Rabu, 29 Juni 2011

Di Bawah Pohon Lengkeng


Masya Allah, badanku terasa keras, susah untuk digerakan.Bagaimana tidak? Dua hari dua malam sudah aku tidak mandi. Semua ini bukan tanpa penyebab, adalah luka lecet di paha kiriku, kurang-lebih seluas lapangan sepak bola, kalau menurut semut merah kecil. Luka lecet itu memang kecil, tapi cukup untuk membuatku meringis jika tergesek-gesek oleh celana yang kupakai, terlebih lagi jika tersentuh oleh air, huuh, pedih rasanya, karenanya, tubuhku terkena air hanya jika hendak cuci muka, sikat gigi, cuci tangan, cuci kaki dan saat hendak solat saja.

Penyebab luka kecil tapi perih itu adalah sepak bola. Iya, beberapa hari yang lalu, aku bermain memperkuat kesebelasan angkatan 2009, dalam rangka kompetisi pekan olahraga geografi (POG). Saat itu tim kami melenggang ke babak puncak. Lawannya adalah angkatan 2007, kakak tingkat kami. Meskipun kami adik tingkat, tapi hasil berkata lain, kamilah yang menggondol trofi juara pertama, angkatan 2007 terpaksa harus puas bertengger di peringkat kedua. Bagiku, juara itu, harus ditebus oleh sebuah luka lecet di pahaku. Luka itu muncul ketika aku melakukan sliding pada striker lawan. Sliding itu berhasil, bolanya terselamatkan, namun, pahaku tercium oleh tanah lapangan. Kulit pahaku tergores perih.

Selain keras dan susah digerakan, ada satu lagi masalah yang timbul karena hal ini. Aroma tubuhku numayan menyengat hidung siapapun yang berada di dekatku. Namun, permasalahan yang ini mudah saja dicarikan solusinya, yaitu menyemprotkan minyak wangi sebanyak-banyaknya pada tubuhku.Dalam hal ini, Yoga menjadi korban. Dia harus rela memberikan parfumnya padaku, karena minyak wangiku sudah habis.
***

Selesai solat ashar di Baiturrahman, aku langsung membuka baju takwa putihku dan menggantungkannya lagi di balik pintu kamar. Aku mengganti celana katun hitam dengan celana olahraga panjang yang bertuliskan ‘pesantren mahasiswa’ di bagian kanan dan kirinya. Kini tubuhku hanya dibalut oleh kaos oblong putih dan celana panjang olahraga. Aku semprotkan lagi parfum ke seluruh tubuh dan kaosku. Segera, aku meluncur keluar kamar menuju warung makan.

“ Niko, Niko, Niko,” seseorang memanggil-manggil namaku. Aku menoleh ke sumber suara. Kudapati bang Afgan berdiri di depan warung jujur.

“ Ada apa bang?” tanyaku setengah teriak.

“ Boleh minta tolong gak?” bang Afgan nanya balik.

“ Minta tolong apa bang?”

“ Anterin makanan ke asrama Darunnajah!” jawab bang Afgan sambil tersenyum, kepalanya manggut-manggut meyakinkan diriku.

What! Ke asrama akhwat! Otakku mulai liar ketika itu. Hanya dua hal yang ada di kepalaku: pertama adalah bisa melihat para akhwat lebih dekat, karena aku bisa melihatnya langsung di markasnya. Dan yang kedua adalah makan gratis, karena biasanya, setelah menjalankan perintahnya, sang kurir diberikan makan gratis oleh bang Afgan. Siapa yang tidak mau diberi makan gratis oleh bang Afgan, masakannya sangat enak. Tidak heran jika para santri akhwatpun berani merogoh koceknya demi dimasakkan oleh orang yang satu ini. Biasanya, santri akhwat minta dimasakin hanya pada momen-momen tertentu saja, contohnya adalah saat akan diadakan syukuran salah-satu santri akhwat yang telah merampungkan hafalan Alqur’annya. Seperti saat ini.

Setelah semua siap, aku meluncur ke Darunnajah dengan seorang teman. Dia alumni santri APW. Kami mengendarai motor pinjaman milik santri juga. Aku dibonceng di belakang, sementara pilotnya adalah temanku itu. Aku minta agar motornya berjalan dengan pelan, karena dibelakang, aku memeluk dua buah rantang besar isi makanan. Numayan cukup berat.

“ Siap bos,” jawab temanku sambil tetap mengendarai motor dengan pelan.
***

Motor kami merayap masuk asrama Darunnajah. Memasuki gerbang, auranya teras berbeda, terlebih dengan Darussalam, asrama kami, santri ikhwan. Sejuk. Tidak heran, karena pada halamannya terdapat beberapa pohon cukup besar dan rindang. Pohon-pohon itu adalah: pohon rambutan, pohon lengkeng, pohon jambu biji dan pohon mangga.

Dari luar, gedung berlantai dua itu terlihat sepi. Aku intruksikan kepada temanku untuk mengucapkan salam. Belum sempat dia mengucap salam, ada seorang santri akhwat membuka pintu.

Assalamu’alaikum,” sapa temanku.

Wa’alaikumussalam, ada perlu dengan siapa kang?” tanya akhwat itu pada kami. Dia mengenakan kerudung warna merah hati.

“ Ini ada titipan makanan dari kang Afgan,” ucapku.

“ Oh iya,” ujar akhwat berkerudung merah hati itu dengan wajah yang lebih bersahabat.

“ Ini berat teh, mau dibawa ke dalam atau disimpen disini saja?” tawarku padanya.

“ Disimpen di meja itu saja kang!” akhwat itu menunjuk pada kursi-kursi bambu di bawah rindangnya pohon lengkeng. Aku letakan kedua rantang berat yang kupeluk pada meja diantara kursi-kursi bambu itu.

“ Oya, tumpengnya masih di Darussalam teh, nanti insyAllah dibawa pada kloter kedua, setelah ini,” aku memberi tahu. Akhwat berkerudung merah hati itu sedikit tersenyum. Kami langsung pamitan.

“ Nanti siapa yang bawanya? Kang Niko lagi?” akhwat berkerudung merah hati bertanya sekali lagi.

InsyAllah, iya teh.”
***

Kloter kedua. Kami meluncur lagi menuju Darunnajah. Kali ini aku memegang erat nasi tumpeng. Beratnya dua kali dari yang tadi. Aku minta bawa motornya agar lebih pelan dari yang pertama. Sesampainya di tujuan, kami disambut seseorang. Beliau berdiri tegap di depan asrama. Beliau mengenakan sarung kotak-kotak, baju takwa putih dan peci putih.Kami merasakan ketegangan yang teramat sangat. Aku gugup. Beliau adalah imam utama mesjid Da’arut Tauhiid yang tinggal di Darunnajah juga, yaitu ustad Suhud.

Assalamu’alaikum ustad,” sapaku. Aku meletakan nasi tumpeng pada meja. Segera kami salami beliau.

Wa’alaikumussalam,” jawab ustad Suhud ramah. Bersamaan dengan itu, tiga orang santri akhwat keluar hendak mengambil nasi tumpeng. Akhwat pertama berkerudung biru tua, akhwat kedua mengenakan kerudung coklat, sedangkan akhwat yang ketiga adalah akhwat yang tadi, yaitu akhwat berkerudung merah hati. Mereka terlihat anggun dengan balutan busana muslim itu. Kami (aku dan teman ikhwan) pamit pulang pada ustad suhud.

“ Nanti dulu, nanti dulu, ini motor siapa? Bisa dipinjem sebentar tidak?untuk menjemput seseorang,” pinta Ustad Suhud. Untuk sesaat aku dan temanku saling pandang,” oh, silahkan, sangat boleh ustad,” jawab kami berbarengan.

Ustad Suhud menyuruh akhwat berkerudung biru tua untuk memanggilkan salah-satu santri akhwat yang bisa mengendarai motor. Sambil mengangguk, akhwat berkerudung biru tua itu masuk asrama. tidak berselanglama, dia keluar bareng dengan santri akhwat yang mengenakan kerudung coklat. Mereka berdua menghampiri ustad.

“ Teh, tolong jemputin teh Nini di rumahnya ya, itu motornya,” pinta ustad Suhud pada santri akhwat berkerudung coklat. Sepertinya, pada syukuran hataman kali ini, teh Nini yang diundang untuk memberikan tausiah.

“ Baik ustad,” santri berkerudung coklat berjalan menuju motor. Dia naik dengan pelan-pelan. Motor dinyalakan.

“ Hati-hati teh,” pinta ustad Suhud.

“ baik ustad,” jawab santri berkerudung coklat.

Satu menit sudah motor menyala, namun belum juga akhwat itu menjalankan motor. Awalnya aku berfikir dia sedang menghangatkan mesin, tapi aku berubah pikiran ketika melihat raut wajah dia yang terlihat sedang kesulitan.

“ Kenapa belum jalan juga teh?” tanya ustad Suhud.

“ Ini ustad, sudah saya injak, kenapa giginya gak masuk-masuk,” ujar santri akhwat berkerudung coklat. Mendengar itu, kami semua melihat ke arah kaki kanan akhwat itu. Secara berbarengan, kami melepas tawa.

“ Bagaimana tidak masuk, orang yang teteh injak itu bukan gigi, tapi rem!” ustad Suhud memberi tahu. Kami tertawa lagi. Wajah santri berkerudung coklat itu berubah menjadi merah, mungkin dia merasa malu.

“ Jangan gugup gitu atuh teh, memang disini ada siapa?” sindir ustad sambil melirik aku dan temanku. Wajah akhwat berkerudung coklat semakin memerah. Sementara santri akhwat lainnya hanya tersenyum menahan-nahan tawa mereka.

Akhwat berkerudung coklat melajukan motor dengan sangat pelan. Tiga santri akhwat lain masuk lagi ke asrama sambil membawa nasi tumpeng berbarengan. Ustad Suhud mempersilahkan aku dan temanku untuk duduk di kursi bambu yang dipayungi pohon lengkeng. Kami duduk bareng.

“ Gimana, kang Niko betah kuliah sambil nyantri di DT?” ustad membuka pembicaraan.

Alhamdulillah, betah ustad,” jawabku.

“ Akang yang satunya gimana? Betah juga?” tanya ustad kepada temanku.

“ Oh, saya sudah tidak nyantri lagi ustad, saya sudah alumni, alumni santri APW angkatan dua belas, kebetulan saja tadi saya lagi main ke Darussalam,” jawab temanku. Dia terlihat salah tingkah.Ustad Suhud menanggapi jawaban temanku hanya dengan anggukan.

“ Usia kang Nikosekarang berapa?” tanya ustad Suhud.

“ Baru dua puluh dua tahun, ustad.”

“ Wah, sudah cukup dewasa ya, kang Niko rencana mau nikah kapan? Sudah ada calonnya belum?” pertanyaan itu serasa meneror diriku. Temanku hanya tersenyum mesem mendengar pertanyaan itu dilayangkan padaku. Untuk sesaat aku terbengong akibat pertanyaan ustad Suhud.

“ Ma... masih jauh ustad, saya ingin membahagiakan orang tua dulu, saya ingin menaik hajikan mereka dulu ustad,” jawabku sekenanya, dengan intonasi yang sedikit kikuk.

“ Kenapa harus satu persatu? Kenapa tidak langsung dua-duanya? Kang Niko masih bisa membahagiakan kedua orang tua, dengan tidak menunda-nunda nikah. Nikah jalan, membahagiakan orang tua jalan, itu lebih baik kang Niko.Ketika kita menikah, maka pintu-pintu rejeki akan terbuka bagi kita. Kang Niko perlu mengingat itu,” ujar ustad Suhud mantap. Sepertinya dia hendak meyakinkan diriku.Aku hanya diam mendengarkan ucapan-ucapan ustad Suhud. Aku tak bisa apa-apa, selain hanya mengangguk dan mengangguk.

“ Atau jangan-jangan kang Niko masih bingung menentukan calon? Kalau memang itu masalahnya, silahkan kang Niko pilih, disini kan banyak santri akhwat, biar nanti saya yang berbicara kepada santri. Asalkan kang Nikonya siap. Atau saya yang memilihkan, gimana?” ustad mencoba meyakinkanku lagi. sungguh, aku mati kutu dibuat ustad. Aku tidak bisa ngapa-ngapain. Aku tahu, meskipun temanku terlihat diam, tapi dalam hatinya, dia menertawakan diriku.

Hari mulai sore. Perlahan langit meredup. Mungkin hanya tinggal setengah jam-an lagi waktu magrib tiba. Angin sore bertiup dengan sangat lembut, menyusuri lorong-lorong sempit di antara himpitan rumah-rumah warga Geger Kalong. Angin itu terus berjalan menuju asrama Darunnajah. Angin bertiup menyelinap di antara ranting-ranting pohon lengkeng. Beberapa daun kering jatuh melayang-layang, kemudian mendarat berserakan di halaman asrama ini.Disini, masih di bawah naungan pohon lengkeng, kami masih bercengkrama.

Terdengar deruman mesin motor. Santri berkerudung coklat tiba. Dia membonceng seorang ibu dengan balutan gamis warna emas. Ibu-ibu itu terlihat cantik. Dia adalah teh Nini, istrinya Kyai kami, Aa Gym. Ustad Suhud menyambut teh Nini dengan hangat. Santri berkerudung coklat mempersilahkan teh Nini untuk segera masuk asrama, mengingat sebentar lagi akan tiba waktu magrib.

Aku dan temanku segera pamit pulang pada usad Suhud. Kami salami beliau. Kami keluar Darunnajah dengan diiringi saweran daun-daun lengkeng tua yang berjatuhan tertiup angin sore. Sepanjang perjalanan menuju asrama Darussalam, aku terngiang-ngiang dengan jawaban saran dari ustad Suhut atas pertanyaanku. Tadi, aku meminta saran kepada beliau, agar aku diberikan kelancaran dalam menulis.

“ Sebelum nulis, usahakan untuk solat sunnah dua roka’at terlebih dahulu. Agar isi dari tulisannya ada ruhiahnya. Apalagi sekarang kang Niko masih muda. Jiwa-jiwa muda itu cenderung liar. Mereka mudah melakukan maksiat, namun, mudah juga menyesali perbuatannya itu. Dan, untuk menjaga jiwa itu agar tetap bersih, jalannya dengan memperbanyak solat sunnah, juga sering-sering berinteraksi dengan Alqur’an,” saran ustad Suhud atas pertanyaanku.
***

Motor melaju dikeramaian jalanan Geger Kalong. Temanku meminta agar kami gantian menyetir motornya. Dia meminggirkan motor di sisi jalan. Kami bergantian, aku ke depan, dia ke belakang. Kali ini aku yang menjadi sopir. Motor aku jalankan lagi, membelah kawasan pesantren Da’aruut Tauhiid.

“ Wuih, badan antum wangi Ko,” ucap temanku di belakang.

“ Oh, iya, Alhamdulillah,” jawabku. Tapi sayangnya, kamu tidak tahu yang sebenarnya kawan. Sesungguhnya, aku tidak mandi dua hari dua malam.
***

Senin, 27 Juni 2011

Sebuah Do'a


“ Hati-hati dalam memanggil orang! Setiap orang tua berupaya memberikan nama terbaik untuk anak-anaknya. Jangan sakiti mereka dengan ulah kita yang memanggil anaknya dengan sebutan yang tidak-tidak. Panggilan itu adalah setengah dari do’a!” kalimat ini aku dengar ketika aku masih kecil, dari mulut siapa keluarnya, aku sudah lupa, yang jelas, aku mendengarnya waktu bermain kelereng di depan rumah salah-satu teman kecilku. Sepulang dari main kelereng itu, aku termenung sendiri pada sofa hitam di ruang tamu rumahku. Aku terbayang-bayang kalimat itu. Sejak saat itu, aku mengimani makna dari kalimat tersebut.


Jika tidak sengaja aku mendengar seseorang memanggil temannya dengan sebutan bukan nama aslinya, secara otomatis, pikiranku melayang kembali pada sebuah peristiwa di masa kecilku itu. Jika aku mengenal orang tersebut, aku bunyikan kembali kalimat itu. Namun, jika aku tidak mengenal, atau kalaupun kenal tapi tidak akrab, aku hanya bisa berdo’a semoga orang tersebut segera diberikan hidayah oleh Allah Swt.

Berkenaan dengan ini, aku punya pengalaman yang membuat keimananku semakin kuat terhadap persoalan ini. Satu tahun menganggur membuatku tidak betah. Kerjaanku hanya bengong dan bengong, atau kalau tidak, bolak-balik mengukur panjang jalan antara rumahku dan rumah teman seperjuanganku yang sama-sama tergabung di partai pengangguran. Aneh bin ajaib, rasa bosen itu membuatku ingin lagi melakukan aktifitas yang sudah lama tidak aku tekuni. Apa itu? Adalah membaca. Saat itu, aku membaca lagi. Buku yang paling sering aku baca adalah buku grammer bahasa inggris. Karena sedikit rumit, aku baca berulang-ulang, sampai aku hafal betul. Dimanapun berada, aku mencoba mempraktekan ilmu yang kudapatkan dengan mengucapkannya, karena dalam mempelajari bahasa inggris, cara terbaik adalah dengan mengucapkannya, menurut salah-satu teman yang jago bahasa inggrisnya.

Setelah aku merasa kemampuan berbahasaku numayan baik, aku mencoba mengamalkan ilmuku ini. Aku membuka kursus-kursusan di paviliun rumahku. Aku tarik anak-anak SD di sekitar rumahku sebagai muridnya. Aku tidak memungut bayaran, karena dalam hal ini, kami terapkan konsep simbiosis mutualisme, anak-anak mendapatkan ilmu, dan aku mempunyai kegiatan, juga sekaligus mengasah kemampuan berbahasaku.

