Selasa, 07 Juni 2011

Negeri di Atas Awan


Awalnya, kang Robi, direktur leppim, mendelegasikan lima orang pengurus untuk berangkat ke acara pengabdian pada masyarakat (P2M) di desa Tengger di lereng Gunung Semeru, kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Acara ini digagas oleh ikatan lembaga penalaran dan penelitian mahasiswa indonesia (ILP2MI). Namun, karena dalam waktu dekat ini leppim akan melaksanakan program kerja terbesar dalam kepengurusan periode tahun ini, yaitu UPI Nasional Research Institute (UPI NRI), maka delegasi dikurangi menjadi hanya tiga orang saja. Ketiga orang itu adalah, dua orang dari jurusan pendidikan Geografi dan satu orang dari jurusan Fisika. Satu dari dua mahasiswa Geografi itu adalah diriku. Namun, sekali lagi, mengingat acara UPI NRI ini sangat besar, maka delegasi dikurangi sekali lagi, dengan hanya mengirimkan wakil leppim menjadi satu orang saja. Dengan berbagai pertimbangan, dipilihlah aku yang berangkat.

Dengan berbekal uang, ijin dari kang Hakmal dan ustad Mardais untuk tidak mengikuti materi PPM, serta do’a dari teman-teman seperjuangan di leppim, aku meluncur menuju Malang. Sabtu sore, tepatnya jam 15.30, kereta api malabar merayap menyusuri rel yang panjang. Sepanjang sejarah hidupku, baru empat kali aku naik kereta, termasuk dengan yang sekarang. Aku parno jika hendak menaiki kereta, semua ini bukan tanpa alasan. Dulu, ketika pertama kali naik kereta, saat itu aku hendak menghadiri acara pengukuhan anggota baru Forum Lingkar Pena (FLP) ranting anyer. Apa yang terjadi?! Dompetku yang lusuh, yang hanya berisikan uang tiga puluh ribu, KTP, dan beberapa kuitansi lenyap digondol copet. Untung saja aku berangkat bareng dengan teman-teman, apa jadinya jika ketika itu berangkat hanya seorang diri. Aku tidak mau membayangkan. Serem.

Kali ini berbeda. Aku pilih kereta kelas eksekutif. Meskipun harga tiketnya selangit, namun semua itu berbanding lurus dengan kenyamanan di perjalanan dan pelayanannya. Sangat jauh dengan ketika naik kelas ekonomi dulu. Bagai bumi dan langit perbedaannya.

Sepanjang perjalanan, aku disuguhi indahnya pemandangan hamparan persawahan yang hijau. Kokohnya gunung-gunung dan jejeran perumahan yang memanjang mengikuti jalur rel kereta. Tujuh belas jam setengah waktu yang ditempuh sang malabar dari stasiun Hall Bandung menuju stasiun kota baru Malang. Jam sembilan pagi, untuk pertama kalinya aku menginjakan kaki di negeri apel. Aku langsung menghubungi mbak Nurul via SMS, dia adalah ketua pelaksana acara P2M ini. Tidak lebih dari satu menit, hapeku bergetar.

Baik mas niko, insyAllah bentar lagi jemputan dateng. Ini nomernya 08xxxxxxxxxx, namanya Fani.

Tanpa banyak pikir lagi, aku segera SMS Fani.

Asalam, pagi mbak fani, sy niko, delegasi dari leppim UPI bandung. Sy sudah tiba di stasiun, kpn mbak bisa jemput?

Sambil menunggu balasan dari Fani, aku duduk di bangku tunggu stasiun. Kuperhatikan suasana stasiun kota baru malang pagi itu. Rame, tapi tidak serame di stasiun Hall Bandung. Hape yang tersimpan di saku celana kananku bergetar. Kurogoh, kemudian kubuka SMS masuk itu.

Walaikum, pagi jg mas niko, iya mas, mohon tunggu sebentar, sebentar lagi sy jemput mas niko ke stasiun. Maaf mas niko, saya bukan mbak, tp mas, sy laki-laki juga

Sumpah, aku sangat malu karena peristiwa menggelikan itu. Beberapa kali aku memohon maaf pada mas Fani.

“ Gak papa mas Niko, sampean tidak usah merasa bersalah, dibawa santai saja, kejadian seperti ini bukan yang pertama kali kok, sudah banyak orang yang baru kenal dengan saya, mengganggap kalau saya adalah perempuan, he....” jawab mas Fani sambil mengendarai motor menuju penginapan peserta P2M di asrama mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Malang. Motor yang kami tumpangi meluncur membelah kota Malang yang sejuk. Ah, aku jadi ingat kota Bandung.

***

Suasana berubah total ketika motor memasuki kawasan kampus UIN Malang. Aku seperti masuk sebuah pintu gerbang waktu, yang memisahkan luar kampus dengan dalam kampus. Kampus itu sangat mirip dengan kampus-kampus di negeri sungai nil yang sering kulihat di dunia maya. Bangunannya berarsitek layaknya kampus di mesir. Di setiap halaman kampus menjulang tinggi pohon palem-paleman. Hamparan rumput menjadi alas kampus ini. Aku dibuat bingung membedakan mana mesjid, mana asrama mahasiswa, dan mana gedung perkuliahan.

Setiba di penginapan, panitia menyambutku dengan segala kehangatannya. Setelah mengisi registrasi, aku langsung masuk kamar nomer tiga puluh satu yang telah panitia sediakan. ketika masuk, di dalam kamar sudah ada dua orang peserta, mereka teman satu kamarku. Yang pertama adalah Kiswanto, dia mahasiswa Universitas Negeri Semarang (UNES), dan yang kedua adalah Reza, mahasiswa tingkat akhir Universitas Negeri Jember (UNJEM). Kami saling sapa dan berkenalan satu sama lain. Sembari membereskan barang bawaan ke dalam lemari, kami saling bertanya dan menjelaskan keadaan kampus masing-masing. Bagaimana keadaan sekarang, bagaimana tipe mahasiswanya, bagaimana suasana lingkungan sekitar kampusnya, bagaimana suasana kotanya, dan masih banyak lagi pertanyaan yang lainnya.

Menjelang dzuhur, aku ijin berangkat ke mesjid kampus duluan. Letak mesjid kampus tidak begitu jauh dari penginapan peserta, kurang lebih sekitar tiga puluh meteran, hanya dipisahkan oleh gedung serba guna. Mesjidnya berukuran sedang, tidak terlalu besar juga tidak terlalu kecil. Namun tetap terlihat megah. Pondasi mesjidnya dibuat cukup tinggi, kita harus menaiki tangga setinggi dua meteran untuk sampai ke teras mesjid. Pencahayaannya sangat bagus, karena dindingnya bukan dari tembok, tapi dari kaca-kaca berukuran besar, kecuali dinding yang bagian pengimaman. Jika kita berada di dalam mesjid pada siang hari, suasananya tetap cerah meskipun lampu listrik tidak dinyalakan, berbeda dengan mesjid-mesjid umumnya yang pernah kusinggahi. Dinding sebelah depan mesjid dilapisi ukiran-ukiran kaligrafi dari kayu jati. Indah dan memesona siapapun yang melihatnya. Mesjid itu berlantai dua. Kubahnya besar nan indah. Diantara kubah itu, terdapat jendela-jendela untuk sirkulasi udara dan cahaya. Di kubah itu juga terikat lampu gantung besar yang berhiaskan kristal. Kristal-kristal itu berkerlipan manja jika disapa sinar mentari. Indah. Seindah suasana batin saya ketika berada di dalam mesjid itu.

