Jumat, 19 Agustus 2011

Aku Jatuh Cinta


Yaa Allah, aku jatuh cinta. Aku tahu, Engkaulah yang memunculkan rasa itu di hatiku. Aku pun tahu, pasti Engkau juga memberikan obat penawar, pada saat yang sama ketika Engkau menumbuhkan rasa itu di hatiku. Untuk itu, aku memohon padaMu, agar aku bisa memanfaatkan obat penawar itu dengan sebaik-baiknya. Agar aku bisa menghadapi semuanya dengan tenang hati.

Aneh memang, perasaan itu muncul begitu saja. Tidak diundang, tidak juga dijemput, apalagi dicari. Interaksi dengannya pun, mungkin bisa dikatakan hanya seculi. Seingatku, belum pernah aku menyengaja mengobrol dengan dirinya. Memang, kami pernah berkomunikasi,tapi, itupun sedikit saja, hanya sebuah ungkapan rasa terima kasih karena dia merasa aku telah membantunya. Pasti, ada hikmah mengapa Engkau memberikan rasa ini padaku. Mungkin ini adalah sebuah pertanda, jika perempuan itu adalah pendampingku kelak, oleh karenanya Engkau memberikan sedikit bocoran kepada diriku, bahwa, perempuan itulah yang akan menjadi bidadariku kelak.Mungkin juga ini merupakan sebuah ujian untukku. Apakah aku bisa melewati ujian ini, atau aku gagal, yang pada akhirnya bisa menunda kenaikan derajatku di sisiMu. Aku serahkan semuanya padaMu Yaa Allah. Yang bisa kulakukan hanyalah melakukan terbaik semampuku. Aku berharap, aku bisa menyikapinya dengan benar.

Tidak harus aku gambarkan bagaimana rupa dan sifat dia. Yang jelas, pokoknya aku tertarik padanya. Sepintas, sejauh aku memperhatikan dia, dia adalah perempuan yang baik.Entah itu benar atau tidak, karena yang bisa mengetahui baik atau tidaknya seseorang itu hanyalah Dia, sang pencipta segala sesuatu. Tidak ada selainNya.

Terkadang, saat aku termenung sendiri, bayangan-bayangan masa depan tergambar jelas dalam pikiran. Contohnya saja seperti ini: ketika aku menghadapi makanan, aku terpikir, suatu hari nanti, perempuan yang bersemayam di hatiku ini sedang memasak di dapur. Terlihat dia menikmati aktifitas memasaknya. Karena, yang ada dalam benak dia adalah, dia akan mendapatkan pahala dari perbuatannya itu. Karena dia mencoba untuk menyenangkan sang suami, dalam hal ini diriku, dengan pasakannya yang nikmat.Kemudian, aku berjalan menghampiri istriku itu. Aku mencoba menggodai dia. Dari belakang, aku memeluk dia. Aku cium kepalanya. Meraskan hal ini, bibirnya tersenyum. Rambutnya yang tergerai kebawah, bergemericik menyaksikan kami. Sebagai catatan, ketika itu dia tidak sedang mengenakan kerudung. Karena adegannya sedang berada di rumah dan hanya ada kami berdua saja.

Atau adegan yang seperti ini: saat malam berada pada posisi sepertiga terakhir, aku sedang tertidur pulas di atas ranjang. Ketika itu aku berada dalam rasa kantuk yang berat, karena sebelumnya aku menulis hampir semalaman penuh, karenanya aku tidurnya telat.Melihat aku tidur dengan posisi tidak keruan, istriku itu tersenyum memandangiku. Dia membenarkan posisi tidurku. Setelah itu dia berjalan ke kamar mandi guna menggosok gigi dan mengambil air wudhu.Kemudian dia kembali lagi ke kamar, lalu membangunkan diriku untuk solat malam berjamaah. Saat itu aku susah untuk dibangunkannya. Tapi, dengan sangat sabar dia mencobanya lagi. Setelah dengan percobaan berkali-kali, akhirnya aku terbangun juga. Aku duduk disamping istriku yang sedang tersenyum memandangi wajahku yang tidak keruan. Melihatku terbangun, dia beranjak memasang dua buah sajadah di lantai. Dia mengenakan mukena putihnya. Namun, apa yang terjadi pada diriku ketika itu. Aku tertidur lagi. Aku merebahkan lagi tubuhku pada kasur yang empuk. Isteriku kembali mengahampiri diriku. Dia duduk lagi di sampingku yang sedang tepar. Dia bangunkan lagi aku. Kali ini dia menggelitiki diriku. Karena merasa geli, aku pun terbangun lagi.

“ Hayu bangun atuh A, kita solat bareng,” ujar isteriku dengan suara yang sangat halus. Tangannya mengusap-usap wajahku. Dia merapihkan rambutku yang berantakan.

Setelah jiwa terkumpul kembali, aku beranjak dari ranjang, lalu dengan sempoyongan berjalan menuju kamar mandi. Menggosok gigi, mengambil wudhu, lalu balik lagi ke kamar, mengenakan pakaian yang rapih, kemudian kami solat bareng. Aku mengimami isteriku. Kami solat sampai menjelang waktu subuh.

Atau lagi adegan yang ini: tapi, sebelumnya aku meminta ma’af, karena yang ini adegannya agak sedikit fulgar. Tapi, gakpapa deh, ini kan sifatnya masih dalam rangka sebuah hayalan, he...selain itu juga, insyAllah ini akan bermanfaat untuk kemampuan imajinasi menulisku kedepannya.ketika itu malam telah larut. Aku duduk sendiri di atas sofa empuk. Aku memandangi layar kaca dengan sangat serius. Saat itu, aku sedang menonton pertandingan final sepak bola. Aku teriak-teriak sendiri mengikuti suasana pertandingan. Sedang asik-asiknya menonton, tiba-tiba ada sebuah suara lembut yang memanggil namaku. Mendengar ada suara yang memanggilku, aku menoleh pada sumber suara. Ternyata yang memanggilku itu adalah isteriku yang cantik jelita.

