Senin, 01 Oktober 2012

Sekejap Saja

Engkau, hanya melihat sekejap saja aku menjadi bunga, yang selalu memekarkan diri hingga akhir waktu. (Niko Cahya Pratama)
***

    Kemarin, aku didaulat oleh seorang teman untuk mengisi materi tentang kepenulisan. Waw! Aku kaget! Apa yang akan aku berikan pada audiens? Pikirku. Aku merasa masih belum mampu untuk itu. Aku masih sedang belajar. Belajar menulis yang baik dan benar.

    “Gak papa Niko, hanya cerita pengalamannya aja kok,” harap temanku.

    Aku menimbang lagi permintaannya.

    “Bisa ya?”

    Aku memejamkan mata.

    “InsyAlloh bisa, hanya cerita pengalaman saja kan?”

    “Iya Niko, makasih ya.”
***

    Mengagumkan sekaligus malu. Mengagumkan karena kini aku sedang duduk di hadapan audiens. Aku duduk bersama dua orang pemateri lain yang menurutku sangat luar biasa. Dulu, saat aku berada pada posisi peserta, aku sempat berpikir, mungkinkan kelak aku bisa duduk di depan sana. Kini, aku berada pada khayalanku dulu. Mengagumkan.

    Malu. Malu karena pengalaman ini merupakan untuk kali pertama bagiku.
***
..................................................................................................................

“Kenapa saya menulis?!” ungkapku pada audiens.
...................................................................................................................


    “Selanjutnya, adalah untuk menghilangkan kegalauan dalam jiwa saya.


    Boleh percaya boleh tidak. Menulis adalah obat paling mujarab untuk penyakit galau.


    Sahabat-sahabat, saya adalah penganut anti pacaran. Bagi saya, pacaran adalah pintu dari banyak dosa. Namun, saya juga sadar, bahwasanya saya adalah hanya seorang manusia, yang mana, pasti memiliki rasa cinta, termasuk cinta kepada lawan jenis, alias wanita.


    Saya akui, telah beberapa kali saya merasakan cinta itu. Namun saya masih waras. Saya tahu, saya akan mendapatkan dosa jika melakukan hubungan itu, dalam artian pacaran. Tapi disisi lain, saya juga sadar, saya akan menderita jika rasa cinta itu tidak segera diungkapkan. Seandainya itu terjadi, ibaratnya saya makan berkali-kali, tapi tidak ada pengeluaran ampas dari sisa-sisa makanan itu, kasarnya adalah buang air besar. Seandainya itu benar-benar terjadi, maka penyakit akan segera menghampiri. Tidak sehat.    


    Sebenarnya bisa saja saya mengungkapkan perasaan saya pada gadis yang saya cintai, namun itu tadi, saya takut dosa. Kemudian, bisa pula saya cerita pada teman terkait rasa yang sedang ada pada hati saya, tapi saya khawatir, curhatanku itu akan bocor lalu sang target mengetahuinya. Saya malu dong.


    Nah, satu-satunya penawar bagi rindu itu adalah menulis. Ia, lewat menulis. Menuliskan warna dari kerinduan yang sedang saya rasa. Dengan menulis, maka tekanan itu dapat tersalurkan pada muaranya. Dan, dengan menulis itu, saya terhindar dari dosa karena pacaran. Selain galau itu hilang, bonus keuntungan yang saya dapatkan adalah terhindar dari dosa-dosa. Begitu sahabat-sahabat, mengapa hingga detik ini saya masih menulis.
.....................................................................................................................


    Sahabat-sahabat, tidak bisa kita pungkiri, virus galau sekarang sedang tenar-tenarnya. Virus itu kini telah mendunia. Sebagaimana telah kita ketahui juga, virus galau itu menyerang pada banyak sendi kehidupan kita, tidak hanya pada asmara saja. Untuk itu, hanya satu pesan saya, menulislah, maka galau itu akan segera hilang. Percayalah!
"
.....................................................................................................................
***

    Bada magrib, takdir mempertemukan aku dan teman-teman ikhwan alumni santri PPM (Program Pesantren Mahasiswa) di depan mesjid Daarut Tauhiid. Disana kami melepas rindu.

    Pada pertengahan perbincangan kami, saat seru-serunya, aku menoleh ke arah kiri, menoleh ke seberang jalan. Dan, DESSS. Aku mematung tiba-tiba.

    Hanya satu detik aku melihat sosok wanita itu. Sekejap saja. Tapi, AAAHHH.

    Oh Tuhan, seandainya saja aku sudah mampu, dalam artian ilmu, mental dan materi, ingin rasanya aku persunting dia. Terlepas itu diterima atau tidak. Ah, agar tidak ribet, anggap saja ia bakal menerima pinanganku. Hanya khayalan ini.

    Aku heran, kenapa aku bisa seperti ini jika tak sengaja sedang memandanginya. Walaupun hanya satu detik, ataupun kurang dari itu. Aku heran, padahal banyak wanita yang sama cantiknya atau mungkin lebih cantik darinya, tapi kenapa hanya pada dirinya aku mematung jika sedang memandangnya. Pesona itu, hanya aku rasakan pada dirinya. Oh Tuhan, jangan siksa aku seperti ini. Aku menyerah. Aku menyerah.

    WUUUSSSSS

    Angin menyapaku. Aku kaget. Aku menengadahkan kepalaku. Kuhentikan langkah namun pandangan masih tetap menatap langit. Awan bergumpal-gumpal. Mereka melaju dengan kecepatan yang tidak lamban. Mereka seperti berlarian karena dikejar sesuatu. Entah apa yang mengejar mereka hingga mereka lari terbirit–birit seperti itu.

    WUUUUSSSSSSS

    Sekali lagi angin aneh itu membelai diriku. Aku tak menghiraukan hiruk pikuk kendaraan di jalan geger kalong. Aku masih berdiri menatap langit.

