Senin, 04 Juli 2011

Harapan yang Telah Tiada


Minggu malam di akhir bulan. Hari-hari itu merupakan hari kelam bagi mahasiswa pas-pasan. Penderitaan itu diperparah dengan beban pikiran ujian. Iya, senin besok sudah masuk minggu ujian akhir semester (UAS). Namun, biasanya, saat-saat seperti itu, kualitas keimanan seseorang akan bertambah kuat. Memang, itulah salah-satu tabi’at manusia, dia akan mengingat Allah ketika ditimpakan sedikit saja kesulitan, termasuk diriku. Disaat seperti itu, mereka akan berdo’a lebih lama, solat malam disempurnakan, kuantitas sedekah diperbanyak, meskipun hanya dengan sebuah senyuman,pokoknya, pada intinya, mereka memperbaiki kualitas ibadah mereka, baik itu yang hablumminAllah, maupun yang hablumminnannas. Mungkin.

Malam ini, tepatnya ba’da isya, kami, para penghuni kamar lima belas sedang berkumpul. Semua sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Iqbal sedang mengerjakan tugas dengan laptop hasil pinjaman dari teman satu jurusannya, karena laptop dia sedang di servis. Yoga serius membaca buku mata kuliah yang besok akan diujiankan. Mata Yoga tajam menatap buku. Mungkin, jika buku itu bisa berbicara, sepertinya buku itu akan menyatakan ketakutannya karena dilihat seperti itu oleh Yoga. Farhan sedang duduk di atas sajadah warna emasnya, tangannya memegang mushaf kecil yang ada terjemahannya. Sepertinya dia hendak menambah jumlah hafalannya. Aku sedang membolak-balik bundelan kertas karya tulisanku. Bundelan itu adalah kumpulan cerpen yang telah kubuat. Jumlah halamannya masih seratus dua puluh satu halaman. Baru setengah jalan untuk sampai pada target tiga ratus. Mudah-mudahan, akhir tahun ini sudah bisa dirampungkan dan langsung bisa dikirim ke penerbit. Aku mencoba mencari-cari kesalahan pada karyaku itu, baik itu dari segi ceritanya, ataupun dari segi ejaannya.

Di pojok kamar, tepat di depan lemari miliknya, Hanif sedang mencoret-coret sesuatu pada buku agendanya. Memang, itulah salah satu hobi orang satu ini. Entah kenapa? Hanif sangat gemar dalam hal data mendata, mendata apapun itu. Barang-barang yang dia miliki didata. Pengeluaran tiap bulannya dia data. Buku-buku yang dimiliki, dia data.Semua santri PPM, dia data, tidak hanya yang ikhwan, yang akhwat juga iya. Bahkan, yang membuat diriku heran, dari mana asal santri akhwat, usianya, jurusan dan dimana kuliahnya, sampai nomer hapenya, Hanif tahu. Semuanya tertulis rapih pada buku agendanya. Aku heran. Ilmu apa geranganyang dia miliki.

Suasana hening. Semuanya diam, fokus pada pekerjaannya masing-masing, yang terdengar hanyalah lantunan ayat suci Alqur’an melalui pengeras suara mesjid Baiturrahmaan, mesjid yang tidak jauh dari asrama darussalam. Jam dinding besar yang tertempel satu meter di atas antara lemari Yoga dan Iqbal menunjukan pukul delapan malam. Aku lupa, aku belum makan malam. Aku segera beranjak menghampiri lemari plastikku. Aku buka sekat bagian atas. Kuambil dompet hitam lusuh yang sudah butut. Kulihat, isinya hanya tinggal tiga ribu rupiah saja. Aku sedikit bingung, bisakah dengan uang tersisa ini aku membeli makanan berat untuk mengisi perutku malam ini? Sayangnya, sepertinya tidak. Aku tutup lagi dompet lusuh itu. Aku kembali duduk menghadapi bundelan kertasku.