“ Hayu A....” ajak dia padaku. Dia berdiri di pintu kamar yang terbuka. Kedua tangannya memegangi daun pintu. Wajah isteriku berubah menjadi terlihat manja. Saat itu, dia berubah layaknya seorang anak perempuan yang menginginkan sebuah boneka barby. Melihatnya seperti itu, aku tersenyum nakal.

“ Hayu A....” ajak isteriku sekali lagi. Segera aku beranjak dari sofa. Aku berjalan menuju isteriku. Melihatku berjalan menuju kamar, isteriku masuk duluan. Aku meninggalkan tv yang masih menyala. Aku mendengar suara komentator pertandingan teriak-teriak di tv. Dia meneriakan gol. Namun, aku hiraukan itu. Aku masuk kamar, lalu menutup pintu rapat-rapat. Apa yang terjadi di dalam kamar? Jawabannya adalah wallahu’alam. Sekali lagi, dengan tidak mengurangi rasa hormat, aku meminta ma’af karena telah menuliskan adegan yang satu ini. Sekiranya ada manfaatnya, maka ambil. Tapi, jika tidak ada, maka lupakanlah.
***

Wahai dirimu yang ada disana, sadarkah engkau, kalau disisni diriku sedang mencintaimu? Tapi janganlah engkaumerasa khawatir, karenaaku tidak akan mengapa-ngapain dirimu.Aku sadar, sikap terbaik yang harus ku ambil sekarang ini adalah cukup dengan hanya diam. Diam dalam menyembunyikan rasa ini.Diam untuk menjaga kesucian kita, kesucian diriku dan dirimu. Karena aku tidak akan pernah tahu, benarkah dirimu itu adalah bidadari yang akan mendampingiku kelak. Seandainya itu benar, maka ini adalah takdir Allah, dan seandainya bukan, maka ketahuilah, ini juga merupakan takdirNya. Aku ataupun kamu harus ikhlas menerimanya. Pastilah ini adalah takdir terbaik yang diberikan Allah untuk kita. Pasti.

Kalaupun, takdir menuliskan suatu harinanti engkau menyadari rasa cintaku untukmu,dan engkaupun memiliki rasa yang sama denganku. aku harap, jangan pernah ada tindakan apapun dari dirimu. Aku ingin engkau diam saja. Engkau sembunyikan juga rasamu itu. Ditakutkan, akan terjadi salah langkah dari kita berdua, ataupun dari salah-satu diantara kita. Jika, kesalahan bertindak itu benar-benar terjadi, dan takdir menggariskan bahwa diriku bukanlah untukmu, maka yang akan menjadi korban adalah diri kita juga, bukan yang lain. Coba bayangkan: apakah kita ingin pendamping kita kelak, sekarang dia sedang bertelfon-telfonan mesra dengan orang lain? Apakah kita ingin suami/isteri kita kelak sekarang sedang berduaan dengan orang lain, menikmati indahnya pantai di senja hari? Apakah kita ingin bidadari/pangeran kita kelak, sekarang sedang berjalan-jalan sambil berpegangan tangan dengan sangat mesra? Kalau aku, tidak ingin semua itu terjadi. Dan aku yakin, engkaupun pasti tidak menginginkan hal itu bukan? Untuk itu, wahai dirimu disana, yang dianugerahi kecantikan olehNya, marilak kita jaga kesucian diri kita. Agar kelak, kita bisa mendapatkan pendamping hidup yang bisa menjaga dirinya dengan baik. Semoga, Allah tetap melindungi tindakan kita. Aamiin.

Memang, aku tidak bisa membohongi diriku. Kalau boleh jujur, aku ingin, esok nanti, yang memasak di dapur rumahku itu adalah dirimu. Yang membangunkan diriku untuk melaksanakan solat malam adalah dirimu. Dan yang memanggil-manggil dari pintu kamar ketika aku sedang menonton pertandingan final sepak bola juga adalah dirimu. Tapi, itu sifatnya hanyalah sebuah harapan saja. Untuk keputusannya, aku serahkan semuanya kepada Yang Maha Pengatur. Dia pasti telah mengariskan yang terbaik untuk diriku, pun untuk dirimu. Aku akan ikhlas menerimanya. InsyAllah.
***

Senin, 15 Agustus 2011

Merindu


Waktu itu, hal yang paling disukai ada banyak. Dua diantaranya adalah: hari minggu dan hujan deras. Jika hari minggu tiba, dengan semangat kami berisiap-siap untuk lari pagi. Pantai tujuan kami. Yang pada hari biasa kami dibangunkan ibu, hari itu berbeda, dengan sigap kami bangun sendiri. Segera mengganti baju tidur dengan kaos sepak bola, lalu dengan terburu-buru menggunakan sepatu olahraga. Dengan berbondong-bondong, aku dan teman sepermainanku berlari-lari kecil menuju pantai. Sesampainya dipantai, kami bermain pasir. Setelah cukup lelah, tubuh kami langsung diceburkan ke laut. Kami berenang dengan riang gembira. Ketawa-ketawa sampai terasa sakit kulit perut ini.

Sekitar jam delapan, kami pulang. Sebenarnya kami masih ingin menghabiskan waktu pagi ini di pantai seharian penuh. Tapi, apa mau dikata, acara kartun di tv mengalahkan hasrat kami untuk terus bermain. Kami nonton bareng di salah-satu rumah teman, atau juga dirumahku, bergantung pada kesepakatan yang telah kami obrolkan selama perjalanan pulang. Dengan keringat masih belum kering dan kaos yang dikenakan masih lembab karena air laut, kami tetap serius menyaksikan acara kartun. Ketika itu, kami masih enjoy melakukannya. Entah jika sekarang?

