Rabu, 29 Juni 2011
Di Bawah Pohon Lengkeng
Masya Allah, badanku terasa keras, susah untuk digerakan.Bagaimana tidak? Dua hari dua malam sudah aku tidak mandi. Semua ini bukan tanpa penyebab, adalah luka lecet di paha kiriku, kurang-lebih seluas lapangan sepak bola, kalau menurut semut merah kecil. Luka lecet itu memang kecil, tapi cukup untuk membuatku meringis jika tergesek-gesek oleh celana yang kupakai, terlebih lagi jika tersentuh oleh air, huuh, pedih rasanya, karenanya, tubuhku terkena air hanya jika hendak cuci muka, sikat gigi, cuci tangan, cuci kaki dan saat hendak solat saja.
Penyebab luka kecil tapi perih itu adalah sepak bola. Iya, beberapa hari yang lalu, aku bermain memperkuat kesebelasan angkatan 2009, dalam rangka kompetisi pekan olahraga geografi (POG). Saat itu tim kami melenggang ke babak puncak. Lawannya adalah angkatan 2007, kakak tingkat kami. Meskipun kami adik tingkat, tapi hasil berkata lain, kamilah yang menggondol trofi juara pertama, angkatan 2007 terpaksa harus puas bertengger di peringkat kedua. Bagiku, juara itu, harus ditebus oleh sebuah luka lecet di pahaku. Luka itu muncul ketika aku melakukan sliding pada striker lawan. Sliding itu berhasil, bolanya terselamatkan, namun, pahaku tercium oleh tanah lapangan. Kulit pahaku tergores perih.
Selain keras dan susah digerakan, ada satu lagi masalah yang timbul karena hal ini. Aroma tubuhku numayan menyengat hidung siapapun yang berada di dekatku. Namun, permasalahan yang ini mudah saja dicarikan solusinya, yaitu menyemprotkan minyak wangi sebanyak-banyaknya pada tubuhku.Dalam hal ini, Yoga menjadi korban. Dia harus rela memberikan parfumnya padaku, karena minyak wangiku sudah habis.
***
Selesai solat ashar di Baiturrahman, aku langsung membuka baju takwa putihku dan menggantungkannya lagi di balik pintu kamar. Aku mengganti celana katun hitam dengan celana olahraga panjang yang bertuliskan ‘pesantren mahasiswa’ di bagian kanan dan kirinya. Kini tubuhku hanya dibalut oleh kaos oblong putih dan celana panjang olahraga. Aku semprotkan lagi parfum ke seluruh tubuh dan kaosku. Segera, aku meluncur keluar kamar menuju warung makan.
“ Niko, Niko, Niko,” seseorang memanggil-manggil namaku. Aku menoleh ke sumber suara. Kudapati bang Afgan berdiri di depan warung jujur.
“ Ada apa bang?” tanyaku setengah teriak.
“ Boleh minta tolong gak?” bang Afgan nanya balik.
“ Minta tolong apa bang?”
“ Anterin makanan ke asrama Darunnajah!” jawab bang Afgan sambil tersenyum, kepalanya manggut-manggut meyakinkan diriku.
What! Ke asrama akhwat! Otakku mulai liar ketika itu. Hanya dua hal yang ada di kepalaku: pertama adalah bisa melihat para akhwat lebih dekat, karena aku bisa melihatnya langsung di markasnya. Dan yang kedua adalah makan gratis, karena biasanya, setelah menjalankan perintahnya, sang kurir diberikan makan gratis oleh bang Afgan. Siapa yang tidak mau diberi makan gratis oleh bang Afgan, masakannya sangat enak. Tidak heran jika para santri akhwatpun berani merogoh koceknya demi dimasakkan oleh orang yang satu ini. Biasanya, santri akhwat minta dimasakin hanya pada momen-momen tertentu saja, contohnya adalah saat akan diadakan syukuran salah-satu santri akhwat yang telah merampungkan hafalan Alqur’annya. Seperti saat ini.
