Jumat, 15 Juli 2011

Bisikan Sang Mentari


Satu dari beberapa jalan untuk melakukan mobilitas sosial vertikal naik, atau menurut bahasa mudahnya adalah upaya untuk meningkatkan derajat serta kualitas diri dan keluarga adalah pendidikan.Berkenaan dengan ini, aku harus melanjutkan pendidikanku ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu kuliah.

Aku ingin kuliah, aku harus kuliah, aku sangat berhasrat besar untuk kuliah. Aku sudah mempersiapkan untuk hal ini jauh-jauh hari. Agar mempermudah dalam mengisi soal seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri, aku lebih banyak menggunakan waktu luangku dengan membaca buku-buku pelajaran.Untuk menguatkan mental, aku banyak bertanya tentang dunia kampus kepada teman yang sudah kuliah. Untuk mencuri start dari bakal saingan-saingan satu jurusanku nanti, aku perdalam pemahamanku tentang keilmuan Geografi, jurusan yang sangat ingin aku masuki.

“ Perkuat keimananmu, Ko. Kampus berbeda dengan sekolah. Banyak ilmu disana, tinggal pinter-pinter kita aja mencarinya. Namun, godaannya juga super banyak, yang terutama sekali adalah godaan wanitanya. Saran saya, sebelum kamu benar-benar kuliah, perbaiki dulu kualitas agamamu, perbaiki dulu kualitas keimananmu!” jawab seorang teman yang sudah dua tahun kuliah, ketika aku meminta saran padanya. Untuk itu, aku lebih menyeringkan dalam menghadiri majelis-majelis pengajian, baik itu pengajian yang untuk remaja ataupun pengajian bapak-bapak. Aku baca buku-buku mengenaik keislaman.

Satu lagi. Supaya semuanya dipermudah, aku selalu menyelipkan sebuah do’a, diantara do’a-do’a yang kupanjatkan.

“ Yaa Allah, Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, berilah jalan kepada hamba; jalan sebaik-baiknya, jalan semudah-mudahnya, dan jalan sehalal-halalnya, agar hamba bisa berkuliah pada jurusan Pendidikan Geografi, di Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung,” pintaku dengan sangat penuh harap.
***

Waktu penutupan pembelian formulir seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN), hanya tinggal satu minggu lagi. Namun, belum jua aku mendaftarkan diri. Penyebabnya adalah uang. Hingga detik ini, uangku belum cukup untuk itu. Uang yang kubutuhkan kurang-lebih sekitar dua ratus lima puluh ribuan. Dua ratus ribu untuk membeli formulir, dan yang lima puluh ribunya untuk ongkos pulang-pergi dari rumah ke Kota Serang, kota dimana kampus UNTIRTA berdiri. Kampus yang menjadi panitia daerah SNMPTN untuk Provinsi Banten.

Hendak meminta pada orang tua, aku tak sanggup. Untuk biaya makan saja terbilang susah mencarinya. Aku tidak mau merepotkan mereka lagi. Belum bisa membantu mereka dalam membiayai hidup saja, itu sudah cukup bagiku, aku tidak ingin merepotkan lebih jauh lagi. Aku malu. Sungguh. Satu yang jelas, jalanku dalam mendapatkan uang, yaitu upah sebagai seorang guru honor sekolah dasar, itupun tidak cukup, karena gaji yang kuterima setiap bulannya hanyalah seratus ribu rupiah. Kalaupun lebih dari itu, tiga ratus ribu misalnya, tatap saja akan terasa percuma, karena waktu gajian dua minggu lagi, sedangkan penutupan pembelian formulirnya hanya tinggal satu minggu saja.
***