Seiring berjalannya waktu, murid kursus-kursusanku bertambah banyak, tidak hanya yang tinggal di sekitar rumahku yang ikut, mereka yang rumahnya berada sangat jauh disana, dipojok kampung, berbondong-bondong mengikuti kersusanku. Aku gembira, semakin banyak saja generasi baru kampungku yang semangat belajar. Aku harap, mereka tidak merasakan pahitnya menganggur, cukup hanya diriku dan beberapa temanku saja yang merasakannya. Karenanya, aku selalu menyelipkan kalimat motivasi di akhir kelas. Mudah-mudahan semua itu masuk menghujam kedalam hati mereka.

Aku, oleh murid-muridku, oleh orang tua murid-muridku, oleh kakak dan teteh murid-muridku, oleh tetangga murid-muridku, oleh banyak orang dikampungku, dipanggil “Pak Guru”. Aku hanya tersenyum menanggapi panggilan mereka. Satu lagi, yang jelas, aku selalu menggumamkan kata “Aamiin” setiap ada yang memanggilku dengan sebutan itu. Satu orang yang paling sering memanggilku pak guru adalah Aldi. Dia murid kelas satu SD. Dia memiliki keterbelakangan mental. Rumahnya hanya dipisahkan enam rumah dengan rumahku. Setiap aku lewat depan rumahnya, hendak ke mesjid atau ke warung, atau ada keperluan lain, dia memanggil-manggilku dengan suara lantang dan berkali-kali,” Pak guru, pak guru, pak guru, pak guru,” wajahnya tersenyum manis. Pada sepedah roda tiganya, dia tertawa dan melambai-lambaikan tangannya padaku. Aku membalas lambaian tanganya. Di belakang Aldi, ibunya mendorong sepeda, dia memberikan senyum tulus padaku. Menanggapi panggilan Aldi, aku ucapkan kata aamiin dalam hati.

Aku mendapatkan sebuah kabar. Kabar itu kudengar sendiri dari mulut pak Wawan. Pak Wawan adalah guru olahraga di SD kampungku, yaitu SD N Cipacung. Dia memberitahukanku bahwa, SD kampung kami, mendapatkan predikat nilai rata-rata ujian bahasa inggris tertinggi di kecamatan Cinangka. Aku bangga ketika itu, bangga kepada muridku yang cerdas-cerdas. Di akhir obrolanku dengan pak Wawan, dia memberitahukanku, kalau bapak kepala sekolah menawariku untuk mengajar bahasa inggris. Aku ditawari menjadi guru honor. Aku kaget, percaya tidak percaya mendengar berita itu, tidak banyak pikir lagi, aku langsung menerima tawaran itu. Esoknya, statusku berubah, dari pengangguran menjadi seorang guru. Dan yang lebih membuatku gembira adalah, aku membuat bapak dan mamahku tersenyum. Senyum mereka terlihat lebih lebar dari yang sebelum-sebelumnya.
Pada salah-satu hari mengajar, di meja guru, aku pandangi para siswa sedang serius mengerjakan soal. Sesaat aku teringat sosok Aldi.
***

SATU TAHUN KEMUDIAN

Keputusan ini aku pilih dengan berat hati, butuh berjuta kali pertimbangan sebelumnya. Setelah aku bisa meyakinkan bapak dan mamahku, aku utarakan maksudku kepada bapak kepala sekolah. Alhamdulillah, beliau menyetujui keinginanku. Beliau memberikan restu untukku melanjutkan sekolah lagi. Berbekal dua tiket itu, dengan tanpa beban aku melenggang ke kota kembang. Aku kuliah. Bersamaan dengan itu, aku melepas status seorang guruku. Mudah-mudahan, keputusan ini adalah yang terbaik. Semoga ini bisa membawa kepada masa depan yang lebih baik lagi. Aamiin.

Seperti biasa, di dunia pendidikan, murid baru pasti mengecap yang namanya orientasi. Orientasi ini dimaksudkan agar calon penghuni baru dapat mengenali lingkungan dimana dia akan hidup. Jika di sekolah namanya MOS (masa orientasi siswa) atau MABIS (masa bimbingan siswa), namun, lain lagi di kuliahan, disini namanya OSPEK. Sebelum merasakan atmosfer perkuliahan yang sebenarnya, terlebih dahulu aku harus melewati jembatan ospek ini.

Banyak ilmu baru tentang dunia kampus yang kudapatkan dari petinggi universitas. Banyak rumus-rumus jitu dalam menghadapi pembelajaran di kampus dari para kakak tingkat yang baik hati. Banyak barang-barang aneh yang harus kubeli, atas perintah panitia ospek. Banyak teka-teki jenis makanan dan minuman yang harus aku dapatkan, juga atas perintah panitia. Banyak pula keisengan panitia yang diberikan kepada kami, para mahasiswa baru. Semua itu, kami jalani dengan penuh suka cita.

Pada dua hari sebelum penutupan ospek, kami, mahasiswa baru jurusan pendidikan Geografi, diberikan tugas untuk membuat sebuah puisi yang bertemakan tentang kepedulian generasi muda terhadap lingkungan hidup. Tugas ini sifatnya wajib. Bagi yang tidak mengerjakan, ada sangsi yang harus diterima. Tugas ini dikumpulkan besok, ketika penutupan ospek.

Ba’da subuh. Pada sebuah kamar kosan berukuran tiga kali dua setengah meter, milik seorang kawan lama yang sudah duluan berkuliah, aku menghadap pada sebuah komputer. Komputer itu miliknya juga. Dengan bantuan kawanku itu, aku mengetik mencoba membuat sebuah puisi. Jam setengah enam, puisi selesai kubuat. Langsung ku print out. Sebuah kertas putih bercetakkan beberapa bait puisi keluar dari printer di samping komputer. Aku lipat dua, kertas itu, kemudian kuselipkan pada bagian tengah sebuah buku tulis. Kusimpan buku itu kedalam tas gendong warna biruku. Aku langsung meluncur menuju kamar mandi.

Dan, waktu pengumuman itu tiba. Terus terang, aku tidak berharap banyak saat itu. Bagaimana tidak, kami (red: aku dan kawan lama) buat puisi itu dengan asal-asalan dan penuh canda. Banyak tawa keluar dari mulut kami ketika proses pembuatannya.

Tiba-tiba, suasana ruang auditorium fakultas pendidikan ilmu pengetahuan sosial menjadi hening. Pandangan kami tertuju pada seseorang di depan mimbar sana. adalah seorang panitia perempuan yang akan mengumumkan pemenang tugas puisi dan beberapa tugas lainnya.

“ Puisi terbaik jatuh kepada puisi yang berjudul ‘sepucuk toge’. Bagi yang merasa membuatnya, silahkan acungkan tangannya,” ucap seorang panitia perempuan lantang. Aku bingung mendengar kalimat itu. Akupun aneh dengan diriku sendiri. Seharusnya aku gembira dengan presetasi ini. Tapi, semua itu bukan tanpa alasan. Karena aku tahu, jika aku mengacungkan tangan, aku pasti disuruh maju ke depan, dan lebih jauh lagi, aku pasti disuruh membacakan puisiku itu. Aku tidak mau. Malu.

“ Kepada yang merasa membuat puisi sepucuk toge, silahkan untuk mengacungkan tangannya!” perintah panitia perempuan sekali lagi. mendengar itu, mau tidak mau aku harus mengacungkan tanganku. Karena, walaupun tidak kulakukan, pada akhirnya, panitia pasti akan tahu, karena tepat di bawah judul puisi, tertulis sebuah tulisan ‘Oleh: Niko Cahya Pratama’. Sambil memejamka mata, aku angkat tinggi-tinggi tangan kananku. Ketika aku membuka mata, puluhan pasang mata menatap ke arahku. Jika dilihat dari tatapannya, aku bisa membaca arti dari beberapa sinar mata mereka. Ada yang kagum dan ingin mengucapkan selamat. Ada yang menyesal karena tidak mengerahkan kemampuan terbaiknya, hingga akhirnya dia terkalahkan olehku. Ada yang mencoba berjanji pada dirinya untuk tidak berleha-leha, dan akan menggunakan kesempatan kedua jika memang ada. Ada juga yang hatinya berbicara ‘Ah, itumah memang dianya aja hebat, aku ngaku, kalau dia memang pintar, dia lebih dari diriku’.

Aku maju. Langkahku terasa sangat berat. Aku bisa membaca bagaimana nasibku llima menit kedepan. Benar tebakanku, dengan lidah kelu, aku membacakan bait demi bait puisi sampai habis. Selepas itu, hadirin yang mendengar bertepuk tangan mencoba memberikan apresiasi terhadap puisiku, atau mungkin, tepuk tangan itu bukan untuk puisiku, melainkan untuk menghibur diriku karena ketidak mampuanku dalam membaca puisi. Atau apa? Aku tidak tahu? Biar hanya Allah dan mereka saja yang tahu.

“ Oke, mari kita berikan tepuk tangan sekali lagi yang lebih meriah untuk ‘mas toge’!” perintah panitia perempuan di depan mimbar. What! Mas toge! Yang benar saja. Namaku bagus-bagus begini dibilang mas toge. Apa kata orang tuaku nanti? Sontak seisi ruangan mendengung oleh bisikan-bisikan, laksana hutan bunga yang diserbu gerombolan lebah madu. Bisikan itu berbunyi ‘mas toge-mas toge’. Sejak saat itu, aku dipanggil mas toge oleh teman-teman di jurusan pendidikan Geografi.
***

Aku tidak rela dipanggil toge. Apa-apaan itu! Aku tidak ingin ketika sukses nanti menjadi toge, yang aku inginkan itu menjadi penulis. Untuk itu, aku harus mencari cara agar tidak lagi dipanggil mas toge. Siang-malam aku berfikir mencari jalan keluar. Hingga suatu hari, munculah ide yang didamba-dambakan itu. Malam hari, menjelang waktu tidur, aku melihat lemari bajuku yang terbuka. Dari luar, aku bisa melihat jelas semua isi lemari. Lemari itu memiliki tiga sekat. Pada sekat paling atas terdapat banyak lipatan kaos-kaos dan kemeja. Di sekat yang kedua adalah celana-celana, baik yang panjang ataupun yang pendek. Dan pada sekat yang paling bawah, disana ada tumpukan kertas. Kertas-kertas itu adalah kertas penting, seperti: sertifikat, kartu tabungan, dan foto kopi surat-surat penting lainnya. Pada sekat paling atas, aku melihat beberapa dasi menyelip diantara lipatan kemeja. Dasi-dasi itu aku dapatkan dari Uwa Yulianto. Detik itu, aku melihat ada lampu bohlam menyala terang di atas kepalaku.
***

Pagi yang cerah, secerah perasaanku hari ini. Aku perhatikan diriku lewat cermin berukuran empat puluh kali seratus senti meter. Rambut belah pinggir rapih. Kemeja pendek warna krem membalut tubuhku. Celana bahan katun warna hitam diikat kencang oleh sabuk pada pinggangku. Sepatu hitam mengkilat, hingga mengeluarkan sinar putih. Dasi hitam terikat erat pada kerah kemeja. Pagi itu aku tersenyum melihat penampilanku sendiri. Aku merasa, aku adalah orang yang berpenampilan paling rapih sedunia. Aku tidak sabar untuk segera ke kampus. Sungguh, aku sangat tidak sabar.

Di lorong antara ruang sepuluh dan ruang sebelas aku berjalan tegap. Aku sapa teman-teman yang sedang duduk dilantai sambil menunggu dosen datang. Mereka tidak menjawab sapaanku. Mereka hanya terbengong-bengong melihat penampilanku. Aku masuk ke ruang sepuluh. Keadaan ruang ribut ketika itu, namun tiga langkah memasuki ruangan, suasana menjadi hening seketika. Mata mereka tertuju pada diriku. Tidak ada aktifitas lain yang bisa aku lakukan selain hanya memberikan senyuman manis kepada mereka. Aku duduk pada kursi paling depan, yang ter dekat dengan meja dosen.

Esoknya, aku selalu menggumamkan beberapa kali kata “Aamiin” ketika teman-temanku memanggilku dengan sebutan “Pak Dosen”.
***

LAMPIRAN:
Sepucuk Toge

toge oh toge
malu, malu ingin meregang
meregang untuk jadi pohon yang rindang
tapi sayang seribu sayang
kau kalah bagian
dengan orang serakah di seberang jalan
tanahnya sudah jadi bangunan
seharusnya kau heran!!!
mengapa sebiji toge ‘tak dapat bagian
susahnya jadi sebiji toge
harus mencari tanah untuk hidup
kenapa orang lebih senang menanam batu bata dari pada sebiji toge???
batu bata untuk uang
pohon pohon dijadikaan uang
‘tak ayal kau hanya mendapatkan bagian
di pot pot yang usang
digantung di atas jejalanan orang
berlindung dari keringat tanah
zat hara terlibas uang
uh…….. hijau hijau hijau
kau hilang bagai bilangan exponensial
drastis turun meringis
tinggal hutan gundul bak kepala gundul
tukang panggul kayu jati
hijau hijau hijau
kapan kau kembali???

Rabu, 22 Juni 2011

Kesempatan Kedua


Satu bulan menjelang wisuda PPM. Tidak terasa, hanya tinggal tiga puluh hari lagi jatahku tinggal di asrama darussalam tercinta. Banyak kenangan disini, dari yang pahit sampai yang manis, bahkan yang asem juga ada. Namun, aku sudah punya rencana lain agar aku tetap masih bisa berteduh di asrama ini. Apa itu? Aku akan mengikuti program santri lanjutan. Seperti yang sudah aku tuliskan di “Mulai Kangen” dulu.

Selepas wisuda, setiap santri dihadapkan pada dua pilihan, yang mana diharuskan memilih satu diantaranya. Pilihan pertama adalah menyelesaikan PPM, artinya, siapapun yang memilih ini, maka mereka mesti segera mendapatkan kos-kosan baru guna mendapatkan tempat berlindung selama masih menjalankan aktifitas kuliah di kota kembang ini. Adapun pilihan yang kedua adalah melanjutkan PPM. Bagi santri yang memilih lanjut, setidaknya satu tahun kedepan mereka akan tetap menjalankan rutinitas seperti sedia kala. Apapun pilihannya, yang jelas aku hanya bisa mendo’akan yang terbaik untuk semua sahabat seperjuangan, kaum Adam ataupun kaum Hawa. Bagi yang tidak melanjutkan, mudah-mudahan mendapatkan lingkungan tempat tinggal yang baik, atau, meskipun tidak mendapatkan yang diharapkan, aku harap sahabat bisa merubah lingkungan tersebut menjadi lebih baik.Sementara untuk yang melanjutkan, mudah-mudahan kita bisa menggunakan kesempatan kedua ini dengan sebaik-baiknya.

Aku akan membocorkan sedikit rahasia tentang diriku. Tapi awas, rahasia ini jangan dibocorkan kepada yang lain ya! Rahasia ini hanya untuk sahabat-sahabat PPM saja. Kelak, setelah kita sibuk dengan kehidupan kita masing-masing, entah itu tugas ataupun hal yang sejenis lainnya, dan Allah menakdirkan kita berpapasan di jalan,kemudian sahabat mendapati saya menunduk, atau pura-pura tidak melihat sahabat, saya beri tahu jawabannya sekarang. Semua itu bukan karena saya sombong, tapi itu semata-mata karena saya merasa malu, terlebih kepada kaum Hawa. jadi, saya harap, sahabat jangan sungkan-sungkan untuk menyapa, atau sekedar memberikan senyuman pada saya.Saya harap, sahabat-sahabat dapat mema’afkan kekurangan saya ini.

Khusus bagi sahabat yang memilih untuk melanjutkan, mari kita belajar untuk menjadi kakak tingkat yang baik. Kita harus menjadi panutan bagi adik-adik santri nanti. Mari kita tularkan semangat kita pada mereka, juga kita berikan peta yang telah kita buat selama satu tahun kebelakang, agar mereka tidak tersesat seperti yang telah kita alami dulu. Mari kita awali langkah dengan menghujamkan bismillah pada diri dan hati kita. Bismillahirrahmaanirrahiim.

***

Ba’da solat ashar di mesjid Baiturrahman, dekat pasar Gerlong, aku langsung meluncur menuju asrama. Satu langkah memasuki gerbang, otakku memerintahkan kepada kaki untuk mampir sejenak ke pohon jambu biji kecil di halaman depan asrama. Sebagai abdi yang baik, sang kaki menuruti permintaan sang raja. Aku berjalan menuju pohon jambu biji. Aku petik beberapa jambu yang sudah masak. Aku makan jambu biji itu sambil nongkrong di teras depan asrama. Sambil menikmati kecutnya rasa jambu, aku melihat beberapa orang di pinggir jalan depan asrama. Mereka melihat ke arah asrama. Satu diantara mereka menunjuk plang yang bertuliskan “Asrama Darussalam, asrama santri mukim ikhwan Da’aruut Tauhiid”. Jika dilihat dari komposisinya, sepertinya mereka adalah sebuah keluarga. Satu ayah, satu ibu dan dua anak.

Sang ayah mengenakan baju takwa. Disampingnya, seorang ibu menggandeng tangan kanan ayah. Ibu itu mengenakan busana muslim warna biru muda.Anak laki-laki mengenakan kemeja panjang warna coklat. Sementara anak yang satunya, yang lebih besar, dia perempuan, busana muslim hijau muda membalut tubuhnya. Mereka berjalan menuju gerbang asrama. Sang ibu melihat diriku, kemudian mengucapkan salam. Aku beranjak sambil menjawab salam beliau. Aku hampiri sebuah keluarga bahagia itu. Ibu itu memberikan tangan kanannya padaku. Aku salami beliau. Aku tempelkan tangan bersih itu pada keningku. Aku salami juga sang ayah. Kemudian kedua anak mereka. Kepada yang laki-laki, kami saling berjabat tangan, dan kepada yang perempuan, aku hanya menempelkan kedua tanganku di depan dadaku. Dia melakukan hal yang sama. Kami saling memberi senyum.

