Tidak menyangka dengan pertanyaan yang diberikan adik sepupunya. Ia berhenti membaca. Dahinya melipat.

Anita menutup buku di tangannya. Ia menoleh pada Fajar.

“Melamar?”

“Iya. Apakah Teteh sudah ada yang melamar?”

Anita tersenyum lembut. “Nanti juga Fajar akan tahu jika memang sudah waktunya.” Anita masih tersenyum pada Fajar.

Fajar diam. Diam karena belum menemui jawaban atas pertanyaannya.

Anita membuka bukunya lagi.

“Teh.”

“Iya,” Anita tetap menatap buku.

“Pertanyaan yang tadi adalah pertanyaan titipan,” Fajar memberi jeda. Anita masih membaca. “Titipan dari seseorang,” Fajar melanjutkan. “Pertanyaan tadi adalah pertanyaan titipan dari Akang. Akang meminta tolong Fajar untuk menanyakannya kepada Teteh.”

Anita tersentak. Dadanya seperti ada yang menghantam.

Anita masih melihat buku, tapi tidak sedang membaca. Gadis itu memikirkan ucapan Fajar beberapa detik lalu.

Pelan-pelan Anita menyimpan pandangannya pada Fajar. Kedua sepupuan itu beradu pandang. Tidak ada kata. Hanya bertabrak pandang saja. Benarkah? Sorot mata Anita bertanya demikian.

Anita kembali melihat buku. Namun tetap, meski pusat matanya tertuju pada susunan kata, tapi pikirannya masih belum lepas dari kalimat yang keluar dari mulut sang adik sepupu. Hampir satu menit Anita seperti itu. Fajar tetap diam. Ia setia menunggu jawab dari sang teteh sepupu.

Anita perlahan menutup buku. Ia tidak menoleh pada Fajar.

Anita mengambil pulpen yang tergeletak pada meja tamu di hadapannya. Ia membuka sampul buku. Lalu menuliskan sesuatu di lembar pertama buku.

Fajar masih diam. Ia hanya memperhatikan apa yagn dilakukan Anita.

Anita menyelipkan pulpen pada lembar yang ia coretkan sebuah tulisan. Kemudian ia simpan buku di tanganya pada meja. Anita beranjak. Ia meleos pergi. Melangkah menuju kamarnya. Anita meninggalkan Fajar. Tanpa sepatah kata pun. Bahkan walau hanya isyarat sekalipun.

Saat Anita hilang ditelan pintu kamar yang tertutup, Fajar mengalihkan tatapnya pada buku di atas meja. Ia mengambil buku itu.

Fajar membuka lembaran yang terselip pulpen. Pada lembar kosong itu, Fajar menemukan sebuah tulisan tangan yang terbaca “Teteh belum ada yang khitbah.”.

Fajar sekali lagi membaca coretan itu.

“Teteh belum ada yang khitbah.”

Bibir Fajar mengembang setelah membaca kalimat itu. Ia tidak sabar ingin segera mengabari hal ini kepada Akang. Juga tidak sabar untuk melihat ekspresi seperti apa yang akan Akang tunjukan setelah mendengar berita ini.

Bibir Fajar masih mengambang. Sementara disana. Di dalam kamarnya. Anita berdiri menyandarkan tubuhnya pada balik pintu. Tubuhnya gemetar tersebab berita dari Fajar. Telapak tangan kirinya masih tetap membekap mulutnya sendiri. Sedangkan tangan kanannya ia simpan di dadanya. Mencoba meredakan detaknya yang masih bergelora. Anita sendiri tidak tahu. Apakah bibir di balik telapak tanganya itu sedang tersenyum atau menangis. Yang jelas, matanya berkaca-kaca.

***

Kamis, 27 Februari 2014

Dari mana hujan siang tadi?




Sekarung rindu yang tak tertampung lagi
Dari sang hati yang tersengat matahari
Maka turunlah hujan siang tadi

Mungkin


Mungkin tidak seperti hujan
Setiap orang bisa melihat tercurahnya butiran air menuju bumi

Mungkin seperti uap
Saat setumpuk air merayap menuju angkasa, lalu menjadi awan
Tidak seorang pun tahu aliran itu

Mungkin demikian rinduku padamu