Adzan dzuhur berkumandang. Segera aku mengambil wudhu. Selepas solat, aku tidak langsung ke penginapan. Aku duduk santai di dalam mesjid, bersandar pada salah satu tiang yang menyangga bangunan mesjid. Satu persatu orang-orang keluar. Hanya tinggal beberapa orang saja yang tersisa. Kebanyakan dari mereka berbaju takwa, bawahannya sarung, kepalanya ditutup peci. Sepertinya mereka adalah mahasiswa yang tinggal di asrama kampus. Mereka juga duduk bersandar pada tiang. Tangannya memegangi mushaf Alquran. Mulutnya kumat-kamit, sesekali matanya melihat ke atap mesjid. Sepertinya mereka sedang mencoba untuk menghafalkan Alquran.Sayup-sayup saya mendengar obrolan akhwat di lantai dua.

Tidak terasa, satu jam lewat sudah aku duduk menikmati suasana mesjid. Ketika hendak pulang ke penginapan, suasana mulai tampak gelap. Awan hitam memayungi kota Malang. Gerimis turun dari langit, perlahan membesar menjadi deras. Sepertinya Sang pencipta hujan menginginkanku untuk tetap terlebih dahulu di dalam mesjid. Aku kembali duduk dan bersandar pada tiang, sambil memandangi hujan dari dalam. aku niatkan dudukku kali ini untuk i’tikaf. Hujan semakin deras, sesekali diiringi dentuman guntur.

Seorang akhwat berkerudung pink berlari-lari menembus derasnya hujan. Dia menggunakan payung bergambar bunga-bunga. Sepertinya dia hendak menuju mesjid. Iya, benar dugaanku, dia meniti tangga naik ke teras mesjid. Akhwat itu meletakan payungnya di teras sebelah kiri. Payung itu dibiarkan begitu saja. Dia menepis-nepiskan air hujan yang membasahi gamisnya, kemudian akhwat berkerudung pink itu berjalan menuju tempat wudhu wanita, sepertinya dia hendak membersihkan dirinya.

Hujan belum juga reda. Angin bertiup semaikin keras. Cipratan air hujan yang terbawa angin semakin jauh membasahi teras mesjid. Seorang mahasiswa yang tadi menghapal Alquran mengalih fungsikan sarungnya menjadi selimut. Dia balutkan sarung itu menutupi tubuhnya. Dia tertidur.

Payung bermotif bunga-bunga di teras kiri mesjid bergerak terbawa angin. Payung itu tertiup lagi dan bergerak lagi. Payung itu sepertinya akan terjatuh. Segera aku berlari hendak menyelamatkan payung yang kesepian itu. Aku tangkap payung itu. Dia terselamatkan. Aku simpan di teras, mepet dekat dinding. Aku balik badan hendak kembali masuk mesjid. Namun, apa yang terjadi?! Aku dikagetkan seseorang yang berdiri dua meter tepat di depanku. Hey! Siapa dia? Dia ternyata akhwat berkerudung pink pemilik payung yang tadi hampir terjatuh. Aku gugup. Tubuhku mematung. Mata kami saling pandang, namun hanya sebentar, karena dia segera menundukan kepalanya ke lantai. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Akhwat berkerudung pink itu mengangkat wajahnya lagi. Kami saling memberikan senyuman.

“ Payung mbak ya? Tadi hampir jatuh,” aku mencoba mencairkan kebekuan diantara kami. Tanganku menunjuk ke arah payung bermotif bunga-bunga.

inggih mas, matur nuwun,” jawab akhwat berkerudung pink. Tiba-tiba saja aku teringat sebuah tempat dan dua orang tokoh fiktif yang ada di dalam novel ketika cinta bertasbih, maha karya anak bangsa, yaitu Habiburrahman El Shirazy, atau yang lebih sering disapa dengan sebutan kang Abik. Hari ini, seolah kampus UIN Malang berubah menjadi kampus Al-Azhar, serta aku dan akhwat berkerudung pink itu sejenak menjadi Abdullah Khairul Azzam dan Anna Althafunnisa.

***

Selepas isya, para peserta bersiap-siap. Masing-masing menggunakan jas almamater kampus kebanggaannya. Malam itu penuh warna. Kuning, hijau, biru, hitam, merah, orange, krem, juga abu-abu warna jaster kebanggaanku. Sebelum masuk bis, kami, peserta juga panitia berfoto bareng dengan latar belakang bis milik kampus Universitas Muhamadiah Malang(UMM), yang akan kami tumpangi menuju auditorium fakultas ilmu budaya, Universitas Brawijaya (UNIBRAW) Malang, untuk menghadiri pembukaan acara P2M ini.

Malam itu, meskipun hujan sudah reda, kota Malang masih basah. Bis yang kami tumpangi membelah kedinginan di jalanan kota Malang. Kiri dan kanan jalan diterangi dengan lampu. Tetesan air yang masih menempel di lampu-lampu jalanan itu berkerlipan manja. Bis masuk pintu gerbang UNIBRAW. Pintu gerbang itu bentuknya mirip gapura besar. Memasuki kampus suasana menjadi lebih tenang. Bis berhenti di halaman palkir fakultas ilmu budaya.

Jam delapan lewat acara dimulai. Dibuka dengan pertunjukan tari malangan. Menurut penuturan MC, tari malangan ini selalu menjadi pembuka pada acara-acara resmi yang dilaksanakan di kota apel ini.Tangan dan kaki kedua penari malangan bergerak dengan sangat lentur. Gelang di kaki mereka berbunyi setiap kali mereka menggerakan kaki. Semua hadirin terpesona melihat pertunjukan tari tersebut, terlebih lagi bang Ma’ruf yang duduk di samping kananku. Dia mahasiswa tingkat akhir Universitas Negeri Makassar (UNM). Aku perhatikan, dari awal hingga akhir tarian, tidak sekalipun matanya berkedip, mungkin karena memang para penari itu berparas cantik.

Acara selanjutnya adalah pembacaan ayat suci Alquran, kemudian dilanjutkan dengan sambutan-sambutan. Sambutan pertama adalah dari kemendiknas kota Malang, sekaligus membuka secara resmi acara P2M yang dilaksanakan oleh ILP2MI ini. Sambutan kedua oleh mbak Nurul, selaku ketua pelaksana. Dan sambutan terakhir oleh sekjen ILP2MI, bang Wahyudin MY. Dia satu daerah dan satu universitas dengan bang Ma’ruf. Dari ketiga sambutan, kalau boleh jujur, sambutan bang Wahyudin yang paling aku sukai. Sambutannya ditanggapi meriah oleh para hadirin. Bagaimana tidak, dia sering menyelipkan humor di antara kalimat yang dia ucapkan.

