Rabu, 20 Juli 2011

Tabir yang Tersingkap


Suara mesin kendaraan bersahutan dengan celotehan orang-orang yang sedang menjalankan aktifitasnya di sekitar jalanan Geger Kalong. Langit mulai meredup. Bulan yang menampakan seluruh tubuhnya pada pertengahan bulan Sya’ban ini terlihat masih pucat, sepertinya dia masih enggan untuk membagikan cahayanya pada Bumi. Di depan mesjid DT, seorang DKM sedang merapihkan sandal jama’ah yang datang. Di teras depannya, ada dua orang DKM yang sedang mengepel teras mesjid. Aku mengenal ketiga orang itu. Kami saling melempar senyum.

Aku simpan sandalku di antara ratusan pasang sandal yang terjejer rapih. Di bahah tangga menuju lantai utama mesjid, disana berdiri kotak amal yang terbuat dari kaca. Di dalamnya terlihat banyak uang kertas dengan berbagai pecahan. Di atasnya, tersimpan beberapa tumpukan kertas-kertas buletin tentang wawasan keislaman. Melihat kotak amal itu, aku teringat kepada seorang ustad yang sering membawakan materi mengenai keutamaan sodaqoh dalam setiap ceramahnya. Ustad yang bertubuh mungil, pimpinan pondok pesantren Daruul Qur’an, yang perawakannya persis seperti imam utama mesjid DT, yaitu Ustad Suhud. Ustad itu tiada lain adalah Ustad Yusuf Mansyur, atau kalau para santri PPM menyebutnya Ustad Yusman.

Teringat ketika Ustad Yusuf Mansyur berceramah di televisi. Ketika itu beliau membawakan materi tentang kekuatan shodaqoh. Satu dari banyak manfaat itu adalah menolak bala, atau mencegah datangnya musibah pada diri kita.

“ Shodaqoh itu menolak bala!” ujar ustad Yusuf Mansyur di televisi.

Jika diberikan dua pilihan antara mendapatkan musibah atau dijauhkan dari musibah, aku berani memastikan, semua orang pasti menginginkan pilihan yang kedua. Yakin. Begitupun dengan diriku. Oleh karenanya, aku melakukan ikhtiar untuk itu, yaitu dengan mengeluarkan shodaqoh.

Beberapa meter dari kotak shodaqoh, sambil berjalan menuju tangga, aku merogoh saku samping kanan celana panjangku. Di dalamnya ada pecahan uang seribu rupiah sisa tadi siang beli jus strowberi. Aku ambil uang itu, kemudian dilipat beberapa lipatan, lalu, sambil membaca bismillah dalam hati, aku masukan uang itu pada kotak shodaqoh. Aku melanjutkan langkah, dan meniti anak tangga menuju lantai utama mesjid.
***

Aku, adalah satu dari sedikit orang yang anti dengan yang namanya pacaran. Banyak teman-teman sepermainan dulu yang mengejekku atas jalan hidup yang aku pilih.

Alah, cemen kamu! Hari gini tidak pacaran!” ejek salah satu teman.

“ Kamu kenapa sih gak berani deketi cewek, Ko? Seandainya aku jadi kamu, aku akan godain tuh para kakak tingkat yang cantik-cantik,” ujar teman yang lainnya. Aku hanya menanggapi perkataan mereka dengan sebuah senyuman.

Aku bertahan dengan jalan yang kupilih. Semakin aku bertahan, semakin deras pula bisikan hitam di hatiku. Hingga akhirnya, aku terjatuh, terjatuh pada jurang yang selama ini aku hindari. Aku tidak mampu lagi membendung rasa itu untuk tidak diungkapkan. Akhirnya, aku membuat dua utas tali menjadi sebuah ikatan, ikatan yang terlarang.

Dua minggu. Iya, hanya dua minggu hal itu berjalan. Kendaraan tanpa izin itu terhenti di pertenggahan jalan, di bawah sebuah tiang lampu merah. Allah SWT, membuat sekenario itu dengan sangat indah, yaitu pada suatu malam, tapatnya setelah waktu isya, ketika materi malam belum dimulai. Di depan, kang Hakmal memerintahkan semua santri untuk mengangkat tangan kiri ke atas. Kami, para santri menuruti perintah aneh itu. Setelah itu, dengan posisi tangan kiri masih teracung, kang Hakmal menyuruh untuk menggenggam erat hape masing-masing. Kami pegang hape kami. Kemudian, kang Hakmal memerintahkan sekali lagi untuk mengangkat tangan kanan yang sedang menggenggam hape. Kedua tangan kami berada di atas, yang kiri kosong sementara yang kanan ada hape. Kami diperintahkan untuk tidak menurunkan tangan kami. Apa yang dilakukan kang Hakmal setelah itu. Dia berjalan menghampiri santri ikhwan dengan membawa sebuah kantong plastik warna putih. Sambil berjalan, dia mengambil hape-hape yang ada di tangan para santri ikhwan. Untuk santri akhwat, yang mengambilnya adalah mudabiroh, atau mudabir untuk sanri akhwat. Aku tidak bisa melakukan apapun saat itu, selain menundukan kepala, karena aku tahu, dalam waktu dekat ini, pasti akan ada sesuatu yang terjadi pada diriku. Benar, kekhawatiranku itu memang benar-benar terjadi. Aku diberikan beberapa pertanyaan angker oleh kang Hakmal di kamarnya. Hari itu aku layaknya seorang narapidana yang sedang diinterogasi oleh polisi.