    MENULISLAH! MENULISLAH! MENULISLAH!

    Masya Allah, terdengar suara bisikan dari langit. Bisikan yang seakan memekikkan telingaku. Bisikan yang mungkin hanya aku saja yang mendengarnya. Karena saat bisikan itu menggelegar, sekejap aku pandangi orang-orang disekitarku. Mereka masih beraktifitas seperti biasa, seakan sedang tidak terjadi apa-apa.

    MENULISLAH!  

    Sekali lagi bisikan itu kudengar keras.

    Baiklah. Kini aku mengerti. Aku tahu apa yang harus kulakukan.

    Aku berteriak dalam hati. Aku berteriak sambil menatap langit.

    NUHUUUUUUUUUN!

    Aku berteriak sekali lagi. Lebih keras dari yang pertama.

    NUHUUUUUUUUUUUUUNN!!!! 

    Kudengar ada balasan dari langit. Sungguh aku kaget!

    SAMI-SAMI!

    WHAT! Aku mengucek-ngucek mata menatap langit. Aku mengucek mata lagi. Aku memandang langit lagi. Kini awan itu diam. Mereka berhenti berlari. Suasana normal kembali.
***

Kamis, 27 September 2012

Rembulan Terlihat Samar-Samar

Saat itu, hanya tinggal beberapa hari lagi aku bisa menikmati suasana kampung halaman. Terhitung, mungkin sekitar tiga hari dari sekarang, aku akan ke Bandung lagi, karena kuliah sudah masuk. Gembira bercampur sedih seolah menjelma menjadi dua anak balita yang menggelayuti diriku. Mereka saling berebut untuk aku gendong. Balita yang pertama, yaitu bernama kegembiraan. Dia merupakan anak yang terlahir karena sebuah perjuangan. Perjuangan yang mampu menghidupkan kembali pengajian remaja di kampungku, yakni komunitas Bismillah. Lalu, balita kedua bernama kesedihan. Balita ini adalah anak dari kerinduan pada kampung yang sebentar lagi akan ditinggalkan. Mereka berdua merengek minta segera aku gendong.

    Sejenak kembali pada saat aku hendak mudik ke kampung. Ketika itu aku berikrar dalam hati. Bahwa, kepulanganku kali ini tidak boleh sia-sia. Kepulanganku harus bermakna. Bermakna tidak hanya bagi diriku, tapi juga bagi semuanya. Khususnya para remaja kampungku tercinta. Tugas utamanya adalah menghimpun teman-teman remaja untuk menyatukan visi dan mengumpukan kekuatan agar komunitas Bismillah bisa aktif lagi seperti sedia kala. Aku ingin itu. Dan, ummat butuh itu.

    Enam jam. Adalah waktu perjalanan yang kutempuh untuk bisa sampai ke kampungku. Bandung-Anyer (Kampung Cipacung). Sepanjang perjalanan itu, hampir tiada henti bibirku tersenyum. Setiap jengkal jarak yang mendekat ke kampung halaman, setiap inci pula bibirku melebar tersenyum. Tidak hanya itu, keindahan musim semi di Jepang, seolah berpindah ke jiwaku. Bunga sakura mulai menguncupkan dirinya dan tak sabar untuk segera memekarkan dirinya. Oh, indah sekali.
***

    Belum genap satu jam berada di kampung tercinta. Selepas solat ashar di mushola, aku bertemu dengan seorang teman seperjuangan saat komunitas Bismillah masih aktif dulu.

    “Assalamu’alaikum,” dia menyapaku. Namanya Febri. Kami satu angkatan saat sekolah dasar dulu.

    “Walaikumussalam,” aku jawab salamnya. Kami saling melempar senyum, lalu berjabat tangan dengan erat. “Gimana kabarnya?” aku menambahkan.

    “Alhamdulillah baik. Pak Niko sendiri gimana?” jawab Febri dilanjut dengan balik bertanya. Wah, rupanya panggilan itu masih melekat di kepala kawanku yang satu ini. Ya, dulu, sebelum aku pergi kuliah ke Bandung, aku sempat mengajar pada sekolah dasar di kampungku. Mungkin, karena itulah tidak sedikit teman-teman memanggilku dengan sebutan bapak, pak guru tepatnya. 

    “I am still Okey, My bro,” jawabku diselimuti canda. Kami tertawa renyah bersama. Sambil berjalan, aku tanyakan bagaimana keadaan kampung Cipacung. Aku penasaran, adakah perubahan-perubahan yang terjadi di kampung tercinta. Selain itu juga, aku tanyakan bagaimana kabar teman-teman remaja lainnya. Kami mengobrol sepanjang jalan menuju rumah masing-masing. Saat kami hendak berpisah, kami kembali berjabat tangan lagi.

    “Oya, saya lupa ngasih tahu Pak Niko,” ujar Febri sambil nepak jidatnya. “Untung keingetan,” Febri diam sejenak. “Begini Pak Niko, insyAllah sore ini, sekitar jam empatan, kita mau ada kumpulan remaja di madrasah. Saya harap, Pak Niko ikut ambil bagian disana. Rencananya kita akan membahas tentang kegiatan anak-anak dan remaja kampung kita,” jelas Febri padaku.

    SubhanAllah. Pucuk dicinta ulampun tiba. aku gembira mendengar kabar ini. Aku luar biasa gembiranya.

    “Siap! Insya Allah saya akan datang!”
***

    Amazing! Sudah lama aku tidak merasakan atmosfer seperti ini. Kami, para remaja kampung berdiskusi bersama. Kami menyatukan pikiran. Menghimpun kekuatan bersama, guna mencapai tujuan yang sama, yaitu menghidupkan kembali geliat kampung tercinta yang telah lama hilang.