Ternyata, tujuan keluarga bahagia itu ke asrama adalah sekedar untuk melihat-lihat asrama yang tidak lama lagi akan menjadi tempat tinggal anak laki-laki mereka. Terus terang, aku sedikit canggung mengobrol dengan keluarga itu, namun, aku tetap mencoba untuk memberanikan diri. Toh,yang kulakukan bukan hal yang buruk ini, pikirku. Sore itu, aku berubah menjadi guide dadakan.

Aku persilahkan mereka masuk asrama. Yang pertama kali menyambut adalah ruang tamu. Dari ruang tamu itu ada sebuah pintu. Disamping pintu itu terdapat jendela berukuran besar. Dari jendela itu terlihat jelas aula yang berukuran numayan luas. di dalam sana terdapat tiga kamar santri. Sedikit jarak dari jendela besar itu terdapat sebuah pintu. Pintu itu adalah kamar sang mudabbir. Aku jelaskan semuanya pada sang ibu. Sementara ayah dan anak-anaknya hanya manggut-manggut takjub.
Kami melanjutkan langkah.

“ Wah, ada lapangan futsal A!” ucap sang ayah pada anak laki-lakinya.

“ Benar Pak, jika sedikit saja ada waktu luang, para santri langsung main futsal disini,” terangku pada sang ayah. Sang kakak perempuan memegang pundak adiknya. Sang adik tersenyum sambil menatap lapangan futsal.

Kami berjalan lagi. di persimpangan antara jalan mau ke halaman belakang dan kamar-kamar bawah, terdapat sebuah warung kecil. Aku jelaskan kalau warung itu adalah “warung jujur”. Kenapa demikian? Karena warung itu tidak memiliki kasir. Siapapun yang mau membeli, mereka bebas mengambil barang yang dibutuhkan. Sementara uangnya disimpan di tempat yang sudah disediakan.

Kami menuju halaman belakang. Disana terdapat tempat parkir motor para santri. Dibelakangnya ada tiga buah ruangan. Ruangan-ruangan itu adalah gudang. Belok kiri, terdapat beberapa anak tangga. Naik sedikit ada teras memanjang. Sebelah kirinya adalah kamar besar. Kamar itu disediakan untuk santri program APW. Disebelah kanan teras berturut-turut terdapat: dapur umum, kamar santri, kamar mandi dan kamar santri lagi. pada ujung teras sebelah dalam, ada pintu geser besar. Pintu itu adalah pintu alternatif menuju aula dari halaman belakang.

“ Kalau kamar adek yang mana?” tanya sang ibu.

“ Oh iya, mari bu,” aku giring mereka kambali ke warung jujur. Kami berhenti sejenak di depannya. Aku menunjuk ke arah kamar-kamar bawah. Disana terdapat berturut-turut dari yang terdekat dengan warung jujur: dua kamar mandi yang didepannya terdapat tempat mencuci pakaian, dan sisanya empat kamar santri. Kamar pertama dan yang paling ujung disediakan untuk santri DQ. Sementara kamar dua di tengah untuk santri PPM. Kamar nomer dua dari ujung, itu adalah kamarku. Itu ghurfah lima belas kebanggaanku.

Kami menuruni tiga anak tangga menuju kamarku. Aku persilahkan mereka masuk. Sang ibu dan anak laki-laki masuk, sementara sang ayah dan anak perempuan menunggu, mereka hanya melihat dari luar. Beruntung, ketika itu kamarku sedang dalam keadaan bersih dan rapih, karena beberapa saat sebelum itu, Hanif bersih-bersih kamar. Terima kasih Hanif, ucapku dalam hati.Di dalam kamar, aku jelaskan beberapa peraturan asrama dan PPM sebatas yang aku ketahui. Banyak pertanyaan yang ditanyakan sang ibu, baik itu tentang jam belajar, tentang pelanggaran, tentang perijinan, dan beberapa pertanyaan lainnya yang berhubungan dengan PPM.Alhamdulillah aku bisa menjawab semua pertanyaan-pertanyaan itu.

Setelah dirasa cukup informasi yang didapatkan, keluarga bahagia itu pamit untuk pulang. Aku antarkan mereka sampai halaman depan. Sang ibu mengucapkan terima kasih karena merasa telah merepotkanku. Lagi, aku salami keluarga itu satu persatu. Persis seperti pertama kali mereka tiba.

“ Oh ya, saya boleh minta nomernya mas Niko, siapa tahu nanti ada yang ingin saya tanyakan tentang PPM ini pada Mas,” pinta anak laki-laki. aku berikan nomerku padanya. Setelah itu, mereka berjalan kembali menuju jalan depan asrama. Mereka pulang.

***

Ba’da magrib, ketika kami, para penghuni ghurfah lima belas sedang berkumpul dan mengobrol, hapeku yang tersimpan di atas lemari bergetar. Aku ambil hape itu. Kulihat, ada SMS masuk dari nomer baru. Aku buka.

Assalam, mas niko, ini deni, yg td ke asrama santri laki-laki DT. Oya, sy lupa ngasih nomer sy ke mas niko. Ni no sy mas, save yua. Oya, satu lagi mas, ada titipan salam dari mbak untuk mas niko, he....

Aku hanya bisa tersenyum membaca SMS itu. Melihatku tersenyum, Iqbal bertanya,” kenapa Ko, senyum-senyum sendiri?”

“ Nggak, ini saya dapat SMS dari calon santri baru,” jawabku sambil masih melihat layar hape.

Iqbal mendekat,” Dari yang tadi sore kesini?” tanya iqbal penasaran.

“ Iya,” jawabku sambil melihat waja Iqbal yang sumringah.

“ Bales SMSnya Ko, saya titip salam untuk tetehnya,he...” pinta Iqbal cengengesan.

“ Hmmmmm, tadi aja, disuruh nemenin saya gak mau, sekarang setelah orangnya gak ada, begini,” sindirku pada Iqbal. Iqbal hanya menanggapi sindiranku dengan nyengir kuda.

“ Emang tadi ada apa Ko?” Yoga ingin tahu.

“ Iya, saya penasaran nih, emang tadi ada apa gitu Kang?” Hanif ikut nimbrung. Sementara Farhan, dia tetap khusuk dengan bacaan Alqur’annya.

Aku dan Iqbal saling tatap. Kedua alisnya dia gerak-gerakan. Sepertinya dia hendak memberikan kode rahasia kepadaku. Namun sayangnya, aku tidak bisa membaca arti dari kode tersebut.

***

Sabtu, 18 Juni 2011

Apa yang Sudah Kuperbuat?


Pagi ini, sekitar jam enam lewat sedikit, kami, para santri PPM, pulang kandang. Di pertigaan dekat mesjid DT yang masih direnovasi, santri ikhwan dan santri akhwat berpisah. Ikhwan belok kanan dan akhwat belok kiri, kami menuju asrama masing-masing. Jalanan geger kalong mulai hidup kembali. Kendaraan bermotor mulai bermunculan. Biasanya, aku pulang bareng teman-teman satu kamarku, atau salah-satu dari mereka, atau lagi, tidak jauh di depan atau di belakangku terlihat mereka berjalan dengan sanri yang lain. Namun, tidak untuk pagi ini. Aku jalan sendiri. Pada rombongan depan tidak ada mereka. Pun dengan rombongan belakang, aku tidak mendapati mereka. Kemana hilangnya sahabat-sahabatku itu? Mungkinkah, sesaat setelah materi akhlaq mq selesai, mereka diculik oleh segerombolan alien? Atau secara tidak sengaja masuk pada sebuah lubang waktu yang muncul tiba-tiba di tangga menuju Da’arut tijaroh, kemudian mereka tersasar ke zaman jurasik dan menjadi santapan tyranosaurus? Apapun itu, yang jelas mereka tidak ada, bukan karena diajak makan pagi bareng bapak presiden di istana negara, spesial dimasakin langsung oleh pak presiden, atau diajak ngedate bareng oleh penyanyi cantik Gita Gutawa. Yang pasti juga, bukan momen yang bagus-bagus lainnya. Aku yakin itu.

Assalamu’alaikum,” teriaku memasuki asrama. Beberapa teman yang duluan masuk menjawab salamku. Mereka memasuki kamar masing-masing. Begitu juga dengan diriku. Aku melanjutkan langkah menuju kamarku, ghurfah lima belas. Dari luar, kudapati pintu kamar masih tertutup rapat, lampu neon masih menyala. Ini berarti bahwa, teman satu kamarku belum tiba. Segera aku membuka pintu memasuki kamar.

PRAK PRAK PRAKK

Kepala belakangku merasakan tiga kali hantaman. Sakit. Dari belakang, di balik pintu aku mendengar suara tawa terbahak-bahak. Aku hafal suara itu. Aku sangat hafal suara jelek itu. Tawa itu adalah tawa mereka, makhluk aneh penunggu WC dan tempat gelap asrama darussalam. Siap lagi kalau bukan: Farhan, Hanif, Iqbal dan Yoga. Aku pegang kepalaku. Kurasakan sesuatu yang kental. Masya Allah, itu adalah telor busuk, baunya sangat menyengat hidungku. Aku mau muntah. Kubalikan badanku pada pintu. Disana kudapati tiga sosok makhluk aneh dengan wajah cerah ceria. Mereka tertawa, hanya Farhan yang rautnya datar. Tangan kanannya dia letakan di belakang kepala, seperti hendak melemparkan sesuatu benda padaku. Dia mematung. Melihat Farhan seperti itu, Yoga merampas benda yang sedang dipegang farhan. Dia melamparkannya ke tubuhku.

PRAKKK

Astagfirulloh, sekali lagi, telor busuk itu menghantam tubuhku. Bau menyebar ke setiap sudut kamar. Empat lawan satu, aku tidak berdaya. Dengan wajah seakan-akan tidak memiliki dosa, mereka memberikan tangannya ke hadapanku.

“ Selamat milad kang. Semoga tahun ini adalah tahun yang berkah untuk akang dan keluarga, ditunggu karya selanjutnya, saya suka tulisan-tulisan akang,” ucap Hanif.

“ Terus kejar mimpi-mimpimu kawan, jangan berhenti dalam berkarya,” ujar Farhan.

“ Selamat menjelang hari tua Ko. Selamat hilang satu tahun lagi jatah hidupmu. Semoga saya dan keluarga saya sukses, hehe….” Celetuk Yoga. Tangannya memukul pundakku dengan keras.

“ Selamat milad kawan. Teruslah menulis untuk peradaban. Oya, saya mau tanya sama kamu Ko, kapan kamu nikah? Kamu kan sudah kolot. Hehe….” Ucap Iqbal. Sepertinya dia tertular virus yang telah menghancurkan syaraf-syaraf otak Yoga. Bahaya. Akan semakin banyak saja orang-orang aneh di dunia ini.

Setelah prosesi pelemparan telor busuk usai, mereka memberikan sebuah kue tart besar untuk ku. Jika diperhatikan, sepertinya harga kue itu numayan mahal. Pantesan saja tadi malam mereka patungan uang, anehnya tidak satupun dari mereka yang menagih diriku. Ternyata, uang itu untuk membeli kue tart ini toh.

Melihat tart yang penuh dengan krim dan coklat, timbul akal bulus di kepalaku. Aku tidak rela jika para makhluk aneh di sampingku tidak mendapatkan ganjaran atas perbuatan merek terhadapku. Setelah aku makan beberapa potong kue, aku tumpahkan kue itu pada wajah mereka. Yang paling banyak, aku hujamkan ke muka Yoga. Kami tertawa terbahak-bahak ketika itu. Kami ceria. Ghurfah lima belas penuh warna. Namun, keceriaan itu tidak bertahan lama, karena desas-desus ada keributan di kamar nomer lima belas sampai juga ke telinga kepala asrama, ustad Hamdani. Siangnya, setelah dihukum harus membersihkan kamar, kami di hukum push-up di tengah lapangan futsal. Yoga, adalah orang yang mendapatkan jatah push-up paling banyak. Lima puluh. Karena setelah diselidiki oleh detektif kawakan asrama darussalam, sutradara dari tragedi telor busuk itu adalah dia, Asep Yoga Nugraha.

***

Dua puluh dua tahun yang lalu, aku dilahirkan ke dunia ini, tapatnya pada hari Minggu, tanggal delapan belas Juni, tahun 1989, disebuah desa yang asri di pesisir pantai selat sunda. Tidak terasa, hampir seperempat abad aku hidup. Semakin berkurang saja jatah hidupku. Tidak jarang aku merenung sendiri mencoba melihat kedalam diriku. Sejauh ini, perbuatan baik apa yang sudah aku lakukan untuk kelargaku? untuk kampung halamanku? untuk daerahku? untuk bangsaku dan juga untuk islam agamaku? Adakah usia itu hanya aku gunakan untuk hal-hal yang tidak bermanfaat?! Aku malu kepada orang-orang disana. Mereka berprestasi dalam usia yang masih muda. Mereka dikagumi orang, banyak generasi muda lain meniru perjuangan mereka mencoba mendapatkan apa yang telah mereka peroleh. Mereka jadi idola. Hebat.

Yang lalu biarlah berlalu. Tidak ada gunanya lagi aku tangisi, toh, sebanyak apapun air mataku keluar, tidak akan pernah bisa mengembalikan masa laluku itu. Sekarang, tugasku adalah harus menatap jauh kedepan, memang, sesekali mungkin aku harus melihat kebelakang melalui sepion kehidupan, ditakutkan aku akan terjerumus kepada kesalahan yang pernah dilakukan, ditakutkan jatuh pada lubang yang sama.

Hari ini, aku memperoleh apa yang memang sepantasnya kudapatkan. Andai dulu aku berjuang lebih keras sedikit saja, mungkin ceritanya akan berbeda. Memang benar, apa yang seseorang dapatkan pada hari ini adalah buah dari hasil bercocok tanam kemarin, dan apa yang akan diperoleh pada hari esok adalah bergantung pada garapan hari ini. Jika ingin mendapatkan hasil yang baik dan bagus, maka tidak mudah perjuangan yang harus dilakukan. Semuanya bergantung pada kualitas perjuangan. Jangan berharap banyak, jika tidak mau merasa capek. Oleh karenanya, aku harus berjuang lebih keras guna mendapatkan hari esok yang bahagia. Aku tahu, tidak mulus jalan yang akan dilalui, pasti, akan banyak rintangan yang menghalangi. Tapi, memang itulah sejumlah harga yang harus dibayar.

Berkenaan dengan permasalahan ini, satu dari sekian banyak hal yang aku sesali adalah karya tulisanku. Sejauh ini, baru sebuah cerpen yang berhasil tembus ke penerbit. Cerpenku itu diterbitkan bareng cerpen-cerpen buah karya penulis muda yang tergabung di forum lingkar pena cabang Banten lainnya. Buku kumpulan cerpen itu dicetak di penerbitan Gong Publishing, percetakan buku milik penulis hebat, yaitu mas Gola Gong. Aku merasa, kemarin aku belum optimal dalam menulis. Aku masih belum merasa sering mengirim tulisanku ke media. Andai dulu aku menghasilkan satu tulisan saja setiap bulannya, mungkin, sudah banyak karyaku sekarang. Namun, aku tidak ingin berandai-andai terus, islam melarang hal itu. Tugasku sekarang adalah segera memperbaiki keadaan, segera menulis. Menuliskan semua ide yang masih hangat dikepala, sebelum memuai diuapkan pikiran lain. Untuk itu, sekarang aku mengkondisikan kamarku, agar kondisi selalu mengingatkanku untuk segera merampungkan target tulisanku.

Di pojok ruang ghurfah lima belas, disana tersimpan dua lemariku, lemari kayu dan lemari plastik, keduanya berwarna coklat. Pada lemari plastik tersimpan rapih pakaianku, dan pada lemari kayu, disana berjejer buku-bukuku. Pada dinding, tepat di atas kedua lemari itu, dengan meminta izin terlebih dahulu pada kang Hakmal, aku menempelkan schedulu board. Pada papan skedul itu aku menandai deadline penyelesaian tulisan-tulisanku. Aku menuliskan judul tulisan yang akan aku tulis pada beberapa kotak kecil yang terdapat di papan skedul. Aku tulis dengan menggunakan spidol merah kepunyaan Hanif, agar semakin jelas terlihat, selain itu juga, agar aku merasa diperingatkan oleh papan itu, karena tinta merah itu identik dengan sebuah peringatan.

Jika aku konsisten, maka proyek tulisanku ini akan selesai pada akhir tahun ini, dan pada awal tahun berikutnya, aku sudah bisa mengirimkan bukuku pada penerbit. Mengenai hasilnya, aku serahkan semuanya kepada Allah Swt. Diterima ataupun tidak, aku yakin itu adalah keputusan terbaik yang Dia berikan untukku. Namun, kalau boleh memilih, jelas, aku menginginkan buku itu dapat diterbitkan.