Tidak berselang lama setelah peristiwa malam itu, meskipun awalnya susah, akhirnya, ikatan terlarang itu terlepas kembali. Namun, bisikan hitam itu tidak pernah berhenti, bisikan itu terus meneror taliku dan tali yang satunya. Secara diam-diam, kedua tali itu masih melakukan komunikasi. Padahal, kang Hakmal mewanti-wanti, agar sementara waktu ini untuk tidak melakukan interaksi terlebih dahulu, namun, dua utas tali itu melanggarnya.

Seiring berjalannya waktu, taliku merasakan ada sesuatu yang salah. Taliku merasa berdosa. Setelah melakukan perenungan, akhirnya taliku berkeputusan untuk benar-benar menyudahi kesalahan ini. Taliku mengajak kepada tali yang satunya untuk melakukan perjanjian, perjanjian yang sejatinya baik untuk kedua belah pihak, baik itu taliku maupun tali yang satunya. Awalnya, tali yang satunya tidak menyetujui perjanjian itu.

“ Semua itu berat untuk dijalani A, neng masih ingin tetap seperti ini,” manja tali yang satunya. Namun, setelah sering mendapatkan pengarahan dari taliku, akhirnya, tali yang satunya menyetujui perjanjian itu.

“ Baiklah, sekarang neng akan coba jalani perjanjian itu. Sekarang neng setuju dengan kesepakatan yang A buat,” tali yang satunya memberi tahu taliku melalui hape.

Jarum panjang warna merah terus berputar mendahului jarum panjang warna hitam dan jarum pendek yang juga warna hitam. Jarum panjang warna hitam ikut bergerak dengan kecepatan yang lebih dibandingkan dengan kecepatan jarum hitam yang pendek. Mentari terus timbul dan tenggelam. Sudah cukup lama perjanjian itu berjalan dalam rel yang benar. Namun, entah apa yang terjadi? Tali yang satunya menghubungi taliku lagi. akan tetapi, bentengku masih terlalu kuat dalam menghalau serangan-serangan yang diberikan tali yang satunya. Jujur, jika menuruti nafsu, taliku senang dengan seringnya tali yang satunya melakukan serangan itu. Taliku bertahan, tapi diserang lagi. bertahan lagi, diserang lagi. hingga pada suatu hari, benteng pertahanan itu runtuh sebagian. Taliku mulai membuka diri. Awalnya taliku pasif. Taliku hanya diam dan mencoba menanggapi dengan baik serangan tali yang satunya, namun, lama-kelamaan taliku mulai berani menghubungi tali yang satunya, tapi hanya sekedarnya saja. Terus dan terus seperti itu.
***

Ba’da solat magrib, setelah melakukan solat sunnat ba’diah, jamaah ikhwan berkumpul mendekat pada meja kecil tempat ustad memberikan materi. Sementara jamaah akhwat berada di belakang jamaah ikhwan, hanya dipisahkan oleh hijab besar yang dibuka dan hijab kecil setinggi lutut orang dewasa. Kami, para jama’ah mendengarkan ceramah dari ustad. Aku duduk dipojok salah-satu tiang penopang mesjid. Aku tidak bergabung dengan jama’ah ikhwan lainnya di depan. Di antara jama’ah ikhwan itu, aku melihat satu dari tiga orang DKM yang tadi aku temui di depan mesjid.

Sedang mendengarkan ceramah, hape yang tersimpan di saku celanaku bergetar. Ada telfon masuk. Aku rogoh hapeku, kemudian kulihat layarnya, tertulis nama seorang perempuan. Langsung aku angkat telfon itu. Sambil mengangkat, aku beranjak dari dudukku dan berjalan menuruni tangga menuju lantai satu mesjid.

“ Halo, Assalamu’alaikum,” jawabku.

Wa’alaikumussalam,” jawab seorang perempuan di seberang sana.