Adzan dzuhur berkumandang melalui pengeras suara mesjid yang letaknya tidak jauh dari sekolah dasar tempatku mengajar. Para siswa sudah pulang, hanya tinggal para pengajar saja yang juga bersiap untuk pulang. Di kantor, kami, para guru, masing-masing mendapatkan satu amplop putih yang berisikan uang sebesar sepuluh ribu rupiah. Amplop itu akan kami berikan kepada sohibul hajat pernikahan.
Sebelum menuju acara pernikahan itu, kami mampir dulu di mesjid guna menunaikan solat dzuhur. Selepas solat, kami, para guru, berjalan berbondong-bondong menuju tempat nikahan. Sesampainya ditujuan, kami salami kedua mempelai, kemudian dilanjutkan makan. Di halaman belakang, aku mendengar teriakan-teriakan ceramah seorang mubaligh. Di sela-sela teriakan mubaligh itu, terdengar tawa hadirin pendengar. Mendengar itu, aku tidak sabar untuk segera menyelesaikan makan dan langsung meluncur menuju halaman belakang, guna mendengarkan ceramah itu.

Selesai makan, aku segera menuju halaman belakang. Halaman belakang itu tampak penuh, banyak pendengar yang tidak kebagian kursi. Aku menyelip di antara sela-sela kumpulan bapak-bapak yang berdiri. Aku menyatu dengan mereka, mendengarkan materi yang disampaikan oleh sang da’i. Materi yang disampaikan banyak, namun, yang paling membekas kuat dalam ingatanku adalah tentang keutamaan shodaqoh.

Pada akhir ceramah, da’i setengah baya itu melantunkan sebuah do’a penutup, jugamengutarakan keinginannya untuk menambah bangunan asrama santri pondok pesantrennya yang sudah mulai tidak sanggup menampung jumlah santri yang terus bertambah. Kebanyakan santri ponpes itu adalah anak yatim-piatu. Selain menjadi kyainya, da’i itu juga merangkap sebagai orang tua angkat mereka. Da’i itu membiayai seluruh kebutuhan para santrinya.

Pihak panitia melakukan inisiatif untuk mengedarkan kotak kosong kepada para hadirin. Banyak orang yang memberikan sodaqoh untuk perluasan pembangunan ponpes itu. Aku pegang kantong celana belakangku yang ada dompetnya, dompet hitam lusuh itu hendak kubuka, namun tidak jadi, karena aku ingat tidak ada isinya, kecuali kartu penduduk dan beberapa kertas tidak penting. Aku rogoh kantong samping sebelah kanan, terasa ada lipatan beberapa kertas, aku ambil lipatan kertas itu, kulihat, ada tiga pecahan uang satu ribuan. Aku genggam uang itu, kemudian sambil membaca basmalah dalam hati, aku masukan uang itu pada kotak sodaqoh di depanku.

Ceramah selesai, kami, para pendengar pulang ke rumah masing-masing, tidak terkecuali juga diriku. Aku menjalankan lagi rutinitas seperti hari-hari sebelumnya.

Esoknya, ketika di sekolah hanya tinggal para guru saja, ketika aku hendak pamit pulang lebih dulu, seorang guru wali kelas satu, yang merangkap sebagai bendahara sekolah, memanggilku. Aku hampiri ibu itu, beliau menyodorkan sebuah amplop putih.

“ Ini untuk jajan,” ujar ibu guru itu.

“ Lho, bukannya masih dua minggu lagi Bu?” tanyaku heran.

“ Ini bukan gaji, ini bonus untuk Niko,” jawab ibu itu dengan tidak mengurangi kadar senyumannya. Tanpa banyak pikir lagi, aku terima amplop putih itu, langsung aku masuki saku samping kanan celanaku. Aku pamit pulang.

Di dalam kamar yang bercatkan biru langit, aku buka amplop putih pemberian ibu bendahara sekolah tadi. Masya Allah, isinya tiga ratus ribu rupiah. Aku senang. Bagaimana tidak, jumlah uang itu cukup untuk membeli formulir SNMPTN.Aku yakin, ini adalah sepersekian dari balasan dari sodaqoh kemarin. Kalaupun, balasan itu berhenti sampai disini, aku sudah untung. Namun, semuanya tidak berhenti hanya disini, kita lihat nanti. Allah Maha Pengasih.Terima kasih Yaa Allah. Terima kasih Yaa Allah.
***

Seleksi telah lewat. Kini, tugasku hanya tinggal menyempurnakan permohonanku kepada Yang Maha Memberi, karena, sehebat dan sedahsyat apapun perjuanganku, yang menentukan lolos atau tidaknya aku, tetaplah hanya Allah.