    Kami saling memberikan masukan, lalu saling mengoreksi agar tujuan yang ingin kami capai lebih baik lagi. Tidak jarang ada sedikit perdebatan. Namun hanya sedikit saja. Semua itu dengan sangat mudah kami carikan jalan keluarnya. Jika pikiran sudah menyatu, perdebatan kecil semacam itu bukanlah apa-apa lagi. Jujur, hatiku tersenyum mendapati keadaan ini. Terlebih saat mendengar teman-teman memberikan masukan-masukan yang menurutku sangat luar biasa bagi keberhasilan tujuan mulia ini.

    Hari berganti hari. Kami bersama-sama memutar otak dan memeras keringat menjalani tahapan demi tahapannya. Ketika satu tahapan dapat dilalui, kami segera mengevaluasinya. Kami adakan kumpulan lagi. Kami berdiskusi lagi untuk persiapan menjalankan tahapan selanjutnya. Tempat pertemuan itu tidak melulu hanya di madrasah saja. Sesekali kami mencari tempat lain sebagai penyegaran. Tidak terkecuali di halaman rumahku. Tepatnya di bawah pohon mangga yang rindang. Disana kami menggelar tikar. Di atas tikar itulah kami berdiskusi. Belaian angin sepoi-sepoi menambah syahdu saja perbincangan kami. Gemerisik daun-daun yang tertiup angin menjadi musik pengantar kami berdiskusi. Hatiku tersenyum lagi.

    Tidak terasa, sebulan sudah kami berjuang bersama. Rangkaian kegiatan anak-anak dan remaja kampung pun segera usai. Kami fokus pada persiapan acara puncaknya saja.

    “Kawan-kawan, mari kita tingkatkan lagi semangat kita dalam menyongsong acara puncak ini. Boleh jadi, beberapa kegiatan kita kemarin yang kurang maksimal itu karena persiapan kita yang belum optimal. Oleh karena itu, sekali lagi, ayo kita belajar bersama dari pengalaman kita kemarin-kemarin. Jangan sampai kita mendapati hal yang serupa pada acara puncak kali ini. Mari kita berjuang lagi. SUMANGET!” ujar salah-satu teman menggebu-gebu menyemangati teman-teman lainnya.
***

    Alhamdulilah. Acara puncak usai. Gembira dan sedih menghampiri jiwaku. Gembira karena acara berjalan sesuai dengan yang kami harapkan. Terlebih, komunitas Bismillah bangun kembali dari mati surinya. Minggu depan, pengajian remaja itu akan dimulai lagi. Dan sedih karena, kurang dari dua belas jam, aku akan segera balik lagi ke Bandung untuk kuliah. Rencananya, besok pagi aku berangkatnya. Karenanya, aku tidak akan menyia-nyiakan momen-momen kebersamaan terakhir bersama teman semua, sebelum keberangkatan ke Bandung.

    Selepas evaluasi kegiatan, kami saling meminta maaf satu sama lain. Baik itu kesalahan yang tersadar ataupun yang tidak kami sadari. Pun dengan diriku. Aku meminta keridhoan teman-teman untuk memaafkan semua kesalahanku selama berjuang bersama-sama. Selain itu juga, aku memohon untuk didoakan agar esok hari, diberi keselamatan perjalanan sampai tujuan.

    “... Terakhir, saya mohon doanya dari teman-teman semua, karena besok pagi saya akan balik lagi ke Bandung karena hari Seninnya kuliah sudah masuk. Saya mohon doanya supaya selamat sampai tujuan dan disana saya bisa mendapatkan ilmu yang barokah yang mudah-mudahan, jika ada umur, bisa bermanfaat saat kepulangan saya kelak,” aku mengakhiri perkataanku. Aku pandangi semua wajah teman-teman dengan lekat. Tanpa terkecuali. Aku ingin menjadi saksi di akhirat kelak, bahwa wajah-wajah remaja luar biasa yang ada di hadapanku ini merupakan wajah-wajah yang dimiliki oleh orang-orang yang telah berjuang dalam membela agama Allah. Aku sisir banyak wajah itu satu demi satu. Saat pandanganku terarah pada dua sosok perempuan yang duduk berdekatan, aku dapati mereka menundukan wajahnya. Satu dari mereka mengangkat wajahnya lagi. Namun yang satunya masih tetap menundukan wajahnya. Dalam sekali.
***

    Aku rebahan di tempat tidur. Meregangkan tubuh mencoba melepas lelah. Aku menoleh pada sebuah meja yang diatasnya terdapat tas gendong dan sebuah dus berisikan beras, abon terasi favoritku dan beberapa macam kue. Tak terasa, besok pagi aku akan meninggalkan kampungku lagi.

    Rington hapeku berdering. Aku ambil hape di sampingku yang juga ikut istirahat di atas tempat tidur. Sebuah pesan masuk. Dari perempuan yang tadi menundukan wajahnya saat pandanganku terarah padanya ketika evaluasi tadi. Aku baca.

    :-(

    Hanya itu isi pesannya. Sebuah simbol yang melambangkan kesedihan. Aku bingung hendak menjawab apa. Akhirnya aku tidak membalas pesan itu. Aku meregangkan tubuh lagi.

    Rington hapeku berdering lagi. Kali ini lebih panjang. Sebuah panggilan masuk. Kuambil hape. Kulihat layarnya. Terpampang sebuah nama perempuan. Perempuan yang tadi kirim pesan. Sebut saja namanya Melati. Aku terpaku sejenak. Aku berfikir sangat dalam. Aku angkat atau tidak? Ibu jariku sudah menempel pada tombol berlambang telfon kecil warna hijau. Dan...

    TUUTT

    “Halo, Assalamualaikum,” sapaku. Tidak ada sahutan diseberang sana.

    “Halo, Assalamualaikum,” sapaku sekali lagi. Namun, tetap, masih saja belum ada sahutan. Tapi, panggilan itu belum terputus.

    “Halo, Assalamualaikum,” aku menyapa lagi. Belum juga ada sahutan. Tapi, samar-samar aku mendengar sebuah isakan kecil. Aduh! Segera aku memejamkan kedua mataku. Aku memejam dalam sekali. Aku diam!