“ Terus terang, sudah sejak lama saya menunggu acara seperti ini terlaksana, karena apa? Hanya pada acara seperti inilah kita para peneliti muda se-Indonesia dipertemukan, yang mana, kita semua bisa berdiskusi tentang bakal penelitian yang kita niatkan untuk memajukan bangsa kita tercinta ini,” ujar bang Wahyudin dengan logat khas Makassarnya. Hampir setiap kata yang ada huruf “E”nya, dia ucapkan hampir selalu seperti kita mengucapkan “E” pada kata “merah”.

“ Saya ingin berbagi pengalaman dengan kawan-kawan semua. Terus terang, kami berangkat ke Malang bukan dengan uang dari rektorat. Proposal kami tidak disetujuai oleh pembantu rektor tiga, alasan beliau karena sudah terlalu sering kami meminta dana,” kenang bang Wahyudin di atas mimbar.

“ Kami tidak menyerah sampai disana. Kami terus berusaha untuk mengirimkan proposal permohonan dana untuk menghadiri acara ini. Kami sebar proposal itu kepada Om dan Tante kami masing-masing. Jika kawan-kawan tidak percaya, silahkan tanyakan kepada rekan saya,” bang Wahyudin menunjuk kepada salah-satu hadirin yang sedang duduk sambil tersenyum mesem. Siapa dia? Siapa lagi kalau bukan bang Ma’ruf. Bang Ma’ruf menanggapinya dengan tertawa ringan.

“ Saya pikir, dalam waktu sebulan ini, saya harus melakukan pendekatan lagi kepada Om dan Tante saya, karena kenapa? Mungkin sebentar lagi saya akan mengirimkan proposal lagi untuk menghadiri kongres ILP2MI bulan depan di Universitas Gajah Mada (UGM) yogyakarta. Saya harap mereka meng-ACC lagi proposal saya, hehe....”

“ Silahkan, seandainya kawan-kawan dari kampus lain ingin mengadopsi teori saya ini, saya ikhlas. Silahkan plagiat jika itu bermanfaat untuk kawan-kawan semua,” tawar bang Wahyudin kepada kami, para hadirin. Kami tertawa renyah dan diiringi dengan tepuk tangan. Bang Wahyudin manggut-manggut di atas mimbar. Dia menebar senyumnya.

Setelah sambutan menarik dari sekjen ILP2MI, kami dihibur dengan akustik dari mahasiswa Universitas Merdeka (UNMER) Malang. Para personilnya adalah anggota ILP2MI juga. Kemudian dilanjutkan dengan acara perkenalan lembaga penelitian dari setiap unversitas. Sebelum giliranku tiba untuk mempresentasikan LEPPIM, Aku mencoba mengumpulkan keberanian untuk itu. Aku sedikit gugup, karena disaksikan oleh para mahasiswa berkualitas tinggi.

“ Selanjutnya adalah perkenalan lembaga leppim, dari Universitas Pendidikan Indonesia,” MC memanggil kampusku. Kini giliranku maju ke mimbar.

Aku perkenalkan leppim sebanyak yang aku tahu. Mulai dari sejarah, perkembangan, program kerja unggulan, prestasi yang pernah diraih, struktur organisasi, dan masih banyak lagi yang lainnya. Yang menjadi fokusku pada presentasi ini adalah proker besar yang sebentar lagi akan leppim laksanakan, yaitu UPI NRI. Acara ini adalah merupakan pelatihan membuat karya tulis ilmiah dan motivasi untuk berani dalam melakukan penelitian. Aku promosikan agar teman-teman di kampus lain untuk mengikuti acara ini.

“ Selanjutnya, sebelum saya akhiri, saya akan menyampaikan sesuatu telebih dahulu. Sebelum berangkat kesini, saya dititipi amanah oleh kang Robi Awaludin, seperti yang sudah saya jelaskan tadi, dia adalah direktur leppim periode tahun ini. Dia menitipkan salamnya pada saya, untuk tolong disampaikan kepada rekan-rekan semua, terutama kepada pak sekjen,” ujarku sambil menatap bang Wahyudin. Dia tersenyum.

“ Satu lagi, untuk para intelektual muda, kang Robi menantang kalian semua untuk berlomba dalam menciptakan penelitian yang bisa memajukan bangsa kita, yaitu Indonesia tercinta,” aku menutup presentasi.

***

Hari kedua, dibuka dengan olah raga bareng di lapangan olahraga kampus UIN Malang. Sinar pagi menerpa kulit kami. Hangat. Kami ceria ketika itu. Kami mengobrol satu sama lain untuk lebih mendekatkan diri. Ada juga yang diam-diam asyik mengobrol berduaan saja antara peserta perempuan dengan peserta laki-laki. Ada juga perempuan dari pihak peserta dan laki-laki dari pihak panitia, pun sebaliknya. Wajar, anak muda.

Selepas olahraga, kami bersih-bersih badan. Hampir tidak ada baris antrian, karena kamar mandi di asrama yang kami tempati banyak jumlahnya. Jam setengah delapan, asrama berwarna lagi. Saat itu, aku menemukan lagi tabiat anak muda. Apa itu? Adalah narsis. Tidak sedikit yang berfoto-foto, dengan teman baru tentunya.

“ Mas Niko, boleh minta foto bareng?” pinta salah-satu peserta perempuan kepadaku. “Tolong fotoin kami ya!” tambah perempuan itu sambil menyodorkan kamera kepada teman yang lain.

“ Gantian ya!” pinta teman yang satunya.

“ Iya,” perempuan itu memepetkan badannya padaku.

***

Setengah delapan lewat sedikit, kami breafing di aula asrama. Agenda hari ini adalah pembekalan sebelum menuju ke desa Ranupani, desa tertinggi di pulau Jawa, yang berlokasi di lereng gunung Semeru. Materi pembekalan ini akan dilaksanakan di auditorium kampus politeknik negeri Malang (polinema). Pada round down acara, kami akan berangkat menuju polinema tepat pukul sembilan pagi. Aku lihat jam dinding. Masih dua puluh lima menit lagi ke jam sembilan. Aku mohon ijin pada panitia untuk keluar kampus sebentar. Panitia mengijinkan.

“ Tapi jangan lama-lama yo mas Niko, soalnya bis-nya sebentar lagi dateng,” pinta mbak Nurul.

“ Iya mbak.”

Aku ajak Kiswanto dan bang Ma’ruf. Niatku adalah wisata kuliner. Mereka mengikuti ajakanku. Sebenarnya kami sudah dapat konsumsi dari panitia, tapi, rasa ingin mencicipi penganan khas Malang mengalahkan rasa kenyangku, yang kemudian aku tularkan pada kedua teman baruku.

Kami keluar kampus UIN Malang lewat pintu gerbang belakang. Gerbang itu besar dan tinggi, jika diukur, mungkin tingginya bisa mencapai tiga meter. Disamping gerbang besar itu terdapat pintu agak kecil yang dikhususkan untuk para pejalan kaki. Di atas pintu kecil itu ada tulisan dari cat berwarna putih yang bertuliskan “ Lewat jam sepuluh malam, pintu ditutup”. Lewat pintu itu kami keluar.

Setelah melalui diskusi diantara kami, terpilihlah warung nasi yang menjual beberapa makanan bakar-bakaran. Kami sepakat untuk memesan jeroan bakar.