Ketika hari pengumuman tiba, aku sempatkan untuk membeli salah-satu koran nasional, karena lewat koran itulah pengumuman SNMPTN dicantumkan, selain via internet tentunya.Aku beli koran itu di loper koran dekat alun-alun Anyar. Setelah kudapatkan koran yang kucari, aku langsung naik angkutan umum. Di dalam mobil angkutan umum yang sedang melaju itu, di antara beberapa penumpang lain, aku cari-cari apakah namaku ada di antara ribuan peserta yang lolos.

Sudah setengah jalan aku mencari. Sudah setengah peserta lolos yang kulihat, namun belum juga kutemukan namaku. Aku mulai cemas. Aku cari lagi pada nama-nama selanjutnya. Dua per tiga sudah peserta lolos yang kulihat, belum juga kutemukan namaku. Rasa cemasku semakin menjadi-jadi. Mungkinkah aku tidak lolos seleksi? Padahal aku sangat berharap bisa lolos.

Aku mencari lagi. Aku kaget, kulihat nama “Niko”. Aku gembira. Kini hatiku bak bunga mawar yang sedang mekar. Tapi, sayang seribu sayang, bunga mawar yang sedang mekar itu layu kembali, ternyata, yang kulihat itu bukan namaku, karena nama belakangnya berbeda dengan nama belakangku. Aku kecewa.

Aku belum putus asa. Aku mencari lagi. sekali lagi, aku menemukan nama “Niko”. Tapi aku tidak mau terlebih dahulu gembira, karena siapa tahu, Niko itu bukan diriku, tapi, Niko yang lain lagi. aku tidak ingin kecewa untuk yang kedua kalinya.

Aku lihat lagi kata “Niko” itu. Aku baca nama lanjutannya, tertulis kata “Cahya”. Dadaku mulai mengembang. Degup jantungku sedikit bertambah cepat. Harapku mulai timbul kembali. Aku lanjutkan membaca kata selanjutnya, tertulis kata “Pratama”. Dadaku mengembang lagi, jantungku berdetak lebih cepat lagi. aku baca dari awal nama itu, tertulis “Niko Cahya Pratama”. Yaa Allah, itu namaku. berarti aku lolos seleksi. Gembiraku mulai membuncah, ingin rasanya aku teriak saat itu juga, tapi aku tahan terlebih dahulu keinginanku. Aku takut, itu bukan diriku, tapi ada seseorang yang namanya sama persis dengan namaku. segera aku ambil kartu seleksiku dari dompet. Aku lihat nomer testku. Aku samakan dengan yang ada di koran. Sama. Saat itu, aku tidak tahu selebrasi apa yang akan aku lakukan.Aku gumamkan kata Hamdalah. Aku tidak bisa mengontrol diri, saking senangnya, aku terlalu keras melafalkan kata Hamdalahnya, hingga membuat penumpang lain melihat diriku. Mereka semua memperhatikanku. Aku tidak peduli, urat maluku putus sementara ketika itu. Aku dapati, para penumpang itu tersenyum melihatku. Mungkin, mereka juga bisa merasakan kegembiraanku ini.

Aku sudah tidak sabar ingin memberitahukan berita gembira ini pada kedua orang tuaku. Oh mobil, cepatlah sampai rumahku, aku ingin segera berjumpa kedua orang tuaku, cepatlah, cepatlah. Sesampainya dirumah ibu, tanpa basa-basi, aku langsung berikan koran itu. Aku tunjuk salah-satu nama yang tertulis pada koran itu. Mata ibuku mengikuti arah yang aku tunjuk. Sesaat ibuku terdiam. Beliau melihat wajahku, kemudian kembali melihat koran. Aku dapati, dari mata indah ibuku, menetes air mata, keluar, dan mengalir lembut melalui pipi ibu. Ibu tersenyum padaku. Aku balas senyum ibu. Kami saling melempar senyum. Kami saling mempersembahkan senyum paling indah yang bisa kami persembahkan.