Yaa Allah, yang maha pengabul do’a, yang maha segalanya, tidak ada yang lebih perkasa dari Engkau, mudahkanlah hamba dalam mewujudkan salah-satu impian hamba, yaitu bisa menghasilkan karya sebuah tulisan yang diterbitkan di penerbitan besar dan terkenal, sehingga tulisan itu bisa mendatangkan rezeki yang besar, halal dan barokah. Dengan rezeki itu, hamba bisa membahagiakan kedua orang tua hamba. Bisa membahagiakan adik-adik hamba. Dapat membantu sanak saudara hamba. Mampu membangun sebuah rumah idaman di dekat salah-satu rumah orang mu’min, yaitu mesjid Da’aruut Tauhiid, Bandung. Juga, agar segera mampu menyempurnakan separuh agama hamba, yaitu membingkai sebuah rumah tangga yang insyAllah, sakinah, mawadah, warrahmah. Namun, sebelum itu, hamba mohon diberikan jodoh yang solehah, jodoh yang baik, baik untuk kehidupan dunia dan kehidupan akhirat hamba. Jodoh yang menyenangkan hati dan menentramkan jiwa. Yaa Allah yang maha pengasih dan penyayang, kabulkanlah do’a hamba ini. Aamiin.
***

Senin, 13 Juni 2011

Sebuah Kisah di Masa Lalu


Jam satu siang. Langit sangat cerah. Matahari bersinar terik. Aku menyusuri sisi kiri jalan geger kalong. Jalanan dipenuhi mobil dan motor yang berebut saling mendahului. Asap kenalpot semakin memperparah kualitas udara di bumi.

Beberapa menit yang terlewat, aku mengembalikan sepeda motor milik seorang teman akhwat yang kupinjam untuk mengerjakan praktikum mata kuliah interpretasi peta topografi dan foto udara (intopu) ke Subang, tepatnya di jalan cagak. Tugasnya adalah survei ke lapangan langsung. Apakah koordinat di peta topografi yang menunjukan suatu tempat sesuai dengan keadaan di lapangan. Jadi yang harus dilakukan adalah mendatangi tempat nyatanya di lapangan. Koordinat yang tertulis di peta disesuaikan dengan koordinat sebenarnya dengan bantuan alat GPS. Apakah sama? Atau sudah berbeda? Jika berbeda, itu berarti koordinatnya telah mengalami pergeseran. Dosen pengampu mata kuliah ini mengatakan kalau koordinat yang ada di peta pasti berbeda, dikarenakan peta yang digunakan buatan tahun 60-an. beberapa jam yang lalu, beliau membuktikan kebenaran ucapannya. Aku dapati koordinat yang tertulis di peta untuk jalan cagak, memang berbeda dengan koordinat lapangan (asli) yang dibaca oleh GPS. Luar biasa. Pakar.

Aku terus berjalan. Selangkah demi selangkah. Lima puluh meter di depan terlihat lantai atas mesjid Daarut Tauhiid yang sedang direnofasi. Terlihat beberapa pekerja bangunan sedang mengerjakan sesuatu di atas sana.

“ Ko.... Niko.......” terdengan ada suara yang memanggilku. Aku menoleh ke sumber suara di seberang jalan.

“ Niko !” kudapati kawan lama melambaikan tangannya ke arahku.

“ Dzikri !” reflek aku mengucapkan nama kawan lamaku itu. Iya, Dzikri namanya. Teman, sahabat, saingan, sekaligus musuh beratku ketika masih menuntut ilmu di SMP N 1 Cinangka dulu. Dzikri menyeberang jalan menghampiriku. Kami berjabat tangan sangat erat. Kami saling memberikan senyuman. Aku melihat semangat pada sorot matanya. Dari dulu dia memang seperti itu, hidupnya selalu penuh dengan aroma kesemangatan. tidak heran, kenapa sekarang banyak prestasi yang sudah dia raih.

Sebenarnya, baru satu bulan lalu kami berjumpa. Tapi, meskipun itu seminggu yang lalu, atau kemarin sekalipun, semua itu serasa lama sekali kami tidak berjumpa. Kami laksana dua sahabat yang bertemu kembali setelah terpisah berabad-abad lamanya.

Siang itu, Dzikri mengenakan pakaian rapih. Sepatu pantopel warna hitam, celana katun hitam, kemeja panjang warna biru, dasi putih belang biru mengikat di lehernya, kemudian disempurnakan dengan gaya sisir rambut kelimisnya. Sedari dulu, aku belum pernah melihat gaya menyisir rambut Dzikri selain belah pinggir kelimis itu. Dia konsisten.

“ Gimana kabarnya Ko?” tanya Dzikri dengan suara keras, hingga membuat orang-orang disekitar kami, menoleh ke arah kami.Aku meletakan jari telunjukku di depan bibir, isyarat kepada Dzikri untuk bicara pelan saja. Dia meletakan kelima jari tangan kanan di bibirnya sambil celingukan ke sekitar. Dzikri tersenyum malu. Wajahnya sedikit memerah.

Alhamdulillah baik, Dzikri gimana? Sehat? Bagaimana kuliah?” jawabku sambil balik bertanya.

“ Sehat luar biasa Ko. Kuliah sangat lancar dan sesuai dengan keinginan. Niko sendiri, gimana kabar kuliahnya?!”

“ Lagi melemah nih Dzik, semangat sedang turun-turunnya,” jawabku lemas.

“ Kenapa?!!! Semangat lagi atuh!!!! Kemarin-kemarin saya ketemu Fauko pas pulang kampung. Sekarang dia kerja di Krakatau Steel, sebagai karyawan inti!” Dzikri menepuk pundakku.

“ Apriyadi gimana? Dimana dia sekarang?”

“ Dia jadi supervisor bagian keamanan di pelabuhan barang internasional di Cilegon!” jawab Dzikri.

Mendengar semua itu, pikiranku melayang-layang ke masa lalu. Masa-masa ketika kami (red: aku, Apriyadi, Dzikri dan Fauko) duduk dan belajar di kelas yang sama. Masa-masa kami berlomba untuk cepat-cepatan dalam menyelesaikan soal matematika yang sama. Masa-masa tangan kami berlomba cepat-cepatan mengacungkan tangan untuk bertanya. Pun masa-masa kami saling sirik dan cemburu manakala salah-satu diantara kami saling mengungguli dalam mendapatkan predikat sebagai juara kelas. Masa-masa berada di dunia anak-anak yang mencoba untuk berpikir dewasa.
***

Takdir mempertemukan kami dikelas 7D (tujuh De). Menurut penuturan para guru, kelas ini adalah kelas unggulan. Para siswa yang ditempatkan adalah siswa-siswa yang mendapatkan nilai tinggi di sekolah dasar (SD)nya.Jumlah muridnya relatif lebih sedikit jika dibandingkan dengan kelas lain. Komposisi perempuannya sedikit lebih banyak dari laki-laki. Ketika itu, Dzikri duduk di meja paling depan baris ketiga dari pintu. Fauko juga duduk di meja paling depan, tapi di baris keempat, atau baris paling ujung dari pintu. Aku dan Apriyadi duduk di meja yang sama. Meja kami hanya diselingi satu meja di belakang Dzikri. Kami duduk di meja urutan ketiga baris yang sama dengan meja Dzikri. Satu alasankenapa kami duduk satu meja, jawabannya adalah sepak bola. Iya,aku dan Apriyadisama-sama hobi bermain sepak bola.

Waktu aku masih SMP, sistem ujiannya belum menggunakan semester, tapi masih catur wulan. Jikapada semester ujiannya dua kali dalam setahun, lain lagi pada catur wulan (cawu), ujiannya dilaksanakan tiga kali dalam setahunnya. Pada cawu pertama, Dzikri menggondol rengking kesatu, rengking keduanya dipegang teman sebangkuku, Apriyadi. Aku dan Fauko sama-sama menyabet peringkat ketiga. Nilai kami sama besar.

Pada cawu kedua, kami saling berlomba lagi. Aku mencoba belajar lebih keras dari saingan-sainganku. aku mencoba belajar lebih lama, membaca lebih banyak satu lembar, latihan mengerjakan soal lebih banyak, dan datang ke kelas satu menit lebih awal dari yang lain. Aku pikir, saat itu aku adalah orang paling rajin di dunia. Namun, ketika hari yang dinanti-nanti itu tiba, aneh bin ajaib, urutan tiga besar peringkat kelas tidak berubah sedikitpun. Dzikri pertama, Apriyadi kedua, aku dan Fauko yang ketiga. Selidik-punya selidik, ternyata diam-diam, saingan-sainganku melakukan hal yang serupa dengan yang aku lakukan.

Memasuki cawu ketiga, atau cawu kenaikan kelas, aku dan Apriyadi tidak begitu giat dalam belajar mata pelajaran sekolah, hal ini karena kami lebih serius dalam mempersiapkan mengikuti kompetisi futsal antar SMP se-provinsi Banten. Hampir setiap sore kami latihat di lapangan basket yang merangkap sebagai lapangan futsal juga. Aku ditunjuk sebagai kapten tim oleh pelatih, karenanya, aku harus super konsentrasi dalam memperhatikan perkembangan tim, selain itujuga, aku harus pandai-pandai menangkap instruksi yang diinginkan sang pelatih dalam mengatur irama permainan di lapangan. Aku harus ekstra perhatian dengan kondisi psikologis rekan satu timku.

Kompetisi futsal dimulai. Tuan rumahnya adalah SMP N 1 Anyer. Tim kami pulang-pergi Cinangka-Anyer selama satu minggu. Siswa yang masuk skuad tim futsal harus ijin sekolah terlebih dahulu jika mendapatkan jadwal pertandingan pagi atau siang hari. Pertandingan demi pertandingan kami laksanakan, hingga tibalah SMPku ke babak semi final. Namun na’as, kami kalah oleh Mts N 1 Anyer pada babak ini. Juara satu kompetisi futsal ini diraih oleh Mts N 1 Anyer, juara kedua adalah SMP N 2 Kramat watu, juara ketiga SMPku, dan juara keempatnya diraih oleh tuan rumah. Prestasi ini membuat kami yang masuk skuad tim futsal SMP N 1 Cinangka dibanggakan oleh pihak sekolah. Kami diberikan bonus bebas biaya SPP selama satu catur wulan. Namun, apa yang terjadi dengan nilai rapotku? Ketika hari pembagian rapot tiba, Dzikri masih konsisten dengan peringkat pertamanya. Fauko Ro’si naik satu tingkat menjadi peringkat kedua. Apriyadi turun menjadi peringkat ketiga, sementara diriku, harus rela menjadi urutan keempat.

Kenaikan kelas. Kami sekarang duduk di bangku kelas delapan. Kami ber-empat tidak lagi satu kelas. Apriyadi 8B (delapan Be), Fauko8C (delapan Ce), aku 8E (delapan E), dan Dzikri 8F (delapan Ef). Ketika itu sistemnya sudah berganti menggunakan sistem semester, jadi ujiannya dilakukan dua kali dalam satu tahun. Meskipun tidak satu kelas, aroma persaingan masih ada dalam diri kami. Pada semester pertama, kami menggondol peringkat tertinggi di kelas masing-masing. Begitupun pada semester kedua, kami masih menjadi yang terbaik di kelas kami. Menginjak awal kelas sembilan, pada akhir upacara bendera hari senin, sepuluh orang siswa berdiri berbaris di tengah lapangan upacara. Acaranya adalah pemberian penghargaan kepada siswa yang meraih predikat siswa terbaik. Empat dari sepuluh siswa itu adalah kami, aku, Apriyadi, Dzikri dan Fauko.

De javu. Persaingan yang telah hilang muncul kembali di kelas sembilan. Kami dipertemukan kembali di kelas 9A (sembilan A). Aku mencoba mengevaluasi diri. Aku mencoba meminimalisir kesalahan-keslahan yang akan menjauhkanku dengan prestasi akademik. Aku memilih meja paling depan baris paling jauh dari pintu. Aku masih ingat, hari pertama belajar di kelas tiga. Aku berangkat dari rumah sangat pagi. Mataharipun masih berselimut di peraduannya. Sesampainya di kelas, aku dapati ketiga sainganku sudah ada di dalam kelas. Dzikri dan Fauko duduk di meja yang sama, meja paling depan baris ketiga. Apriyadi tidak mau kalah, dia juga duduk di meja paling depan baris keempat, yang kemudian menjadi mejaku juga. Mereka duduk mematung dengan tangan memegangi buku. Rupanya mereka mencoba melakukan star terbaik pada persaingan kali ini. Aku tidak mau kalah. Aku langsung duduk di samping Apriyadi dan segera membuka buku pelajaran. Keadaan hening ketika itu. Tidak sepatah katapun yang keluar dari mulut kami sampai kelas mulai rame dengan kedatangan siswa lainnya.

Persaingan kami tidak hanya terjadi pada diri kami masing-masing, tapi merambat juga pada dua kubu besar. Kubu pertama dikomandoi Dzikri dan Fauko, bawahannya adalah siswa laki-laki di barisan meja mereka. Dan kubu kedua diotaki aku dan Apriyadi, semua yang duduk di barisan kami adalah rekan kerja kami. Persaingan semakin memuncak jika ibu atau bapak guru memulai sesi pertanyaan. Sebisa mungkin kami bertanya dan memberikan interuksi kepada rekan-rekan satu barisan untuk bertanya juga. Aku merasa puas jika barisanku lebih banyak bertanya dibanding barisan Dzikri dan Fauko, aku pasti keluar kelas dengan seutas senyum tersungging di bibirku. Pun sebaliknya, duniaku serasa gelap manakala kubu Dzikri dan Fauko yang menang. Jika diperhatikan, mungkin hal ini juga terjadi pada saingan-sainganku yang lain. Salah-satu buktinya ketika kudapati Dzikri dan Fauko berwajah muram di waktu yang berbarengan dengan tersenyumnya aku dan Apriyadi.

Waktu terus berjalan. Tibalah hari pembagian rapot. Siapa jawaranya? Lagi-lagi, Dzikri masih setia dengan nomer satunya. Aku ada perbaikan, posisiku satu kasta di bawah Dzikri, aku menyabet nomer dua. Nomer tiganya dipegang Fauko. Apriyadi ada di posisi keempat.Aku gembira waktu itu. Meskipun aku hanya menjadi nomer dua, tapi setidaknya satu tangga lagi yang harus aku naiki untuk bisa menyamai prestasi Dzikri, saingan terberatku.

Aku memulai semester dua dengan semangat dua kali lipat lebih besar, belajar dua kali lebih rajin, mengulik soal fisika dua kali lebih banyak.Namun, semua itu tidak bertahan lama, karena terjadi sebuah peristiwa besar dalam keluarga bahagiaku. Bahtera kapal yang aku tumpangi terpecah dan bocor. Kedua orang tuaku tidak lagi tidur di atap yang sama. Mereka bercerai. Aku sedih.

Setelah peristiwa perceraian itu, hidupku seperti tidak memiliki semangat lagi, bak sebuah mobil yang kehabisan bensin. Jangankan untuk belajar, berfikirpun terasa percuma. Aku merasa, meskipun aku menjadi nomer satu dari yang nomer satu, semua itu tidak ada rasanya. Semua itu tidak ada artinya. Hambar. Bagai sayur tanpa garam, tanpa penyedap, tanpa sayuran, tanpa air, tanpa tempat masak, tanpa kompor, tanpa tukang masak, pokoknya tanpa segalanya. Sejak saat itu, otakku dipenuhi dengan kebingungan. Aku tidak sadar dengan apa yang aku lakukan. Aku melanjutkan persaingan dengan teman-temanku tanpa gairah dan apa adanya.

Pada hari kelulusan tiba, sepuluh siswa dengan nilai terbaik berdiri di atas panggung. Medali dari logam yang bertuliskan lulusan terbaik mengalung di leher mereka. Para orang tua mereka berdiri bangga di belakang mereka.Hanya orangtuaku yang tidak hadir menyaksikan anaknya diwisuda. Lalu siapa yang berdiri di belakangku???? Dia adalah pamanku dari pihak bapak. Namun, aku tetap berusaha untuk tersenyum mencoba menghiasi kegembiraan yang dirasakan teman-temanku. Hanya saja aku tidak faham dengan arti dari senyumku ini, gembirakah? Sedihkah? Atau apa?? Mungkin, jika diibaratkan, senyumku itu tidak beda jauh dengan senyumnya monalisa pada lukisan karya Leonardo Da Vinci.

Urutan sepuluh lulusan terbaik itu: Dzikri nomer satu. Fauko nomer dua. Apriyadi nomer tiga. Aku nomer enam.

Selesai acara perpisahan, sekolah mulai sepi.Panggung tampak kosong, hanya alat musik dan sound system yang membisu disana. Aku duduk sendiri di bangku kayu di bawah pohon flamboyan dekat mesjid sekolah. Medali logam masih menggantung di leherku, dia bergoyang diterpa angin. Dzikri menghampiriku. Dia duduk disamping sebelah kananku, kemudian tangannya memegang pundakku.

“ Saya salut sama kamu Ko, saya belum tentu bisa bertahan jika mengalami hal yang sama. Oh ya, teman-teman lain sudah mengucapkan selamat pada saya Ko, bahkan ada yang sampe ngasih hadiah segala. Omong-omong kamu belum ngasih saya hadiah nih,” ujar Dzikri.

“ Saya ingin hadiah spesial dari kamu, Ko. Saya ingin hadiahnya itu adalah kamu kembali menjadi dirimu yang dulu, Niko yang penuh dengan aroma semangat, Niko yang punya banyak mimpi untuk diwujudkan, dan Niko yang menjadi sainganku. jujur, kamu adalah saingan yang paling aku takuti dibandingkan dengan saingan-sainganku yang lain.”

“ Satu lagi Ko. Saya tunggu kamu di SMA favorit di daerah kita, yaitu SMA N 1 Anyer. Kalau berani, saya tunggu kehadiranmu disana!” tantang Dzikri.
***

SMA
Tiga bulan sudah peristiwa yang menghancurkan kehidupanku terlewat. Aku mulai bisa menerima keadaan ini, meskipun hanya baru lima puluh persen. Seminggu sekali aku sempatkan untuk bertemu ibuku yang tinggal di rumah kakekku lagi.