Kedua, jika hujan tiba, apalagi kalau deras. Tanpa banyak pikir, kami langsung melepas kaos dan celana kami, hingga kami telanjang bulat. Tidak sehelai benangpun yang menghalangi tubuh mungil kami. Kami adu lari menuju lapangan sepak bola. Selalu aku yang menang. Selalu aku yang tiba duluan ke lapangan. Mengapa? Jawabannya sangat sederhana, karena rumahkulah yang paling dekat dengan lapangan. Hamparan rumput hijau itu berada tepat di seberang rumahku. Hanya dipisahkan oleh sebuah jalan selebar tiga meter.

Kami bermain bola di lapangan luas itu, setidaknya jika dibandingkan dengan ukuran tubuh kami yang belum mencapai tinggi satu meter. Kami berebut untuk menendang bola. Berlari-lari kesana-kemari. Tidak ada kata lelah saat itu, yang ada hanyalah bersenang-senang. Tidak ada juga kata malu, karena kami belum mengenal yang namanya malu. Urat malu kami masih belum tumbuh sempurna ketika masa itu. Bahkan, yang parahnya adalah, jika ada orang lewat dan melihat kami sedang bermain bola, kami menghentikan dulu sejenak bermain bolanya. Tubuh kami dihadapkan pada orang yang sedang melihat kami itu. Kami menggoyang-goyangkan pinggul berniat mempertontonkan “titit” kami pada mereka. Banyak tanggapan dari orang yang melihat. Ada yang diam saja, ada yang ketawa, ada yang hanya tersenyum dan ada juga yang memasang wajah mual, seperti orang yang hendak muntah. Jika mereka menghilang tidak melihat kami lagi, kami berlarian lagi berebut bola. Dan jika ada lagi pendatang baru yang menonton kami, kami beraksi lagi sampai mereka kabur. Begitu terus sampai hujan reda, tepatnya sampai kami benar-benar merasa lelah.

Seiring berjalannya waktu dan semakin bertambahnya usia, kami tidak berani lagi hujan-hujanan tanpa menggunakan penutup badan. Ketika sudah duduk dikelas tiga, yang ditutupi baru hanya bagian vitalnya saja. Kami hujan-hujanan dengan mengenakan celana dalam. Menginjak kelas empat, kami mulai menggunakan celana pendek. Kelas lima dan kelas enam, kami menambahkan penutup tubuh, kami menggunakan kaos. Dan ketika SMP, kami tidak lagi hujan-hujanan. Kami sudah mengenal yang namanya malu. Sejak saat itu, generasi kami digantikan oleh generasi setelah kami. Regenerasi berjalan dengan sangat baik. Mereka, para penerus kami, melakukan hal yang serupa ketika kami seusia mereka dulu.

Menginjak dunia SMP, kami bersekolah mulai menggunakan jasa angkutan umum. Ketika masih SD dulu, kami berangkat sekolah hanya dengan berjalan kaki saja, karena letak sekolahnya dekat. Karena sekolahnya ada di tengah-tengah kampung kami. Tapi tidak untuk saat ini. Sekolah SMP letaknya cukup jauh. Letaknya ada di dekat kecamatan. Dengan menggunakan mobil umum saja, waktu tempuhnya hampir dua puluh menitan. Yang paling kami sukai saat itu adalah, naik angkot dengan cara bergelayutan di pintu. Tidak jarang, kami dimarahi pak sopir, karena, ketika kami berebut untuk mendapatkan posisi bergelayut, ternyata, mobil angkot itu, di dalamnya masih kosong. Jika hal itu terjadi, taman-temanku segera masuk dengan raut muka yang cengengesan karen malu. Tapi, aku berbeda dengan mereka. Memang, akupun cengengesan juga ketika itu. Akupun merasa malu, apalagi jika disananya ada siswa perempuan. Yang membedakanku dengan teman-temanku adalah, jika mereka cengengesannya sambi masuk mobil, aku cengengesannya keluar dari mobil. Setelah situasi teras memungkinkan dan mobil mulai tampak penuh, segera aku sergap posisi menggelayut pada pintu angkot. Aku terenyum merayakan kemenanganku. Sambil bergelayutan, aku tersenyum memandangi teman-tamanku yang memasang wajah MUPENG (MUka PEngen melakukan yang sedang aku lakukan). Aku menang dan mereka kalah.

Saat masa SMP itu, kami mulai mencoba meninggalkan dunia kanak-kanak. Kami mencoba untuk berpikir dan berprilaku dewasa. Berpakaian tidak asal-asalan lagi. Menyisir mulai menggunakan minyak rambut. Seragam sekolah mulai disemproti wewangian. Dan yang pasti, kami mulai belajar mencari perhatian pada lawan jenis, dengan cara-cara yang kuno tentunya. Terkadang aku tersenyum sendiri jika sedang mengingat hal itu.

Hari berganti hari, hingga hanya tinggal beberapa waktu lagi kami besekolah di SMP dan sebentar lagi akan menjadi siswa SMA. Ketika masa genting itu, entah mengapa, kami jadi merindukan masa-masa SD dulu. Kami merindukan masa itu. Semuanya, tanpa terkecuali.

SMA. Adalah masa kritis untuk menentukan kehidupan kami kedepannya. Ingin seperti apa dan bagaimana kehidupan esok, biasanya ditentukan oleh kehidupan pada saat ini. Mengapa? Karena, saat ini adalah saat-saat usia kritis. Saat ini adalah penentuan jati diri seorang anak manusia. Saat ini adalah gerbang untuk kehidupan kedepannya. Saat ini, semua orang ingin menunjukan siapa dirinya. Peran lingkungan sangat dominan pada masa ini. Saat ini, godaan sedang gencar-gencarnya menyerang. Jika tidak memiliki cukup benteng diri, musnah sudah orang itu, dengan catatan jika seseorang itu tidak segera tobat.