    “Iya, Walaikumussalam,” akhirnya ada jawaban juga. Jawaban itu sangat pelan dan terbata. Aduh! Sekali lagi aku memejamkan mata dengan sangat dalam. Aku masih diam tak berdaya.

    “A...” ucap Melati pelan. Suaranya seperti menggoyang-goyangkan jiwaku. Laksana puting beliung yang menghancurkan sebuah perkampungan yang rumah-rumahnya terbuat dari papan dan atapnya dari seng. Jiwaku porak poranda.

    Aku diam dan memejam dengan sangat dalam! Aku hanya bisa mendengarkan ucapannya saja, tanpa bisa menanggapinya. Pikiranku kembali melayang pada saat aku dan teman-teman bahu-membahu melaksanakan kegiatan untuk anak-anak dan remaja kampungku.
***

    Aku baru selesai kumpulan panitia pelaksana kegiatan untuk anak-anak dan remaja. Kini aku sudah ada di rumah, di ruang tivi tepatnya. Aku hendak merefresh badan dan pikiran. Tubuhku serasa segar kembali. Namun, belum genap seratus persen pikiranku kembali pulih, hapeku berdering. Ada sebuah pesan masuk.

    Assalamualaikum, apa kabar A? Lagi ngapain?

    Aku jawab pesan itu. Aku pikir, intertaksi via hape ini hanya akan singkat saja. Tapi ternyata, dugaanku keliru. Tidak sedikit pertanyaan demi pertanyaan terlontar dari teman perempuan satu ini. Sebisa mungkin aku jawab semua pertanyaan yang ia layangkan. Saat kuperhatikan lebih jauh lagi, tampaknya ada sedikit keganjilan dari pertanyaan-pertanyaannya. Perlahan inti pembicaraan mengarah pada hal yang lebih pribadi. Wah, ada yang salah ini! Bagaimana ini! Aku bingung! Dan, teka-teki itu akhirnya terjawab sudah. Terjawab ketika temanku mengirim pesan seperti ini.

    Jika lebih dari hanya sekedar kagum saja gimana A?

    Aku terpaku memandangi layar hape. Jawaban apa kira-kira yang akan kuberikan. Aku masih diam. Aku belum bisa menjawab pertanyaan itu.

    Pesan baru masuk.

    Kalo misalkan kita pacaran gimana A? Aa mau gak?

    Jleb. Aku melotot memandangi dua pertanyaan singkat itu. Sesaat aku benar-benar tidak bisa berpikir apapun.

    Gimana A?

    Aku mencoba berpikir dengan kemampuan terbaikku. Otak aku putar-putar, kemudian kuremas-remas. Lalu kuambil endapan dari air hasil remasan otak itu. pada endapan itu, akhirnya aku temukan juga jawaban yang akan aku berikan.

    A boleh tanya dulu?
    ...


    Sangat boleh A...  :-)
    ...


    Kira-kira, yang mengatur jodoh itu siapa?
    ...


    Pasti Allah lah A...
    ...


    Ada gak manusia yang bisa mengetahui siapa jodoh yang diberikan oleh Allah untuknya?
    ...


    Gak ada A, kecuali orang itu sudah menikah, he...
    ...


    Kira-kira, kita rugi gak jika seseorang yang telah Allah takdirkan menjadi jodoh kita nanti, sekarang sedang berpacaran dengan orang lain?
    ...


    Rugi atuh A...
    ...


    Nah, Anggrek ingin tidak memberikan yang terbaik untuk jodoh Anggrek kelak?
    ...


    Pasti ingin atuh A...
    ...


    Anggrek tahu tidak kalo A dan Anggrek kelak berjodoh?
    ...


    Gak tahu A, hanya Allah yang tahu
    ...


    Nah, seandainya kita tidak berjodoh, kemudian kita sekarang pacaran, kira-kira kita telah memberikan yang terbaik tidak untuk orang yang nantinya akan benar-benar menjadi jodoh kita?
    ...


    Hehe... :-D
    ...


    Kok ketawa?
    ...


    Ia A, jawabannya tidak...
    ...


    Nah, lantas, kira-kira apa yang harus kita lakukan sekarang?
    ...


    Kita jangan pacaran
    ...


    Pinter. Seratus buat Anggrek! Untuk sekarang, lebih baik kita berbuat saja dulu yang terbaik, kita perbaiki saja dulu diri kita, cari sebanyak-banyaknya ilmu. Agar kelak kita bisa menjadi orang yang baik. Jika kita sudah menjadi orang baik, insyAlloh kita akan mendapatkan jodoh yang baik pula.
    ...


    Tapi Anggrek inginnya jodoh Anggrek itu Aa, hehe... :-D
    ...


    Serahkan saja semuanya pada Alloh...
    ...


    :-)

***

    Jika tolak ukurnya adalah nafsu, boleh jadi sekarang aku sedang pacaran dengan yang namanya Anggrek. Karena secara fisik, Anggrek terbilang sebagai orang yang cantik. Pasca diskusi itu, tidak jarang kami saling berbagi tentang pengetahuan seputar keislaman.

    Namun, cobaan tidak berhenti sampai disana saja. Beberapa hari setelah itu, takdir menuntun diriku pada peristiwa interaksi dengan lawan jenis lagi. Dengan Melati. Kali ini tidak hanya via pesan. Melainkan via panggilan, atau telfon.

    Kala pertanyaan itu menghampiri diriku. Ketika itu juga aku diam. Diam yang lebih dalam dari diamnya diriku saat mendapati pertanyaan yang sama dengan yang diutarakan Anggrek. Aku memeras otak lebih keras lagi, dan menyaring sari patinya lebih kuat lagi. Jawaban yang keluar dari sari pati itu hampir sama dengan yang dulu. Dengan sangat berat hati dan berat ucapan, aku utarakan semuanya. Semua yang telah kulihat dari sari pati hasil perasan otakku. Berat. Kurasakan sangat berat. Dicintai oleh perempuan cantik merupakan salah-satu cobaan yang paling berat. Sungguh!