Aku diterima di sekolah SMA favorit di daerahku, tiada bukan adalah SMA N 1 Anyer. Aku temui lagi para sahabat sekaligus sainganku, namun kami berbeda kelas. Aku 10A (sepuluh A), Apriyadi 10C (sepuluh Ce), Fauko 10E (sepuluh E), dan Dzikri 10F (sepuluh Ef). Sejak saat itu aku mencoba menata kembali hidupku yang hampir runtuh. Aku mulai hidup seperti sedia kala. Normal.

Masih jelas dalam ingatan, ulangan harian pertama adalah mata pelajaran sejarah, aku adalah satu dari dua siswa kelas sepuluh yang memperoleh nilai sempurna, siswa satunya satu kelas dengan Dzikri, dia perempuan. Selain karena itu, ada satu lagi kenapa aku bisa bergairah. Adalah seorang kakak tingkat yang cantik jelita. Namanya Wida. Dia pembina MOS (masa orientasi siswa) untuk kelasku.Semangatku mulai tumbuh lagi. Aku seperti dilahirkan kembali.

Aku tidak bisa menjelaskan bagaimana kecantikan Wida, yang pasti dia benar-benar cantik. Kuakui, aku mencintai dia.Jika kuperhatikan, sepertinya dia juga menaruh hati untukku. Teringat cerita sepupuku yang berteman sekaligus satu kelas dengan Wida.

“ A Niko, tau gak, tadi ada temen Ica cerita. Dia cerita kalau di kelas bimbingannya ada seorang murid baru yang ganteng. Pas Ica tanya siapa namanya, dia bilang namanya Niko. Langsung aja Ica bilang ke dia, kalau Niko yang sedang dia ceritakan itu adalah sepupu Ica. Dia tersipu malu,” cerita Ica di salah-satu hari ketika MOS.

“ Siapa nama temen Ica itu? Cantik gak?” tanyaku penasaran.

“ Wida!”

Aku bengong percaya tidak percaya dengan apa yang diucapkan sepupuku. Tiba-tiba saja hatiku sedingin embun pagi. Sejuk menjalar keseluruh tubuhku. Hari-hariku terasa lebih berwarna dari sebelumnya.

Dengan perantara Ica, aku dekat dengan Wida, namun, Allah mentakdirkan lain. Sampai hari perpisahan kami di hari kelulusan Wida, aku tidak sempat mengungkapkan isi hatiku kepadanya. Aku tidak pernah punya nyali untuk melakukan itu. Aku malu. Lidahku kaku dan kelu jika hendak mengatakan cinta. Kisahku dengan Wida, selesai sampai disana.
***

Ketikamentariku muncul lagi. Ketika dedaunan bersemi kembali. Ketika angin pagi menyapa alam. Ketika hariku mulai cerah kembali. Namun, ketika itu juga, badai menyapaku lagi. Mamahku nikah lagi. Sayangnya, bukan dengan bapak. Mamah nikah dengan laki-laki lain. Sirna sudah harapanku untuk menyatukan orangtuaku lagi. Sungguh, aku shock ketika peristiwa itu terjadi. Aku marah, namun bingung akan dilampiaskan kemana kemarahanku ini. Aku bingung dengan diriku sendiri. Aku tak tahu apa yang harus dan akan aku perbuat pada kehidupanku. Segala sesuatu serba tidak enak. Hampa memeluk hidupku lagi.

Sejak pernikahan itu, aku belum pernah sekalipun menginjakan kaki di rumah mamah yang baru. Aku kecewa pada mamahku, seseorang yang telah melahirkanku ke dunia ini. Satu-satunya hiburan bagiku adalah sepak bola. Iya, tiada bukan selain sepak bola. Aku lebih menyibukan diri dengan olah raga yang satu ini. Aku mengikuti sekolah sepak bola di daerahku. Semua beban hidup hilang jika diriku sedang bermain sepak bola. Karenanya, agar aku selalu lupa dengan semua masalahku, sebisa mungkin aku menyeringkan bermain sepak bola. Sehari satu kali. Seminggu tujuh kali. Sebulan tiga puluh kali. Itulah caraku untuk mengusir kesepianku.

Pilihan hidupku itu membuahkan hasil. Aku terpilih menjadi salah-satu atlet untuk mewakili kecamatanku dalam kompetisi kabupaten (PORKAB). Dengan perjuangan yang gigih, kecamatanku menggondol juara ketiga pada kompetisi itu. Aku masuk koran lokal Banten, karena mencetak beberapa gol untuk timku.Dan yang lebih membanggakan lagi, aku terpilih untuk mengikuti tim seleksi salah-satu klub sepak bola besar di provinsi Banten, yaitu PERSERANG. Ada dua orang dari kecamatanku yang terpilih, yaitu aku dan teman,saingan, serta teman seperjuanganku di dunia sepak bola, adalah Apriyadi.Bersama Apriyadi, aku latihan lebih giat dan disiplin. Hampir setiap pagi kami latihan fisik di pantai, sorenya latihan permainan dengan orang-orang di kampungku yang hobi main sepak bola.

Seleksi perserang dilaksanakan satu minggu tiga kali, yaitu pada rabu sore, jum’at sore dan minggu pagi. Setiap hari itu kami harus menempuh jarak lebih dari empat puluh kilo meter, dengan naik kendaraan umum tentunya.Untung saja, pihak menejemen klub memberikan uang transport kepada setiap pemainnya, jika tidak, bisa-bisa aku dan Apriyadi membatalkan diri untuk tidak ikut seleksi karena ketiadaan ongkos.

Aku masih ingat. Minggu pagi, sekitar jam sepuluh, ketika matahari sedang bersinar terik, kami, tim seleksi berkumpul di tengah-tengah stadion Maulana Yusup, Ciceri, Serang, kandangnya klub perserang. Semua menejemen klub hadir. Mereka berdiri mengelilingi kami. Sang pelatih mengumumkan siapa-siapa saja yang akan masuk skuad tim perserang dalam mengikuti kompetisi nasional tingkat usia dibawah delapan belas tahun. Betapa bangga dan gembiranya hatiku, karena kami, aku dan Apriyadi lolos seleksi. Kami masuk skuad perserang pada kompetisi tingkat nasional.Berita itu, membuat geger kampungku. Namaku harum. Tidak sedikit anak-anak yang bermimpi menjadi pemain sepak bola profesional, memintaku untuk menceritakan rahasia keberhasilanku bisa menembus klub perserang, lebih jauh lagi bisa mengikuti kompetisi tingkat nasional. Aku sangat gembira ketika itu. Namun, kegembiraan itu sirna jika aku sedang sendiri. Badai itu belum hilang dari ingatanku.

Badai itu, menghantui hidupku lagi.
***

Di dunia sepak bola aku berhasil. Tapi tidak di akademik. Nilai-nilaiku berbalik seratus delapan puluh derajat jika dibandingkan dengan nilai-nilai semasa SMP. Nilaiku dibawah standar siswa lainnya. Tapi syukur, aku masih bisa lulus SMA. Pada hari kelulusan itu, aku masih bisa menyunggingkan sebuah senyuman. Senyuman yang kupersembahkan untuk teman, sekaligus sainganku. Langkah mereka, jauh meninggalkan diriku. Dzikri lolos seleksi masuk perguruan tinggi negeri di Bandung, yaitu Universitas Pendidikan Indonesia. Dia mengambil jurusan Pendidikan Fisika. Fauko Ro’si mendapatkan beasiswa penuh di Balai Latihan Kerja (BLK) provinsi Banten. Sementara Apriyadi, juga mendapatkan beasiswa sekolah keamanan di ibukota, Jakarta. Terlebih untuk Dzikri. Dia menjadi siswa dengan predikat nilai kelulusan terbaik.

Sore hari, sepulang dari acara pelepasan siswa SMA N 1 Anyer, aku diseret oleh ketiga temanku itu. Aku dibawa mereka ke halaman belakang mesjid sekolah. Pada taman itu, aku dapati dua buah galian tanah, yang satu sedalam satu meter, dan yang satunya setengah meter. Disamping lubang itu terdapat bibit pohon trembesi kecil dan sebuah cangkul .Mereka mengeluarkan benda di dalam tas masing-masing. Benda itu adalah: sebuah pulpen, secarik kertas putih dan sebuah botol kaca, lengkap dengan penutupnya.Dzikri memberikan semua jenis barang itu kepadaku. Aku bingung dengan apa yang akan mereka lakukan.

Kuperhatikan teman-temanku. Mereka sedang menuliskan sesuatu pada kertas. Mereka menatapku.

“ Tuliskan mimpi-mimpimu di kertas itu,” ucap Fauko tanpa basa-basi.

“ Sebanyak yang kamu inginkan,” tambah Apriyadi.

“ Jangan bengong! Tulis sekarang juga!” perintah Dzikri.

Aku teringat keluargaku. Aku ingat adik-adikku. Aku ingat masa laluku. Aku ingat mimpi-mimpiku yang telah lama terkubur. Aku teringat segalanya tentang hidupku. Segera aku coretkan beberapa tulisan.

“ Masukan kertas itu pada botol, lalu tutup!” perintah Dzikri.

Mereka meletakan botol-botol ke dalam lubang galian. Fauko merampas botolku, lalu menyimpannya ke lubang yang sama. Apriyadi menggenggam cangkul guna mengubur lubang itu dengan tanah. Pohon trembesi ditanam pada lubang sebelahnya.

Kami berempat berdiri menghadap ke timbunan tanah dan pohon trembesi. Beberapa saat kami terdiam tidak mengeluarkan sepatah katapun.

“ Tujuh tahun dari sekarang, kita kembali lagi kesini untuk menggali lubang ini,” gumam Dzikri. Aku, Fauko dan Apriyadi mengangguk berbarengan.Kami berpisah menelusuri jalan masing-masing. Kami pulang.
***

SATU SETENGAH TAHUN KEMUDIAN
Aku menginjakan kaki di sekolahku dulu. Tujuannya adalah mengambilkan raport kenaikan kelas, adik perempuanku, Dini, yang juga bersekolah di sini, di SMA favorit ini. Menyengaja aku berangkat pagi, karena aku ingin bersilaturahmi dengan pak Amas Kusna, wali kelasku ketika duduk di kelas 12 IIS 1 (dua belas, Ilmu Ilmu Sosial, satu). Aku kangen beliau.

Sesampainya di SMA, aku segera meluncur menuju kantor guru. Pucuk dicinta ulampun tiba. Pak Amas sedang duduk sendiri pada kursi di depan kantor guru. Beliau sedang mengoperasikan hapenya yang sedang digenggam. Aku sapa beliau.

Masya Allah, Niko, anakku, apakabar kamu nak? Sudah lama kita tidak berjumpa. Kangen bapak sama kamu nak,” sambut pak Amas. Beliau berdiri menyambutku. Aku mencium tangan kanan pak Amas.

Pak Amas mempersilahkanku untuk duduk di kursi kosong sebelah kiri kursi yang tadi pak Amas duduki. Kami ngobrol panjang. Beliau menanyakan keadaanku sekarang. Kabar kelauarga. Kabar karir dan juga kabar mimpi-mimpiku.

“ Gimana kabar ibumu nak? Sudah menjalin silaturahmi lagi dengan beliau?” kenang pak Amas.

Alhamdulillah, setelah mendengarkan nasihat bapak ketika hari pelepasan itu, aku sedikit lebih membuka diri kepada mamah. Sekarang, hubungan kami baik, seperti sedia kala,” jawabku atas pertanyaan kenangan pak Amas.

“ Sekarang saya sudah bisa menerima keadaan keluarga, pak. Pada hakikatnya, semua ini terjadi atas izin Allah. Pasti ada hikmah dibalik semua kejadian yang telah menimpa saya ini. Sebagaimana apa yang bapak katakan pada saya dulu,” aku menambahkan. Kami berdua tertawa ringan.Pak Amas mengelus-elus punggungku.

Kami saling cerita lebih jauh lagi. aku cerita tentang profesiku sekarang yang menjadi guru honor di sekolah dasar di kampungku. Aku utarakan keinginanku untuk melanjutkan kuliah ke Universitas Pendidikan Indonesia.

“ Saya ingin mengukir mimpi lebih tinggi lagi pak,” ungkapku pada pak Amas. Pak Amas menanggapiku dengan sebuah senyuman yang penuh arti.

“Semua keinginanmu itu bisa terwujud nak, asalkan ada kemauan, kerja keras dan sikap pantang menyerah menghadapi kegagalan. Jika semua itu sudah dimiliki, bapak yakin, kamu dapat mewujudkan apapun cita-cita kamu, nak,” nasihat pak Amas.

“ Tapi saya agak sedikit pesimis pak. Saya menjadi ragu apabila teringat bagaimana nilai-nilai saya ketika masih di SMA ini dulu.”

Pak Amas tersenyum lagi. Beliau memegang pundakku dan lebih mencondongkan tubuhnya padaku.

“ Dengarkan baik-baik apa yang akan bapak omongkan nak. Hidup itu ibarat sebuah buku. Sampul depan adalah hari kelahiran kita, sedangkan sampul belakang adalah waktu kematian kita. Buku-buku itu ada yang tebal dan ada yang tipis. Semua itu bergantung seberapa lama jatah hidup kita. Sekotor dan sebanyak apapun coretan pada sebuah halaman, akan tetap tersedia lembaran baru yang bersih pada lembaran-lembaran berikutnya. Nah, seperti itu pula hidup kita. Sejelek apapun masa lalu kita, akan ada hari-hari baru berikutnya. Maka gunakanlah kesempatan itu untuk memperbaiki diri.”

Untuk sesaat aku terdiam. Begitu juga dengan pak Amas.

“ Begitu nak. Jika memang Niko merasa masa SMA adalah masa-masa hitam, maka jangan sampai semua itu menghantui masa depan kamu, nak. Masih ada hari esok untuk memperbaiki diri. Dan, perlu Niko ketahui, bapak yakin Niko bisa melakukian itu. Bapak tahu siapa Niko. Bapak yakin itu,” pak Amas menepuk-nepuk punggungku bermaksud memberikan suntikan motivasi lebih.

“ Terima kasih motivasinya pak. InsyAllah, mulai hari ini saya akan memperbaiki diri,” ucapku. Kami saling memberikan senyuman manis. Lagi, pak Amas menepuk-nepuk punggungku.

Kami melanjutkan obrolan dengan topik lain yang lebih ringan. Obrolan kami terhenti ketika bel masuk berbunyi. Aku masuk kelas 10 E (sepuluh E), kelas adikku. Aku duduk diantara bapak-bapak dan ibu-ibu. Hanya aku yang usianya terbilang masih muda. Aku menunggu nama adikku dipanggil guna mengambilkan raportnya.
***

Terik matahari serasa menyubit-nyubit kulitku. Jam satu siang, memang temperatur bumi mencapai puncaknya. Keadaan ini dikarenakan proses pemanasan atau penjalaran pemanasan. Jika suhu bumi hanya bergantung tunggal pada posisi matahari terhadap bumi, maka seharusnya temperatur bumi mencapai puncaknya pada jam dua belas siang. Ketika itu matahari sedang berada pada posisi titik zenitnya, atau sedang berada persis di atas ubun-ubun kepala kita. Namun, karena penyaluran radiasi matahari itu membutuhkan proses waktu, maka suhu harian tertinggi berada pada jam-jam satu atau jam dua-an.

Selepas berpisah dengan Dzikri, aku melanjutkan perjalanan menuju asrama. Di asrama, di kamar bawah yang dekat dengan lapangan futsal, tepatnya kamar nomer lima belas, terdapat empat sosok manusia tergeletak di lantai, tanpa alas kasur lipat. Mereka ketiduran di atas karpet biru. Posisi tidur mereka sumrawut. Yoga tidur tengkurep. Di depannya terdapat meja kecil yang diatasnya ada buku yang masih terbuka. Hanif tidur telentang. Posisi kepalanya tepat di bawah kaki Yoga. Sedikit saja Yoga bergerak, sepertinya Hanif akan tertendang. Iqbal lebih aneh. Dia tidur dengan posisi duduk. Punggungnya disandarkan pada tumpukan kasur lipat. Mulutnya sedikit terbuka. Sementara kang Farhan, dia tidur dengan posisi menyerupai salah-satu hurup arab, yaitu wao. Badannya mengkerut seperti pohon toge yang baru tumbuh tunasnya. Dia tidur di posisi paling pojok, nyelip di antara dinding dan lemari. Mengenaskan.
***

Selasa, 07 Juni 2011

Negeri di Atas Awan


Awalnya, kang Robi, direktur leppim, mendelegasikan lima orang pengurus untuk berangkat ke acara pengabdian pada masyarakat (P2M) di desa Tengger di lereng Gunung Semeru, kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Acara ini digagas oleh ikatan lembaga penalaran dan penelitian mahasiswa indonesia (ILP2MI). Namun, karena dalam waktu dekat ini leppim akan melaksanakan program kerja terbesar dalam kepengurusan periode tahun ini, yaitu UPI Nasional Research Institute (UPI NRI), maka delegasi dikurangi menjadi hanya tiga orang saja. Ketiga orang itu adalah, dua orang dari jurusan pendidikan Geografi dan satu orang dari jurusan Fisika. Satu dari dua mahasiswa Geografi itu adalah diriku. Namun, sekali lagi, mengingat acara UPI NRI ini sangat besar, maka delegasi dikurangi sekali lagi, dengan hanya mengirimkan wakil leppim menjadi satu orang saja. Dengan berbagai pertimbangan, dipilihlah aku yang berangkat.

