Selasa, 25 Mei 2010

Belajar Menerima Kekalahan


Hasrat ingin menulis selalu memanggil-manggil jiwaku akhir-akhir ini. Sudah lama memang aku tidak menumpahkan apa yang ada di dalam pikiranku ke dalam sebuah tulisan, terlepas bagus atau jeleknya opiniku itu. Banyaknya kegiatan yang menyangkut dunia perkuliahanlah salah-satu penyebabnya. Sebenarnya bukan alasan, karena banyak tugas aku jadi jarang menulis. Jika saja aku pandai dalam mengelola waktu, mungkin kedua kegiatan itu akan berjalan berdampingan dan tidak mengganggu satu sama lain. Berarti, hal ini mengisyaratkan bahwa aku harus berusaha memperbaiki kekuranganku yang satu ini. Aku harus pandai-pandai mengelola waktu yang kumiliki agar aku bisa menjalankan hobi menulisku juga kewajibanku sebagai mahasiswa berjalan sebagaimana mestinya, atau juga membagi waktu dengan hal atau kegiatan yang lainnya.

Berita pagi di televisi mengabarkan bahwa ratusan massa mengamuk di gedung KPUD. Puluhan mobil dibakar dan gedung KPUD juga tidak luput dari amuk massa tersebut. Motiv mereka melakukan semua itu adalah kekurang puasan atas tidak lolos ferivikasinya bakal calon bupati yang mereka dukung. Mereka meminta bakal calon bupati yang mereka dukung untuk diloloskan ferivikasi. Padahal, bukan tanpa alasan pihak KPU tidak meloloskan bakal calon bupati tersebut. Mungkin saja atau bahkan pasti, ada salah-satu faktor yang tidak dimiliki bakal calon bupati itu sehingga dia tidak lolos.

Sifat-sifat seperti itu (massa yang mengamuk) yang harus dimusnahkan atau setidaknya diminimalisir lah, supaya bangsa ini bisa maju. Mereka belum siap untuk menerima sebuah kekalahan. Padahal dalam sebuah kompetisi itu pasti ada yang menang dan yakin bin pasti juga ada yang kalah. Pihak yang kalah itu seharusnya legowo dengan nasib yang mereka dapati. Kekalahan yang mereka terima tiada lain adalah disebabkan oleh kekurang siapan mereka dalam menghadapi kompetisi tersebut. Seharusnya kekalahan itu bisa mereka jadikan cambuk pemicu untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan yang mereka miliki, bukannya malah mengamuk tidak keruan dan meminta sebuah hak yang tidak seharusnya mereka miliki. Kalaupun, calon bupati yang mereka dukung diloloskan karena ketakutan KPUD pada kekuatan massa itu, dan misalkan hasil akhirnya adalah calon bupati yang mereka dukung memenangkan pemilihan bupati tersebut, berarti kota tersebut akan dipimpin oleh seorang bupati yang tidak kompeten, yang pada akhirnya akan berujung kepada tidak bagusnya pengelolaan kota tersebut. Jika sudah demikian adanya, kehancuran kota tersebut hanya tinggal menunggu waktu saja. Jika sudah terjadi demikian, siapa yang rugi?????????????

Kalau saja mereka menyadari dengan apa yang sudah mereka perbuat dan memiliki pemikiran seperti yang sudah tertulis pada statement di atas (menerima sebuah kekalahan), mungkin tidak akan terjadi tindakan-tindakan bodoh yang sudah mereka lakukan itu.

Saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air, mari kita belajar untuk menerima sebuah kekalahan, kekalahan demi sebuah kemenangan !!!!

Selasa, 04 Mei 2010

Efek Samping


Tidak semua prestasi yang seseorang raih akan membuahkan hal yang baik, bisa saja terselip sebuah efek samping yang membuat sang pembuat prestasi itu merasa tidak nyaman. Contoh nyatanya terjadi pada saya. Ketika masa ospek universitas berlangsung. Para pembina yang tidak lain adalah senior-senior saya mengadakan perlombaan menulis puisi yang bertemakan kepedulian generasi muda terhadap lingkungan. 'Tak ayal demi menanamkan benih popularitas, semua mahasiswa baru mencoba mengikuti perlombaan tersebut. Yang menang perlombaan itu pasti akan terkenal. Begitulah kurang lebih isi hati para mahasiswa baru, tidak terkecualii juga saya. Iseng-isengan mencoba mengikuti lomba menulis puisi itu, siapa tahu ketika melihat puisi saya, para juri tiba-tiba sakit mata dan memberikan nilai besar untuk puisi saya, kemudian mereka memutuskan puisi saya sebagai juara dari perlombaan ini. Begitulah hayalan saya ketika itu.