    Lain padang lain ilalang. Lain orang, lain juga pemikirannya. Pun dengan Anggrek dan Melati. Kedua wanita cantik itu memiliki pemikiran yang berbeda. saat mereka diberikan jawaban yang sama, tanggapan yang mereka berikan tidaklah sama. Saat diingatkan bahwa jodoh itu ada ditangan Allah, Anggrek langsung bisa memahami itu. Ia tidak lagi menghiraukan tentang jodoh. Ia menyerahkan masalah yang satu ini benar-benar hanya kepada Allah. Bagaimana dengan Melati? Awalnya kupikir Melati akan menanggapi serupa dengan tanggapan Anggrek. Tapi sayangnnya tidak.

    “Ia A,” ujar Melati menanggapi upayaku untuk memahamkan ia tentang konsep jodoh. Mendengar jawaban itu, hatiku sedikit agak lega. Namun...

    “Tapi Mel akan tetap menunggu A,” lanjut Melati mengagetkanku.

    Bujubune. Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi jika tanggapannya sudah seperti itu. aku hanya bisa terbengong sambil menatap langit-langit kamarku. Pengertian apa lagi yang harus aku berikan padanya? Apa lagi? Sudahlah, aku pasrah. Semuanya aku serahkan pada Sang Maha Pengatur. Yang jelas, aku harus tetap berada pada rel yang benar.
***

    Sebulan sudah aku ada di Bandung lagi. Aku berendam lagi pada kolam perkuliahan. Bergelut dengan buku-buku dan tugas lagi. Namun, yang membedakan suasana perkuliahan pasca mudik dengan pra mudik adalah Melati. Kini ia seperti menjelma menjadi bayang-bayangku. Kemanapun aku melangkah, disana seperti ada dirinya. Terkadang ia telfon, atau hanya sekedar kirim pesan. Saat panggilan itu menyapa, sebisa mungkin aku arahkan perbincangan kami pada hal yang baik-baik saja. Jika Melati menghubungiku, semampuku aku menanggapinya, namun, jika aku sedang ada kegiatan lain, maka aku berikan penjelasan bahwa aku sedang tidak bisa menerima panggilannya. Ia bisa memahami itu.

    Menurut kabar yang bisa dipercaya, Melati sekarang berhijab. Ia sering ikut pengajian, baik itu dengan para remaja ataupun dengan para ibu. Jujur, aku gembira mendapati kabar ini. Namun, di sisi hati yang lain, aku merasakan ketidak tenangan disana. Benarkah interaksi ini. Benarkah interaksi diriku dengan Melati ini? Adakah ini hanya tipu daya setan yang sedang menyamarkan perangkapnya?

    Aku mulai bimbang. Langkah apa sekiranya yang akan aku tempuh untuk kedepannya. Apakah aku tetap dengan yang seperti ini, atau menghilangkan diri dari kehidupan Melati? Jika tetap seperti ini, aku khawatir, ditengah perjalanan nanti kami bisa tergoda oleh bisikan hitam yang selalu mengintip. Dan, jika aku menghilang, bagaimana dengan pertanyaan demi pertanyaan terkait pengetahuan islam yang selama ini sering Melati pertanyakan? Aku tidak mampu melihat jalan lagi. Kiri, kanan, depan serta belakang, semuanya kutemui jalan buntu. Saat aku minta saran teman-teman, tak ada yang mampu memberikan jawaban atas kebingunganku. Mereka ikut bimbang.

    Suatu malam, selepas mengerjakan sebuah tugas, aku mencoba untuk merefresh otak dengan cara menyendiri di teras depan kamar kosan. Pandangan kuarahkan pada langit Bandung yang tidak begitu cerah. Tak tampak bintang malam ini. Yang ada hanya samar-samar bulan yang diselimuti kabut tipis. Otakku yang tadi terasa panas, kini mendingin kembali. Suhu dingin malam ini terasa menyejukan hati. Aku menatap langit lagi.

    Lamunanku buyar saat rington hapeku berdering. Ada sebuah panggilan masuk. Panggilan dari Melati. Aku terima.

    “Halo, Assalamualaikum,” sapaku.

    Perbincangan kali ini dibuka Melati dengan cerita sepuluh kisah asmara terbaik islam yang ia peroleh dari internet. Agar aku masih bisa menikmati langit malam ini, maka aku minta Melati untuk menceritakannya padaku. Sembari mendengarkan cerita, aku nikmati kembali langit Bandung malam ini.

    Melati terus bercerita. Ia mengisahkan kisah cinta Rasulullah dengan Khadijah. Ia ceritakan pula kisah luar biasa Ali bin Abi Tholib dengan Fatimah. Juga menceritakan kisah menakjubkan lainnya. Aku mendengarkan itu semua.

    Aku merasakan otakku seperti sedang meronta-ronta. Ia seolah ingin keluar dari tempurung kepalaku. Pikiranku tiba-tiba seperti ada yang menuntun. Pikiranku dipapah menuju sebuah labirin yang sempit dan sangat gelap. Di ujung labirin itu terdapat seberkas cahaya serupa cahaya lilin kecil. Saat pikiranku tiba di ruang sempit yang hanya berpenerangkan cahaya kecil itu, kudapati sebuah kertas putih kecil yang terbang menghampiriku. Aku ambil kertas itu. Disana terdapat sebuah rangkaian huruf bertuliskan “Jalan keluar = Kisah Ali dan Fatimah”.   
***

    “Mel, kisah Ali dan Fatimah tadi luar biasa ya?” aku bertanya meminta penguatan.

    “Ia, sangat luar biasa malahan,” Melati menguatkan.