Seperti halnya saat SMP dulu. Menjelang akhir di SMA, atau menjelang lulus sekolah, entah kenapa, perasaan rindu pada masa SMP menjangkiti hati. Bahkan tidak hanya masa SMP, masa SD juga terindukan. Rindu itu bercampur dengan sebuah penyesalan. Penyesalan mengapa dulu tidak melakukan yang terbaik. Jika saja dulu (SD dan SMP) aku tidak banyak bermain dan lebih banyak belajar? Kalau saja dulu aku tidak menyia-nyiakan kesempatan berbagai perlombaan yang ditawarkan padaku? Seandainya saja aku tidak malu-malu ketika disuruh berbicara di depan umum? Kalau saja dulu seperti ini dan seperti itu? Ah,pertanyaan-pertanyaan seperti itu selalu terngiang jelas di telinga. Pertanyaan yang semakin memojokan diri, karena dulu tidak melakukan yang terbaik.
***

Sekarang, sudah dua tahun lebih aku tinggal disini, disebuah kota yang berjuluk kota kembang. Sebuah kota yang sejuk nan asri. Di kota ini aku mencoba untuk menuntut ilmu, untuk bekal kehidupanku. Hiruk pikuk dunia kampus sudah mulai terasa menjemukan. Jika saja tidak membayangkan sebuah tujuan mulia ini, mungkin aku sudah kabur dan mencoba menghilang dari dunia kampus, kemudian pergi ke sebuah negeri yang aman dan damai. Tidak ada yang namanya konfik dan persaingan. Tidak ada yang namanya kebisingan. Dan tidak ada yang namanya aktifitas. Yang ada hanyalah diam dan damai. Sebuah negeri yang hanya ada dalam otakku. Negeri khayalan.

Terkadang, jika sedang termenung sendiri, kilatan masa lalu tiba-tiba mampir di kepala. Kilatan masa lalu itu tercerna dalam otak lalu turun ke hati. Sesampainya di hati, kilatan masa lalu itu menimbulkan sebuah pikiran, yang pada ujungnya membuat diri ini merindu ingin berkunjung kembali pada dunia yang telah terlewat itu. Merindu ingin menjadi anak SD lagi. Merindu ingin kembali pada masa SMP. Dan merindu ingin mampir lagi pada masa SMA. Diam diam, pertanyaan-pertanyaan yang dulu pernah ada, menyelinap kembali pada pikiran.

Sejenak aku terdiam, mencoba memikirkan peristiwa apa yang akan aku alami pada masa mendatang. Boleh jadi, suatu saat nanti, aku akan merindukan diriku hari ini, layaknya sekarang aku merindukan semua masa laluku. Mungkin, esok aku akan merindukan masa-masa belajar di kampus ini. Mungkin, aku akan merindukan teman-teman yang ada disekelilingku saat ini. Mungkin, aku akan merindukan semuanya tentang diriku hari ini. Mungkin juga, aku akan menyesali perbuatan-perbuatanku. Mungkin juga, aku akan kecewa lagi karena tidak belajar dengan rajin. Mungkin juga, semua pertanyaan yang pada akhirnya membuatku menyesal tidak melakukan yang terbaik itu akan muncul lagi dalam pikiran. Mungkin dan terus mungkin lagi. Semua itu sangat berpeluang besar menjadi sebuah kenyataan untuk esok hari. Besar sekali.

Dulu, ketika pertanyaan-pertanyaan itu muncul, yang paling aku sesalkan adalah kenapa aku tidak melakukan terbaik yang aku bisa. Jadi, agar aku tidak merasakan, atau paling tidak meminimalkan rasa penyesalan itu jika nanti pertanyaan –pertanyaan itu muncul lagi, jawabannya cukup sederhana, adalah melakukan yang terbaik pada hari ini. Memang, semua itu tidak semudah yang dibayangkan, pasti banyak ritangan yang harus aku lewati. Tapi, itulah sejumlah harga yang harus dibayarkan. Manisnya hidup itu dirasakan ketika sudah lelah berjuang. Hukum alam ini tidak bisa dipungkiri lagi kebenarannya.

Satu lagi. Ada sesuatu yang lebih besar dari sekedar permasalahan dunia ini. Adalah kehidupan hari esok. Kehidupan dimana banyak orang yang menyesal. Kehidupan yang banyak orang ingin dikembalikan lagi ke dunia lagi. Kehidupan tempatku akan mempertanggung jawabkan semua perbuatanku selama hidup di dunia ini. Tidak akan pernah ada yang tersembunyi. Semuanya akan terlihat dengan sejelas-jelasnya, yang benar akan terlihat benar dan yang salah akan terlihat salah. Semua manusia, dari manusia pertama hingga manusia terakhir yang pernah hidup, dikumpulkan di sebuah padang yang maha luas. Tidak ada lagi yang bisa menolongku, kecuali amal yang pernah aku lakukan sendiri.

Akankah aku termasuk kedalam golongan orang-orang yang merasakan penyesalan sangat dalam itu? Atau masuk pada golongan yang sebaliknya, yaitu orang-orang bahagia, yang akan merasakan kebahagiaan hakiki di surgaNya? Semuanya bergantung pada diriku hari ini, di dunia ini. Semoga Allah SWT. menggolongkanku termasuk orang-orang yang beruntung. Aamiin.

Sabtu, 13 Agustus 2011

Surat Untuk Adik-adikku Tersayang


A do’ain ya, hari ini Nini mau daftar kuliah

Isi sebuah SMS dari adik perempuanku. Namanya Dini Nur Pratiwi. Panggilan sayangnya adalah “Nini”. Seharusnya, dia berkuliah pada tahun lalu (2010). Tapi, karena satu dan lain hal, dia lebih memilih bekerja terlebih dahulu. Dia bekerja pada salah-satu kelurahan di kota Cilegon, Banten.