Genderang perlombaan sudah mulai dibunyikan. Semua mahasiswa baru, memeras otak demi sebuah puisi yang indah. Berbagai latar belakang dan pengetahuan yang berbeda tentunya akan membuat puisi yang dihasilkan akan berbeda-beda pula. Hal ini akan semakin membuat menarik saja kompetisi ini, ditambah lagi waktu yang diberikan panitia untuk pembuatan puisi tersebut hanya satu hari saja. " Supaya kalian tertekan, karena dengan tekananlah kalian akan berpikir kritis," begitulah alasan yang keluar dari mulut panitia.

Sehabis solat subuh, di kos-kosan teman yang lebih dulu menjadi mahasiswa, saya tumpahkan apa yang ada di hati saya ke dalam kertas putih. Kata demi kata memenuhi kertas putih itu. Suasana hati yang masih tenang dan belum tercemar oleh pikiran-pikiran lain, memudahkan saya dalam menyelesaikan puisi tersebut. Tanpa disadari, sang raja siang sudah muncul dari peristirahatannya. Bergegas saya pindahkan puisi saya ke dalam layar monitor komputer, kemudian langsung di print out. Tanpa banyak pikir lagi, saya langsung meluncur menuju kamar mandi.

Setibanya di kampus, semua puisi sudah ada di tangan pihak panitia. Giliran mereka sekarang yang pusing karena harus membaca dan menilai puisi yang jumlahnya seabreg-abreg. Kami, calon mahasiswa baru, sibuk dengan rangkaian kegiatan ospek yang lainnya.

Tidak terasa, tiga hari sudah terlewat. Hari ini adalah hari terakhir saya ospek. Semua calon mahasiswa dikumpulkan di gedung Gymnasium yang sangat luas. Kami semua duduk menghadap sebuah panggung pertunjukan. Pertunjukan demi pertunjukan di showkan. Tidak sedikit mahasiswa baru yang menyumbangkan kehebatannya, ada yang bernyanyi, ada yang menari, ada yang jugling bola sepak, dan masih banyak lagi pertunjukan yang lainnya.

Sekarang, tibalah saat yang sangat menegangkan, saat-saat dimana jantung peserta lomba menulis puisi berdetak tidak keruan. Sepasang MC berdiri di tengah-tengah panggung. Tidak jarang celotehan mereka membuat yang mendengar tertawa ringan. " Baiklah, sekarang tibalah saatnya untuk kita mengumumkan para pemenang lomba puisi yang bertemakan kepedulian kaum muda terhadap lingkungan," ucap MC laki-laki.

".... dan, pemenang pertama jatuh kepada puisi yang berjudul 'sepucuk toge'"

" Bagi yang merasa memiliki puisi berjudul 'sepucuk toge' dipersilahkan untuk naik ke atas panggung,"perintah MC wanita.

WHAT, puisi itu, puisi itu milik saya. Khawatir ada judul puisi yang sama dengan puisi yang saya tulis, saya sisir semua mahasiswa baru, takut-takut ada yang berdiri hendak naik ke atas panggung. Tidak lucu kan, seandainya saya naik ke atas panggung, tapi ternyata juaranya adalah puisi orang lain yang judulnya sama dengan puisi saya. Betapa malunya saya jika itu benar-benar terjadi. Khawatir peristiwa itu terjadi, sekali lagi saya sisir semua mahasiswa yang duduk. Ternyata, belum juga ada mahasiswa yang berdiri, apakah memang benar, puisi itu adalah puisi saya???

"...kepada saudara Niko Cahya Pratama, diharap untuk naik ke atas panggung," perintah MC wanita sekali lagi.

Oh My God, ternyata benar , itu puisi saya. Dengan tidak banyak pikir lagi saya langsung berdiri dan berjalan menuju panggung. Karena posisi duduk saya semula agak sedikit di belakang, jadi saya harus terlebih dahulu melewati ratusan, bahkan ribuan mahasiswa baru yang duduk di posisi tengah atau juga depan. Bisikan-bisikan terdengar ketika saya berjalan di antara ribuan mahasiswa baru itu.

Sesampainya di panggung, saya diminta MC untuk membacakan puisi yang saya buat. Dengan sedikit keraguan dihati, setelah butuh beberapa pertimbangan, akhirnya saya penuhi permintaan MC. Sesaat setelah saya membacakan judul dari puisi yang saya baca, secara tiba-tiba suasana gedung menjadi hening tanpa suara sedikitpun bak sedang berada di sebuah perkampungan terpencil pada jam dua belas di malam jum'at kliwon. Dengan takjim dan penuh penghayatan, saya membaca puisi. Sorakan dan tepuk tangan membahana ke seluruh penjuru gedung. Puluhan jabat tangan tertuju pada saya ketika kembali ke ruang kelas tempat jurusan saya di orientasi, baik itu dari kaum Adam ataupun kaum Hawa, dari tangannya yang kasar sampai yang halus, dari yang besar sampai yang mungil, dari yang putih sampai yang hitam, dari yang berasal dari Sabang sampai Merauke, semuanya saya rasakan. Semua macam bentuk ucapan selamat dilayangkan pada saya. Saya akhiri masa ospek ini dengan hati yang berbinar-binar. Saya sudah tidak sabar lagi untuk segera memulai ajaran baru dan membuat prestasi-prestasi yang lebih dari ini. Prestasi awal ini telah memicu saya untuk bisa berbuat lebih.
********