Dengan berbekal uang, ijin dari kang Hakmal dan ustad Mardais untuk tidak mengikuti materi PPM, serta do’a dari teman-teman seperjuangan di leppim, aku meluncur menuju Malang. Sabtu sore, tepatnya jam 15.30, kereta api malabar merayap menyusuri rel yang panjang. Sepanjang sejarah hidupku, baru empat kali aku naik kereta, termasuk dengan yang sekarang. Aku parno jika hendak menaiki kereta, semua ini bukan tanpa alasan. Dulu, ketika pertama kali naik kereta, saat itu aku hendak menghadiri acara pengukuhan anggota baru Forum Lingkar Pena (FLP) ranting anyer. Apa yang terjadi?! Dompetku yang lusuh, yang hanya berisikan uang tiga puluh ribu, KTP, dan beberapa kuitansi lenyap digondol copet. Untung saja aku berangkat bareng dengan teman-teman, apa jadinya jika ketika itu berangkat hanya seorang diri. Aku tidak mau membayangkan. Serem.

Kali ini berbeda. Aku pilih kereta kelas eksekutif. Meskipun harga tiketnya selangit, namun semua itu berbanding lurus dengan kenyamanan di perjalanan dan pelayanannya. Sangat jauh dengan ketika naik kelas ekonomi dulu. Bagai bumi dan langit perbedaannya.

Sepanjang perjalanan, aku disuguhi indahnya pemandangan hamparan persawahan yang hijau. Kokohnya gunung-gunung dan jejeran perumahan yang memanjang mengikuti jalur rel kereta. Tujuh belas jam setengah waktu yang ditempuh sang malabar dari stasiun Hall Bandung menuju stasiun kota baru Malang. Jam sembilan pagi, untuk pertama kalinya aku menginjakan kaki di negeri apel. Aku langsung menghubungi mbak Nurul via SMS, dia adalah ketua pelaksana acara P2M ini. Tidak lebih dari satu menit, hapeku bergetar.

Baik mas niko, insyAllah bentar lagi jemputan dateng. Ini nomernya 08xxxxxxxxxx, namanya Fani.

Tanpa banyak pikir lagi, aku segera SMS Fani.

Asalam, pagi mbak fani, sy niko, delegasi dari leppim UPI bandung. Sy sudah tiba di stasiun, kpn mbak bisa jemput?

Sambil menunggu balasan dari Fani, aku duduk di bangku tunggu stasiun. Kuperhatikan suasana stasiun kota baru malang pagi itu. Rame, tapi tidak serame di stasiun Hall Bandung. Hape yang tersimpan di saku celana kananku bergetar. Kurogoh, kemudian kubuka SMS masuk itu.

Walaikum, pagi jg mas niko, iya mas, mohon tunggu sebentar, sebentar lagi sy jemput mas niko ke stasiun. Maaf mas niko, saya bukan mbak, tp mas, sy laki-laki juga

Sumpah, aku sangat malu karena peristiwa menggelikan itu. Beberapa kali aku memohon maaf pada mas Fani.

“ Gak papa mas Niko, sampean tidak usah merasa bersalah, dibawa santai saja, kejadian seperti ini bukan yang pertama kali kok, sudah banyak orang yang baru kenal dengan saya, mengganggap kalau saya adalah perempuan, he....” jawab mas Fani sambil mengendarai motor menuju penginapan peserta P2M di asrama mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Malang. Motor yang kami tumpangi meluncur membelah kota Malang yang sejuk. Ah, aku jadi ingat kota Bandung.

***

Suasana berubah total ketika motor memasuki kawasan kampus UIN Malang. Aku seperti masuk sebuah pintu gerbang waktu, yang memisahkan luar kampus dengan dalam kampus. Kampus itu sangat mirip dengan kampus-kampus di negeri sungai nil yang sering kulihat di dunia maya. Bangunannya berarsitek layaknya kampus di mesir. Di setiap halaman kampus menjulang tinggi pohon palem-paleman. Hamparan rumput menjadi alas kampus ini. Aku dibuat bingung membedakan mana mesjid, mana asrama mahasiswa, dan mana gedung perkuliahan.

Setiba di penginapan, panitia menyambutku dengan segala kehangatannya. Setelah mengisi registrasi, aku langsung masuk kamar nomer tiga puluh satu yang telah panitia sediakan. ketika masuk, di dalam kamar sudah ada dua orang peserta, mereka teman satu kamarku. Yang pertama adalah Kiswanto, dia mahasiswa Universitas Negeri Semarang (UNES), dan yang kedua adalah Reza, mahasiswa tingkat akhir Universitas Negeri Jember (UNJEM). Kami saling sapa dan berkenalan satu sama lain. Sembari membereskan barang bawaan ke dalam lemari, kami saling bertanya dan menjelaskan keadaan kampus masing-masing. Bagaimana keadaan sekarang, bagaimana tipe mahasiswanya, bagaimana suasana lingkungan sekitar kampusnya, bagaimana suasana kotanya, dan masih banyak lagi pertanyaan yang lainnya.

Menjelang dzuhur, aku ijin berangkat ke mesjid kampus duluan. Letak mesjid kampus tidak begitu jauh dari penginapan peserta, kurang lebih sekitar tiga puluh meteran, hanya dipisahkan oleh gedung serba guna. Mesjidnya berukuran sedang, tidak terlalu besar juga tidak terlalu kecil. Namun tetap terlihat megah. Pondasi mesjidnya dibuat cukup tinggi, kita harus menaiki tangga setinggi dua meteran untuk sampai ke teras mesjid. Pencahayaannya sangat bagus, karena dindingnya bukan dari tembok, tapi dari kaca-kaca berukuran besar, kecuali dinding yang bagian pengimaman. Jika kita berada di dalam mesjid pada siang hari, suasananya tetap cerah meskipun lampu listrik tidak dinyalakan, berbeda dengan mesjid-mesjid umumnya yang pernah kusinggahi. Dinding sebelah depan mesjid dilapisi ukiran-ukiran kaligrafi dari kayu jati. Indah dan memesona siapapun yang melihatnya. Mesjid itu berlantai dua. Kubahnya besar nan indah. Diantara kubah itu, terdapat jendela-jendela untuk sirkulasi udara dan cahaya. Di kubah itu juga terikat lampu gantung besar yang berhiaskan kristal. Kristal-kristal itu berkerlipan manja jika disapa sinar mentari. Indah. Seindah suasana batin saya ketika berada di dalam mesjid itu.

Adzan dzuhur berkumandang. Segera aku mengambil wudhu. Selepas solat, aku tidak langsung ke penginapan. Aku duduk santai di dalam mesjid, bersandar pada salah satu tiang yang menyangga bangunan mesjid. Satu persatu orang-orang keluar. Hanya tinggal beberapa orang saja yang tersisa. Kebanyakan dari mereka berbaju takwa, bawahannya sarung, kepalanya ditutup peci. Sepertinya mereka adalah mahasiswa yang tinggal di asrama kampus. Mereka juga duduk bersandar pada tiang. Tangannya memegangi mushaf Alquran. Mulutnya kumat-kamit, sesekali matanya melihat ke atap mesjid. Sepertinya mereka sedang mencoba untuk menghafalkan Alquran.Sayup-sayup saya mendengar obrolan akhwat di lantai dua.

Tidak terasa, satu jam lewat sudah aku duduk menikmati suasana mesjid. Ketika hendak pulang ke penginapan, suasana mulai tampak gelap. Awan hitam memayungi kota Malang. Gerimis turun dari langit, perlahan membesar menjadi deras. Sepertinya Sang pencipta hujan menginginkanku untuk tetap terlebih dahulu di dalam mesjid. Aku kembali duduk dan bersandar pada tiang, sambil memandangi hujan dari dalam. aku niatkan dudukku kali ini untuk i’tikaf. Hujan semakin deras, sesekali diiringi dentuman guntur.

Seorang akhwat berkerudung pink berlari-lari menembus derasnya hujan. Dia menggunakan payung bergambar bunga-bunga. Sepertinya dia hendak menuju mesjid. Iya, benar dugaanku, dia meniti tangga naik ke teras mesjid. Akhwat itu meletakan payungnya di teras sebelah kiri. Payung itu dibiarkan begitu saja. Dia menepis-nepiskan air hujan yang membasahi gamisnya, kemudian akhwat berkerudung pink itu berjalan menuju tempat wudhu wanita, sepertinya dia hendak membersihkan dirinya.

Hujan belum juga reda. Angin bertiup semaikin keras. Cipratan air hujan yang terbawa angin semakin jauh membasahi teras mesjid. Seorang mahasiswa yang tadi menghapal Alquran mengalih fungsikan sarungnya menjadi selimut. Dia balutkan sarung itu menutupi tubuhnya. Dia tertidur.

Payung bermotif bunga-bunga di teras kiri mesjid bergerak terbawa angin. Payung itu tertiup lagi dan bergerak lagi. Payung itu sepertinya akan terjatuh. Segera aku berlari hendak menyelamatkan payung yang kesepian itu. Aku tangkap payung itu. Dia terselamatkan. Aku simpan di teras, mepet dekat dinding. Aku balik badan hendak kembali masuk mesjid. Namun, apa yang terjadi?! Aku dikagetkan seseorang yang berdiri dua meter tepat di depanku. Hey! Siapa dia? Dia ternyata akhwat berkerudung pink pemilik payung yang tadi hampir terjatuh. Aku gugup. Tubuhku mematung. Mata kami saling pandang, namun hanya sebentar, karena dia segera menundukan kepalanya ke lantai. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Akhwat berkerudung pink itu mengangkat wajahnya lagi. Kami saling memberikan senyuman.

“ Payung mbak ya? Tadi hampir jatuh,” aku mencoba mencairkan kebekuan diantara kami. Tanganku menunjuk ke arah payung bermotif bunga-bunga.

inggih mas, matur nuwun,” jawab akhwat berkerudung pink. Tiba-tiba saja aku teringat sebuah tempat dan dua orang tokoh fiktif yang ada di dalam novel ketika cinta bertasbih, maha karya anak bangsa, yaitu Habiburrahman El Shirazy, atau yang lebih sering disapa dengan sebutan kang Abik. Hari ini, seolah kampus UIN Malang berubah menjadi kampus Al-Azhar, serta aku dan akhwat berkerudung pink itu sejenak menjadi Abdullah Khairul Azzam dan Anna Althafunnisa.

***

Selepas isya, para peserta bersiap-siap. Masing-masing menggunakan jas almamater kampus kebanggaannya. Malam itu penuh warna. Kuning, hijau, biru, hitam, merah, orange, krem, juga abu-abu warna jaster kebanggaanku. Sebelum masuk bis, kami, peserta juga panitia berfoto bareng dengan latar belakang bis milik kampus Universitas Muhamadiah Malang(UMM), yang akan kami tumpangi menuju auditorium fakultas ilmu budaya, Universitas Brawijaya (UNIBRAW) Malang, untuk menghadiri pembukaan acara P2M ini.

Malam itu, meskipun hujan sudah reda, kota Malang masih basah. Bis yang kami tumpangi membelah kedinginan di jalanan kota Malang. Kiri dan kanan jalan diterangi dengan lampu. Tetesan air yang masih menempel di lampu-lampu jalanan itu berkerlipan manja. Bis masuk pintu gerbang UNIBRAW. Pintu gerbang itu bentuknya mirip gapura besar. Memasuki kampus suasana menjadi lebih tenang. Bis berhenti di halaman palkir fakultas ilmu budaya.

Jam delapan lewat acara dimulai. Dibuka dengan pertunjukan tari malangan. Menurut penuturan MC, tari malangan ini selalu menjadi pembuka pada acara-acara resmi yang dilaksanakan di kota apel ini.Tangan dan kaki kedua penari malangan bergerak dengan sangat lentur. Gelang di kaki mereka berbunyi setiap kali mereka menggerakan kaki. Semua hadirin terpesona melihat pertunjukan tari tersebut, terlebih lagi bang Ma’ruf yang duduk di samping kananku. Dia mahasiswa tingkat akhir Universitas Negeri Makassar (UNM). Aku perhatikan, dari awal hingga akhir tarian, tidak sekalipun matanya berkedip, mungkin karena memang para penari itu berparas cantik.

Acara selanjutnya adalah pembacaan ayat suci Alquran, kemudian dilanjutkan dengan sambutan-sambutan. Sambutan pertama adalah dari kemendiknas kota Malang, sekaligus membuka secara resmi acara P2M yang dilaksanakan oleh ILP2MI ini. Sambutan kedua oleh mbak Nurul, selaku ketua pelaksana. Dan sambutan terakhir oleh sekjen ILP2MI, bang Wahyudin MY. Dia satu daerah dan satu universitas dengan bang Ma’ruf. Dari ketiga sambutan, kalau boleh jujur, sambutan bang Wahyudin yang paling aku sukai. Sambutannya ditanggapi meriah oleh para hadirin. Bagaimana tidak, dia sering menyelipkan humor di antara kalimat yang dia ucapkan.

“ Terus terang, sudah sejak lama saya menunggu acara seperti ini terlaksana, karena apa? Hanya pada acara seperti inilah kita para peneliti muda se-Indonesia dipertemukan, yang mana, kita semua bisa berdiskusi tentang bakal penelitian yang kita niatkan untuk memajukan bangsa kita tercinta ini,” ujar bang Wahyudin dengan logat khas Makassarnya. Hampir setiap kata yang ada huruf “E”nya, dia ucapkan hampir selalu seperti kita mengucapkan “E” pada kata “merah”.

“ Saya ingin berbagi pengalaman dengan kawan-kawan semua. Terus terang, kami berangkat ke Malang bukan dengan uang dari rektorat. Proposal kami tidak disetujuai oleh pembantu rektor tiga, alasan beliau karena sudah terlalu sering kami meminta dana,” kenang bang Wahyudin di atas mimbar.

“ Kami tidak menyerah sampai disana. Kami terus berusaha untuk mengirimkan proposal permohonan dana untuk menghadiri acara ini. Kami sebar proposal itu kepada Om dan Tante kami masing-masing. Jika kawan-kawan tidak percaya, silahkan tanyakan kepada rekan saya,” bang Wahyudin menunjuk kepada salah-satu hadirin yang sedang duduk sambil tersenyum mesem. Siapa dia? Siapa lagi kalau bukan bang Ma’ruf. Bang Ma’ruf menanggapinya dengan tertawa ringan.

“ Saya pikir, dalam waktu sebulan ini, saya harus melakukan pendekatan lagi kepada Om dan Tante saya, karena kenapa? Mungkin sebentar lagi saya akan mengirimkan proposal lagi untuk menghadiri kongres ILP2MI bulan depan di Universitas Gajah Mada (UGM) yogyakarta. Saya harap mereka meng-ACC lagi proposal saya, hehe....”

“ Silahkan, seandainya kawan-kawan dari kampus lain ingin mengadopsi teori saya ini, saya ikhlas. Silahkan plagiat jika itu bermanfaat untuk kawan-kawan semua,” tawar bang Wahyudin kepada kami, para hadirin. Kami tertawa renyah dan diiringi dengan tepuk tangan. Bang Wahyudin manggut-manggut di atas mimbar. Dia menebar senyumnya.

Setelah sambutan menarik dari sekjen ILP2MI, kami dihibur dengan akustik dari mahasiswa Universitas Merdeka (UNMER) Malang. Para personilnya adalah anggota ILP2MI juga. Kemudian dilanjutkan dengan acara perkenalan lembaga penelitian dari setiap unversitas. Sebelum giliranku tiba untuk mempresentasikan LEPPIM, Aku mencoba mengumpulkan keberanian untuk itu. Aku sedikit gugup, karena disaksikan oleh para mahasiswa berkualitas tinggi.

“ Selanjutnya adalah perkenalan lembaga leppim, dari Universitas Pendidikan Indonesia,” MC memanggil kampusku. Kini giliranku maju ke mimbar.

Aku perkenalkan leppim sebanyak yang aku tahu. Mulai dari sejarah, perkembangan, program kerja unggulan, prestasi yang pernah diraih, struktur organisasi, dan masih banyak lagi yang lainnya. Yang menjadi fokusku pada presentasi ini adalah proker besar yang sebentar lagi akan leppim laksanakan, yaitu UPI NRI. Acara ini adalah merupakan pelatihan membuat karya tulis ilmiah dan motivasi untuk berani dalam melakukan penelitian. Aku promosikan agar teman-teman di kampus lain untuk mengikuti acara ini.

“ Selanjutnya, sebelum saya akhiri, saya akan menyampaikan sesuatu telebih dahulu. Sebelum berangkat kesini, saya dititipi amanah oleh kang Robi Awaludin, seperti yang sudah saya jelaskan tadi, dia adalah direktur leppim periode tahun ini. Dia menitipkan salamnya pada saya, untuk tolong disampaikan kepada rekan-rekan semua, terutama kepada pak sekjen,” ujarku sambil menatap bang Wahyudin. Dia tersenyum.

“ Satu lagi, untuk para intelektual muda, kang Robi menantang kalian semua untuk berlomba dalam menciptakan penelitian yang bisa memajukan bangsa kita, yaitu Indonesia tercinta,” aku menutup presentasi.

***

Hari kedua, dibuka dengan olah raga bareng di lapangan olahraga kampus UIN Malang. Sinar pagi menerpa kulit kami. Hangat. Kami ceria ketika itu. Kami mengobrol satu sama lain untuk lebih mendekatkan diri. Ada juga yang diam-diam asyik mengobrol berduaan saja antara peserta perempuan dengan peserta laki-laki. Ada juga perempuan dari pihak peserta dan laki-laki dari pihak panitia, pun sebaliknya. Wajar, anak muda.