Setelah itu, aku pamit pada ibu, untuk memberitahukan berita ini pada bapak. Sepanjang perjalanan menuju rumah bapak, yang terbayang hanyalah wajah bapak dan wajah bapak, tiada yang lain. Sesampainya di rumah bapak, aku ucapkan salam, tapi tidak ada yang menjawab. Aku masuk, tidak seorangpun kutemui di dalam rumah. Aku berfikir kalu bapak sedang ada di kebun. Segera aku lari menuju kebun. Di kebun itu, aku lihat bapak sedang mencangkul, membersihkan semak-semak yang mengganggu tumbuhnya pohon albasiah yang baru beberapa bulan ditanam. Langkahku terhenti. Aku berdiri mematung sekitar sepuluh meter di belakang bapak. Aku lihat bapak, aku lihat koran, kemudian melihat bapak lagi. aku melangkah lebih mendekat pada bapak.

“ Pak,” aku panggil bapak. Mendengar ada yang memangggil, bapak berhenti mencangkul. Beliau menegakkan tubuhnya, lalu berbalik melihat ke sumber suara.

“ A,” ujar bapak ketika melihatku.

“ Ada apa A?” tanya bapak. Aku sodorkan koran yang kupegang. Bapak menerima koran yang kuberikan.

“ Koran apa ini?” tanya bapak lagi.

Aku tunjuk salah-satu nama yang ada pada koran yang sedang bapak pegang. Bapakmembacanya. Bapak langsung terdiam. Bapak tersenyum. Aku tahu, senyum itu adalah senyum kebanggaan. Namun, senyum itu terjadi hanya sekejap saja. Wajah bapak kembali menjadi seperti yang tadi. Bapak seperti memikirkan sesuatu, sesuatu yang berat. Sepertinya aku tahu apa yang sedang bapak pikirkan.

Bapak memberikan koran itu lagi padaku. Aku terima koran itu. Kami saling pandang. Bapak terlihat kelelahan. Keringat mengalir di pelipisnya, terus turun ke pipi, hingga ke dagu, kemudian jatuh menghantam tanah. Kami saling diam. Aku melipat koran yang kupegang. Aku kembali pulang. Wajahku tertunduk lemas. Aku berjalan seperti tidak memiliki tenaga. Beberapa langkah, aku menoleh ke belakang melihat bapak, kudapati bapak masih berdiri mematung, dengan pandangannya terarah padaku, anak lelakinya. Aku berbalik lagi melanjutkan langkah.
***

Jika ibarat sebuah rumah, aku baru memegang kunci pintu gerbangnya saja. Pintu utama rumah itu belum aku dapatkan. Ingin rasanya aku berlari ke Istana kepresidenan di Bogor, kemudian bertemu dengan orang nomer satu di Indonesia itu. Aku ingin meminta bantuan agar beliau memberikan sedikit uangnya agar aku bisa berkuliah. Tapi, rasa-rasanya itu sangatlah tidak mungkin dilakukan. Sulit.

Waktu registrasi hanya tinggal beberapa hari lagi, hanya tinggal menghitung jari. Sayangnya, hingga detik ini, belum juga aku mendapatkan uang itu. Harapan itu hampir sirna. Sinar itu telah meredup. Hidupku serasa gelap. Yaa Allah, darimana aku akan mendapatkan uang itu? Seperti apa keajaibanMu menyapaku? Munculkanlah? Munculkanlah? Hamba mohon.Tidak henti-hentinya aku memanjatkan do’a di setiap waktuku.

Pada suatu petang, ketika hendak pulang dari mesjid, tiba-tiba ada yang memanggilku dari belakang.

“ Iko,” seseorang memanggilku dari belakang. Aku menoleh pada sumber suara. Ternyata dia mang Ipi, adik laki-lakinya bapakku.

“ Iya Mang? Mamang manggil Iko?” tanyaku pada mang Ipi.