Setelah semua siap, aku meluncur ke Darunnajah dengan seorang teman. Dia alumni santri APW. Kami mengendarai motor pinjaman milik santri juga. Aku dibonceng di belakang, sementara pilotnya adalah temanku itu. Aku minta agar motornya berjalan dengan pelan, karena dibelakang, aku memeluk dua buah rantang besar isi makanan. Numayan cukup berat.
“ Siap bos,” jawab temanku sambil tetap mengendarai motor dengan pelan.
***
Motor kami merayap masuk asrama Darunnajah. Memasuki gerbang, auranya teras berbeda, terlebih dengan Darussalam, asrama kami, santri ikhwan. Sejuk. Tidak heran, karena pada halamannya terdapat beberapa pohon cukup besar dan rindang. Pohon-pohon itu adalah: pohon rambutan, pohon lengkeng, pohon jambu biji dan pohon mangga.
Dari luar, gedung berlantai dua itu terlihat sepi. Aku intruksikan kepada temanku untuk mengucapkan salam. Belum sempat dia mengucap salam, ada seorang santri akhwat membuka pintu.
“ Assalamu’alaikum,” sapa temanku.
“ Wa’alaikumussalam, ada perlu dengan siapa kang?” tanya akhwat itu pada kami. Dia mengenakan kerudung warna merah hati.
“ Ini ada titipan makanan dari kang Afgan,” ucapku.
“ Oh iya,” ujar akhwat berkerudung merah hati itu dengan wajah yang lebih bersahabat.
“ Ini berat teh, mau dibawa ke dalam atau disimpen disini saja?” tawarku padanya.
“ Disimpen di meja itu saja kang!” akhwat itu menunjuk pada kursi-kursi bambu di bawah rindangnya pohon lengkeng. Aku letakan kedua rantang berat yang kupeluk pada meja diantara kursi-kursi bambu itu.
“ Oya, tumpengnya masih di Darussalam teh, nanti insyAllah dibawa pada kloter kedua, setelah ini,” aku memberi tahu. Akhwat berkerudung merah hati itu sedikit tersenyum. Kami langsung pamitan.
“ Nanti siapa yang bawanya? Kang Niko lagi?” akhwat berkerudung merah hati bertanya sekali lagi.
“ InsyAllah, iya teh.”
***
Kloter kedua. Kami meluncur lagi menuju Darunnajah. Kali ini aku memegang erat nasi tumpeng. Beratnya dua kali dari yang tadi. Aku minta bawa motornya agar lebih pelan dari yang pertama. Sesampainya di tujuan, kami disambut seseorang. Beliau berdiri tegap di depan asrama. Beliau mengenakan sarung kotak-kotak, baju takwa putih dan peci putih.Kami merasakan ketegangan yang teramat sangat. Aku gugup. Beliau adalah imam utama mesjid Da’arut Tauhiid yang tinggal di Darunnajah juga, yaitu ustad Suhud.
“ Assalamu’alaikum ustad,” sapaku. Aku meletakan nasi tumpeng pada meja. Segera kami salami beliau.
“ Wa’alaikumussalam,” jawab ustad Suhud ramah. Bersamaan dengan itu, tiga orang santri akhwat keluar hendak mengambil nasi tumpeng. Akhwat pertama berkerudung biru tua, akhwat kedua mengenakan kerudung coklat, sedangkan akhwat yang ketiga adalah akhwat yang tadi, yaitu akhwat berkerudung merah hati. Mereka terlihat anggun dengan balutan busana muslim itu. Kami (aku dan teman ikhwan) pamit pulang pada ustad suhud.
“ Nanti dulu, nanti dulu, ini motor siapa? Bisa dipinjem sebentar tidak?untuk menjemput seseorang,” pinta Ustad Suhud. Untuk sesaat aku dan temanku saling pandang,” oh, silahkan, sangat boleh ustad,” jawab kami berbarengan.
Ustad Suhud menyuruh akhwat berkerudung biru tua untuk memanggilkan salah-satu santri akhwat yang bisa mengendarai motor. Sambil mengangguk, akhwat berkerudung biru tua itu masuk asrama. tidak berselanglama, dia keluar bareng dengan santri akhwat yang mengenakan kerudung coklat. Mereka berdua menghampiri ustad.