    “Kalo menurut Mel, kira-kira bagian mana yang luar biasanya?” aku bertanya lagi.

    “Yang bagian itu A, yang bagian saling memendam rasa. Diam-diam ternyata mereka saling mencintai satu sama lain. Padahal, sebelum mereka menikah kan beberapa orang luar biasa mencoba melamar Fatimah. Namun, akhirnya, yang ditakdirkan Allah untuk menjadi suami Fatimah adalah Ali. Seorang pemuda yang belum pernah mengungkapkan perasaannya pada Fatimah,” jelas Melati.

    “Kira-kira, menurut Mel, bahagiakah Ali dan Fatimah saat mereka menikah? Bahagiakah mereka menikah setelah sebelumnya mereka bersusah payah untuk menjaga kesucian diri dan jiwa mereka?”

    “Pasti bahagia atuh A. Bagaimana tidak bahagia jika mereka berjodoh dengan orang yang dicintainya. Selain itu juga, mereka menikah dengan sebelumnya telah menjaga kesucian jiwa dan diri mereka. Mereka benar-benar menjaga dirinya untuk orang yang benar-benar akan menjadi pendamping hidupnya.”

    “Mel ingin gak seperti itu?” aku bertanya pendek.

    “Siapa yang tidak ingin seperti itu A. Termasuk juga Mel.”

    Aku menghela nafas mencoba menguatkan diri. Aku memberi jeda pada perbincangan ini. Aku baca bismillah dalam hati. Yaa Allah, jika inilah jalannya, mohon mudahkanlah.

    “Mel...” ucapku pelan.

    “Iya, A.”

    “A boleh tanya?”

    “Mangga.”

    “Mel,” aku diam sejenak. “Apa pendapat Mel, tentang interaksi kita?” aku menambahkan.

    “Hah..., Iya, A...?” ujar Melati. Aku tahu, sebenarnya dia mendengar jelas pertanyaanku. Hanya saja ia dapat membaca akan dibawa kemana arah pembicaraan ini.

    “Gimana pendapat Mel tentang interaksi kita?”

    Melati diam.

    “Mel?”

    “Iya, A?”

    “Gimana menurut Mel?”

    “Mmm..., ya gak papa, menurut Mel gak ada yang salah dengan semua ini.” Jawab Melati sedikit terbata.

    “Menurut Mel berlebihan tidak?” aku kembali bertanya.

    “Mmm..., mmmm....” disini Melati mulai tidak bisa menjawab. Lebih tepatnya mungkin tidak ingin menjawab.

    “Mel..?”

    “Iya, A...”

    “Mel yakin tidak kalau nanti kita pasti berjodoh?”

    “Bel, belum pasti, A.”

    “Mel yakin tidak kalau kelak kita tidak berjodoh?” aku bertanya lagi.

    “Belum pasti juga, A.” Mulai ada perubahan nada suara Melati. Jujur, sesungguhnya hatiku pilu mendengarnya.

    “Mel, kita kan tidak tahu apakah kelak kita berjodoh atau tidak. Boleh jadi nanti kita berjodoh, boleh jadi juga tidak. Jika nanti kita tidak berjodoh, semoga kita bisa mendapatkan pendamping yang baik ya. Dan, jika kelak memang kita berjodoh, betapa bahagianya kita jika sebelum itu interaksi kita tidak berlebih. Artinya hanya boleh berinteraksi ketika memang yang perlu saja. Diluar semua itu, terlebih interaksi yang hanya sekedar tanya kabar atau yang remeh temeh lainnya lebih baik tidak kita lakukan.”

    Aku diam. Suasana terasa hening. Tidak ada suara yang kudengar selain suara angin berhembus dan suara sedikit isakan tertahan diseberang sana. Maafkan aku Melati. Pada awalnya mungkin terasa berat. Seiring berjalannya waktu, semua ini mungkin akan terkikis dengan perlahan. Percayalah.

    “Lantas apa yang harus kita lakukan sekarang, A?” suara Melati terbata.

    “Sedikit demi sedikit kita kurangi interaksi kita. Bila perlu kita tidak berinteraksi kecuali bila ada sesuatu yang memang itu sangat penting.”

    “Kalo menurut A itu yang terbaik, Mel akan coba A, walaupun menurut Mel semua itu berat terasa.”

    “Bukan menurut A, Mel, tapi menurut syariat,” aku mencoba meluruskan.

    “I..., iya, A,”

    Kami diam. Untuk beberapa saat kami benar-benar hanya diam.

    “A...” ujar Melati dengan suara berat.

    “Iya Mel...”

    “Mohon doain Mel ya. Doain Mel supaya kuat dalam menghadapi semua ini. Doain Mel juga supaya tetap istiqomah dalam kebaikan.

    “Pasti Mel, pasti A doain.”

    “Maafin juga jika selama ini Mel ada salah ke Aa ya,” Melati menghentikan ucapannya. Melati menarik dalam-dalam nafasnya. “Maafin Mel, A.”

    “Sama Mel, A juga mohon maaf atas semua kesalahan A, baik itu yang disengaja ataupun yang tidak. Kita sama-sama saling memaafkan aja Mel.”

    “Iya, A.”

    Kami diam lagi. Kali ini lebih lama diamnya. Aku menengadahkan wajahku ke atas, aku melihat langit. Tidak ada satupun bintang. Bulan terlihat lebih samar. Awan-awan tipis menyembunyikan bulan itu. semilir angin malam membelai tubuhku. Dingin sekali.

    “A...”

    “Iya, Mel...”

    “Sebelum telfon ini Mel tutup, Mel boleh minta sesuatu gak?”

    “Selama A bisa lakukan, A pasti akan lakukan.”

    “A... Mel boleh minta dinyanyi-in. Satu bait saja. Terserah A mau lagu apa saja.”

    What! Melati minta aku untuk bernyanyi! Yang benar saja.