“ Sekarang ke rumah Mamang ya!” pinta mang Ipi padaku.

Aku penuhi permintaan beliau, aku ikuti mang Ipi dari belakang. Sesampainya di rumahnya, aku disuruh menunggu di ruang tamu. Ruang tamunya bagus, terasa teduh dengan permainan warna cat yang lembut. Tidak begitu lama menunggu, mang Ipi menemuiku. Beliau hanya mengenakan kaos oblong warna putih dan sarung kotak-kotak yang tadi digunakan untuk solat. Beliau duduk pada sofa yang berukuran pendek, di depan sofa panjang yang aku duduki.

“ Mamang dengar, Iko lolos SNMPTN ya?” mang Ipi membuka pembicaraan.

“ Iya Mang,” jawabku pendek.

“ Iko keterima di Universitas apa? Jurusannya apa?” tanya mang Ipi lagi.

“ Jurusan pendidikan Geografi Mang, di UPI Bandung,” jawabku lagi.

“ Oh, Alhamdulillah,” ujar mang Ipi sambil manggut-manggut. “ Ini Mamang ada sedikit uang, tidak banyak jumlahnya, hanya tiga juta saja, mudah-mudahan ini bermanfa’at untuk Iko, sebelumnya Mamang minta ma’af, Mamang tidak bisa bantu banyak,” ujar mang Ipi sambil menyodorkan amplop cokelat besar padaku.

Uang tiga juta sudah ditangan, berarti hanya tinggal empat juta lagi jumlah uang yang harus segera kudapatkan agar aku bisa berkuliah. Yaa Allah, lagi-lagi Engkau menjawab do’aku. Terima kasih Yaa Allah, meskipun uang ini belum cukup untuk pembayaran registrasi kuliahku, tapi aku yakin, Engkau akan tunjukan lagi keajaibanmu itu, aku yakin.
***

Lima hari penuh makna. Lima hari penentuan masa depanku. Terhitung, lima hari lagi batas akhir pembayaran registrasi kuliah.

Sore ini, di pesisir selat sunda, aku termenung memikirkan nasibku. Aku duduk sendiri pada sebuah bangku panjang di bawah pohon rindang yang aku tidak tahu nama pohonnya. Di depan, lautan biru terhampar luas. ombak-ombak saling berkejaran.Cuaca sore ini tampak cerah, hanya beberapa awan cirrus saja yang melukis langit.Mentari semakin condong ke Barat, hendak menuju peraduannya. Semakin lama, sinarnya semakin meredup, dia terlihat kelelahan. Sinar lemah mentari itumenerpa tubuhku, sepertinya mentari itu hendak mengajakku untuk bekerjasama. Dia memberikan sinarnya yang tampak lemah untuk jiwaku yang sedang lemah. Dia berharap, pertemuan antara sinar dan jiwa yang sama-sama lemah itu dapat menghasilkan output yang baik. Melalui sinarnya, mentari itu berbisik padaku,” Semoga, sinar lemah ini bisa menguatkan jiwamu yang sedang lemah. Aku hanya menjalankan tugas sebagai makhlukNya. DIA memerintahkanku untuk menguatkan jiwamu. Semoga, sinar ini bisa bermanfaat. Kabari aku jika jiwamu sudah kuat. Aku gembira jika itu terjadi. Aku gembira jika itu terjadi. Aku sangat gembira jika itu terjadi,” semakin lama bisikan itu semakin melemah, kemudian menghilang.

Mentari semakin condong ke Barat. Kaki langit berubah warna, dari biru menjadi jingga. Di sini, dibawah pohon rindang ini, aku pandangi alam indah itu.

Tiba-tiba, hapeku bergetar. Ada telfon masuk. Pada layar hape, tertulis nama “Fauko”. Aku sedikit kaget. Dia adalah sahabat, sekaligus sainganku ketika masa SMP dulu. Sudah lama kami tidak berkomunikasi. Aku angkat telfon itu. Kami saling tanya kabar dan melepas rindu.