Niat untuk berangkat pagi gagal. Karena kamar mandi di kosan teman saya cuman ada satu, tidak sebanding dengan jumlah orang yang tinggal, yaitu tujuh orang, maka dengan berat hati, saya harus mengalah kapada juragan-juragan kosan yang kebetulan pada hari ini sedang jadwal kuliah pagi, dan konsekuensinya adalah kemungkinan besar pada hari pertama kuliah ini saya akan datang terlambat.

Bergegas saya naiki tangga menuju lantai empat. Dengan perasaan sedikit was-was saya mengetuk pintu. Saya buka. Puluhan mahasiswa sudah duduk di kursi pilihan mereka masing-masing. Beruntung dosen belum hadir. Saya berikan senyum terindah yang saya punya kepada teman-teman mahasiswa baru. Mereka membalas dengan senyuman yang bersahabat. Mata saya tertuju pada seorang mahasiswa perempuan yang mengenakan busana muslim warna hijau muda. Dia terlihat sangat anggun dan cantik. Saya melontarkan sekali lagi senyum terindah saya, namun kali ini spesial hanya untuk mahasiswa berbusana muslim hijau muda, dan gayung pun bersambut. Dia membalas senyum saya. Namun, bersamaan dengan itu, dia mengucapkan suatu kata, karena kata itu, selama satu semester penuh saya dipanggil dengan tidak menggunakan nama asli saya.

Mata kami saling memandang, "Mas Toge," ujar mahasiswa berbusana muslim hijau muda. Seisi ruangan tertawa ringan. Saya hanya bisa menggaruk-garuk kepala sembari berjalan mencari kursi kosong.



Senin, 03 Mei 2010

Cermin


Tadi, sebelum saya menulis tulisan ini, saya tersenyum sendiri mengingat kejadian yang pernah saya alami. Kejadian ini terjadi ketika saya masih menjabat sebagai guru honor di sekolah dasar yang juga tempat saya menuntut ilmu dulu. Sebenarnya kejadian ini sepele, sangat sepele malah. Akan tetapi sangat membekas di hati saya, hingga detik inipun saya belum bisa untuk melupakannya, mungkin sampai kapanpun saya tidak akan pernah bisa melupakan peristiwa unik ini. Setelah peristiwa itu terjadi, ada yang berubah dari sikap saya, meskipun hanya sedikit, akan tetapi perubahan itu sangat berharga untuk saya.

Peristiwa unik itu adalah sebagai berikut.

Pagi ini cuaca sangat cerah. Awan cirro-cumulus terlihat mengkilat bak mutiara. Para siswa Sekolah Dasar Negeri Cipacung sudah berada diruangan dan siap untuk belajar. Beberapa guru berjalan keluar ruangan untuk segera mengajar dan beberapa guru tersisa masih bergelut dengan buku-bukunya.

Mata saya masih terasa berat, karena hampir semalaman saya mengerjakan tugas dari bapak kepala sekolah. Saya disuruh untuk menyalin semua data-data sekolah. Malam tadi saya hanya tidur tiga jam. Jika tidak ingat akan betapa sulitnya orang tua mencari uang untuk biaya sekolah anaknya, berharap bisa tumbuh menjadi orang sukses dan bisa mengangkat derajat keluarga. Jika tidak ingat akan hari dikumpulkannya semua umat manusia dari Nabi Adam As, sampai manusia terakhir yang pernah hidup di muka bumi ini di padang mahsyar kelak, dengan tujuan mempertanggung jawabkan semua perbuatan yang telah dilakukan, ingin rasanya saya menggunakan waktu mengajar saya dengan sedikit melepas lelah. Karena pertimbangan-pertimbangai itu saya urungkan niat untuk berleha-leha.

Saya tutup buku paket pelajaran bahasa inggris yang telah dibaca. Bergegas saya berjalan keluar ruangan. Hari ini jadwal saya mengajar pelajaran bahasa inggris kelas enam. Beberapa langkah sebelum keluar dari ruang guru, mata saya tertuju pada sebuah cermin yang tertempel di dinding dekat pintu. Ingin rasanya saya gerakan kaki barang dua atau tiga langkah saja guna melihat penampilan saya di dalam cermin itu, mengingat sekarang saya akan mengajar kelas enam, kelas yang mana para siswanya sudah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, dan yang paling penting adalah para siswinya sudah bisa menilai kadar penampilan seseorang. Karena di ruangan ini masih ada beberapa guru (sebagian guru adalah guru saya ketika masih sekolah di sekolah dasar ini), yang mungkin akan memperhatikan ketika saya sedang bercermin dan tidak menutup kemungkinan mereka akan mengatakan," Ih..... Bapak guru muda genit nih.....", takut seandainya semua kemungkinan itu terjadi, akhirnya saya urungkan niat untuk bercermin. Bergegas saya melanjutkan perjalanan guna menjalankan kewajiban saya sebagai seorang guru.