Perutku mulai lapar. Setelah melakukan beberapa pertimbangan, dilihat dahulu sisi baik dan sisi buruknya, akhirnya terpilihlah satu keputusan. Aku sambar hapeku yang tergeletak di depanku. Aku mengetikan sesuatu SMS, kemudian langsung kukirimkan. Hanya berselang beberapa detik, hape Hanif berdering. Terlihat, dia membaca SMS masuk itu. Pandangan dia terpaku pada layar hape. Dia mengetik, sepertinya hendak memberikan balesan. Setelah selesai, dia simpan lagi hape di samping kanannya. Dua detik berselang, hapeku bergetar. Sepertinya, SMS ini adalah balesan dari SMS yang tadi aku kirim. Aku baca.

Walaikum, bisa kang, mau pinjem berapa?

Aku bales lagi SMS itu.

Dua puluh ribu aja nif, insyAllah, setelah dapat kiriman nanti, saya langsung bayar, makasih kawan

Hanif baca SMS balesan dariku. Setelah itu dia beranjak mengambil sesuatu di lemarinya. Hanif menghampiriku, memberikan satu pecahan uang kertas dua puluh ribu. Lega sudah, satu permasalahanku terselesaikan. Hanif kembali duduk, sementara Farhan, Iqbal dan Yoga, masih khusuk dengan kegiatan mereka.

Uang sudah digenggaman. aku bingung hendak makan denganmenu apa. Namun, yang paling jelas di pikiranku adalah mie goreng. Mie goreng spesial, mas nasi goreng yang sering mangkal di samping tukang jahit dekat asrama. Segera aku tutup bundelan kertas. Seper sekian detik hendak berdiri, hapeku bergetar, ada telfon dari ibuku. Aku keluar kamar. Aku angkat telfon ibu. Ibu memberitahukanku bahwa besok akan kirim uang, dan satu pemberitahuan lagi yang mengagetkan diriku. Berita itu tentang seorang akhwat, putrinya teman akrab bapakku. Memang, bapaknya putri itu sangat akrab dengan bapakku, saking akrabnya, sempat terpikir olehku, suatu saat nanti, beliau-beliau akan menjodohkan anak-anaknya.
***

Aku kembali masuk kamar dan duduk di tempat semula. Kali ini aku tidak merevisi cerpen-cerpenku, tapi kali ini aku diam. Iya, aku hanya diam tanpa kata. Aku masih memikirkan kata-kata ibu tadi di telfon. Sungguh.

Aku mencoba membagikan apa yang kupikirkan kepada teman satu kamarku.

“ Ga, Nif, Bal, Han. Saya punya cerita, kalian mau mendengarkan cerita ini?” tanyaku pada mereka. Secara berbarengan mereka melihat ke arahku.

“ Nanti dulu kang, setelah saya selesai ini saja,” ucap Hanif.

“ Gak Ko, nanti aja, tugas saya belum selesai,” ujar Iqbal.

“ Sepertinya nanti aja dengar ceritanya Ko, besok saya ujian mata kuliah FAAL, mata kuliah ini empat SKS ko,” jawab Yoga. Sementara Farhan, hanya menggelengkan kepala. Dia kembali melihat mushaf kecil di genggamannya.

“ Ini tentang akhwat,” tambahku. Mereka melihat ku sekali lagi, dengan gerakan menoleh lebih cepat dari yang tadi. Mereka tidak berkata apa-apa. Mereka diam seribu bahasa, namun, wajahnya penuh harap. Harapan ingin mendengar cerita dariku. Mereka masih melihat diriku, hanya Farhan yang kembali melanjutkan kegiatannya.

“ Begini. Bapak saya punya teman akrab, mereka sangat akrab, karena berteman sedari masih kecil. Temannya bapak saya itu punya anak perempuan, usianya dua tahun dibawah saya. Dia kuliah di Bandung juga, tapatnya di UIN. Dia berkuliah karena mendapatkan beasiswa penuh dari departemen agama. Dia. Dia cantik,” aku membuka cerita. Farhan terlihat mulai menghentikan kegiatannya. Mereka semua mengarahkan tubuhnya padaku. Mereka terlihat lebih serus mendengarkan ceritaku.

“ Iya. Perempuan itu cantik. Dia berpakaian dengan sangat rapih, menutup seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan pergelangan tangan. Dia sopan,” teman satu kamarku lebih mendekat padaku. Aku hanya tersenyum melihat tingkah mereka.

“ Lanjutkan Ko!” perintah Yoga. Sisanya hanya menganggukan kepala, pertanda menyetujui perintah Yoga.