    “Wah, A gak bisa nyanyi Mel.”

    “Gak papa A, satu bait saja. Mungkin ini adalah permintaan terakhir Mel sebelum kita tidak berinteraksi lagi.”

    Mendengar kata “Mungkin ini permintaan terakhir Mel sebelum kita tidak berinteraksi lagi” itu, membuat diriku tidak berdaya untuk tidak memenuhi permintaannya. Dengan suara pelan dan nada yang sumbang aku mencoba membuka suara. Saat itu hatiku tertuju pada sebuah lagu religi. Dengan menyebut nama Allah.

    ..........
    Serahkanlah hidup dan matimu
    Serahkan pada Allah semata
    Serahkan duka gembiramu
    Agar damai senantiasa hatimu
    ..........


    “Makasih, A.....
    Jangan pernah lupa untuk selalu doain Mel ya...”
    Melati diam. Aku diam. Semesta ikut diam.

    “Assalamualaikum, A,” tutup Melati. Entah kenapa, ucapan salam perpisahan itu terasa sesak didadaku. Benar-benar menyesakan jiwaku.

    “Walaikumussalam...”

    TUUUUTTT

    Aku bengong menatap hape yang kugenggam. Aku memejamkan mata sangat dalam. Saat kubuka mataku, tarasa seperti ada genangan air yang membasahi pelupuk mataku. Aku arahkan pandangan ke langit. Rembulan terlihat semakin tidak jelas saja. Awan semakin tambah banyak menggumpal. Wajah langit pucat pasi malam ini.   
***

Sabtu, 25 Agustus 2012

Angin Sepoi-sepoi



Salah satu yang membuatku selalu bersyukur adalah letak rumahku sekarang ini. Dulu, saat aku kecil, aku tidak menyadari anugerah ini. Saat itu aku sering mendebat bapak, mengapa beliau membuat rumahnya sangat dekat dengan kuburan. Aku sering merasa takut jika sendirian di rumah. Tapi sekarang, aku baru paham dengan maksud bapak mengambil keputusa itu. Keputusan yang dulu sering aku protes. Jawabannya adalah agar kami selalu mengingat kematian. Setiap kami keluar rumah, tepat di depan, hanya dipisahkan oleh sebuah jalan, disana terlihat banyak sekali miniatur gunung tangkuban perahu yang entah mengapa memiliki batu atau kayu nisan.

Selain itu, masih ada lagi yang membuatku gembira dengan posisi rumahku. Adalah angin sepoi-sepoi. Dari bibir pantai sampai ke rumahku, jaraknya adalah tiga ratus meteran. Seratus lima puluh meter pertama, topografinya relatif datar. Kemudian lima puluh meter berikutnya meninggi, dengan kemiringan lereng yang landai. Seratus meter sisanya datar lagi. Jadi, jika diamati dari bibir pantai, rumahku berada pada posisi perbukitan. Hal inilah yang menyebabkan angin sepoi-sepoi itu ada. 

Saat siang hari, karena pengaruh sinar matahari, suhu di daratan lebih panas dibanding dengan suhu lautan. Karena suhu daratan lebih panas, maka udara yang ada di daratan memuai, tekanan udaranya menjadi rendah. Sejumlah udara itu lalu melayang ke atas. Dan, karena tekanan udara di lautan lebih tinggi, serta mustahil di daratan tidak ada udara, maka udara yang tadinya ada di lautan, bergerak mengalir menuju daratan. Nah, udara yang bergerak inilah yang pada akhirnya dinamakan angin. Angin laut tepatnya.

Siang hari, dari semenjak pagi hingga menjelang petang. Angin laut itu tak henti-hentinya bertiup. Dua kelompok angin laut meluncur menuju daratan, yaitu kelompok angin bagian bawah dan bagian atas. Mereka berbarengan melajunya. Awalnya mereka masih berjalan pada treknya masing-masing, dengan kekuatan tiupan yang sama tentunya. Namun, saat kelompok angin bawah menjumpai perbukitan, mereka menanjak, mendaki perbukitan yang landai itu. Tak terasa, pada akhirnya kedua kelompok angin itu bertemu di perbukitan. Saat mereka bertemu, kekuatan tiupannya menjadi berlipat. Mereka melaju semakin kencang di perbukitan. Mereka menerpa pepohonan hijau. Angin itu menyelinap diantara rimbunan dedaunan. Daun-daun itu menari-nari lemah gemulai. Daun-daun itu bak saringan raksasa bagi angin kencang itu. Saat angin laut itu tiba di depan rumahku, kekuatannya sudah melemah. Angin itu telah menjadi lembut. Angin sepoi-sepoi.

Akibat sentuhan angin sepoi-sepoi inilah yang sering membuat teman-teman sekolahku dulu selalu ketiduran jika sebentar saja rebahan di rumahku. Rebahan di ruang tamu atau ruang paviliun tepatnya. Dalam keadaan pintu yang terbuka, hingga memudahkan sang angin menyelinap perlahan. 

“Rebahan di rumahmu membahayakan Ko. Bisa mengakibatkan saya menjadi malas. Malas bangun, malas pulang, pokoknya malas ngapa-ngapain. Bawaannya ingin tidur mulu. Anginnya gak nahan. Sepoi-sepoi,” ujar seorang teman yang paling sering main ke rumahku setiap sepulang sekolah. Dengan tujuan ikut tidur doang tentunya.