“ Mas, jeroan bakarnya tiga,” pinta bang Ma’ruf kepada pramusaji, sambil mengacungkan tiga jarinya.

“ Pake nasi mas?” tanya pramusaji.

“ Pake mas. Oh ya, jangan lupa minumnya jus apel. Tiga!” ujar bang Ma’ruf tanpa meminta persetujuan aku dan Kiswanto. Aku dan Kiswanto saling pandang. Bang Ma’ruf mendapati kami saling menatap.

“ Oh iya, aku lupa, jangan khawatir kawan, pokoknya semuanya aku yang bayar, tenang saja. Masih ingat dengan cerita pak sekjen semalam? Kebetulan dana yang cair dari Om dan Tante-ku cukup besar. Sebagai ungkapan rasa syukurku, aku sudah berjanji pada diri sendiri untuk menyedekahkan uang itu. Nah, kebetulan sekarang kita makan bareng, jadi aku akan sedekahkan sedikit rejeki ini kepada kawan-kawan baruku yang ganteng-ganteng ini, hehe....” bang Ma’ruf menepuk-nepuk pundak aku dan Kiswanto sambil tertawa bahagia.

Kami makan bakar jeroan dengan lahap. Rasanya agak sedikit manis, khas masakah daerah jawa pada umumnya. Setelah makan, bang Ma’ruf mengeluarkan uang pecahan lima puluh ribu dari dompetnya. Dia memanggil pramusaji.

“ Berapa semuanya mas?” tanya bang Ma’ruf.

“ Lima belas ribu,” jawab pramusaji sambil menyerahkan sebuah kertas kecil pada bang Ma’ruf. Bang Ma’ruf menyerahkan uang pada pramusaji, kemudian pramusaji itu berjalan entah kemana, beberapa saat kemudian kembali menyerahkan uang kembalian kepada bang Ma’ruf.

Suer, aku tidak bohong. Pikirku harga semua makanan dan minuman ini akan lebih dari tiga puluh ribu. Ketika aku tanyakan pada bang Ma’ruf, dia satu pikiran denganku, wajahnya melongo tidak percaya dengan harga makanan yang telah masuk ke perutnya. Andai saja Aladin berkenan meminjamkan sebentar lampu wasiatnya kepadaku, aku akan meminta agar semua warung makan yang ada di Malang berpindah ke Bandung, selamanya, agar aku bisa hemat pengeluaran untuk biaya makan.Oh, Aladin, jika engkau ada dan mendengarkan suara hatiku ini, pinjamkanlah aku sebentar lampu wasiatmu.

***

Bis UMM berhenti di lapangan palkir kampus Polinema. Kami turun dan berjalan berbondong-bondong menuju auditorium. Beberapa panitia yang bertugas menyiapkan tempat menyambut kami di pintu masuk ruangan auditorium. Kami segera masuk ke ruangan dan memilih tempat duduk. Aku pilih kursi urutan ke dua baris paling kiri. Pada breafing di asrama tadi, hari ini akan ada dua materi. Materi pertama dari kak Acun, beliau adalah pendiri mata hati training center, yang memfokuskan garapannya pada pendidikan karakter pada anak-anak. Dan materi selanjutnya tentang kebiasaan-kebiasaan masyarakat Ranupane oleh eyang Gatot, beliau adalah budayawan jebolan Unibraw.

Materi pertama, kami dibekali ilmu tentang dunia anak-anak, karena di Ranupane, kita akan mengaplikasikan hasil penelitian tentang karakter building. Kami diberikan gambaran apa saja yang boleh ataupun yang tidak boleh dilakukan kepada anak-anak. Salah-satu wasiat kak Acun yang paling aku ingat adalah tentang amarah.

“ Jangan sekali-sekali memarahi anak-anak. Jika mereka melakukan kesalahan, berikanlah mereka pengertian dengan cara yang baik, jangan dimarahi. Karena ketika kita memarahi mereka, maka sel-sel di otak mereka akan hangus. Jika sel-sel otak mereka sudah hangus, apa yang akan terjadi pada mereka (red:anak-anak)? Dampaknya, emosi mereka akan labil. Mereka akan mudah marah dan konsentrasinya akan sangat rendah,” tutur kak Acun.

“ Masa penentuan apakah seseorang itu akan berkarakter kuat atau lemah itu ditentukan pada golden age atau usia balita. Maka selalu berikanlah kata-kata yang positif jika sedang berinterksi dengan mereka.”

“ Satu pesan kak Acun, buatlah kesan baik kepada anak-anak di Ranupane. Berikanlah servis terbaik kita untuk anak-anak kak Acun itu, untuk anak-anak Indonesia, calon pahlawan bangsa,” amanat kak Acun di penghujung materi.

Materi kak Acun selesai pukul setengah dua belas. Panitia mempersilahkan kami beristirahat sampai jam satu siang. Jam istirahat itu kami gunakan se-efektif mungkin untuk solat dzuhur dan makan siang yang telah disiapkan oleh panitia.

Jam satu tepat materi kedua dimulai. Awalnya aku tidak percaya jika yang sedang duduk di depan adalah orang yang akan memberikan materi. Penampilannya nyentrik. Baju yang dikenakan model kemeja kotak-kotak jaman dulu, lusuh, warnanya sudah pudar. Kemeja itu dibalut oleh rompi kulit warna coklat tua. Bawahannya celana jeans warna biru dongker. Alas kaki yang dia kenakan adalah sepatu gunung warna hitam kumal. Topi coklat polos menempel di kepalanya. Usianya sudah sepuh. Kulit wajahnya sudah terlihat mengkerut keriput, tapi sinar di wajahnya masih tampak aroma kegagahan. Terbukti, badannya masih tegap dan kekar. Dialah eyang Gatot.

Eyang Gatot menjelaskan semua hal tentang masyarakat Ranupane. Dimulai dari sejarah, adat-istiadat, kepercayaan, mata pencaharian utama, watak dan karakter orang-orangnya, dan pantangan-pantangan yang tidak boleh dilakukan disana. menurut pemaparan beliau, penduduk Ranupane merupakan keturunan asli dari penduduk kerajaan Majapahit. Ketika masa kehancuran kerajaan Majapahit, penjajah mengejar-ngejar penduduk yang tersisa itu, namun, penduduk tersisa tersebut melarikan diri ke lereng gunung tertinggi di pulau Jawa, yaitu gunung Semeru, tepatnya di Ranupane. Karena medan jaman dulu masih terlalu rimba, para penjajah berhenti mengejar, dan loloslah penduduk tersisa kerajaan Majapahit itu. Mereka kemudian menetap disana, sampai sekarang.

Eyang Gatot mengakhiri materinya hanya beberapa menit sebelum adzan ashar. Selapas materi, kami langsung menuju mesjid kampus Polinema. Setelah solat, kami berkumpul lagi di auditorium, sambil menunggu bis jemputan yang terjebak macet.Waktu kosong itu kami gunakan untuk diskusi. Tidak ada perintah dari panitia dalam hal ini. Semua Ini terjadi semata-mata atas inisiatif individu masing-masing yang merasakan pentingnya berdiskusi, karena dengan berdiskusi, banyak pengetahuan ataupun ilmu baru yang didapatkan.