Alhamdulillah, lancar-lancar aja Ko. Oh ya, saya mohon do’anya ya, jika saya lolos seleksi, saya akan ke Jepang atau ke Thailland,” jawab Fauko ketika aku tanya tentang keadaannya di balai latihak kerja (BLK) Serang, BLK terbesar di Indonesia.

“ Kegiatan kamu sekarang apa?” tanya Fauko di seberang sana.

“ Ngajar di SD, Fok. Jadi guru honor,” jawabku sekenanya.

Weleh-weleh, pak guru!Sekarang saingan saya ini sudah jadi guru toh!”canda Fauko sambil melepas tawa. “ Oh ya, kamu gak kuliah?” tambah Fauko. Aku terdiam sebentar mendengar pertanyaan itu.

“ Belum Fok.”

“ Loh, emang kamu gak ikut SNMPTN tahun ini?”

“ Ikut.”

“Dapet?”

Alhamdulillah lolos Fok.”

“ Wah! Masuk Universitas mana, Ko? Jurusan apa?” tanya Fauko semangat.

“ UPI Bandung, jurusan Pendidikan Geografi, Fok,” jawabku datar.

Weleh-weleh, sepertinya sahabatku yang satu ini memang benar-benar akan menjadi seorang pendidik, He..... Kapan kuliahnya?” tanya Fauko. Aku diam tak bisa melepas kata. Aku diam tak menjawab.

“ Lho. Kok diam? Kapan mulai kuliahnya?” tanya Fauko lagi.

“ Gak tahu Fok, saya belum bisa jawab, soalnya belum pasti diambil atau tidaknya, saya masih ada kendala Fok.”

“ Kendala? Kendala apa, Ko?”

“ Saya belum ada uang untuk bayar registrasinya.”

Masya Allah. Memang berapa biayanya?”

“ Tujuh juta. Sekarang saya baru ada uang tiga juta.”

“ Yaa Allah, kenapa tidak bilang kemarin-kemarin! Coba kamu hubungi saya dua atau tiga hari kemarin, saya ada uang lima juta, saya bisa pinjemin untuk biaya kuliah kamu. Tapi, sekarang, uang saya kepake, kemarin saudara saya kecelakaan, uangnya dipinjem sama paman saya.”

Aku diam.

“ Mungkin jalannya memang harus seperti ini Fok,” jawabku.

“ Yaudah, gini aja. Saya ada uang satu juta lagi di ATM. Mangga pake aja dulu sama kamu, mudah-mudahan itu bisa membantu. Besok, saya ada di rumah, sekitar jam sepuluhan, kita ketemu di ATM dekat alun-alun Anyer ya! Oya, Sebelumnya saya minta ma’af ya, karena gak bisa membantu banyak,” tawar Fauko padaku. Mendengar tawaran itu, pikiranku campur aduk, antara malu, sedikit senang dan takjub. Malu karena harus merepotkan Fauko, sedikit senang karena dapat bantuan sedikit biaya, dan takjub kepada jiwa besarnya sahabatku itu. Bagaimana tidak? Usia dia masih muda, satu pantaran dengan usiaku. Dia masih menempuh pendidikan, belum kerja, tapi sudah berani memberikan bantuan uang sebesar itu. Sungguh, aku masih heran dengan kebesaran jiwa sahabat sekaligus sainganku itu.

“ Ko, jangan lupakan kompetisi kita ya!” Fauko menutup pembicaraan sambil mengingatkanku tentang sebuah perjanjian yang kami buat ketika hari kelulusan SMA. Sebuah kompetisi yang hanya Allah, aku, Fauko, serta dua sahabat dan sainganku yang lainnya, yang tahu.
***

Atas saran dua dari tiga sahabat sekaligus sainganku semasa sekolah, meskipun uang baru terkumpul empat juta, aku tetap berangkat ke Bandung. Dua juta akan aku gunakan untuk pembayaran registrasi, dan dua juta sisanya untuk biaya hidup sementara, selama aku mencari cara lain untuk membayar registrasi kuliah.