Selepas olahraga, kami bersih-bersih badan. Hampir tidak ada baris antrian, karena kamar mandi di asrama yang kami tempati banyak jumlahnya. Jam setengah delapan, asrama berwarna lagi. Saat itu, aku menemukan lagi tabiat anak muda. Apa itu? Adalah narsis. Tidak sedikit yang berfoto-foto, dengan teman baru tentunya.

“ Mas Niko, boleh minta foto bareng?” pinta salah-satu peserta perempuan kepadaku. “Tolong fotoin kami ya!” tambah perempuan itu sambil menyodorkan kamera kepada teman yang lain.

“ Gantian ya!” pinta teman yang satunya.

“ Iya,” perempuan itu memepetkan badannya padaku.

***

Setengah delapan lewat sedikit, kami breafing di aula asrama. Agenda hari ini adalah pembekalan sebelum menuju ke desa Ranupani, desa tertinggi di pulau Jawa, yang berlokasi di lereng gunung Semeru. Materi pembekalan ini akan dilaksanakan di auditorium kampus politeknik negeri Malang (polinema). Pada round down acara, kami akan berangkat menuju polinema tepat pukul sembilan pagi. Aku lihat jam dinding. Masih dua puluh lima menit lagi ke jam sembilan. Aku mohon ijin pada panitia untuk keluar kampus sebentar. Panitia mengijinkan.

“ Tapi jangan lama-lama yo mas Niko, soalnya bis-nya sebentar lagi dateng,” pinta mbak Nurul.

“ Iya mbak.”

Aku ajak Kiswanto dan bang Ma’ruf. Niatku adalah wisata kuliner. Mereka mengikuti ajakanku. Sebenarnya kami sudah dapat konsumsi dari panitia, tapi, rasa ingin mencicipi penganan khas Malang mengalahkan rasa kenyangku, yang kemudian aku tularkan pada kedua teman baruku.

Kami keluar kampus UIN Malang lewat pintu gerbang belakang. Gerbang itu besar dan tinggi, jika diukur, mungkin tingginya bisa mencapai tiga meter. Disamping gerbang besar itu terdapat pintu agak kecil yang dikhususkan untuk para pejalan kaki. Di atas pintu kecil itu ada tulisan dari cat berwarna putih yang bertuliskan “ Lewat jam sepuluh malam, pintu ditutup”. Lewat pintu itu kami keluar.

Setelah melalui diskusi diantara kami, terpilihlah warung nasi yang menjual beberapa makanan bakar-bakaran. Kami sepakat untuk memesan jeroan bakar.

“ Mas, jeroan bakarnya tiga,” pinta bang Ma’ruf kepada pramusaji, sambil mengacungkan tiga jarinya.

“ Pake nasi mas?” tanya pramusaji.

“ Pake mas. Oh ya, jangan lupa minumnya jus apel. Tiga!” ujar bang Ma’ruf tanpa meminta persetujuan aku dan Kiswanto. Aku dan Kiswanto saling pandang. Bang Ma’ruf mendapati kami saling menatap.

“ Oh iya, aku lupa, jangan khawatir kawan, pokoknya semuanya aku yang bayar, tenang saja. Masih ingat dengan cerita pak sekjen semalam? Kebetulan dana yang cair dari Om dan Tante-ku cukup besar. Sebagai ungkapan rasa syukurku, aku sudah berjanji pada diri sendiri untuk menyedekahkan uang itu. Nah, kebetulan sekarang kita makan bareng, jadi aku akan sedekahkan sedikit rejeki ini kepada kawan-kawan baruku yang ganteng-ganteng ini, hehe....” bang Ma’ruf menepuk-nepuk pundak aku dan Kiswanto sambil tertawa bahagia.

Kami makan bakar jeroan dengan lahap. Rasanya agak sedikit manis, khas masakah daerah jawa pada umumnya. Setelah makan, bang Ma’ruf mengeluarkan uang pecahan lima puluh ribu dari dompetnya. Dia memanggil pramusaji.

“ Berapa semuanya mas?” tanya bang Ma’ruf.

“ Lima belas ribu,” jawab pramusaji sambil menyerahkan sebuah kertas kecil pada bang Ma’ruf. Bang Ma’ruf menyerahkan uang pada pramusaji, kemudian pramusaji itu berjalan entah kemana, beberapa saat kemudian kembali menyerahkan uang kembalian kepada bang Ma’ruf.

Suer, aku tidak bohong. Pikirku harga semua makanan dan minuman ini akan lebih dari tiga puluh ribu. Ketika aku tanyakan pada bang Ma’ruf, dia satu pikiran denganku, wajahnya melongo tidak percaya dengan harga makanan yang telah masuk ke perutnya. Andai saja Aladin berkenan meminjamkan sebentar lampu wasiatnya kepadaku, aku akan meminta agar semua warung makan yang ada di Malang berpindah ke Bandung, selamanya, agar aku bisa hemat pengeluaran untuk biaya makan.Oh, Aladin, jika engkau ada dan mendengarkan suara hatiku ini, pinjamkanlah aku sebentar lampu wasiatmu.

***

Bis UMM berhenti di lapangan palkir kampus Polinema. Kami turun dan berjalan berbondong-bondong menuju auditorium. Beberapa panitia yang bertugas menyiapkan tempat menyambut kami di pintu masuk ruangan auditorium. Kami segera masuk ke ruangan dan memilih tempat duduk. Aku pilih kursi urutan ke dua baris paling kiri. Pada breafing di asrama tadi, hari ini akan ada dua materi. Materi pertama dari kak Acun, beliau adalah pendiri mata hati training center, yang memfokuskan garapannya pada pendidikan karakter pada anak-anak. Dan materi selanjutnya tentang kebiasaan-kebiasaan masyarakat Ranupane oleh eyang Gatot, beliau adalah budayawan jebolan Unibraw.

Materi pertama, kami dibekali ilmu tentang dunia anak-anak, karena di Ranupane, kita akan mengaplikasikan hasil penelitian tentang karakter building. Kami diberikan gambaran apa saja yang boleh ataupun yang tidak boleh dilakukan kepada anak-anak. Salah-satu wasiat kak Acun yang paling aku ingat adalah tentang amarah.

“ Jangan sekali-sekali memarahi anak-anak. Jika mereka melakukan kesalahan, berikanlah mereka pengertian dengan cara yang baik, jangan dimarahi. Karena ketika kita memarahi mereka, maka sel-sel di otak mereka akan hangus. Jika sel-sel otak mereka sudah hangus, apa yang akan terjadi pada mereka (red:anak-anak)? Dampaknya, emosi mereka akan labil. Mereka akan mudah marah dan konsentrasinya akan sangat rendah,” tutur kak Acun.

“ Masa penentuan apakah seseorang itu akan berkarakter kuat atau lemah itu ditentukan pada golden age atau usia balita. Maka selalu berikanlah kata-kata yang positif jika sedang berinterksi dengan mereka.”

“ Satu pesan kak Acun, buatlah kesan baik kepada anak-anak di Ranupane. Berikanlah servis terbaik kita untuk anak-anak kak Acun itu, untuk anak-anak Indonesia, calon pahlawan bangsa,” amanat kak Acun di penghujung materi.

Materi kak Acun selesai pukul setengah dua belas. Panitia mempersilahkan kami beristirahat sampai jam satu siang. Jam istirahat itu kami gunakan se-efektif mungkin untuk solat dzuhur dan makan siang yang telah disiapkan oleh panitia.

Jam satu tepat materi kedua dimulai. Awalnya aku tidak percaya jika yang sedang duduk di depan adalah orang yang akan memberikan materi. Penampilannya nyentrik. Baju yang dikenakan model kemeja kotak-kotak jaman dulu, lusuh, warnanya sudah pudar. Kemeja itu dibalut oleh rompi kulit warna coklat tua. Bawahannya celana jeans warna biru dongker. Alas kaki yang dia kenakan adalah sepatu gunung warna hitam kumal. Topi coklat polos menempel di kepalanya. Usianya sudah sepuh. Kulit wajahnya sudah terlihat mengkerut keriput, tapi sinar di wajahnya masih tampak aroma kegagahan. Terbukti, badannya masih tegap dan kekar. Dialah eyang Gatot.

Eyang Gatot menjelaskan semua hal tentang masyarakat Ranupane. Dimulai dari sejarah, adat-istiadat, kepercayaan, mata pencaharian utama, watak dan karakter orang-orangnya, dan pantangan-pantangan yang tidak boleh dilakukan disana. menurut pemaparan beliau, penduduk Ranupane merupakan keturunan asli dari penduduk kerajaan Majapahit. Ketika masa kehancuran kerajaan Majapahit, penjajah mengejar-ngejar penduduk yang tersisa itu, namun, penduduk tersisa tersebut melarikan diri ke lereng gunung tertinggi di pulau Jawa, yaitu gunung Semeru, tepatnya di Ranupane. Karena medan jaman dulu masih terlalu rimba, para penjajah berhenti mengejar, dan loloslah penduduk tersisa kerajaan Majapahit itu. Mereka kemudian menetap disana, sampai sekarang.

Eyang Gatot mengakhiri materinya hanya beberapa menit sebelum adzan ashar. Selapas materi, kami langsung menuju mesjid kampus Polinema. Setelah solat, kami berkumpul lagi di auditorium, sambil menunggu bis jemputan yang terjebak macet.Waktu kosong itu kami gunakan untuk diskusi. Tidak ada perintah dari panitia dalam hal ini. Semua Ini terjadi semata-mata atas inisiatif individu masing-masing yang merasakan pentingnya berdiskusi, karena dengan berdiskusi, banyak pengetahuan ataupun ilmu baru yang didapatkan.

Terdapat beberapa kelompok diskusi ketika itu. Ada yang perempuan semua, ada yang laki-laki semua, ada juga yang campur laki-laki dan perempuan. Aku berdiskusi dengan kelompok kecil laki-laki. Kami membicarakan banyak hal disana. aku mengobrol dengan orang-orang pintar, karenanya aku juga merasa sedang menjadi orang yang jenius. Gaya bicara mereka mantap, tegas, dan jelas, layaknya para politikus handal. Ditengah-tengah diskusi, hapeku bergetar. Ada SMS masuk. Aku baca.

Ini mas niko yang dari UPI Bandung ya?Diskusinya semangat amat mas :-)

Aku bales SMS itu.

Iya, ini dengan niko. Sebelumnya ma’af, ini dengan siapa?

Hapeku bergetar lagi.

Coba mas niko lihat ke belakang...

Aku menoleh ke belakang. Disana ada sekelompok perempuan yang sedang asyik berdiskusi, posisinya melingkar. Aku perhatikan, tidak satu orangpun yang melihat ke arahku, semuanya tampak khusu dengan obrolan mereka.

***

Jam sepuluh malam, peserta maupun panitia masuk kandang masing-masing. Di kamarku terdapat tiga ranjang tidur. Pada ranjang yang di dekat pintu, disana Kiswanto sedang mengerjakan sesuatu dengan laptopnya. Di ranjang tengah, Reza sudah tidur dengan posisi tengkurep. Ranjang ketiga letaknya di dekat jendela. Ranjang itu masih kosong, karena penghuninya masih sedang packing persiapan untuk esok hari menuju lereng Semeru. Penghuni ranjang itu adalah diriku sendiri. Sengaja aku packingnya malam hari, agar besok ketika yang lain sibuk beres-beres, aku bisa santai menikmati Al-Azhar Van Malang yang beberapa jam lagi akan aku tinggalkan.

Setelah semuanya beres, aku langsung rebahkan tubuhku di risbang. Tulang belakangku menyentuh kasur empuk. Nyaman. Baru saja mataku akan terpejam, hapeku bergetar. Ada satu SMS masuk, dari nomer yang tadi siang SMS aku. Dengan mata berat, aku baca SMS itu.

Mas niko kecapean ya? Selamat istirahat mas... :-)

***

Bis yang kami tumpangi meluncur di antara kepadatan jalanan Malang. Satu dari pihak panitia perempuan berdiri di depan bis dengan mikrofon di genggaman tangan kanannya. Dia memandu kami, para peserta. Dia menjelaskan setiap tempat yang terkenal dan bersejarah di kota Malang, ketika bis melewati tempat-tempat tersebut. Bis berhenti di perbatasan kabupaten Malang dengan Kabupaten Lumajang. Kami ganti mobil. Karena medan yang akan ditempuh menuju Ranupane cukup terjal. Panitia mengantisipasi dengan menyiapkan dua mobil truk. Satu untuk peserta, satu lagi untuk barang-barang dan panitia. Kami eksodus memasuki truk pertama. Truk kedua penuh oleh barang-barang kami. Para panitia duduk di atas tumpukan tas. mereka tersenyum ketika truk melaju.

Di depan terlihat gunung dengan ukuran raksasa. Seumur hidup, belum pernah aku melihat gunung sebesar itu dengan mata telanjang langsung di lapangan. Ujung gunung itu tidak terlihat karena tertutup awan. Truk terus menanjak merayap. Di kiri-kanan jalan terhampar ladang apel. Buahnya ranum. Oh, ingin sekali aku memetik apel malang itu langsung dari tangkainya. Sepertinya rasanya sangat segar dan manis.

Setengah jam sudah truk mengarungi jalanan. Kini kami memasuki hutan. Jalannya mulai menyempit, hanya cukup untuk satu mobil saja. Jalan mulai berkelok-kelok. Suhu semakin menurun. Dingin. Hampir semua peserta mengenakan jaket mereka. Hanya satu orang yang tetap bertahan dengan kaos tipisnya. Siapa dia?! Tiada lain dan tiada bukan adalah diriku sendiri. Suhu udara seperti ini sudah sering aku rasakan di beberapa lokasi di Bandung, salah-satunya adalah di Pengalengan. Para peserta lain terheran-heran kepadaku.

“ Mas Niko jaketnya gak dipake?? Mas Niko kuat????” tanya Agus Salim serius. Belum sempat aku menjawab, Kiswanto langsung bersabda,” Mas Niko kan kuliah di Bandung, jadi, mungkin sudah kebal dengan suhu dingin.”

“ Ooohhhhh......, hebat kamu mas, badannya tukeran yuk! Aku sudah gak tahan dingin nih, hehe......,” canda Agus, maklum, karena dia dari Universitas Hasanudin (Unhas) Makassar. Makassar memang terkenal daerah yang sangat panas.

Truk terus meniti jalan sempit, menanjak dan berkelok. Kami bersorak gembira saat melihat panorama alam yang indah dan memesona, namun, kami bersorak meringis ketakutan ketika truk melewati jalanan terjal yang kiri-kanannya terdapat jurang yang sangat dalam. satu kali dalam perjalanan itu, ada saat kami, semuanya dan tanpa terkecuali, terdiam tidak mengeluarkan suara sepatah katapun, yang terdengar hanyalah deruman sura mesin truk. Saat itu truk melewati ruang agak terbuka dan jalan relatif datar. Truk berjalan pelan, karena jalannya sempit dan kiri-kanannya adalah tebing. Kami berada di puncak tebing itu. SubhanAllah, apa yang kami lihat? Gumpalan awan putih berada di bawah kami, berada di bawah tebing. Gumpalan awan putih itu terhampar luas di awang-awang. Kami takjub dan terpesona dengan maha karya Sang Maha Pencipta. Ternyata, negeri di atas awan itu bukanlah hanya bualan para pujangga belaka, tapi memang benar adanya. Ya Allah, betapa sangat besar kuasa-Mu.Sungguh tidak ada tandingannya. Sungguh-sungguh, tidak akan pernah ada tandingannya.

Truk terus melaju tanpa henti. Kami sampai pada sebuah perkampungan di lereng Semeru. Rumahnya jarang-jarang dan terpisah-pisah, karena topografinya yang berbukit-bukit, amat jarang sekali ditemukan tanah datar. Hampir sejauh mata memandang, yang terlihat hanyalah ladang sayur-sayuran. Ladang-ladang itu berwarna-warni, bergantung pada sayuran apa yang ditanam. Indah. Semua para penduduknya membalutkan sarung di tubuh mereka. Mungkin inilah masyarakat keturunan Majapahit yang tersisa itu, pikirku, karena kemarin, salah-satu yang dijelaskan oleh eyang Gatot adalah persis dengan apa yang sedang aku lihat sekarang.

“ Penduduk Ranupane itu hampir selalu mengenakan sarung untuk membalut tubuhnya. Guna sarung itu adalah kurang lebih seperti jaket bagi kita,” papar eyang Gatot kemarin, di auditorium Polinema.

Terdengan bisikan-bisikan dari para peserta, kalau daerah ini adalah Ranupane.

“ Ini Ranupane itu. Kita sudah sampe,” ucap salah-satu peserta perempuan.

“ Bukan mbak! Kita belum sampai, Ranupane masih sekitar setengah jam lagi dari sini,” jelas peserta laki-laki dari Unibraw. Dia tahu karena ikut survei dengan panitia.

“ Ooohhhh.....” ucap peserta lain berbarengan, termasuk diriku.

Truk masih melaju mencoba membelah kedinginan. Memang, tubuhku mulai merasakan kedinginan itu, tapi aku mencoba untuk tetap bertahan dengan kaos tipis ini. Aku mencoba beradaptasi dengan kondisi lingkungan seperti ini, karena aku tahu, suhu malam hari akan lebih ekstrem dari siang ini. Teman-teman lain mulai mengikatkan tangan pada tubuh mereka mencoba mengusir rasa dingin.

Truk memasuki perkampungan lagi. Kondisinya tidak berbeda juah dengan perkampungan yang sudah terlewat, yang sedikit membedakan adalah tanah datarnya saja, disini relatif lebih luas. Para penduduk yang sedang berladang menghentikan sejenak aktifitasnya. Mereka berdiri mematung memandangi kami di atas truk yang sedang melaju. Kami memberikan senyum perkenalan kepada mereka. Mereka membalas senyum kami. Bahkan beberapa dari mereka melambaykan tangan pada kami. Anak-anak kecil yang sedang membantu orang tuanya berladang, meloncat-loncat kegirangan. Kami melambaykan tangan pada mereka. Mereka semakin semangat meloncat-loncat.

