Senin, 22 Juli 2019

Memberi

Barusan saya foto kopi ijazah di koperasi pesantren. Untuk diberikan ke sekolah guna kepentingan akreditasi. Setelah ini, rencananya saya dan istri akan belanja ayam potong. Istri sedang ngidam opor ayam. Katanya ingin dia saja yang memasak sendiri.


"Kak Niko, ingin itu," my moon menunjuk sebuah tanaman kecil di samping kolam ikan milik pesantren. Daunnya warna hijau dan panjang.

"Apa itu?"

"Daun kunyit."

"Itu kunyit gitu? Bukan ah."

"Iya. Itu kunyit tahu."

"Bukan ah."

"Iya kunyit!"

"Buat apa?"

"Buat campuran masak opor."

Beberapa meter di depan, saya lihat pak Gigih, kepala bagian sumber daya alam, yang tidak lain adalah sang juragan kolam ikan, sedang berbincang dengan beberapa rekannya. Nah, kebetulan ada beliau. Saya akan tanya, apakah yang kata istri saya tanaman kunyit itu, pemiliknya adalah beliau.

"Pak Gigih!"

"Iya pak!"

"Ini punya siapa? Ini bukan kunyit kan?"

Pak Gigih menyobek daun sedikit. Kemudian mencium baunya. "Kayaknya bukan kunyit ini."

"Tuh kan," saya melirik Si Cinta.

"Ih. Itu kunyit tahu."

"Itu bukan katanya." Saya menunjuk pak Gigih.

"Eh, gak tahu juga ketang," ucap pak Gigih tak yakin.

"Saya boleh minta daunnya pak?"

"Boleh pak. Yang di sana saja tuh," pak Gigih menunjuk kolam ikan yang dekat rumah pak Kardi. "Di sana banyak. Ada sereh juga. Ada kencur. Ada cabe. Ada macam-macam di sana. Ambil aja di sana. Minta ke pak Kardi."

"Wah mantap. Siap. Nanti saya ke sana pak ya. Sekarang mau beli ayam dulu ke luar."

"Siap."

Motor matic hitam nyala. Jalan pelan meninggalkan halaman parkir koperasi pesantren.

***

Motor berhenti. Saya parkirkan di samping rumah pak Kardi. Suasana asri menyambut saya dan istri. Ada banyak kolam ikan. Berjajar panjang pohon cabe dan pohon rempah-rempah yang lainnya.

"Assalamualaikum."

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

"Walaikumussalam," ada jawaban dari dalam rumah. Rumah panggung kayu beraroma pedesaan. Ah indah sekali.

"Iya?" Ibu Kardi, istri pak Kardi keluar.

"Pak Kardi ada Bu?"

"Lagi keluar."

"Oh lagi ke luar ya. Tadinya saya mau minta kunyit Bu. Tadi sudah minta ke pak Gigih, katanya ambil saja di dekat rumah pak Kardi."

"Kunyit," ibu Kardi melihat-lihat deretan pohon rempah-rempah di halaman samping rumah. "Di sini gak ada kunyit Pak. Kalo kunyit adanya di kebun sana," ibu Kardi menunjuk hutan.

"Oh. Gak ada Bu ya?"

"Iya. Di sini gak ada. Adanya di kebun di balik hutan itu" ujar ibu Kardi. Kemudian beliau masuk. Tidak lama keluar lagi. Di tangannya sudah ada pisau. "Hayu kita ambil."

"Eh, gak usah Bu. Jauh. Nanti aja gakpapa." Saya khawatir merepotkan ibu Kardi.

"Gakpapa pak. Hayu ibu ambilkan."

Waddduh. Saya dan Si Cinta saling pandang. Gimana? Kurang lebih seperti itu arti pandangan kami.

Saya melihat Si Cinta lagi. Hayu ikut saja. Begitu arti pandangan yang ini kira-kira.

Kami berjalan mengekor ibu Kardi. Berjalan pelan melewati jalur setapak. Kiri dan kanan banyak semak belukar. Lebih dalam lagi ada pohon-pohon besar. Melewati aliran air jernih selebar satu meter.

Sekira tiga menit berjalan, kami tiba di sebuah kebun. Kurang lebih luasnya sama dengan luas lapangan basket. Ada beberapa guludan di beberapa sudut kebun. Setiap beberapa jalur guludan terdapat tanaman yang berbeda. Ada kacang tanah, kencur, jahe, cabe, kacang panjang, dan beberapa tanaman yang saya tidak tahu namanya.