“ Barusan saya ditelfon mamah saya. Beliau memberitahukan saya beberapa hal, salah-satunya tentang perempuan anaknya teman bapak saya itu.”

Yoga mengangkat tangan kanannya,” Jangan dulu dilanjutin Ko!” dia memintaku untuk tidak dulu melanjutkan cerita. ” Kamu dijodohin sama perempuan itu Ko?” tanya Yoga penasaran. Aku diam mendengar pertanyaan Yoga.

“ Bukan, berita itu bukan tentang jodoh menjodohkan, tapi...” aku kembali diam.

“ Tapi apa Ko?” tanya Yoga.

“ Iya kang, tapi kenapa?” Hanif ikut bertanya.

“ Mamah saya bilang, kalau anak perempuan teman bapak saya itu, beberapa hari yang lalu meninggal,” raut wajah mereka berubah. Sepertinya mereka kaget, sama seperti ketika aku mendengar berita ini dari ibuku tadi.

“ Anak perempuan teman bapak saya itu terkena penyakit pencernaan. Selidik punya selidik, ternyata dia terlalu keseringan memakan mie instan.Memang, dia telahir dari keluarga sederhana, mungkin, keadaan ekonominya tidak berbeda jauh dengan keluarga saya,karenanya, dia mencoba untuk tidak boros dalam pengeluaran biaya hidup sehari-hari, termasuk dalam pengeluaran makannya. Namun, inilah akibatnya, dia terkena sakit pencernaan.

“ Padahal, dia adalah harapan keluarganya. Bapaknya sangat berharap kepadanya untuk menaikan derajat keluarga. Tidak jarang saya mendengarkan cerita tentang dia ketika sedang mengobrol dengan bapaknya di rumah saya. Bapaknya selalu membangga-banggakannya. Namun kini, takdir berkehendak lain, perempuan itu telah meninggal, harapan itu telah tiada. Mudah-mudahan dia diterima disisiNya, dan keluarganya diberikan kekuatan dalam menyikapi takdir ini, aamiin,” aku mengakhiri cerita.

Teman satu kamarku masih terdiam. Mereka duduk mematung menghadapku. Aku ikut diam dengan mereka. Kamar lima belas hening. Teringat sebuah kalimat indah yang berbunyi seperti ini: jatuhnya daun dari tangkainya itu bukan karena kebetulan, melainkan sudah tertulis di kitab lauh mahfudz, semuanya telah diatur oleh Allah Swt. Segala apapun yang terjadi di dunia ini, semuanya sudah tertulis di kitab lauh mahfudz.Tinta-tinta telah kering di atas kertas itu.Pun, pasti dengan kejadian malam ini, berita yang datang dari ibuku tadi, sudah pasti itu terjadi atas izin Allah, dan, pasti akan ada hikmah di balik peristiwa ini. Pasti.

Kamar lima belas masih bisu. Teringat mas nasi goreng yang sering mangkal di dekat asrama. Mas, mohon ma’af, kali ini, saya cuti dulu makan mie goreng spesialnya. Aku melihat Hanif menolehkan kepala ke atas lemarinya. Di atas lemari itu, tergeletak dua bungkus mie instan. Tangan kanannya mengelus-elus perutnya.
***

3 komentar:

  1. subhanallah.. maaf ya sobat kuw.. saia baru sadar, ternyata kini engkau sudh bermetamorfosa menjdi seorang penulis yang bijak.. entah apa yang ada d fikir'n mu saat ini.. engkau berbeda dri yang dlu saia kenal.. semoga mimpi2 u bsa tercapai..
    terus berjuang sang pemimpi..
    and semoga engkau mendapatkan seorang kekasih hidup yang taat dan cinta kepada ALLAH SWT.
    lanjutkan..!!!

    BalasHapus
  2. Innalillahi wa Inna Ilaihi roji'un...

    BalasHapus
  3. lagi2 sang pemimpi menggerakkan tangannya untuk mnghasilkan sbuah karya yg mnyentuh..,
    sebuah karya anak bangsa yang pantas mndapatkan aplouse dari tangan Rendra, Putu Wijaya, Arif Budiman dkk.... :)
    lanjutkan mnulisnya kang!!!

    BalasHapus