Truk berhenti di balai desa. Kami disambut hangat oleh perangkat desa. Setelah acara penyambutan selesai, kami berkumpul di halaman balai desa guna pembagian rumah yang akan kami tempati beberapa hari kedepan.

Benar apa kata eyang Gatot kemarin. Penduduk Ranupane selalu menerima tamunya bukan di ruang tamu, melainkan di dapur.Menurut eyang Gatot, alasan kenapa seperti itu adalah agar para pendatang merasa tidak terlalu kedinginan, karena ada hawa hangat dari tungku (perapian) yang menyala.

“ Jika mereka menerima kita di dapur, bukan di ruang tamu, itu pertanda mereka menerima kita,” jelas eyang Gatot kemarin.

Kelompok aku bercengkrama dengan tuan rumah. Mereka tampak bersahabat. Si bapak pemilik rumah terbata-bata dalam mengucapkan bahasa negara.

“ Mohon dimaklum ya, sekalaunya bahasa Indonesia bapak ataupun ibu kurang begitu lancar, karena disini biasanya kami menggunakan bahasa Jawa, atau bahasa asli Ranupane,” terang ibu menimpali sang suami yang masih sedang bicara.

Nggih, bu,” jawab kami berbarengan. Tawa pecah di dapur hangat itu.

***

Ba’da isya, selepas pertemuan dengan panitia, membahas jadwal kegiatan yang akan dilakukan esok hari, di mesjid dekat balai desa, aku bersama beberapa teman lain jalan-jalan ke saung dekat danau kecil. Malam ini, aku kenakan jaket hitam perserang yang sering menemaniku jika sedang bepergian jauh, terlebih lagi ke tempat-tempat yang bersuhu dingin.Beberapa peserta lain kembali ke penginapan mereka masing-masing. Saat itu langit sedang cerah. Bayangan bintang-gemintang tampak jelas pada air danau yang tenang. Sembari mengobrol, kami pandangi langit yang berhias bintang malam ini. Sungguh elok.

***

Esoknya, saat matahari masih enggan untuk menampakan dirinya, aku dan beberapa peserta serta panitia berjalan-jalan di pinggir danau. Udara masih terlalu dingin. Kami semua mengenakan jaket, bahkan ada beberapa dari mereka yang mengikatkan syal tebal dileher mereka.Kami hirup dalam-dalam oksigen Ranupane. Segar.

Sang surya muncul dari peraduannya. Kabut lembut mulai menipis dan terangkat ke angkasa. Lembayung pagi melukis kaki langit timur. Penduduk mulai beraktifitas di ladang mereka. Sinar matahari menerpa perbukitan sebelah barat desa Ranupane, hingga tampak jelas lereng bagian timur bukit yang sudah dialih fungsikan menjadi ladang sayuran. Penduduk yang berladang terlihat kecil dari kejauhan.

Danau itu seperti air panas di dalam cangkir yang mengeluarkan uap, padahal aku tahu, air di danau itu tidak panas, fenomena ini terjadi karena suhu air lebih hangat dibandingkan dengan suhu udara di sekitar danau itu, karenanya air permukaan danau itu beruap. Seberkas cahaya matahari menyapa danau, riakan air memantulan cahaya sang surya. Danau itu menyala berkerlipan. Uap permukaan menari-nari dengan gemulai, berlari-lari kesana-kemari. Pagi itu, aku melihat matahari menjadi dua buah.

Siangnya, kami melaksanakan agenda yang semalam sudah diperbincangkan. Kami berkumpul dengan semua anak-anak yang ada di Ranupane. Kami berkumpul di lapangan dekat danau. Tim kami dibagi menjadi enam kelompok. Masing-masing kelompok menanggung jawabi satu kelompok anak-anak. Kelompok satu menangani kelas satu SD. Kelompok dua untuk kelas dua, dan seterusnya sampai kelas enam. Aku kebagian yang membimbing kelas dua. Kami semua beraksi. Pihak panitia berbagi tugas. Ada yang menjadi tim penilai. Ada yang mendokumentasikan kegiatan, dan tugas-tugas yang lainnya. Tidak sedikit penduduk tertawa di pinggir lapangan melihat ulah kami. Kami bahagia siang itu, karena telah berbagi keceriaan dengan anak-anak Ranupane. Anak-anak yang luar biasa. Sungguh, mereka anak-anak yang sangat luar biasa.

Kegiatan terpotong istirahat makan dan solat dzuhur. Pemeluk islam solat berjamaah di mesjid, selain itu menunggu sambil istirahat di balai desa. Jam satu siang acara dilanjutkan kembali sampai menjelang waktu ashar. Selepas solat ashar berlanjut lagi. Acara selesai jam lima lebih sedikit, ditutup dengan pemberian penghargaan kepada kelompok pemenang dan pemberian beberapa cinderamata kepada pemuka kampung serta pemberian sumbangan buku bacaan untuk anak-anak, tempat sampah dan pakaian layak pakai. Kami berfoto bareng penduduk Ranupane.

Setengah enam kembali ke penginapan. Bersih-bersih badan. Selepas isya, berkumpul lagi di balai desa. Agendanya adalah evaluasi. Seluruh peserta diharuskan menuliskan semua perasaannya selama di Ranupane. Panitia membagiakan kertas putih, masing-masing peserta satu lembar. Kami, peserta diberikan waktu lima belas menit untuk menuliskan itu semua. Listrik dimatikan. Kami hanya diberikan seberkas cahaya lilin. Panitia menyediakan beberapa batang lilin. Satu lilin dikerumuni beberapa orang. Sialnya, aku dan salah-satu peserta wanita asal Universitas Gajah Mada tidak kebagian tempat. Kami berdua kebingungan. Panitia cepat tanggap dengan kejadian ini. Mereka memberikan satu lilin mereka. Aku segera menulis dengan cepat, karena sudah beberapa menit terlewat. Aku tumpahkan semua yang ada di hatiku. Tanganku menulis tanpa jeda. Aku menulis ditemani temaramnya cahaya lilin dan seorang wanita tepat dihadapanku.

Panitia menyalakan lampu listrik kembali.

“ Baik, waktunya sudah habis, silahkan dikumpulkan tulisannya!” pinta panitia.

Aku kumpulkan hasil tulisanku. Kudekatkan mukaku pada lilin, hendak meniup, mematikan nyala lilin. Namun, astagfirullohal’adzim, bersamaan dengan itu, wanita dihadapanku melakukan hal yang sama denganku. Dia berniat meniup lilin itu. Wajah kami berhadapan dengan jarak hanya satu jengkal. Untuk sesaat mata kami beradu pandangan. Dengan cepat aku menarik wajahku kembali ke belakang, begitupun dengan dia. Aku dapati dia tersipu malu. Pipinya mulai memerah.

***

Hari terakhir di Ranupane. Jam Sembilan pagi kami berkumpul di halaman balai desa. Dua truk sudah siap untuk mengangkut kami ke Malang lagi. Beberapa saat sebelum berangkat, tiba-tiba langit mendung. Gerimis turun. Kami semua turun lagi. Pak sopir dan asistennya memasangkan terpal biru pada truk dengan maksud agar kami tidak kehujanan.

Mobil melaju membelah hujan. tidak seperti ketika berangkat, pada perjalanan kali ini tidak banyak pemandangan yang dapat kami lihat, karena kabut menyelimuti pegunungan. Tidak ada lagi teriakan kagum memandang indahnya alam. Kali ini kami lebih banyak diam menahan dingin yang teramat sangat. Udara serasa masuk melalui poro-poriku, kemudian menusuk-nusuk tulang hingga ke sum-sum. Semua melipatkan tangan di dada masing-masing.

Tujuan kami adalah sebuah villa di kota Batu. Menurut pemaparan beberapa teman asli Malang, kota Batu adalah kota paling indah di Malang. Terdapat banyak tempat rekreasi yang ada di kota itu. Mendengar cerita itu, aku sudah tidak sabar untuk segera tiba di tujuan.

Jam setengah satu kami tiba di sebuah villa di dataran tinggi di Batu. Kami takjub melihat panoramanya. Villa itu dibangun di sebuah bukit yang tinggi. Disana kami bisa melihat pemandangan kota Malang. Bangunan-bangunan terlihat kecil. Aku sudah tidak sabar menunggu malam tiba. Aku ingin segera melihat jutaan lampu dari sini.

***

Sang raja siang mulai mendekat ke tempat peristirahatannya. Perlahan gelap merayap menutupi terang. Tanpa ada komando, jutaan penduduk serempak menyalakan listrik rumah mereka. Seakan tidak mau kalah, bintang-bintang segera menampakan cahayanya. Disini, pada sebuah kursi di teras depan villa, aku melihat pemandangan nan mempesona itu. Secangkir teh hangat di genggaman dan mbak Nurul menemaniku di kursi sebelah kiri yang hanya dipisahkan oleh meja kayu.

“ Mas Niko jadi pulang besok siang?” Tanya mbak Nurul.

“ Harus dong mbak, kalo tidak saya bisa ketinggalan kereta,he…” jawabku. Iya, kemarin aku memang meminta izin untuk pulang lebih awal. Hal ini karena kereta tujuan Bandung berangkatnya jam setengah empat sore, sementara penutupan acara P2Mnya jam tiga, sedangkan perjalanan dari Batu ke Malang memakan waktu sekitar satu jam. Jika aku tidak pulang lebih awal, bisa-bisa aku ketinggalan sang Malabar.

Aku menyeruput lagi tehku. Hangat menjalar keseluruh tubuh. Angin dingin membelai wajahku. Erikan jangkrik menjadi musik penghibur malam ini.

***

Jam satu siang, selepas field trip ke taman bunga dan solat dzuhur aku beres-beres untuk pulang. Ransel besar sudah menempel di punggungku. Penampilanku sudah rapih, aku pamitan kepada teman-teman juga panitia. Mereka mengucapkan agar aku hati-hati di perjalanan.

“ Nanti mas Niko dianter pake motor aja yo, soalnya kalau pake mobil takut macet. Dian yang anternya mas, dia sudah nunggu mas Niko di luar,” tawar mbak Nurul.

Aku temui dua orang panitia yang belum aku kenal di teras. Satu laki-laki dan satunya perempuan. Yang laki-laki sedang duduk santai di bangku panjang. Dia mengorek-ngorek kuku jempol kakinya. Sedangkan yang perempuan duduk di jok motor, tangannya mengusap-usap helm warna hitam. Aku dekati perempuan itu.

“ Mbak Dian, berangkat sekarang aja mbak!” pintaku pada wanita itu. Dia diam seribu bahasa. Mukanya tampak bengong, sejurus kemudian mengulum senyum.

“ Ma’af mas, saya bukan Dian, mas Dian yang itu,” perempuan itu menunjuk ke arah laki-laki di bangku panjang. Astaga, terjadi lagi. Kesalahan itu terjadi untuk yang kedua kalinya. Aku salah tingkah dan merasa tidak enak kepada mas Dian. Mas Dian hanya tersenyum melihat tingkahku. Ternyata nama lengakapnya adalah Dian Andriana.

Dengan diiringi lambayan tangan teman-teman, jam satu lewat sedikit kami meluncur menuju stasiun kota baru malang. Sekitar lima belas menit berjalan, terjadi sesuatu yang tidak kami duga sebelumnya. Ban motor yang kami tumpangi pecah. Na’asnya, ban itu pecahnya di tempat yang sepi, jauh dari pemukiman. Yang aku khawatirkan adalah kami tidak menemukan tempat tambal ban, sedangkan di hapeku, jam menunjukan pukul setengah dua, jadi waktuku hanya tinggal dua jam lagi agar tidak ketinggalan kereta. Kami menuntun motor. Mas Dian yang menuntun, sementara aku yang mendorong. Keringat mengucur deras di sekujur tubuhku, pun dengan mas Dian. Kulihat, kaos bagian punggungnya basah karena keringat.

Sudah satu jam kami berjalan. Beberapa desa kami lewati, namun belum juga kami menemukan tempat penambalan ban. Aku semakin was-was, karena sekarang adalah jam setengah tiga. Praktis waktuku hanya tinggal satu jam lagi. Jika sampai jam setengah empat aku belum tiba di stasiun, hangus sudah karcis yang sudah aku pesan. Jika aku hendak pulang lagi ke Bandung, otomatis aku harus merogoh lagi kocek sekitar dua ratus tujuh puluh ribu rupiah untuk pembelian tiket kereta eksekutiv.

“ Oh, tambal ban yo mas? Mas jalan aja terus, sekitar satu kilo dari sini ada penambalan ban,” jawab warga yang kami temui di pertigaan jalan. Mendengar pemberitahuan itu, aku dan mas Dian semakin cepat mendorong motor.

Alhamdulillah, akhirnya kami tiba di tempat yang kami cari-cari, yaitu penambalan ban. Setibanya disana, waktuku hanya tinggal lima puluh menit lagi. Mas Dian meminta kepada mas penambal ban untuk sesegera mungkin menyelesaikan penambalannya. Mas itu dengan cekatan melakukan penambalan. Lima belas menit kemudian ban itu sudah terpasang lagi pada motor. Setelah membayar, kami langsung tancap gas. Waktuku hanya tinggal sekitar tiga puluh lima menit lagi. Aku semakin khawatir ketinggalan kereta.

“ Tiga puluh lima menit lagi ke jam setengah empat mas Dian. Kira-kira perjalanan ke stasiun berapa jam ya mas?” tanyaku pada mas Dian.

“ Normalnya satu jam mas Niko, tapi jangan khawatir mas, insyAllah kita akan tiba tepat waktu, mas Niko pegangan yang erat ya!” jawab mas Dian sambil tetap khusuk mengemudi. Tanpa ambil tempo, mas Dian mempercepat laju motor. Bersamaan dengan itu, aku semakin erat memegang badan mas Dian.

Masya Allah, selama hidupku, belum pernah aku naik motor atau dibonceng dengan laju secepat ini. Suer, kecepatannya membuat aku takut. Jika saja tidak tertuntut waktu, aku ingin meminta turun untuk pindah menaiki mobil angkutan umum, tapi apa mau dikata, tidak ada pilihan lain untuk ku. Aku harus menerimanya.

Memasuki pusat kota, jalanan semakin padat oleh kendaraan, namun, mas Dian tetap tidak mengurangi kecepatan. Terhitung sekitar empat kali kami melaju di antara sempitnya himpitan mobil-mobil. Nafasku naik-turun. Jantungku berdebar kencang. Aku lebih banyak menutup kedua mataku. Tiga menit sebelum waktu pemberangkatan kereta Malabar ke Bandung, kami tiba. Tanpa banyak pikir lagi, aku langsung pamit dan mengucapkan terima kasih kepada mas Dian. Kemudian sesegara mungkin berlari menuju sang Malabar. Di depan pintu gerbong nomer dua, berdiri seorang petugas wanita.

“ Kereta Malabar jurusan Bandung ya mbak?” tanyaku sambil menunjuk pada kereta. Aku memberikan tiket. Mbak itu melihat sejenak tiketku. Dia menganggukan kepalanya.

“ Iya mas, silahkan masuk,” jawabnya.

Matur nuwun mbak,” ucapku. Si mbak tersenyum.

Aku duduk di kursi nomer 8A (delapan A). penumpang di gerbong dua tampak sepi. Para penumpang lain terlihat leluasa duduk sendiri, begitu juga dengan diriku. Hanya beberapa saja yang duduknya berdua. jam tiga lewat tiga puluh menit tepat, sang Malabar berangkat. Ketika itu, terbayang jelas wajah teman-teman baruku di acara P2M ini. Aku rindu mereka. Segera aku merogoh saku mengambil hape hendak mengirimkan SMS memberitahukan kalau aku sudah berangkat. Baru saja aku akan mengetik, hapeku bergetar. Tidak satu kali atau dua kali, tapi beberapa kali. Banyak SMS masuk ke hapeku. SMS-SMS itu datangnya dari teman-teman baruku. Inti dari semua SMS itu adalah mengucapkan agar aku hati-hati di jalan dan mereka merasa senang karena telah mengenal diriku. Salah-satu isi SMSnya adalah seperti ini.

Mas Niko, hati-hati di jalan, senang bisa berteman denganmu mas, saya titip salam untuk mojang bandung yang ayu-ayu yo,he… oya, mas Niko, saya tunggu terbit novelnya yo, tetap semangat menulis mas, he…

aku sedikit kegingungan hendak membalas siapa dulu, karenanya, aku mengetik puisi di layar hapeku, kemudian aku kirim pada teman-temanku.

Sang Malabar membelah kota Malang
Merayap menyusuri rel
Dia membawaku kembali kepada kerinduan yang tertinggal
Namun, di sisi lain, dia juga membuatku terpisah dari kerinduanku yang lain
Mereka, sahabat-sahabatku
Aku, rindu mereka


***

Tiba-tiba aku ingat mas Dian dan jasanya yang telah menggeber motornya hingga aku tidak ketinggalan kereta. Mas Dian, jasamu akan aku kenang. Aku tidak bisa membalas jasamu itu, melainkan hanya memberikan sebuah do’a. Aku do’akan, kelak, mas Dian akan menjadi pembalap motor yang handal. Jika tidak mas Dian, aku do’akan anak mas Dian yang jadi. Jika tidak juga, cucu atau cicit atau keturunan ke tujuh mas Dian yang menjadi pembalap motor hebat. Aku do’akan keturunan mas Dian itu nantinya menjadi juara moto GP dan membuat nama Indonesia harum di pentas dunia. Aamiin.

***