Terdapat beberapa kelompok diskusi ketika itu. Ada yang perempuan semua, ada yang laki-laki semua, ada juga yang campur laki-laki dan perempuan. Aku berdiskusi dengan kelompok kecil laki-laki. Kami membicarakan banyak hal disana. aku mengobrol dengan orang-orang pintar, karenanya aku juga merasa sedang menjadi orang yang jenius. Gaya bicara mereka mantap, tegas, dan jelas, layaknya para politikus handal. Ditengah-tengah diskusi, hapeku bergetar. Ada SMS masuk. Aku baca.

Ini mas niko yang dari UPI Bandung ya?Diskusinya semangat amat mas :-)

Aku bales SMS itu.

Iya, ini dengan niko. Sebelumnya ma’af, ini dengan siapa?

Hapeku bergetar lagi.

Coba mas niko lihat ke belakang...

Aku menoleh ke belakang. Disana ada sekelompok perempuan yang sedang asyik berdiskusi, posisinya melingkar. Aku perhatikan, tidak satu orangpun yang melihat ke arahku, semuanya tampak khusu dengan obrolan mereka.

***

Jam sepuluh malam, peserta maupun panitia masuk kandang masing-masing. Di kamarku terdapat tiga ranjang tidur. Pada ranjang yang di dekat pintu, disana Kiswanto sedang mengerjakan sesuatu dengan laptopnya. Di ranjang tengah, Reza sudah tidur dengan posisi tengkurep. Ranjang ketiga letaknya di dekat jendela. Ranjang itu masih kosong, karena penghuninya masih sedang packing persiapan untuk esok hari menuju lereng Semeru. Penghuni ranjang itu adalah diriku sendiri. Sengaja aku packingnya malam hari, agar besok ketika yang lain sibuk beres-beres, aku bisa santai menikmati Al-Azhar Van Malang yang beberapa jam lagi akan aku tinggalkan.

Setelah semuanya beres, aku langsung rebahkan tubuhku di risbang. Tulang belakangku menyentuh kasur empuk. Nyaman. Baru saja mataku akan terpejam, hapeku bergetar. Ada satu SMS masuk, dari nomer yang tadi siang SMS aku. Dengan mata berat, aku baca SMS itu.

Mas niko kecapean ya? Selamat istirahat mas... :-)

***

Bis yang kami tumpangi meluncur di antara kepadatan jalanan Malang. Satu dari pihak panitia perempuan berdiri di depan bis dengan mikrofon di genggaman tangan kanannya. Dia memandu kami, para peserta. Dia menjelaskan setiap tempat yang terkenal dan bersejarah di kota Malang, ketika bis melewati tempat-tempat tersebut. Bis berhenti di perbatasan kabupaten Malang dengan Kabupaten Lumajang. Kami ganti mobil. Karena medan yang akan ditempuh menuju Ranupane cukup terjal. Panitia mengantisipasi dengan menyiapkan dua mobil truk. Satu untuk peserta, satu lagi untuk barang-barang dan panitia. Kami eksodus memasuki truk pertama. Truk kedua penuh oleh barang-barang kami. Para panitia duduk di atas tumpukan tas. mereka tersenyum ketika truk melaju.

Di depan terlihat gunung dengan ukuran raksasa. Seumur hidup, belum pernah aku melihat gunung sebesar itu dengan mata telanjang langsung di lapangan. Ujung gunung itu tidak terlihat karena tertutup awan. Truk terus menanjak merayap. Di kiri-kanan jalan terhampar ladang apel. Buahnya ranum. Oh, ingin sekali aku memetik apel malang itu langsung dari tangkainya. Sepertinya rasanya sangat segar dan manis.

Setengah jam sudah truk mengarungi jalanan. Kini kami memasuki hutan. Jalannya mulai menyempit, hanya cukup untuk satu mobil saja. Jalan mulai berkelok-kelok. Suhu semakin menurun. Dingin. Hampir semua peserta mengenakan jaket mereka. Hanya satu orang yang tetap bertahan dengan kaos tipisnya. Siapa dia?! Tiada lain dan tiada bukan adalah diriku sendiri. Suhu udara seperti ini sudah sering aku rasakan di beberapa lokasi di Bandung, salah-satunya adalah di Pengalengan. Para peserta lain terheran-heran kepadaku.

“ Mas Niko jaketnya gak dipake?? Mas Niko kuat????” tanya Agus Salim serius. Belum sempat aku menjawab, Kiswanto langsung bersabda,” Mas Niko kan kuliah di Bandung, jadi, mungkin sudah kebal dengan suhu dingin.”

“ Ooohhhhh......, hebat kamu mas, badannya tukeran yuk! Aku sudah gak tahan dingin nih, hehe......,” canda Agus, maklum, karena dia dari Universitas Hasanudin (Unhas) Makassar. Makassar memang terkenal daerah yang sangat panas.

Truk terus meniti jalan sempit, menanjak dan berkelok. Kami bersorak gembira saat melihat panorama alam yang indah dan memesona, namun, kami bersorak meringis ketakutan ketika truk melewati jalanan terjal yang kiri-kanannya terdapat jurang yang sangat dalam. satu kali dalam perjalanan itu, ada saat kami, semuanya dan tanpa terkecuali, terdiam tidak mengeluarkan suara sepatah katapun, yang terdengar hanyalah deruman sura mesin truk. Saat itu truk melewati ruang agak terbuka dan jalan relatif datar. Truk berjalan pelan, karena jalannya sempit dan kiri-kanannya adalah tebing. Kami berada di puncak tebing itu. SubhanAllah, apa yang kami lihat? Gumpalan awan putih berada di bawah kami, berada di bawah tebing. Gumpalan awan putih itu terhampar luas di awang-awang. Kami takjub dan terpesona dengan maha karya Sang Maha Pencipta. Ternyata, negeri di atas awan itu bukanlah hanya bualan para pujangga belaka, tapi memang benar adanya. Ya Allah, betapa sangat besar kuasa-Mu.Sungguh tidak ada tandingannya. Sungguh-sungguh, tidak akan pernah ada tandingannya.

Truk terus melaju tanpa henti. Kami sampai pada sebuah perkampungan di lereng Semeru. Rumahnya jarang-jarang dan terpisah-pisah, karena topografinya yang berbukit-bukit, amat jarang sekali ditemukan tanah datar. Hampir sejauh mata memandang, yang terlihat hanyalah ladang sayur-sayuran. Ladang-ladang itu berwarna-warni, bergantung pada sayuran apa yang ditanam. Indah. Semua para penduduknya membalutkan sarung di tubuh mereka. Mungkin inilah masyarakat keturunan Majapahit yang tersisa itu, pikirku, karena kemarin, salah-satu yang dijelaskan oleh eyang Gatot adalah persis dengan apa yang sedang aku lihat sekarang.

“ Penduduk Ranupane itu hampir selalu mengenakan sarung untuk membalut tubuhnya. Guna sarung itu adalah kurang lebih seperti jaket bagi kita,” papar eyang Gatot kemarin, di auditorium Polinema.

Terdengan bisikan-bisikan dari para peserta, kalau daerah ini adalah Ranupane.

