Selasa, 09 Agustus 2011
Surat Untuk Calon Istriku
Ku awali dengan sebuah senyuman yang tersungging di bibirku. Rasa-rasanya, rugi sekiranya perenungan ini tidak aku abadikan dalam tulisanku. Coretan ini, aku persembahkan untuk calon pendamping hidupku kelak. Seorang wanita baik, cantik, penurut dan pinter masak, terutama sekali bikin sambal terasi. Hingga detik ini, Allah SWT masih merahasiakan siapa dirinya. Mungkin, bidadari surgaku itu adalah wanita yang sudah aku kenal, atau juga perempuan yang belum aku kenal. Mungkin usianya diatasku, atau juga dibawahku. Mungkin rumahnya dekat dengan rumahku, mungkin juga sangat jauh disana. Mungkin, selama ini dia diam-diam mengagumiku, atau wanita yang selama ini aku kagumi. Mungkin dia teman SD, SMP, SMA, teman kuliah, teman di PPM, ataupun teman di dunia mayaku. Mungkin, wanita itu adalah salah-satu dari empat yang telah ditawarkan oleh sang ibu mereka untukku. Dan masih banyak kemungkinan-kemungkinan yang lainnya. Yang jelas, Allah SWT pasti memberikan yang terbaik untukku. Aku yakin itu.
Wahai calon istriku, bersiap-siaplah untuk hari itu. Hari dimana ketika itu mentari bersinar dengan terang. Langit menampakan wajah terbaik yang dia miliki. Angin lembut bertiup lembut menghampiri rumahmu, masuk menuju ruang tamu, yang di dalamnya ada beberapa orang yang sedang berbincang. Mereka adalah bapakmu, ibumu, juga aku. Sementara dirimu, duduk dengan hati yang tidak menentu. Gembira, gugup dan takut bercampur menjadi satu. Engkau duduk di atas tempat tidurmu, dengan telinga dipasang baik-baik, supaya bisa mendengarkan jawaban apa yang keluar dari mulut bijaksana bapakmu.
Duhai calon istriku, marilah kita penuhi terlebih dahulu hati dan otak kita dengan ilmu. Ilmu yang nantinya akan kita gunakan untuk mengarungi perjalanan kehidupan kita. Sebuah perjalanan yang terdapat banyak sekali rintangan. Perjalanan yang naik-turun dan berliku. Perjalanan yang banyak sekali jurang di sisi kanan dan kiri jalannya. Semoga, ilmu itu dapat mengantarkan kita hingga tujuan yang ingin kita capai, yaitu ridhoNya. Meskipun aku belum tahu siapa dirimu, dan engkau juga belum tahu kalau diriku adalah pasanganmu kelak. Bersama-sama, mari kita cari ilmu itu.
Aku bisa membayangkan ketika hari itu tiba. Saat rombongan keluargaku tiba di istanamu. Saat itu pihak keluargamu menyambut dengan sangat hangat dan meriah. Hantaman rebana menyelimuti suasana indah itu. Kemudian, tidak lama sesudah itu, setelah ikatan kita telah diresmikan, engkau dengan malu-malu mencium lembut tanganku. Bibir halusmu menyentuh punggung tangan kananku. Tahukah engakau wahai calon istriku. Aku bahagia ketika itu. Aroma semerbak bunga melati dan rasa dinginnya salju menjalar menuju hatiku. Aku tidak mau kalah. Aku balas dengan menghujamkan kecupan pada keningmu yang mulus. Engaku merasa malu ketika itu. Engkau tersenyum padaku, lalu menundukan wajah melihat ke lantai. Semua orang yang melihat kita, mereka terciprati kebahagiaan kita. Mereka tersenyum-senyum sendiri. Bagi yang sudah menikah, pikiran mereka kembali pada saat-saat mereka sedang berada di posisi kita sekarang. Bagi yang belum menikah, mereka ingin menyusul kita, untuk segera menyempurnakan separuh agama mereka.
Namun, suasana menjadi tegang ketika langit merubah kulitnya menjadi hitam. Bulan bersinar dengan terang dan bintang-bintang berkerlipan manja. Ketika itu, hanya ada kita di dalam sebuah ruangan sempit yang terdapat banyak hiasan di sekelilingnya. Setelah solat dua rakaat berjamaah, kita duduk saling menyamping. Aku disamping kananmu dan engkau disamping kiriku. Tidak ada kata yang keluar dari mulut kita, yang ada hanya sesekali kita saling memandang dan menundukan pandangan lagi. Tahukah engaku wahai calon istriku. Aku gugup saat itu, dan akupun tahu, engakupun merasakan hal yang sama dengan diriku. Suasana menjadi hening dan malampun semakin larut. Dengan jantung gemetar, secara perlahan, aku memberanikan diri mendekatkan wajahku menuju wajah cantikmu, dan engkau menyambutnya dengan hati yang ikhlas. Nyanyian jangkrik menjadi musik pengiring malam indah kita.
***
Wahai bidadari surgaku, sudah suatu kepastian, jika hidup dalam sebuah keluarga itu tidak hanya manis yang dirasakan. Sesekali, pasti rasa asam, asin, kecut, tawar hingga pahit pun akan tiba. Begitupun dengan kita. Semua rasa itu, mungkin dan bahkan bisa dikatakan pasti menghampiri kita. Untuk itu, marilah kita mempersiapkannya. Persiapkan segenap upaya untuk menanggulangi semua kemungkinan-kemungkinan itu.