" Good morning class," ku ucapkan sambil berjalan menuju meja guru dan dibarengi dengan angkatan tangan kanan pertanda memberi salam.

" Good morning, Sir....." jawab siswa berbarengan.

Setelah basa-basi sedikit, saya mencoba menanyakan materi pelajaran yang pernah saya ajarkan. Saya tanya mereka satu persatu, Alhamdulillah, sebagian besar dari mereka dapat mengingat pelajaran terdahulu dan hanya beberapa siswa saja yang tidak bisa menjawab. Sepintas pandangan saya tertuju pada seorang siswa yang paling pintar di kelas ini. Selain menjabat sebagai siswa paling pintar, dia juga merangkap sebagai siswi yang paling cantik. Untuk menguji kepintarannya itu, saya berikan dia pertanyaan yang sedikit sulit dan menantang.

" Tepat. Bagus, jawabannya sempurna," puji saya kerena jawabannya benar.

Terlihat siswi itu tersenyum menatap wajah saya. Setelah saya perhatikan, senyumannya berbeda dengan senyuman terima kasih karena sudah disanjung. Senyumannya misterius dan berbau sedikit keganjilan untuk ukuran usianya. Tanpa banyak pikir lagi, saya ajarkan materi baru yang telah saya pelajari. Detik berganti detik dan menitpun terus berlalu. Tanpa disadarai bel pertanda pergantian pelajaran berbunyi.

TEEEET TEEEEEEET TEEEEEEEEEEEET

" Jangan lupa pekerjaan rumahnya diselesaikan ya!!!" Saya mencoba mengingtkan mereka.

" Baik, Pak......" sahut mereka berbarengan.

" See you next lesson," Saya menutup kelas. Sepintas saya melihat siswi itu tersenyum lagi pada saya. Saya membalas senyuman dia.

Sepanjang perjalanan menuju ruang guru, pikiran saya selalu tertuju pada senyuman misterius yang diberikan siswi kelas enam tadi. " Ah, mungkin ketika dia sedang tersenyum tadi, dia memikirkan hal yang sama dengan siswi kelas lima kemarin," pikir saya dalam hati. Ya, Kemarin jadwal saya mengajar kelas lima dan mengalami kejadian yang hampir serupa dengan kejadian tadi, yang sedikit membedakan adalah kalau siswi kelas lima, setelah dia melayangkan senyumannya, dia membisikan sesuatu kepada teman sebangkunya. Tanpa dia sadari, sayup-sayup saya mendengarkan bisikan itu. Bisikan itu kurang lebih berbunyi seperti ini," Buah nangka buah duren, 'gak nyangka bapak guru muda keren."

Satu langkah memasuki ruang guru, saya berhenti. Saya perhatikan situasi dan kondisi ruangan. Kepala saya celingukan. Kugerakan mata ke kanan dan ke kiri secara bergantian, laksana mata scoby doo yang akan mencuri makanan lezat.

" Asyik sepi," ucap saya sumringah dalam hati.

Tanpa banyak pikir lagi, saya geser kaki ke samping kiri dua langkah. saya balikan badan pada sebuah cermin yang saya belakangi. Akhirnya, bisa juga saya melihat penampilan saya di cermin impian ini. Saya perhatikan wajah dan penampilan saya di cermin yang berukuran empat puluh lima kali tujuh puluh senti meter itu.

" Astaganaga," ucap saya lirih. Bersamaan dengan melihat wajah, saya melihat sebuah benda yang berukuran kecil. Jika ditimbang mungkin berat dari benda itu kurang lebih mencapai satu atau dua gram-an. Benda itu berwarna kuning keemasan. Seakan tidak percaya dengan apa yang sedang saya lihat, saya perhatikan benda itu dengan seksama. Saya perhatikan lagi. Ternyata benda itu terletak di ujung samping dalam mataku.

TIDAK
TIDAAAAAAAK
TIDAAAAAAAAAAAAAAAAAK

Dalam hati saya berteriak," MULAI HARI, JAM, MENIT, DAN DETIK INI JUGA, SAYA TIDAK AKAN MALU LAGI UNTUK BERCERMIN, MESKIPUN SEMUA PENDUDUK DUNIA AKAN MEMPERHATIKAN SAYA, TITIK."