Terkadang, jika sedang merenung, aku merasa malu pada adikku yang satu ini. Tidak jarang, dia menghubungiku secara tiba-tiba.

“ A, uangmu udah abis belum? Kalau udah, insyAllah nanti Nini kirim. Alhamdulillah lagi ada rezeki nih,” ujar Dini di telfon. Jika saat itu tiba, aku diam tidak bisa menjawab. Aku hanya mangap-mangap sendiri dengan tatapan kosong. Bahkan, ada yang lebih ekstrem lagi. Ketika itu aku sedang butuh uang untuk membayar biaya PPM yang belum lunas. Butuh uang yang tidak sedikit untuk melunasinya. Aku beritahukan hal ini kepada orang tuaku, kalau batas pembayarannya hanya tinggal sebentar lagi. Tidak berselang lama setelah pemberitahuan itu. Tiba-tiba hapeku bergetar. Ada sebuah panggilan masuk.

“ A, bayar Asrama belum beres ya? Kapan terakhirnya? Berapa lagi?” tanya Dini membredel padaku. Dengan jiwa tidak menentu, aku jawab semuanya. Aku jawab setiap pertanyaan adik perempuanku.

“ Sip, insyAllah besok Nini kirim uangnya,” adikku memberitahu. Aku tidak bisa berpikir saat itu. Emosi apa yang sedang kurusakan pun, aku tak tahu. Apakah gembira? Malu? Bangga? Atau apa? Selepas pembicaraan via hape itu, aku hanya menatap mentari yang bersembunyi di bali awan. Mentari itu tampak malu-malu untuk memperlihatkan dirinya.

Adikku pandai dalam bergaul. Karena kepiawaiannya itu, banyak teman yang dia miliki. Tidak hanya pada kalangan seusianya, anak kecil, ibu-ibu sampai nenek-nenekpun dia miliki. Namun, keceriaannya itu berubah ketika orang tua kami tidak tinggal di rumah dengan atap yang sama lagi. Tapi, perubahannya itu hanya sedikit, dia masih memiliki keceriaannya itu. Seiring berjalannya waktu, dia kembali seperti yang dulu lagi.

Untuk adikku yang dianugerahi Allah dengan badan yang numayan sedikit subur ini. Aa ingin meminta ma’af, karena belum bisa melakukan lebih untuk Nini. Tapi, Aa janji, ketika saat itu tiba, Aa akan memberikan apapun yang Nini inginkan. Asalkan permintaannya itu baik dan Aa bisa memberikannya, tentunya. Jangan khawatir akan hal itu.

Untuk Nini, tidak menutup kemungkinan, nantinya Nini mendahului Aa dalam pernikahan. Pada zaman sekarang, hal itu merupakan bukan sesuatu yang aneh lagi, karena memang, usia nikah perempuan itu relatif lebih muda dibanding dengan laki-laki. Untuk itu, Aa berpesan pada Nini, segera mencari ilmu tentang ibu dan keluarga. Dan, sebelum waktu itu tiba, Aa mewanti-wanti, supaya Nini menetapkan pilihan yang tepat. Laki-laki yang Nini pilih, haruslah yang bisa menjadi imam yang baik bagi Nini. Pun sebaliknya, Nini juga harus menjadi istri yang baik untuk pangeran Nini itu. Nini harus nurut padanya, selama permintaannya itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Oh ya, satu lagi, mulai sekarang, cobalah untuk belajar masak lebih giat lagi. Tapi, untuk urusan yang satu ini, Aa tidak meragukan lagi, karena masakan Nini itu sanat enak. Tidak heran, siapa dulu gurunya, Mamaaaaah (ibu)!! Asal Nini tahu saja ya, seorang suami itu sangat bahagia jika istrinya itu pandai memasak. Jika Nini ingin disayang suami, salah-satu jalannya adalah dengan pandai memasak.

Oh ya, untuk urusan mendaftar kuliah, mudah-mudahan Allah memberikan yang terbaik. Jika diterima itu baik, mudah-mudahan Nini bisa diterima di kampus yang Nini inginkan itu. Tapi, seandainya tidak diterima itu adalah hasil akhirnya, Nini jangan kecewa terlebih dulu, karena itu pasti adalah pemberian terbaik untuk Nini. Allah pasti akan menggantikan dengan yang lebih baik untuk Adik Aa yang satu ini. Jangan khawatir ya! Teruslah maksimalkan do’a dan usahanya. Teruslah untuk selalu ingat Allah. Jaga solat lima waktu, jangan sampai terlewat satupun. Lakukan yang terbaik untuk semua orang, karena sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfa’at untuk manusia lainnya.

Satu lagi, Aa tahu betapa besar keinginan Nini untuk mempersatukan ibu dan bapak lagi. Aa mengerti itu, karena Aa juga ingin hal itu segera terwujud. Tapi, kalaupun Allah berkehendak lain, Nini jangan kecewa, Nini harus terima dengan hati yang ikhlas. Yakini, itu adalah hal terbaik yang diberikan Allah untuk kita. Tetap semangat untuk adik perempuanku yang satu ini.
I love you, my sister. Jadikanlah Al-Qur’an dan Hadits sebagai petunjuk jalan Nini.
***


Lain lagi dengan adik laki-lakiku. Namanya Fadlan Nur Hadian, kami biasa memanggilnya Adam. Entah apa yang menyebabkan adikku itu dipanggil Adam, padahal namanya adalah Fadlan. Sampai sekarang aku belum tahu apa penyebabnya. Pernah, suatu hari aku tanyakan hal ini pada ibuku.