Jika sedang ada teman yang bertandang, kami rebahannya di paviliun. Kami rebahan bareng disana, karena ruangannya numayan luas. Cukup untuk menampung beberapa orang. Tapi, jika sedang sendirian, aku memilih rebahannya di ruang tamu. Aku buka pintu depan lebar-lebar, lalu rebahan pada sofa empuk warna hitam yang paling panjang. Posisi favoritku adalah seperti ini: aku tidur terlentang dengan kepala bersandar pada ujung sofa sebelah kiri. Karena ujung sofa itu empuk, maka aku tidak menggunakan bantal. Kaki sebelah kiri, aku biarkan memanjang hingga ujung sofa bagian kanan. Sementara kaki bagian kanannya, aku angkat dan simpan pada sandaran sofa. Dengan posisi itu aku dapat dengan jelas melihat paha dan betis kananku, karena aku selalu menggunakan celana pendek jika hendak tiduran. Jika posisinya sudah pewe seperti itu, maka hanya dalam hitungan beberapa detik saja, aku sudah berpindah dunia, menuju dunia mimpi. jika mimpi itu juga.
***

Saat ini aku sedang mudik. Mudik dalam rangka liburan idul fitri. Barusan aku bersilaturahim ke rumah paman dari pihak bapak. Aku biasa memanggilnya Mang Ipi. Beliau adalah salah satu pembina komunitas bismillah. Banyak yang kami bicarakan di rumahnya. Tentang degradasi moral yang terjadi pada remaja di hampir seluruh daerah dimanapun. Pun dengan di kampung kami.Juga tentang bagaimana solusi terbaik untuk diterapkan pada remaja kampung kami agar tidak terlalu jauh melanceng dan bisa kembali berjalan pada trek yang benar. Tentang program-program remaja kedepannya. Juga tidak lupa, aku ceritakan tentang misiku yang diam-diam sedang mengamati beberapa teman santri ataupun teman-teman organisasi serta teman-teman kampus yang sekiranya bisa menjadi partner tangguh dalam membina remaja kampungku nanti. Jika ada takdirnya, aku akan persunting wanita yang seperti itu. Kelak, isteriku akan membina anak-anak dan remaja wanita yang ada di kampungku. Dan, aku fokus pada para pemudanya. Semoga Allah menjaga niat ini.

Mang Ipi tersenyum simpul mendengar penuturanku. Ia angkat bicara,”Mangga lanjutkan saja apa yang Iko niatkan itu. Selama itu niatnya baik, Mamang pasti dukung. Pesan Mamang hanya satu, niatkan semuanya hanya karena Allah.”

 InsyAlloh Mang.”

Sepulang dari rumah mamang, aku sedikit merasa lelah. Ibarat hape, mungkin baterenya tinggal tiga puluh persen lagi. Untuk itu aku harus segera mencasnya lagi, yakni dengan tidur. 

Aku menuju ruang tamu, lalu kubuka pintunya. Angin sepoi langsung membelai diriku. Tanpa banyak pikir lagi, segera aku rebahan pada sofa empuk warna hitam. Tanpa kusadarai sebelumnya, posisi tidurku sama persis dengan posisi tidurku saat masa sekolah dulu. Dengan kaki kanan terangkat pada sandaran sofa. Aku perhatikan paha dan betisku yang terbuka. Aku santai-santai aja mendapati hal ini, karena sedang tidak ada siapa-siapa dirumah saat itu. 

 Jika diperhatikan lebih jauh lagi, ada perubahan yang kutemui dengan paha dan betisku. Dulu, betisku mulus. Tapi sekarang, paha dan betisku dipenuhi dengan bulu. Bulu-bulu halus itu ibarat padang ilalang liar. Tidak heran jika teman laki-lakiku melihat sering berkicau seperti ini. “Wah, bulu kaki kamu banyak amat!” sering aku mendapati teman-teman bertanya seperti itu. Jika sudah seperti itu, hanya satu tanggapan yang kuberikan. “Ini untuk isteri saya kelak.” Ya, hanya itu jawaban yang kuberikan. Setelah itu mereka terdiam. Mereka tidak bertanya lagi. Hanya kata “Oh” dan senyuman saja yang mereka suguhkan. 

Memang, paha dan betisku sekarang berbeda jauh dengan masa sekolah, terlebih lagi dengan ketika SD dulu. Saat SD betisku sangat mulus. Dan, jika direnungkan lagi, lebih jauh dari hanya sekedar betis dan bulu. Kudapati sang waktu terasa sangat cepat berlalu. Perasaan, baru kemarin pagi aku mengenakan seragam merah putih. Baru kemarin siang aku hujan-hujanan sambil main bola dengan keadaan tubuh telanjang bulat. Baru kemarin sore aku berkelahi dengan teman hanya karena main kelereng. Perasaan, baru tadi pagi aku diam-diam memecahkan celengan ibu karena ngambek tidak diberi uang untuk beli layangan. Baru tadi siang aku menitipkan sepucuk surat cinta kepada teman seorang siswi yang aku cintai. Baru tadi sore aku berangkat kuliah ke kota kembang. Tapi kini, lihatlah bagaimana diriku. Sekarang aku sudah berada pada titik ini. Aku sudah KOLOT
 
Jika ada umur, mungkin, beberapa detik kedepan, aku akan menjadi seorang suami, lalu menjadi seorang bapak, kemudian seorang kakek. Dan setelah itu mati. Hanya itu. 
Hidup itu memang singkat. Hidup itu memang sangat singkat. Hidup itu memang sangat singkat sekali. Kemarin lahir, sekarang hidup, lalu besok mati. Hanya itu saja. Dan yang menjadi tanda tanya besar adalah: seberapa seriuskah aku dalam menjalani waktu yang singkat ini hingga membuat hidupku tidak sia-sia dan menjadi bermakna??!! Dan satu lagi yang menjadi pertanyaan besar. Seberapa seriuskan para pembaca yang telah ditakdirkan Allah untuk membaca tulisan ini dalam menjalani waktu yang singkat ini hingga membuat hidup Anda tidak sia-sia dan menjadi bermakna!!?? 

Wahai diriku dan sahabat semua. Apakah kita telah leha-leha? Apakah setengah serius? Atau memang sudah serius???? Apapun itu, kita jualah yang akan memetik hasil dari usaha kita itu. Hasil akhir di dunia esok kelak, itu bergantung pada hari ini kita.
***