“ Teh, tolong jemputin teh Nini di rumahnya ya, itu motornya,” pinta ustad Suhud pada santri akhwat berkerudung coklat. Sepertinya, pada syukuran hataman kali ini, teh Nini yang diundang untuk memberikan tausiah.
“ Baik ustad,” santri berkerudung coklat berjalan menuju motor. Dia naik dengan pelan-pelan. Motor dinyalakan.
“ Hati-hati teh,” pinta ustad Suhud.
“ baik ustad,” jawab santri berkerudung coklat.
Satu menit sudah motor menyala, namun belum juga akhwat itu menjalankan motor. Awalnya aku berfikir dia sedang menghangatkan mesin, tapi aku berubah pikiran ketika melihat raut wajah dia yang terlihat sedang kesulitan.
“ Kenapa belum jalan juga teh?” tanya ustad Suhud.
“ Ini ustad, sudah saya injak, kenapa giginya gak masuk-masuk,” ujar santri akhwat berkerudung coklat. Mendengar itu, kami semua melihat ke arah kaki kanan akhwat itu. Secara berbarengan, kami melepas tawa.
“ Bagaimana tidak masuk, orang yang teteh injak itu bukan gigi, tapi rem!” ustad Suhud memberi tahu. Kami tertawa lagi. Wajah santri berkerudung coklat itu berubah menjadi merah, mungkin dia merasa malu.
“ Jangan gugup gitu atuh teh, memang disini ada siapa?” sindir ustad sambil melirik aku dan temanku. Wajah akhwat berkerudung coklat semakin memerah. Sementara santri akhwat lainnya hanya tersenyum menahan-nahan tawa mereka.
Akhwat berkerudung coklat melajukan motor dengan sangat pelan. Tiga santri akhwat lain masuk lagi ke asrama sambil membawa nasi tumpeng berbarengan. Ustad Suhud mempersilahkan aku dan temanku untuk duduk di kursi bambu yang dipayungi pohon lengkeng. Kami duduk bareng.
“ Gimana, kang Niko betah kuliah sambil nyantri di DT?” ustad membuka pembicaraan.
“ Alhamdulillah, betah ustad,” jawabku.
“ Akang yang satunya gimana? Betah juga?” tanya ustad kepada temanku.
“ Oh, saya sudah tidak nyantri lagi ustad, saya sudah alumni, alumni santri APW angkatan dua belas, kebetulan saja tadi saya lagi main ke Darussalam,” jawab temanku. Dia terlihat salah tingkah.Ustad Suhud menanggapi jawaban temanku hanya dengan anggukan.
“ Usia kang Nikosekarang berapa?” tanya ustad Suhud.
“ Baru dua puluh dua tahun, ustad.”
“ Wah, sudah cukup dewasa ya, kang Niko rencana mau nikah kapan? Sudah ada calonnya belum?” pertanyaan itu serasa meneror diriku. Temanku hanya tersenyum mesem mendengar pertanyaan itu dilayangkan padaku. Untuk sesaat aku terbengong akibat pertanyaan ustad Suhud.
“ Ma... masih jauh ustad, saya ingin membahagiakan orang tua dulu, saya ingin menaik hajikan mereka dulu ustad,” jawabku sekenanya, dengan intonasi yang sedikit kikuk.
“ Kenapa harus satu persatu? Kenapa tidak langsung dua-duanya? Kang Niko masih bisa membahagiakan kedua orang tua, dengan tidak menunda-nunda nikah. Nikah jalan, membahagiakan orang tua jalan, itu lebih baik kang Niko.Ketika kita menikah, maka pintu-pintu rejeki akan terbuka bagi kita. Kang Niko perlu mengingat itu,” ujar ustad Suhud mantap. Sepertinya dia hendak meyakinkan diriku.Aku hanya diam mendengarkan ucapan-ucapan ustad Suhud. Aku tak bisa apa-apa, selain hanya mengangguk dan mengangguk.