“ Apa kabar?” tanyaku basa-basi.

“ Baik A. Oh ya, mulai sekarang A jangan hubungi saya lagi ya!” ujar seorang perempuan itu tiba-tiba. Aku hanya menanggapinya dengan seutas senyuman.

“ Oh, gitu? Memang kenapa?” tanyaku.

“ Sekarang saya sudah ada calon A!” seorang perempuan itu memberi tahu. Aku senyum lagi. pikirku, itu hanyalah sandiwara, namun pikiranku berubah ketika mendengar suara seorang laki-laki disampingnya.

“ Halo, dengan kang Niko?” tanya laki-laki tiba-tiba. Jujur, aku kaget ketika itu. Aku benar-benar kaget.

“ Iya, benar,” jawabku pendek, karena masih merasa kaget.

“ Kang Niko, jangan hubungi ‘IMUT’ (bukan nama asli, untuk menjaga privasi yang bersangkutan) lagi ya! Sekarang dia sudah punya calon! Saya calonnya itu!” laki-laki itu memberi tahu.

“ Sudah ya kang, terima kasih,” laki-laki itu mencoba menutup telfon.

“ Tunggu-tunggu kang, jang ditutup dulu!” pintaku.

“ Sudah ya kang, Assalamu’alaikum.

TUT TUT TUT TUUUTT

Aku terbengong sendiri, hanya bisa memandangi hape yang kugenggam erat. Aku merasa kaget dan tidak habis pikir. Ada beberapa hal yang aku pikirkan. Pertama, merasa aneh, aneh karena selama ini yang sering menghubungi itu kan bukan aku, tapi dia. Kedua, sejauh ini kami bersepakat hanya saling menganggap sebagai seorang kakak dan adik saja, hanya sebatas itu, tidak lebih. Kalaupun, seandainya dia sudah memiliki calon suami, tidak ada yang harus dipusingkan, karena aku sudah menganggap dia sebagai seorang adik.

Aku mengetik sebuah SMS, kemudian langsung aku kirim.

Punten, bisa berbicara sebentar dengan akang yang tadi?

Aku hendak berbicara untuk meluruskan perkara ini. Namun, tidak juga ada balesan. Aku tunggu lagi, tetap, belum juga ada balasan. Akhirnya, aku kirim SMS sekali lagi.

Tolong sampein ke akang yang tadi, InsyAllah akang tidak akan menghubungi IMUT lagi, kemudian, insyAllah akang juga tidak akan mengangkat, seandainya IMUT menghubungi akang lagi. tolong sampein ya, ini amanah dari akang. Mohon ma’af apabila selama ini akang ada kesalahan.

Aku tidak mengharapkan balesan SMS darinya, karena mungkin dia tidak akan membalasnya. Aku kembali berjalan meniti tangga melewati kotak amal menuju lantai utama lagi.

Ceramah ba’da magrib selesai, dilanjutkan solat isya berjama’ah. Sehabis solat aku langsung pulang ke asrama. Sesampainya di asrama, tidak bisa kupungkiri, aku masih merasa kaget dengan perkara yang barusan terjadi. Aku tidak habis pikir dengan keputusan yang diambilnya.

Di kamar, ketika hendak tidur, hapeku bergetar. Ada SMS masuk. Aku baca SMS itu.

Ma’afin IMUT A, tidak seharusnya cara seperti ini yang IMUT lakukan pada A. Malam ini juga, IMUT putuskan hubungan dengannya. Imut gak yakin kalau dia yang akan jadi imam untuk IMUT dan anak-anak IMUT nanti. Ma’afin IMUT, dan IMUT minta waktu untuk menenangkan ini semua.

Aku terbengong membaca SMS masuk itu. Aku bingung dengan apa yang sedang dia pikirkan, aku bingung dengan pola pikir dia.

Jujur, sebelum dia kirim SMS penyesalan dan permohonan ma’af itu, aku sudah mema’afkan dia. Karena aku yakin, pembuat sekenario hebat ini adalah DIA, Allah SWT, sang pembuat sekenario terbaik. Aku memperoleh pelajaran yang teramat sangat berharga dari peristiwa ini. Terima kasih Yaa Allah, Engkau telah mengajariku sesuatu yang berharga dari ketentuanMu ini. Engkau telah membukakan hijab itu, hingga terbukalah tabir ini. Hingga tersadarlah diriku.

1 komentar:

  1. :(

    T_T

    Memang, pola pikir si imut itu tdk bs dmngerti bahkan tdk bs dipahami.
    smga tali yang satu bs menguatkan tali yang satu nya lagi. yang menghasilkan simpul yang kuat dan indah.serta tepat dalam pnempatannya..
    semoga :)

    BalasHapus