“ Mah, kenapa Fadlah dipanggilnya Adam?” tanyaku pada ibu ketika kami sedang makan bareng di meja makan. Mendengar pertanyaanku, ibu berhenti makan. Beliau segera menghabiskan makanan yang ada pada mulutnya. Ibu terlihat sedikit berpikir.

“ Awalnya dipanggilnya Dam-dam, kemudian ganti menjadi Dadam, lalu berganti lagi menjadi Adam. Panggilan itu bertahan sampai sekarang. Untuk siapa pencetusnya, Mamah lupa, soalnya itu terjadinya dulu banget, ketika Adam masih lucu-lucunya,” jawab ibu. Kami semua, yang ada di meja makan mendengarkan jawaban ibu. Hanya Adam yang tetap konsentrasi makan. Dia mengunyah makanannya dengan serius. Sampai sekarang, misteri itu belum pernah terpecahkan. Rahasia itu terkubur entah dimana.

Ada yang unik dari diriku dan adikku yang ini. Apa itu? Kami sama-sama terlahir pada tanggal dan bulan yang sama, yaitu tanggal delapan belas pada bulan Juni. Mungkin, jika adik perempuanku (Dini), lahirnya bisa diperlambat delapan hari, kami bertiga terlahir pada tanggal dan bulan yang sama. Tapi, takdir berkehendak lain. Dia terlahir pada tanggal sepuluh Juni. Kalau saja bisa, maka orang tuaku telah membuat hatrik, dengan melahirkan ketiga anaknya berturut-turut pada tanggal dan bulan yang sama. Hebat bapak dan ibuku.

Jika memperhatikan Adam, aku seperti melihat diriku ketika masih seusianya. Kita sama-sama suka sepak bola, mungkin bisa dibilang kelompok gila bola. Selain itu, kita juga kurang bisa berinteraksi dengan ibu dan bapak. Jika ingin mengkomunikasikan sesuatu hal, apalagi tentang hal-hal yang sangat pribadi, aduh, itu merupakan hal yang sangat berat bagi kami. Terutama kepada bapak. Namun, bagiku itu hanya tinggal kenangan. Itu hanya cerita lalu. Sekarang, aku tidak canggung lagi untuk curhat pada orang tua. Memang, aku beraninya masih hanya pada ibu, pada bapak aku belum terlalu berani, kecuali untuk hal-hal yang penting saja. Dan untuk Adam, aku yakin, suatu saat nanti, dia juga akan berani curhat pada ibu. Karena, aku melihat diriku dalam dirinya.

Ada lagi. Tapi yang ini bukan menurut diriku. Orang lain yang mengatakan hal ini. Kata mereka, aku dan Adam sama-sama cerdas. Ingat, sekali lagi aku tekankan, bukan diriku yang mengatakan hal yang demikian. Tapi, jujur, aku berharap, apa yang mereka katakan itu benar adanya, hehe.

Tapi, ada beberapa hal juga yang tidak sama dari kami. Apa itu? Menurut kabar mata-mataku di sekolah Adam. Adam seperti tidak pernah merasa canggung dalam hal berinteraksi dengan lawan jenis di sekolahnya. Bahkan yang lebih parahnya, tidak jarang dia menggodai teman-teman perempuannya.

“ Adam mah sering bercanda aja sama temen-temen perempuannya A iko, dia belagu,” terang mata-mataku. Aku mengernyitkan kening ketika mendengar berita itu. Tanpa banyak pikir lagi, aku mencoba untuk menasihati Adam. Aku melakukannya bukan dengan metode biasa yang sering dilakukan oleh para orang tua. Metode yang kugunakan ini sangat berbeda. Mudah-mudahan upaya ini bisa berjalan dengan baik. Tapi memang, butuh waktu yang tidak sebentar untuk melihat proses dan hasilnya. Biar waktu yang menjawabnya nanti.

Untuk adikku Adam, Aa harap Adam baik-baik disana. Jaga keluarga disana, jaga agar mereka tetap dalam keadaan baik. Jangan pernah biarkan ada orang yang mengganggu orang-orang yang Adam dan Aa sayangi. Lakukan yang terbaik untuk mereka. Bahagiakan semua orang yang Adam sayangi.

Oh ya, Aa tahu Adam itu belum lancara baca Al-Qur’annya. Oleh karena itu, Aa harap, Adam untuk lebih giat mengajinya. Pasti, suatu saat nanti, Adam akan membutuhkan Al-Qur’an sebagai penuntun kehidupan Adam. Selagi Adam masih muda, pergunakanlah masa muda Adam ini dengan hal-hal yang positif. Jangan pernah terbersit sedikitpun untuk melakukan hal-hal yang tidak berguna. Belajarnya harus lebih giat lagi. Mengajinya harus lebih rajin lagi. Ingat, Adam adalah seorang laki-laki, yang nantinya akan menjadi seorang imam untuk istri dan anak-anak Adam. Sebisa mungkin Adam harus menjadi imam yang baik bagi mereka kelak. Itu wajib hukumnya.

Untuk Adam lagi, ayo kita bersama-sama untuk lebih serius dan rajin dalam mempelajari Al-Qur’an. Aa ingin, Aa, Adam, dan orang-orang yang kita sayangi lainnya, bisa memahami kitab petunjuk kita ini dengan baik. Semoga, pada hari esok kelak, kita tidak tersesat jalan. Aa harap, akan ada seberkas cahaya sangat terang yang menununtun jalan kita. Mari kita jaga agar keluarga kita terbebas dari api neraka yang sangat panas. Mari kita berdo’a bersama, agar jalan kita dimudahkan oleh Allah SWT. Aamiin.
***


Meisya Anjani Wiraksa, adalah adik nomer tigaku. Dia adik paling buncit, alias adik paling bungsu. Usianya masih balita. Jika aku diharuskan memilih empat kata untuk mewakili perasaanku untuk adikku yang satu ini, maka aku akan memilih kata: gendong, cubit, nangis dan cium. Kenapa aku memilih kata-kata itu? Ayo kita jawab. Untuk gendong, ketika aku pulang kampung nanti, hal pertama yang akan aku lakukan saat melihat Meisya adalah, aku akan segera menggendongnya. Untuk cubit, saat Meisya ada dalam gendonganku, akan aku cubiti pipinya sampai dia nangis. Aku rindu melihat raut wajahnya saat menangis. Wajah dia lucu pada saat nangis. Penjelasan cubit ini mewakili juga untuk kata yang ketiga, yaitu nangis. Dan untuk yang cium, ketika adikku itu nangis, maka aku akan segera menciumi dia, hingga tangisnya berhenti. Oh, aku rindu Meisya, adikku yang sangat imut.

Untuk Meisya, Aa do’akan, kelak Meisya akan menjadi seorang wanita yang cantik, cerdan, pinter masak, dan solehah tentunya. Juga, Meisya bisa membahagiakan keluarga semuanya. Aamiin.

Satu lagi pesan untuk semua adik-adik Aa, jadilah orang yang bermanfa’at untuk orang banyak. Jadilah insan yang berguna untuk diri sendiri, keluarga, daerah, bangsa dan Islam tercinta. Tetap semangat!
***

Selasa, 09 Agustus 2011

Surat Untuk Calon Istriku


Ku awali dengan sebuah senyuman yang tersungging di bibirku. Rasa-rasanya, rugi sekiranya perenungan ini tidak aku abadikan dalam tulisanku. Coretan ini, aku persembahkan untuk calon pendamping hidupku kelak. Seorang wanita baik, cantik, penurut dan pinter masak, terutama sekali bikin sambal terasi. Hingga detik ini, Allah SWT masih merahasiakan siapa dirinya. Mungkin, bidadari surgaku itu adalah wanita yang sudah aku kenal, atau juga perempuan yang belum aku kenal. Mungkin usianya diatasku, atau juga dibawahku. Mungkin rumahnya dekat dengan rumahku, mungkin juga sangat jauh disana. Mungkin, selama ini dia diam-diam mengagumiku, atau wanita yang selama ini aku kagumi. Mungkin dia teman SD, SMP, SMA, teman kuliah, teman di PPM, ataupun teman di dunia mayaku. Mungkin, wanita itu adalah salah-satu dari empat yang telah ditawarkan oleh sang ibu mereka untukku. Dan masih banyak kemungkinan-kemungkinan yang lainnya. Yang jelas, Allah SWT pasti memberikan yang terbaik untukku. Aku yakin itu.

Wahai calon istriku, bersiap-siaplah untuk hari itu. Hari dimana ketika itu mentari bersinar dengan terang. Langit menampakan wajah terbaik yang dia miliki. Angin lembut bertiup lembut menghampiri rumahmu, masuk menuju ruang tamu, yang di dalamnya ada beberapa orang yang sedang berbincang. Mereka adalah bapakmu, ibumu, juga aku. Sementara dirimu, duduk dengan hati yang tidak menentu. Gembira, gugup dan takut bercampur menjadi satu. Engkau duduk di atas tempat tidurmu, dengan telinga dipasang baik-baik, supaya bisa mendengarkan jawaban apa yang keluar dari mulut bijaksana bapakmu.

Duhai calon istriku, marilah kita penuhi terlebih dahulu hati dan otak kita dengan ilmu. Ilmu yang nantinya akan kita gunakan untuk mengarungi perjalanan kehidupan kita. Sebuah perjalanan yang terdapat banyak sekali rintangan. Perjalanan yang naik-turun dan berliku. Perjalanan yang banyak sekali jurang di sisi kanan dan kiri jalannya. Semoga, ilmu itu dapat mengantarkan kita hingga tujuan yang ingin kita capai, yaitu ridhoNya. Meskipun aku belum tahu siapa dirimu, dan engkau juga belum tahu kalau diriku adalah pasanganmu kelak. Bersama-sama, mari kita cari ilmu itu.

Aku bisa membayangkan ketika hari itu tiba. Saat rombongan keluargaku tiba di istanamu. Saat itu pihak keluargamu menyambut dengan sangat hangat dan meriah. Hantaman rebana menyelimuti suasana indah itu. Kemudian, tidak lama sesudah itu, setelah ikatan kita telah diresmikan, engkau dengan malu-malu mencium lembut tanganku. Bibir halusmu menyentuh punggung tangan kananku. Tahukah engakau wahai calon istriku. Aku bahagia ketika itu. Aroma semerbak bunga melati dan rasa dinginnya salju menjalar menuju hatiku. Aku tidak mau kalah. Aku balas dengan menghujamkan kecupan pada keningmu yang mulus. Engaku merasa malu ketika itu. Engkau tersenyum padaku, lalu menundukan wajah melihat ke lantai. Semua orang yang melihat kita, mereka terciprati kebahagiaan kita. Mereka tersenyum-senyum sendiri. Bagi yang sudah menikah, pikiran mereka kembali pada saat-saat mereka sedang berada di posisi kita sekarang. Bagi yang belum menikah, mereka ingin menyusul kita, untuk segera menyempurnakan separuh agama mereka.

Namun, suasana menjadi tegang ketika langit merubah kulitnya menjadi hitam. Bulan bersinar dengan terang dan bintang-bintang berkerlipan manja. Ketika itu, hanya ada kita di dalam sebuah ruangan sempit yang terdapat banyak hiasan di sekelilingnya. Setelah solat dua rakaat berjamaah, kita duduk saling menyamping. Aku disamping kananmu dan engkau disamping kiriku. Tidak ada kata yang keluar dari mulut kita, yang ada hanya sesekali kita saling memandang dan menundukan pandangan lagi. Tahukah engaku wahai calon istriku. Aku gugup saat itu, dan akupun tahu, engakupun merasakan hal yang sama dengan diriku. Suasana menjadi hening dan malampun semakin larut. Dengan jantung gemetar, secara perlahan, aku memberanikan diri mendekatkan wajahku menuju wajah cantikmu, dan engkau menyambutnya dengan hati yang ikhlas. Nyanyian jangkrik menjadi musik pengiring malam indah kita.
***

Wahai bidadari surgaku, sudah suatu kepastian, jika hidup dalam sebuah keluarga itu tidak hanya manis yang dirasakan. Sesekali, pasti rasa asam, asin, kecut, tawar hingga pahit pun akan tiba. Begitupun dengan kita. Semua rasa itu, mungkin dan bahkan bisa dikatakan pasti menghampiri kita. Untuk itu, marilah kita mempersiapkannya. Persiapkan segenap upaya untuk menanggulangi semua kemungkinan-kemungkinan itu.

Saat yang tidak diinginkan mengahmpiri kita, aku ingin kita saling sabar dan sekuat mungkin menahan agar tidak ada kemarahan diantara kita. Kalaupun nantinya ada salah-satu dari kita yang marah. Aku ingin pihak yang lain untuk tidak menanggapi terlebih dahulu kemarahannya. Jika aku yang marah, aku berharap engakulah yang bersabar. Engaku jangan meladeni kemarahanku. Diam saja dulu. Ketika suasana mulai mendingin, baru engkau mengkomunikasikannya dengan diriku. Kita cari bersama penyebab permasalahan yang timbul, kita cari solusinya, juga mengevaluasi agar kedepannya tidak terulang lagi. Pun sebaliknya. Saat engkau yang marah, sebisa mungkin aku akan diam terlebih dahulu. Aku tidak akan meladeni kemarahanmu, karena, jika aku ikut marah, maka semuanya akan lebih runyam. Aku baru akan berbicara ketika hatimu mulai mendingin kembali.

Wahai calon istriku, engaku pasti tahu, kalau hidup itu layaknya sebuah roda. Selalu berputar, yang awalnya ada di atas, berganti menjadi di bawah, dan yang tadinya berada di bawah, berpindah menjadi di atas. Begitupun dengan hidup keluarga kita. Besar kemungkinan, kelak kita akan merasakan posisi di bawah. Wahai bidadariku, aku sangat bahagia, sebahagia-bahagianya, ketika kita berada pada posisi di bawah, engaku dengan tetap setia selalu berada di sampingku. Engkau menghiburku dikala aku kecewa. Engkau menghapus air mataku, disaat aku menitikan air mata. Engkau menghilangkan rasa capekku, diwaktu aku merasa lelah. Dan engkau meluruskan jalanku dan jalan kita, ketika aku berbelok arah. Engaku menjadi pemanduku dikala aku goyah.

Wahai manisku, aku ingin mengajakmu tinggal dan menetap di daerahku. Di sebuah perkampungan yang terletak di pesisir selat sunda. Sebuah hamparan pantai yang elok dipandang mata. Disana, kita akan memulai semuanya. Kita akan berdakwah bersama, guna mewujudkan masyarakat yang madani. Marilah, saat ini kita mencari bekal untuk tujuan mulia itu, yaitu, menegakan agama Allah.

Wahai cintaku, aku ingin engkau memfokuskan konsentrasi untuk keluarga kecil kita, keluarga tercinta kita. Engkau mendidik dan mengajarkan anak-anak kita yang cantik dan tampan agar mereka menjadi anak-anak yang soleh dan solehah. Agar mereka menjadi anak-anak surga, yang bisa membuat hati kita sebagai orang tuanya merasa bahagia. Jangan khawatir, untuk urusan nafkan, itu adalah kewajibanku. Biar aku saja yang mencarinya. Tugas engkau hanyalah bagaimana caranya mengelola rezeki itu dengan sebaik-baiknya.

Wahai calon istriku, aku tahu, sebelum lebaran tiba, engkau pasti ingin mudik dan bertemu dengan orang tuamu di kampung halamanmu. Untuk itu, aku akan membagi dua lebaran yang ada. Lebaran idul fitri, kita rayakan di kampung halamanku, tempat istana kita berdiri. Dan ketika lebaran kurban, kita bersama-sama mudik ke rumah orang tuamu. Tapi, ketika lebaran fitri tiba, jangan dikira kita tidak akan sungkeman ke rumah orang tuamu, mertuaku, orang tuaku juga. Beberapa hari setelah lebaran, setelah kita sungkeman dengan orang tuaku, mertuamu, orang tuamu juga. Kita langsung meluncur menuju orang tua kita di sana, di sebuah negeri yang elok, tempat engkau dilahirkan dan dibesarkan.

Duhai bidadari surgaku. Meskipun aku belum tahu siapa dirimu, wanita cantik yang akan mendampingiku kelak. Namun, rindu itu sudah ada. Dia telah mendarat di landasan hatiku. Aku minta, sebisa mungkin, kita harus menjaga kesucian diri kita. Hingga waktu itu tiba.

Yaa Allah, yang tidak ada tuhan selain Engkau, yang hidup kekal lagi terus menerus mengurusi makhlukNya, tidak mengantuk dan tidak tidur, kepunyaanMu apa yang ada di langit dan yang ada di bumi. Mohon, lindungilah diriku dan calon istriku kelak, yang telah Engkau takdirkan untuk menemaniku. Buatlah kami kuat untuk menjaga kesucian diri kami. Jika aku sudah mengenal dia, maka buatlah interaksi kami sesuai dengan aturanMu. Kami tidak berinteraksi melainkan karena hal-hal yang memang perlu saja. Dan jika aku belum mengenal dia, maka hamba memohon, jagalah dia, jagalah dia, jagalah bidadari surgaku itu.
***