“ Atau jangan-jangan kang Niko masih bingung menentukan calon? Kalau memang itu masalahnya, silahkan kang Niko pilih, disini kan banyak santri akhwat, biar nanti saya yang berbicara kepada santri. Asalkan kang Nikonya siap. Atau saya yang memilihkan, gimana?” ustad mencoba meyakinkanku lagi. sungguh, aku mati kutu dibuat ustad. Aku tidak bisa ngapa-ngapain. Aku tahu, meskipun temanku terlihat diam, tapi dalam hatinya, dia menertawakan diriku.
Hari mulai sore. Perlahan langit meredup. Mungkin hanya tinggal setengah jam-an lagi waktu magrib tiba. Angin sore bertiup dengan sangat lembut, menyusuri lorong-lorong sempit di antara himpitan rumah-rumah warga Geger Kalong. Angin itu terus berjalan menuju asrama Darunnajah. Angin bertiup menyelinap di antara ranting-ranting pohon lengkeng. Beberapa daun kering jatuh melayang-layang, kemudian mendarat berserakan di halaman asrama ini.Disini, masih di bawah naungan pohon lengkeng, kami masih bercengkrama.
Terdengar deruman mesin motor. Santri berkerudung coklat tiba. Dia membonceng seorang ibu dengan balutan gamis warna emas. Ibu-ibu itu terlihat cantik. Dia adalah teh Nini, istrinya Kyai kami, Aa Gym. Ustad Suhud menyambut teh Nini dengan hangat. Santri berkerudung coklat mempersilahkan teh Nini untuk segera masuk asrama, mengingat sebentar lagi akan tiba waktu magrib.
Aku dan temanku segera pamit pulang pada usad Suhud. Kami salami beliau. Kami keluar Darunnajah dengan diiringi saweran daun-daun lengkeng tua yang berjatuhan tertiup angin sore. Sepanjang perjalanan menuju asrama Darussalam, aku terngiang-ngiang dengan jawaban saran dari ustad Suhut atas pertanyaanku. Tadi, aku meminta saran kepada beliau, agar aku diberikan kelancaran dalam menulis.
“ Sebelum nulis, usahakan untuk solat sunnah dua roka’at terlebih dahulu. Agar isi dari tulisannya ada ruhiahnya. Apalagi sekarang kang Niko masih muda. Jiwa-jiwa muda itu cenderung liar. Mereka mudah melakukan maksiat, namun, mudah juga menyesali perbuatannya itu. Dan, untuk menjaga jiwa itu agar tetap bersih, jalannya dengan memperbanyak solat sunnah, juga sering-sering berinteraksi dengan Alqur’an,” saran ustad Suhud atas pertanyaanku.
***
Motor melaju dikeramaian jalanan Geger Kalong. Temanku meminta agar kami gantian menyetir motornya. Dia meminggirkan motor di sisi jalan. Kami bergantian, aku ke depan, dia ke belakang. Kali ini aku yang menjadi sopir. Motor aku jalankan lagi, membelah kawasan pesantren Da’aruut Tauhiid.
“ Wuih, badan antum wangi Ko,” ucap temanku di belakang.
“ Oh, iya, Alhamdulillah,” jawabku. Tapi sayangnya, kamu tidak tahu yang sebenarnya kawan. Sesungguhnya, aku tidak mandi dua hari dua malam.
***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
tulisan ini terasa hidup dan ikut merasakan. ketika kg niko menggambarkan luka akg yg sakit jk tergesek2 oleh celana,ikut tertawa ktika akg mnceritakan akhwat brkerudung coklat salah mnginjak gas (ngakak abis :D),ikut mrasakan ktidak nyamnan jk ddkat org yg tdk mndi slama 2hari2mlam (iiiiiihhhh). pesan yg dsampaikan oleh ust suhud sangat amat bermanfaat bgt.
BalasHapus"dengan mnikah, maka pintu-pintu rejeki akan terbuka bagi kita".
semangat!!!!!!
:)