“ Ini Ranupane itu. Kita sudah sampe,” ucap salah-satu peserta perempuan.

“ Bukan mbak! Kita belum sampai, Ranupane masih sekitar setengah jam lagi dari sini,” jelas peserta laki-laki dari Unibraw. Dia tahu karena ikut survei dengan panitia.

“ Ooohhhh.....” ucap peserta lain berbarengan, termasuk diriku.

Truk masih melaju mencoba membelah kedinginan. Memang, tubuhku mulai merasakan kedinginan itu, tapi aku mencoba untuk tetap bertahan dengan kaos tipis ini. Aku mencoba beradaptasi dengan kondisi lingkungan seperti ini, karena aku tahu, suhu malam hari akan lebih ekstrem dari siang ini. Teman-teman lain mulai mengikatkan tangan pada tubuh mereka mencoba mengusir rasa dingin.

Truk memasuki perkampungan lagi. Kondisinya tidak berbeda juah dengan perkampungan yang sudah terlewat, yang sedikit membedakan adalah tanah datarnya saja, disini relatif lebih luas. Para penduduk yang sedang berladang menghentikan sejenak aktifitasnya. Mereka berdiri mematung memandangi kami di atas truk yang sedang melaju. Kami memberikan senyum perkenalan kepada mereka. Mereka membalas senyum kami. Bahkan beberapa dari mereka melambaykan tangan pada kami. Anak-anak kecil yang sedang membantu orang tuanya berladang, meloncat-loncat kegirangan. Kami melambaykan tangan pada mereka. Mereka semakin semangat meloncat-loncat.

Truk berhenti di balai desa. Kami disambut hangat oleh perangkat desa. Setelah acara penyambutan selesai, kami berkumpul di halaman balai desa guna pembagian rumah yang akan kami tempati beberapa hari kedepan.

Benar apa kata eyang Gatot kemarin. Penduduk Ranupane selalu menerima tamunya bukan di ruang tamu, melainkan di dapur.Menurut eyang Gatot, alasan kenapa seperti itu adalah agar para pendatang merasa tidak terlalu kedinginan, karena ada hawa hangat dari tungku (perapian) yang menyala.

“ Jika mereka menerima kita di dapur, bukan di ruang tamu, itu pertanda mereka menerima kita,” jelas eyang Gatot kemarin.

Kelompok aku bercengkrama dengan tuan rumah. Mereka tampak bersahabat. Si bapak pemilik rumah terbata-bata dalam mengucapkan bahasa negara.

“ Mohon dimaklum ya, sekalaunya bahasa Indonesia bapak ataupun ibu kurang begitu lancar, karena disini biasanya kami menggunakan bahasa Jawa, atau bahasa asli Ranupane,” terang ibu menimpali sang suami yang masih sedang bicara.

Nggih, bu,” jawab kami berbarengan. Tawa pecah di dapur hangat itu.

***

Ba’da isya, selepas pertemuan dengan panitia, membahas jadwal kegiatan yang akan dilakukan esok hari, di mesjid dekat balai desa, aku bersama beberapa teman lain jalan-jalan ke saung dekat danau kecil. Malam ini, aku kenakan jaket hitam perserang yang sering menemaniku jika sedang bepergian jauh, terlebih lagi ke tempat-tempat yang bersuhu dingin.Beberapa peserta lain kembali ke penginapan mereka masing-masing. Saat itu langit sedang cerah. Bayangan bintang-gemintang tampak jelas pada air danau yang tenang. Sembari mengobrol, kami pandangi langit yang berhias bintang malam ini. Sungguh elok.

***

Esoknya, saat matahari masih enggan untuk menampakan dirinya, aku dan beberapa peserta serta panitia berjalan-jalan di pinggir danau. Udara masih terlalu dingin. Kami semua mengenakan jaket, bahkan ada beberapa dari mereka yang mengikatkan syal tebal dileher mereka.Kami hirup dalam-dalam oksigen Ranupane. Segar.

Sang surya muncul dari peraduannya. Kabut lembut mulai menipis dan terangkat ke angkasa. Lembayung pagi melukis kaki langit timur. Penduduk mulai beraktifitas di ladang mereka. Sinar matahari menerpa perbukitan sebelah barat desa Ranupane, hingga tampak jelas lereng bagian timur bukit yang sudah dialih fungsikan menjadi ladang sayuran. Penduduk yang berladang terlihat kecil dari kejauhan.

Danau itu seperti air panas di dalam cangkir yang mengeluarkan uap, padahal aku tahu, air di danau itu tidak panas, fenomena ini terjadi karena suhu air lebih hangat dibandingkan dengan suhu udara di sekitar danau itu, karenanya air permukaan danau itu beruap. Seberkas cahaya matahari menyapa danau, riakan air memantulan cahaya sang surya. Danau itu menyala berkerlipan. Uap permukaan menari-nari dengan gemulai, berlari-lari kesana-kemari. Pagi itu, aku melihat matahari menjadi dua buah.

Siangnya, kami melaksanakan agenda yang semalam sudah diperbincangkan. Kami berkumpul dengan semua anak-anak yang ada di Ranupane. Kami berkumpul di lapangan dekat danau. Tim kami dibagi menjadi enam kelompok. Masing-masing kelompok menanggung jawabi satu kelompok anak-anak. Kelompok satu menangani kelas satu SD. Kelompok dua untuk kelas dua, dan seterusnya sampai kelas enam. Aku kebagian yang membimbing kelas dua. Kami semua beraksi. Pihak panitia berbagi tugas. Ada yang menjadi tim penilai. Ada yang mendokumentasikan kegiatan, dan tugas-tugas yang lainnya. Tidak sedikit penduduk tertawa di pinggir lapangan melihat ulah kami. Kami bahagia siang itu, karena telah berbagi keceriaan dengan anak-anak Ranupane. Anak-anak yang luar biasa. Sungguh, mereka anak-anak yang sangat luar biasa.

Kegiatan terpotong istirahat makan dan solat dzuhur. Pemeluk islam solat berjamaah di mesjid, selain itu menunggu sambil istirahat di balai desa. Jam satu siang acara dilanjutkan kembali sampai menjelang waktu ashar. Selepas solat ashar berlanjut lagi. Acara selesai jam lima lebih sedikit, ditutup dengan pemberian penghargaan kepada kelompok pemenang dan pemberian beberapa cinderamata kepada pemuka kampung serta pemberian sumbangan buku bacaan untuk anak-anak, tempat sampah dan pakaian layak pakai. Kami berfoto bareng penduduk Ranupane.

Setengah enam kembali ke penginapan. Bersih-bersih badan. Selepas isya, berkumpul lagi di balai desa. Agendanya adalah evaluasi. Seluruh peserta diharuskan menuliskan semua perasaannya selama di Ranupane. Panitia membagiakan kertas putih, masing-masing peserta satu lembar. Kami, peserta diberikan waktu lima belas menit untuk menuliskan itu semua. Listrik dimatikan. Kami hanya diberikan seberkas cahaya lilin. Panitia menyediakan beberapa batang lilin. Satu lilin dikerumuni beberapa orang. Sialnya, aku dan salah-satu peserta wanita asal Universitas Gajah Mada tidak kebagian tempat. Kami berdua kebingungan. Panitia cepat tanggap dengan kejadian ini. Mereka memberikan satu lilin mereka. Aku segera menulis dengan cepat, karena sudah beberapa menit terlewat. Aku tumpahkan semua yang ada di hatiku. Tanganku menulis tanpa jeda. Aku menulis ditemani temaramnya cahaya lilin dan seorang wanita tepat dihadapanku.

Panitia menyalakan lampu listrik kembali.

“ Baik, waktunya sudah habis, silahkan dikumpulkan tulisannya!” pinta panitia.

Aku kumpulkan hasil tulisanku. Kudekatkan mukaku pada lilin, hendak meniup, mematikan nyala lilin. Namun, astagfirullohal’adzim, bersamaan dengan itu, wanita dihadapanku melakukan hal yang sama denganku. Dia berniat meniup lilin itu. Wajah kami berhadapan dengan jarak hanya satu jengkal. Untuk sesaat mata kami beradu pandangan. Dengan cepat aku menarik wajahku kembali ke belakang, begitupun dengan dia. Aku dapati dia tersipu malu. Pipinya mulai memerah.

***

Hari terakhir di Ranupane. Jam Sembilan pagi kami berkumpul di halaman balai desa. Dua truk sudah siap untuk mengangkut kami ke Malang lagi. Beberapa saat sebelum berangkat, tiba-tiba langit mendung. Gerimis turun. Kami semua turun lagi. Pak sopir dan asistennya memasangkan terpal biru pada truk dengan maksud agar kami tidak kehujanan.

Mobil melaju membelah hujan. tidak seperti ketika berangkat, pada perjalanan kali ini tidak banyak pemandangan yang dapat kami lihat, karena kabut menyelimuti pegunungan. Tidak ada lagi teriakan kagum memandang indahnya alam. Kali ini kami lebih banyak diam menahan dingin yang teramat sangat. Udara serasa masuk melalui poro-poriku, kemudian menusuk-nusuk tulang hingga ke sum-sum. Semua melipatkan tangan di dada masing-masing.

Tujuan kami adalah sebuah villa di kota Batu. Menurut pemaparan beberapa teman asli Malang, kota Batu adalah kota paling indah di Malang. Terdapat banyak tempat rekreasi yang ada di kota itu. Mendengar cerita itu, aku sudah tidak sabar untuk segera tiba di tujuan.

Jam setengah satu kami tiba di sebuah villa di dataran tinggi di Batu. Kami takjub melihat panoramanya. Villa itu dibangun di sebuah bukit yang tinggi. Disana kami bisa melihat pemandangan kota Malang. Bangunan-bangunan terlihat kecil. Aku sudah tidak sabar menunggu malam tiba. Aku ingin segera melihat jutaan lampu dari sini.

***

Sang raja siang mulai mendekat ke tempat peristirahatannya. Perlahan gelap merayap menutupi terang. Tanpa ada komando, jutaan penduduk serempak menyalakan listrik rumah mereka. Seakan tidak mau kalah, bintang-bintang segera menampakan cahayanya. Disini, pada sebuah kursi di teras depan villa, aku melihat pemandangan nan mempesona itu. Secangkir teh hangat di genggaman dan mbak Nurul menemaniku di kursi sebelah kiri yang hanya dipisahkan oleh meja kayu.

“ Mas Niko jadi pulang besok siang?” Tanya mbak Nurul.

“ Harus dong mbak, kalo tidak saya bisa ketinggalan kereta,he…” jawabku. Iya, kemarin aku memang meminta izin untuk pulang lebih awal. Hal ini karena kereta tujuan Bandung berangkatnya jam setengah empat sore, sementara penutupan acara P2Mnya jam tiga, sedangkan perjalanan dari Batu ke Malang memakan waktu sekitar satu jam. Jika aku tidak pulang lebih awal, bisa-bisa aku ketinggalan sang Malabar.

Aku menyeruput lagi tehku. Hangat menjalar keseluruh tubuh. Angin dingin membelai wajahku. Erikan jangkrik menjadi musik penghibur malam ini.

***

Jam satu siang, selepas field trip ke taman bunga dan solat dzuhur aku beres-beres untuk pulang. Ransel besar sudah menempel di punggungku. Penampilanku sudah rapih, aku pamitan kepada teman-teman juga panitia. Mereka mengucapkan agar aku hati-hati di perjalanan.

“ Nanti mas Niko dianter pake motor aja yo, soalnya kalau pake mobil takut macet. Dian yang anternya mas, dia sudah nunggu mas Niko di luar,” tawar mbak Nurul.

Aku temui dua orang panitia yang belum aku kenal di teras. Satu laki-laki dan satunya perempuan. Yang laki-laki sedang duduk santai di bangku panjang. Dia mengorek-ngorek kuku jempol kakinya. Sedangkan yang perempuan duduk di jok motor, tangannya mengusap-usap helm warna hitam. Aku dekati perempuan itu.

“ Mbak Dian, berangkat sekarang aja mbak!” pintaku pada wanita itu. Dia diam seribu bahasa. Mukanya tampak bengong, sejurus kemudian mengulum senyum.

“ Ma’af mas, saya bukan Dian, mas Dian yang itu,” perempuan itu menunjuk ke arah laki-laki di bangku panjang. Astaga, terjadi lagi. Kesalahan itu terjadi untuk yang kedua kalinya. Aku salah tingkah dan merasa tidak enak kepada mas Dian. Mas Dian hanya tersenyum melihat tingkahku. Ternyata nama lengakapnya adalah Dian Andriana.

Dengan diiringi lambayan tangan teman-teman, jam satu lewat sedikit kami meluncur menuju stasiun kota baru malang. Sekitar lima belas menit berjalan, terjadi sesuatu yang tidak kami duga sebelumnya. Ban motor yang kami tumpangi pecah. Na’asnya, ban itu pecahnya di tempat yang sepi, jauh dari pemukiman. Yang aku khawatirkan adalah kami tidak menemukan tempat tambal ban, sedangkan di hapeku, jam menunjukan pukul setengah dua, jadi waktuku hanya tinggal dua jam lagi agar tidak ketinggalan kereta. Kami menuntun motor. Mas Dian yang menuntun, sementara aku yang mendorong. Keringat mengucur deras di sekujur tubuhku, pun dengan mas Dian. Kulihat, kaos bagian punggungnya basah karena keringat.

Sudah satu jam kami berjalan. Beberapa desa kami lewati, namun belum juga kami menemukan tempat penambalan ban. Aku semakin was-was, karena sekarang adalah jam setengah tiga. Praktis waktuku hanya tinggal satu jam lagi. Jika sampai jam setengah empat aku belum tiba di stasiun, hangus sudah karcis yang sudah aku pesan. Jika aku hendak pulang lagi ke Bandung, otomatis aku harus merogoh lagi kocek sekitar dua ratus tujuh puluh ribu rupiah untuk pembelian tiket kereta eksekutiv.

“ Oh, tambal ban yo mas? Mas jalan aja terus, sekitar satu kilo dari sini ada penambalan ban,” jawab warga yang kami temui di pertigaan jalan. Mendengar pemberitahuan itu, aku dan mas Dian semakin cepat mendorong motor.

Alhamdulillah, akhirnya kami tiba di tempat yang kami cari-cari, yaitu penambalan ban. Setibanya disana, waktuku hanya tinggal lima puluh menit lagi. Mas Dian meminta kepada mas penambal ban untuk sesegera mungkin menyelesaikan penambalannya. Mas itu dengan cekatan melakukan penambalan. Lima belas menit kemudian ban itu sudah terpasang lagi pada motor. Setelah membayar, kami langsung tancap gas. Waktuku hanya tinggal sekitar tiga puluh lima menit lagi. Aku semakin khawatir ketinggalan kereta.

“ Tiga puluh lima menit lagi ke jam setengah empat mas Dian. Kira-kira perjalanan ke stasiun berapa jam ya mas?” tanyaku pada mas Dian.

“ Normalnya satu jam mas Niko, tapi jangan khawatir mas, insyAllah kita akan tiba tepat waktu, mas Niko pegangan yang erat ya!” jawab mas Dian sambil tetap khusuk mengemudi. Tanpa ambil tempo, mas Dian mempercepat laju motor. Bersamaan dengan itu, aku semakin erat memegang badan mas Dian.

Masya Allah, selama hidupku, belum pernah aku naik motor atau dibonceng dengan laju secepat ini. Suer, kecepatannya membuat aku takut. Jika saja tidak tertuntut waktu, aku ingin meminta turun untuk pindah menaiki mobil angkutan umum, tapi apa mau dikata, tidak ada pilihan lain untuk ku. Aku harus menerimanya.

Memasuki pusat kota, jalanan semakin padat oleh kendaraan, namun, mas Dian tetap tidak mengurangi kecepatan. Terhitung sekitar empat kali kami melaju di antara sempitnya himpitan mobil-mobil. Nafasku naik-turun. Jantungku berdebar kencang. Aku lebih banyak menutup kedua mataku. Tiga menit sebelum waktu pemberangkatan kereta Malabar ke Bandung, kami tiba. Tanpa banyak pikir lagi, aku langsung pamit dan mengucapkan terima kasih kepada mas Dian. Kemudian sesegara mungkin berlari menuju sang Malabar. Di depan pintu gerbong nomer dua, berdiri seorang petugas wanita.

“ Kereta Malabar jurusan Bandung ya mbak?” tanyaku sambil menunjuk pada kereta. Aku memberikan tiket. Mbak itu melihat sejenak tiketku. Dia menganggukan kepalanya.

“ Iya mas, silahkan masuk,” jawabnya.

Matur nuwun mbak,” ucapku. Si mbak tersenyum.

Aku duduk di kursi nomer 8A (delapan A). penumpang di gerbong dua tampak sepi. Para penumpang lain terlihat leluasa duduk sendiri, begitu juga dengan diriku. Hanya beberapa saja yang duduknya berdua. jam tiga lewat tiga puluh menit tepat, sang Malabar berangkat. Ketika itu, terbayang jelas wajah teman-teman baruku di acara P2M ini. Aku rindu mereka. Segera aku merogoh saku mengambil hape hendak mengirimkan SMS memberitahukan kalau aku sudah berangkat. Baru saja aku akan mengetik, hapeku bergetar. Tidak satu kali atau dua kali, tapi beberapa kali. Banyak SMS masuk ke hapeku. SMS-SMS itu datangnya dari teman-teman baruku. Inti dari semua SMS itu adalah mengucapkan agar aku hati-hati di jalan dan mereka merasa senang karena telah mengenal diriku. Salah-satu isi SMSnya adalah seperti ini.

Mas Niko, hati-hati di jalan, senang bisa berteman denganmu mas, saya titip salam untuk mojang bandung yang ayu-ayu yo,he… oya, mas Niko, saya tunggu terbit novelnya yo, tetap semangat menulis mas, he…

aku sedikit kegingungan hendak membalas siapa dulu, karenanya, aku mengetik puisi di layar hapeku, kemudian aku kirim pada teman-temanku.

Sang Malabar membelah kota Malang
Merayap menyusuri rel
Dia membawaku kembali kepada kerinduan yang tertinggal
Namun, di sisi lain, dia juga membuatku terpisah dari kerinduanku yang lain
Mereka, sahabat-sahabatku
Aku, rindu mereka


***

Tiba-tiba aku ingat mas Dian dan jasanya yang telah menggeber motornya hingga aku tidak ketinggalan kereta. Mas Dian, jasamu akan aku kenang. Aku tidak bisa membalas jasamu itu, melainkan hanya memberikan sebuah do’a. Aku do’akan, kelak, mas Dian akan menjadi pembalap motor yang handal. Jika tidak mas Dian, aku do’akan anak mas Dian yang jadi. Jika tidak juga, cucu atau cicit atau keturunan ke tujuh mas Dian yang menjadi pembalap motor hebat. Aku do’akan keturunan mas Dian itu nantinya menjadi juara moto GP dan membuat nama Indonesia harum di pentas dunia. Aamiin.

***

6 komentar:

  1. (Nurul Hasanah)
    Sungguh, saat baca tulisan mas Niko, emosi saya berubah-ubah dnegan cepat. Sesekali sangat bahagia, tersipu malu, haru dan sedih bercampur rindu. mohon maaf untuk semua hal yang tidak berkenan selama acara. mohon dimaklumi adanya, semoga silaturahmi ini bisa dijaga oleh Allah :-)

    Terima kasih juga untuk yang sudah me-link-kan saya dengan tulisan ini, mas Muhammad Rizki Setiawan ^^

    BalasHapus
  2. Sepakat mbak nurul..
    Saat membaca tulisan ini imajinasi sy kembali dibawa ke malang.. Setiap cerita yang digambarkan mengingatkan saya terhadap peristiwa demi peristiwa di sana. Kebersamaan teman-teman, canda tawa, suka cita semua bercampur. Thanks ya niko dah membuat sebuah karya yang mengantarkanku kembali ke warna-warni realita di Ranupani..

    BalasHapus
  3. Ternyta anggta FLP jga.
    Sya jga niat mu nlis, tpi blum terealsasikan.
    Subhanallah penulisan'y.
    crta in membuat sya ingin kmbli mengunjngi Tengger.

    Trus brkrya...
    Cerahkan dunia dengn pena...!!!!

    BalasHapus
  4. Sebuah kisah perjalanan yang luar biasa. Perjalanan tntg memenuhi undangan, nyari tmen, nyari ilmu, kuliner, mgabdi pd masyarakat, hingga perjumpaan pertama dgn akhwat UIN maliki malang. Ente emg jos

    BalasHapus
  5. Hari ini, seolah kampus UIN Malang berubah menjadi kampus Al-Azhar, serta aku dan akhwat berkerudung pink itu sejenak menjadi Abdullah Khairul Azzam dan Anna Althafunnisa.

    dll.

    Ckckck...

    (btw, Bang banyak amat adegan semi vmj-nya.. Hha..)

    BalasHapus
  6. tulisan ini membuat saya rindu akan suasana itu lagi, suasana saat kta smua dikumpulkan bersama (andaikan waktu dapat terulang kembali, T_T)..
    terima kasih telah memngingatknku pada saudara-saudara ku disana...

    BalasHapus