“ Kamu jangan diam Ko. Kamu harus bergerak. Jemput mimpi itu! Jemput mimpimu!” nasihat dua orang sahabatku satu nada.

Dengan berbekal sedikit uang, spirit dari sahabat dan do’a yang tulus dari kedua orang tua, aku berangkatmencoba menjemput mimpiku. Aku hujamkan bismillah dalam hati ketika kaki kananku keluar pintu depan rumahku.

Sesampainya di Bandung, aku segera mancari alamat kos-kosan taman satu angkatan ketika sekolah, yang sudah duluan berkuliah di UPI. Sebelum berangkat ke Bandung, aku hubungi dia untuk meminta tolong numpang berteduh, selama aku mencari cara agar aku tetap bisa berkuliah.

Pertama kali menginjakan kaki di kampus impian, aku disambut oleh gedung-gedung yang tinggi menjulang ke langit. Gedung-gedung itu tampak indah, karena dihiasi oleh pohon-pohon besar yang hijau dan rindang. Saat itu, aku putuskan lagi urat maluku. Aku buang jauh-jauh rasa maluku. Aku tidak mau kalah oleh para pencopet dan perampog. Untuk sesuatu hal yang tidak baik saja mereka berani nekat, mengapa aku tidak berani nekat untuk sesuatu hal yang baik? Aku harus berani!

Aku temui para petinggi universitas. Aku tidak mau bertemu hanya dengan bawahan yang menerima perintah. Aku inginnya bertemu langsung dengan orang yang memberikan perintah dan pembuat kebijakan. Pada sebuah ruangan, aku duduk berhadap-hadapan dengan seseorang dengan penampilan yang rapih dan berdasi. Kami hanya dipisahkan oleh sebuah meja kayu besar yang berwarna coklat mengkilat. Aku utarakan semua maksud kedatanganku. Setelah semuanya keluar, aku pamit pulang. Sebelum aku keluar ruangan, bapak itu meminta nomer telepon yang bisa dihubungi. Aku berikan nomer hapeku. Esoknya, aku disuruh menghadap bapak itu lagi. beliau mengatakan, kalau aku bisa berkuliah. Aku mendapatkan bantuan pembayaran registrasi sisanya. Aku mendapatkan bantuan sebesar lima juta rupiah. Jika disatukan, genap sudah jumlahnya. Dua juta ditambah lima juta, jadi tujuh juta. Akhirnya, aku resmi menjadi seorang mahasiswa. Satu lagi mimpi yang tercoret dari daftar mimpi yang tertulis pada buku agendaku.Terima kasih Yaa Allah.

Sorenya, aku masuki gedung fakultas yang sebentar lagi akan menjadi tempatku menggali ilmu, yaitu fakultas pendidikan ilmu pengetahuan sosial (FPIPS).Aku naik ke lantai enam. Aku berdiri mematung di salah-satu jendela yang terbuka. Aku pandangi indahnya kota Bandung dari ketinggian. Beruntung, Bandung sedang tidak hujan. Di kaki langit sebelah Barat, aku melihat mentari berwarna jingga. Sinarnya masuk ke dalam FPIPS melalui jendela-jendela yang ada. Melalui jendela yang terbuka di depanku, sinar lemah itu menerpa wajahku. Aroma hangat membelai jiwaku. Melalui sinar itu, mentari itu tersenyum padaku. Dia membisikan sesuatu padaku.

Apa kabar saudaraku?” tanya mentari. Aku jawab pertanyaannya. Aku titipkan padanya sebuah pesan untuk Tuhan kami, Allah SWT. Agar dia menyampaikan rasa terima kasihku untukNya. Aku juga berpesan, supaya dia menyampaikan beberapa permohonanku, agar DIA melindungi keluargaku di kampung sana. Supaya DIA selalu mempermudah langkahku dalam meraih mimpi. Juga agar DIA memberikan ilham kepada kedua orang tuaku,supaya mereka rujuk kembali dan merangkai lagi sebuah keluarga yang damai. Aku merindukan akan hal itu. Teramat sangat.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar