Kamis, 07 Juli 2011

Samson Jadi-jadian


Hidup itu ibarat sebuah buku. Sampul depan adalah kelahiran kita, dan sampul belakang hari kematian kita. Buku-buku itu ada yang tebal dan juga ada yang tipis. Semuanya bergantung pada seberapa lama jatah hidup kita di dunia ini. Sesumrawut dan sekotor apapun coretan pada sebuah halaman, akan tetap ada lembaran putih-bersih pada lembaran-lembaran berikutnya. Rangkaian kalimat inilah salah-satu yang membuatku ada niatan untuk berubah ke arah kehidupan yang lebih baik, setelah lebih dari satu setengah tahun aku hidup tanpa kegiatan, atau yang lebih keren disebut dengan pengangguran. Iya, satu setengah tahun aku menjalani hidup tanpa arti. Masyarakat sekitar serasa mengucilkan diriku. Aku dipandang sebelah mata.

Pasca mendengar kalimat hidayah itu, aku berusaha sebisa mungkin untuk mengubah hidupku. Aku ingin masa depanku nanti cerah, laksana mentari di siang hari. Dan, kunci dari semua permasalahan ini adalah pendidikan. Aku harus menuntut ilmu. Aku harus bersekolah lagi. Mau tidak mau, itu harus aku jalani. Tidak bisa ditawar-tawar lagi. Harga mati hukumnya. Karenanya, aku harus segera menambal kekosongan ilmu yang tidak kudapatkan di sekolah dulu. Aku harus membaca buku pelajaran sebanyak-banyaknya, guna mempermudah dalam mengisi soal-soal tes masuk perguruan tinggi negeri yang dijadwalkan akan dilaksanakan sekitar setengah tahun kedepan.

Bangun pagi aku cari buku. Ke toilet bawa buku. Sarapan ditemani buku. Jalan-jalan bareng buku. Di pantai bermesraan dengan buku. Mau tidur, di nina boboin oleh buku. Dalam tidur, aku bermimpi membaca buku. Seperti itulah keseharianku menjelang waktu tes.

Alhamdulillah, perjuanganku berbuah hasil. Pada hari pengumuman kelolosan, namaku terselip diantara ratusan ribu nama peserta yang lulus, pada surat kabar nasional. Aku sangat gembira ketika itu. Segera aku beritahukan kabar menyenangkan ini kepada kedua orang tuaku. Mata orang tuaku berkaca-kaca, telebih-lebih mamah. Mereka bangga padaku. Satu anak tangga sudah aku naiki. InsyAllah, anak tanga-anak tanga berikutnya segera menyusul.

Namun, terdapat sebuah batu sandungan yang menghalangi jalanku. Adalah biaya kuliah. Dana yang harus aku bayarkan untuk pembayaran registrasi awal adalah kurang-lebih cukup untuk mendapatkan satu sepeda motor. Aku bingung. Orang tuaku bingung. Hendak dari mana kami mendaptkan uang sebanyak itu. Sempat terpikir untuk mengundurkan diri. Tapi, pengalaman pahit di kehidupan masa lalu, membuatku membuang jauh-jauh pemikiran pecundang itu. Aku mencoba memutar otak, agar aku tetap bisa berkuliah.

H–3 menuju batas akhir pembayaran registrasi, aku belum juga mendapatkan uang itu. Tanpa banyak pikir lagi, dengan berbekal sedikit uang dan do’a yang tulus dari kedua orang tua, aku meluncur menjemput mimpiku. Aku tetap berangkat ke Bandung, tempat dimana kampus, aku diterima. Setelah tawakalku sudah sampai pada titik zenit, aku mencoba memaksimalkan ikhtiarku. Dengan menghujamkan lafadz basmallah di hati, aku melangkahkan kaki menuju kota kembang. Bagiku, kampus itu laksana kawah candra dimuka yang akan menggemblengku untuk sebuah imbalan masa depan yang bahagia.

Pertama kali menginjakan kaki di kampus impian, aku sempat kebingungan, hendak kemana langkah ini tertuju. Beruntung, aku punya seorang teman yang semasa sekolah dulu, kami satu angkatan. Dia berkuliah di kampus yang sama. Aku hubungi dia, bermaksud meminta tumpangan sementara, selama aku berjuang untuk mencari jalan keluar pada masalahku. Alhamdulillah, dia menerimaku dengan sebuah senyuman dan tangan terbuka.

Berbekal sedikit informasi tentang kampus dan segala seluk-beluknya dari seorang teman, aku mencoba peruntungan. Aku kunjungi pihak rektorat. Aku sambangi direktur kemahasiswaan. Aku temui kepala bagian keuangan. Aku utarakan keinginanku untuk menuntut ilmu. Aku ceritakan bagaimana keadaanku. Pokoknya aku kemukakan semua tentang diri, keluarga, masalalu dan harapan-harapanku kepada mereka. Dari A sampai Z. Semuanya, tanpa ada yang terlewat.

Setelah semua jalan telah aku coba, aku kembali menyempurnakan do’aku lagi. Pada sepertiga malam terakhir, aku bermunajat kepada Sang Maha Pengabul do’a, Allah Swt, supaya Dia berkenan mengabulkan permintaan-permintaanku.

H-1, belum juga ada kabar dari pihak kampus terkait permohonanku. Aku sempat putus asa. Sepertinya aku akan balik lagi ke kampung halaman. Sepertinya nasib menggariskanku untuk tetap tinggal di pesisir selat sunda. Aku termenung sendiri di teras depan kamar kos-kosan temanku. Aku sudah lelah.

Getaran hape yang tersimpan di saku celana yang kukenakan mengagetkanku. Sebuah pesan masuk. Kulihat, pada layar hape tertulis nama seseorang yang baru aku kenal, berikut dengan jabatannya. Dia adalah salah-satu petinggi kampus yang kemarin aku temui. Isi pesannya adalah sebuah undangan, agar aku datang ke kantornya. Tanda tanya, penuh menyesaki kepalaku ketika itu. Berita apa gerangan yang akan beliau sampaikan?

Ba’da Dzuhur, aku temui bapak petinggi kampus. Maha suci Allah, apa yang aku dengar darinya?! Aku mendapatkan bantuan pembebasan biaya registrasi kuliah. Aku tidak kuat lagi menahan air mata untuk tidak jatuh. Air mataku menetes. Aku cium tangan kanan beliau. Aku mengucapkan beberapa kali kata terima kasih. Dan aku, sangat berterima kasih kepada Allah karena telah mengabulkan do’aku. Kini, telah kuinjakan lagi kakiku pada anak tangga yang kedua. Aku sampaikan kabar berita ini kepada orang tuaku di kampung. Aku mendengar tangisan mereka lewat hape. Sungguh, aku tidak tahan. Air mataku semakin deras mengalir. Aku menagis tanpa suara. Aku sembunyikan tangisanku. Kawah candra dimuka, sambutlah aku, sambutlah jiwaku!
***

Satu lagi mimpiku yang tercoret di buku agenda. Aku berkuliah di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Dengan mengambil konsentrasi pada jurusan pendidikan geografi. UPI adalah sebuah kampus di bumi siliwangi. Disinilah aku akan menggali ilmu, setidaknya untuk empat atau lima tahun kedepan.

Banyak hal baru yang kutemui disini. Semua itu aku terima dengan otak pembelajar. Aku cerna semuanya, aku saring, kemudian kuambil yang baik-baiknya dan kubuang yang jeleknya. Benar apa yang dikatakan temanku. Seorang mahasiswa baru itu ibarat sebuah kertas putih, yang sangat mudah sekali dicoret dengan pena bermacam warna.

“ Kamu harus pandai-pandai dalam mencari teman dan lingkungan, kawan. Hidup di kampus itu berbeda jauh dengan di sekolahan. Anak bangsa yang berasal dari seluruh penjuru negeri berkumpul di tempat ini. Kampus adalah miniatur sebuah negeri. Banyak aliran yang ada disini. Jangan sampai kamu salah langkah!” saran seorang teman kepadaku. Aku perhatikan dengan baik setiap saran demi saran yang keluar dari mulut temanku itu.

Dengan berbagai pertimbangan, terpilihlah organisasi dakwah kampus. Disini aku akan menggali ilmu islam lebih dalam, disamping belajar berorganisasi tentunya. Aku tidak mau dikategorikan sebagai golongan mahasiswa yang KUPU-KUPU, atau kuliah pulang-kuliah pulang. Jika demikian, hanya aspek kognitif yang kumiliki, selebihnya, mungkin nol besar. Terlebih lagi golongan KUNANG-KUNANG, atau kuliah nangkring-kuliah nangkring (nongkrong), yang ini lebih parah. Aku ingin masuk kedalam kelompok yang KURA-KURA, atau mahasiswa yang kuliah rapat-kuliah rapat. Banyak ilmu dan keterampilan yang bisa diperoleh di organisasi dan tidak dipelajari di bangku kuliah. Semua itu, akan berguna ketika hidup di masyarakat kelak. Tidak sedikit para pendahulu yang membuktikan hal ini.
***

Di UPI, terdapat tujuh fakultas di dalamnya, yaitu: FIP (Fakultas Ilmu Pendidikan), FPIPS (Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial), FPBS (Fakultas Pendidikan Bahasa dan sastra), FPMIPA (Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam), FPTK (Fakultas Pendidikan Teknik dan Kejuruan), FPOK (Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan) dan fakultas yang paling bungsu, yaitu FPEB (Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Bisnis). Juga kampus-kamus daerah yang tersebar di beberapa wilayah di Jawa Barat dan Banten. Semua fakultas itu berdiri dengan kokoh menjulang ke langit. Bentuknya sangat indah. Terlihat semakin asri karena dihiasi dengan pohon-pohon hijau yang besar dan rindang. Teduh.

Pada setiap fakultas, terdapat fasilitas lift. Masing-masing dua buah. Lift-lift itu mempermudah dosen dan mahasiswa jika hendak naik-turun lantai dengan cepat dan tidak banyak menguras energi. Namun, tidak bagiku. Aku lebih suka naik-turun tangga. Biarpun sedikit capek, tapi itu baik untuk kesehatan. Memang, tidak bisa dipungkiri, ada beberapa kondisi yang membuatku pada akhirnya merasakan fasilitas yang satu ini.
***

Mungkin, kaum laki-laki yang paling tersiksa adalah dari FPIPS, tidak terkecuali diriku. Hal ini karena ada tiga prodi, jurusan kepariwisataan disana. Antara lain: MPP (Manajemen Pemasaran Pariwisata), MRL (Manajemen Resort and Leisure) dan MIK (Manajemen Industri Katering). Bagaimana tidak, sebagian mahasiswi ketiga prodi ini mengenakan seragam yang minim. Lekuk-lekuk tubuhnya dapat terlihat dengan jelas. Bagi mahasiswa dari kalangan kaum Adam yang tidak bisa menahan pandangan. Disana keran dosa mulai terbuka.

FIP dan FPMIPA adalah kutub yang berseberangan dengan FPIPS. Perbedaannya sangat kontras. Secara kasat mata, mahasiswa dan mahasiswinya alim-alim. Sebagian besar laki-lakinya mengenakan pakaian-pakaian rapih, seperti: baju takwa, batik, dan kemeja berlengan panjang. Pun, dengan perempuannya. Busana muslim, gamis dan kerudung besar membalut seluruh bagian tubuhnya, kecuali wajah dan telapak tangan. Satu lagi. Jika kita ingin melihat pemandangan surga dunia, di kedua fakultas inilah tempatnya. Tidak sedikit mahasiswa yang sudah menikah. Mereka menikah dengan teman satu jurusan, adik atau kakak tingkat, atau dengan teman satu organisasi. Jika aku sedang berada di kedua fakultas ini, tidak jarang kutemui pasangan muda-mudi berjalan berbarengan menuju kampus. Tangan sang pangeran digandeng erat oleh sang permaisuri. Oh, alangkah indahnya pemandangan itu.

Lain lagi dengan FPOK dan FPTK. Kedua fakultas ini statusnya adalah yang paling angker. Penghuninya sebagian besar kaum laki-laki, kalaupun ada perempuan, itu hanya sedikit. FPEB adalah fakultas yang dipenuhi wirausahawan-wirausahawan muda. Minimal berbisnis pulsa. Dan, jika kita ingin menemukan mahasiswa yang penampilannya aneh, nyentrik, tengil, atau modis. FPBS lah tempatnya, karena disana, terdapat jurusan seni: seni rupa, seni musik dan seni tari.
***

Sore ini aku lelah. Jadwal kuliah penuh, karena ada jadwal pengalihan. Sebenarnya hari ini jadwalnya hanya tiga mata kuliah. Jam tujuh sampai jam delapan lewat empat puluh. Kemudian masuk lagi jam delapan lima puluh sampai jam sepuluh lebih dua puluh menit. Setelah itu kosong sampai jam satu siang. Jam satu masuk lagi sampai jam dua lebih empat puluh. Setelah itu seharusnya sudah pulang. Namun karena jadwal salah-satu mata kuliah untuk sementara dipindah ke hari ini, kami harus rela kuliah sampai sekitar jam empatan. Jenuh menyapa jiwa kami. Kami belajar bagai mobil yang kehabisan bensin.

Jam empat kurang sedikit, kami pulang. Menyengaja aku mengakhirkan keluar kelas, bermaksud santai sejenak melepas penat. Setelah semua keluar, aku beranjak dari kursi dan berjalan menuju pintu. Sesampainya diluar, hanya tinggal segelintir teman yang masih sedang mengobrol di lorong antara ruang sepuluh dan ruang sebelas. Aku sapa mereka. Mereka balas nyapa. Aku pamit untuk pulang duluan. Satu dari mereka ikut pulang denganku. Karena kami merasa kelelahan, kami bermaksud turunnya pake lift. Kami berjalan menuju lift. Suasana gedung sunyi-senyap. Hentakan langkah kami, terdengar menggema ke pojok-pojok ruangan. Pintu lift masih tertutup. Kami berdiri mematung menghadap ke pintu lift. Temanku menekan tombol arah tanda panah kebawah. Tanda panah digital yang berwarna merah seolah bergerak-gerak kebawah. Di sebelah atas tanda panah menunjukan angka enam, pertanda lift masih berada di lantai enam. Angka enam berubah cepat menjadi angka lima. Bersamaan dengan itu suara tiruan lonceng berdentang. Kemudian dilanjutkan dengan suara rekaman seorang wanita, dengan bunyi,” lantai lima”. Biasanya, pergantian dari angka satu ke angka lainnya numayan sedit memakan waktu, tapi sekarang tidak, berarti di atas tidak ada yang naik lift. Lift itu kosong, pikirku. Wajar, karena waktu sudah sore.

Tanda panah bergerak lagi. Angkanya masih menunjukan nomer lima. Tiba-tiba otakku disinggahi pemikiran yang tidak-tidak. Aku hendak menggunakan waktu tunggu ini dengan sebuah keisengan. Aku palingkan pandanganku kepada temanku. Dia menatapku balik. Aku gerak-gerakan kedua alisku. Wajah temanku terlihat kebengongan. Dia seperti orang linglung. Aku melangkah lebih mendekat ke pintu lift. Aku berbalik pada temanku. Ku gerak-gerakan lagi alis mataku dengan genit. Dia masih menatapku dengan wajah penuh tanda-tanya. Aku angkat kedua tanganku sebahu. Aku berpose laksana seorang binaragawan yang sedang pentas. Aku buat wajahku layaknya binaragawan sungguhan. Aku tekuk-tekuk wajahku. Temanku menggelengkan kepalanya, namun, tetap dengan wajah keanehannya. Aku mengangkat wajah menyombongkan diri. Aku berbalik kembali menghadap pintu lift. Lagi, aku tiru gerak binaragawan yang sedang mempertontonkan ototnya. Kuletakan jari-jari tanganku di pintu lift yang masih tertutup, seakan-akan hendak membuka pintu besi itu dengan kekuatanku. Aku mengerang laksana Hulk yang sedang membuka jeruji baja yang sangat kuat.

“ Ting-tong. Lantai empat,” lift itu bersuara.

Aku masih mengerang. Perlahan pintu terbuka, kedua tanganku maih menemel pada pintu dan mengikuti gerak pintu, seakan tangankulah yang membuka pintu lift itu. Sedikit-demi sedikit pintu lift terbuka semakin lebar. Aku tetap mengerang. Wajahku masih menekuk. Namun, apa yang kulihat dengan kedua mataku sendiri?!!! Tepat di hadapanku, di ruang kotak dengan lebar dua kali dua meter itu, yang oleh orang-orang disebut “lift”, atau orang kampung mengatakannya “lip”. Disana berdiri tiga mahasiswi jurusan MIK. Mereka menatapku dengan wajah yang tidak aku ketahui apa arti dari mimiknya. Mereka mengenakan seragam biru muda ketat. Rok yang dikenakan sangat minim, sekitar satu atau dua senti di atas lutut. Dasi pendek warna merah terikat di leher mereka. Malu, bingung, menyesal, pokoknya semua emosi yang aneh-aneh aku rasakan. Aku masih berdiri mematung di depan lift yang pintunya sudah terbuka. Di belakangku ada suara tawa. Sepertinya tawa itu keluar dari mulut temanku. Para gadis di hadapanku tersenyum dan sedikit mengeluarkan tawa. Sumpah, aku sangat malu ketika itu. Jika dihadapanku ada cermin, mungkin wajahku terlihat blo’on saat itu. Bagiku, semua jam yang ada di dunia ini berhenti berdetak.

Di dalam lift, aku berdiri diantara tiga orang perempuan dan seorang laki-laki. Tidak ada yang bisa kulakukan saat itu selain menunduk. Tidak sepatah katapun yang keluar dari mulutku. Aku diam sejuta bahasa. Sayup-sayup kudengar salah-satu dari ketiga perempuan itu menggumamkan sesuatu,” Samson,” kemudian dilanjutkan dengan tawa yang ditahan-tahan. Sejak saat itu, jika aku berpapasan dengan mereka atau salah-satu dari mereka, kami saling melemparkan senyum. Hingga sekarang.
***

2 komentar:

  1. "Rok yang dikenakan sangat minim, sekitar satu atau dua senti di atas lutut" tau darimana kg????curiga!!!hahahha... NCP gtu loh

    LANJUTKAN!!!!
    aku suka gaya kepenulisan kg niko :)

    BalasHapus
  2. Wah... DAHSYATTT!!!

    Subhanallah!

    Inilah bukti bahwa Alloh tidak akan menelantarkan hambaNya ^_^

    Sangat menginspirasi :)

    salam kenal. . .

    BalasHapus