Saat yang tidak diinginkan mengahmpiri kita, aku ingin kita saling sabar dan sekuat mungkin menahan agar tidak ada kemarahan diantara kita. Kalaupun nantinya ada salah-satu dari kita yang marah. Aku ingin pihak yang lain untuk tidak menanggapi terlebih dahulu kemarahannya. Jika aku yang marah, aku berharap engakulah yang bersabar. Engaku jangan meladeni kemarahanku. Diam saja dulu. Ketika suasana mulai mendingin, baru engkau mengkomunikasikannya dengan diriku. Kita cari bersama penyebab permasalahan yang timbul, kita cari solusinya, juga mengevaluasi agar kedepannya tidak terulang lagi. Pun sebaliknya. Saat engkau yang marah, sebisa mungkin aku akan diam terlebih dahulu. Aku tidak akan meladeni kemarahanmu, karena, jika aku ikut marah, maka semuanya akan lebih runyam. Aku baru akan berbicara ketika hatimu mulai mendingin kembali.
Wahai calon istriku, engaku pasti tahu, kalau hidup itu layaknya sebuah roda. Selalu berputar, yang awalnya ada di atas, berganti menjadi di bawah, dan yang tadinya berada di bawah, berpindah menjadi di atas. Begitupun dengan hidup keluarga kita. Besar kemungkinan, kelak kita akan merasakan posisi di bawah. Wahai bidadariku, aku sangat bahagia, sebahagia-bahagianya, ketika kita berada pada posisi di bawah, engaku dengan tetap setia selalu berada di sampingku. Engkau menghiburku dikala aku kecewa. Engkau menghapus air mataku, disaat aku menitikan air mata. Engkau menghilangkan rasa capekku, diwaktu aku merasa lelah. Dan engkau meluruskan jalanku dan jalan kita, ketika aku berbelok arah. Engaku menjadi pemanduku dikala aku goyah.
Wahai manisku, aku ingin mengajakmu tinggal dan menetap di daerahku. Di sebuah perkampungan yang terletak di pesisir selat sunda. Sebuah hamparan pantai yang elok dipandang mata. Disana, kita akan memulai semuanya. Kita akan berdakwah bersama, guna mewujudkan masyarakat yang madani. Marilah, saat ini kita mencari bekal untuk tujuan mulia itu, yaitu, menegakan agama Allah.
Wahai cintaku, aku ingin engkau memfokuskan konsentrasi untuk keluarga kecil kita, keluarga tercinta kita. Engkau mendidik dan mengajarkan anak-anak kita yang cantik dan tampan agar mereka menjadi anak-anak yang soleh dan solehah. Agar mereka menjadi anak-anak surga, yang bisa membuat hati kita sebagai orang tuanya merasa bahagia. Jangan khawatir, untuk urusan nafkan, itu adalah kewajibanku. Biar aku saja yang mencarinya. Tugas engkau hanyalah bagaimana caranya mengelola rezeki itu dengan sebaik-baiknya.
Wahai calon istriku, aku tahu, sebelum lebaran tiba, engkau pasti ingin mudik dan bertemu dengan orang tuamu di kampung halamanmu. Untuk itu, aku akan membagi dua lebaran yang ada. Lebaran idul fitri, kita rayakan di kampung halamanku, tempat istana kita berdiri. Dan ketika lebaran kurban, kita bersama-sama mudik ke rumah orang tuamu. Tapi, ketika lebaran fitri tiba, jangan dikira kita tidak akan sungkeman ke rumah orang tuamu, mertuaku, orang tuaku juga. Beberapa hari setelah lebaran, setelah kita sungkeman dengan orang tuaku, mertuamu, orang tuamu juga. Kita langsung meluncur menuju orang tua kita di sana, di sebuah negeri yang elok, tempat engkau dilahirkan dan dibesarkan.
Duhai bidadari surgaku. Meskipun aku belum tahu siapa dirimu, wanita cantik yang akan mendampingiku kelak. Namun, rindu itu sudah ada. Dia telah mendarat di landasan hatiku. Aku minta, sebisa mungkin, kita harus menjaga kesucian diri kita. Hingga waktu itu tiba.
Yaa Allah, yang tidak ada tuhan selain Engkau, yang hidup kekal lagi terus menerus mengurusi makhlukNya, tidak mengantuk dan tidak tidur, kepunyaanMu apa yang ada di langit dan yang ada di bumi. Mohon, lindungilah diriku dan calon istriku kelak, yang telah Engkau takdirkan untuk menemaniku. Buatlah kami kuat untuk menjaga kesucian diri kami. Jika aku sudah mengenal dia, maka buatlah interaksi kami sesuai dengan aturanMu. Kami tidak berinteraksi melainkan karena hal-hal yang memang perlu saja. Dan jika aku belum mengenal dia, maka hamba memohon, jagalah dia, jagalah dia, jagalah bidadari surgaku itu.
***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
tulisannya sederhana.. tapi uwoo banget. Semangat menjaga diri.. semoga diberikan yg terbaik :)
BalasHapus