"Hayu sini," ibu Kardi mengajak Si Cinta untuk mengambil kunyit. Ibu Kardi dan istri saya mengambil beberapa ruas kunyit.

Sepuluh menit kami di kebun. Ibu Kardi tidak hanya memberikan kunyit, tapi beliau juga memberikan tanaman jahe, kencur, juga cabe yang baru disemai. Sebab saat mengambil kunyit tadi, istri saya cerita bahwa dia ada poliybag di rumah. Setelah mendengar cerita itu, ibu Kardi memberikan tanaman rempah-rempah tadi.

"Terima kasih ibu. Mohon maaf kami merepotkan. Ini untuk ucapan terima kasih kami," ucap saya sambil memberikan rupiah yang tak seberapa.

"Eh, tidak apa-apa Pak. Ibu niatnya cuma memberi." Ucap ibu Kardi.

Kami saling kekeuh. Ibu Kardi tetap tidak menerima.

Kami kembali melangkah meninggalkan kebun. Sembari berbincang santai mengisi perjalanan.

***

Motor melaju ke rumah dinas. Hendak pulang setelah dari kebun dengan ibu Kardi.

"Mun, nanti jika ada rezeki, kita beli sesuatu untuk ibu Kardi ya."

"Iya," jawab Si Cinta. Kemudian memeluk saya dari belakang.

***

"Kak Niko cobain opornya," my moon menyodorkan sendok yang ada beberapa tetes kuah opor. Uapnya masih mengepul.

SRUUPPT

Saya mencicipi.

"Enak!"

Si Cinta balik ke depan kompor. Mengaduk aduk kuahnya lagi.

"Mun, nanti kalau sudah matang, kita kasih ibu Kardi ya."

"Iya. Nanti kita bawa puding juga," tambah Si Cinta.

***

Jam setengah enam sore. Motor melaju pelan. Saya pakai sarung, kaos, dan peci hitam. Si Cinta mengenakan gamis warna biru dongker.  Kami hendak ke rumah pak Kardi. Berniat berbagi opor pada ibu Kardi. Yang kami berikan tak seberapa memang, tapi kami ingin sekali membalas kebaikan ibu Kardi tadi siang. Semoga dengan saling memberi ini, silaturahmi kami, khususnya Si Cinta dengan ibu Kardi semakin erat lagi. Aamiin.

"Mun."

"Iya."

"Kebahagiaan itu akan kita rasakan bukan pada saat kita menerima. Kebahagiaan itu akan kita rasakan justru pada saat kita memberi."

Si Cinta diam saja. Kemudian ada pelukan hangat di belakang.

"Mun, nanti, jika Dede sudah lahiran insyaAllah, kita harus seperti ini mendidiknya ya. Kita memberikan nasihat pada saat kita sedang melakukan apa yang sedang kita nasihatkan."

Di belakang tidak ada jawaban lagi. Hanya pelukan lebih hangat yang saya rasakan.

***

"Assalamualaikum, ibunya ada Pak?"

"Walaikumussalam. Ibu masih di kebun," jawab pak Kardi.

Sambil menunggu ibu Kardi datang, saya dan istri berbincang ringan dengan pak Kardi. Tidak lama, ibu Kardi tiba.

"Ibu, ini ada opor buat ibu," my moon memberikan bungkusan di plastik hitam.

"Aduh, kok jadi ngerepotin gini. Makasih Bu ya," lirih ibu Kardi.

Kami mengobrol sejenak. Hingga menjelang waktu magrib.

Saya dan istri pamit pulang.

"Nanti kalau mau tanaman rempah lagi ke sini saja Bu ya," tawar ibu Kardi.

"Iya Bu. Kami pamit dulu ya. Assalamualaikum," ucap Si Cinta.

"Walaikumussalam," pak Kardi dan ibu Kardi menjawab salam bersamaan.
Motor melaju pelan. Meninggalkan rumah panggung kayu nan asri.

Setiba di rumah. Saat hendak membuka pintu. Di gagang pintu ada plastik putih besar menggantung. Isinya ada roti, selai coklat kacang, dan banyak coklat. Usut punya usut, ternyata itu bingkisan dari nenek yang tadi mampir ke rumah pada saat saya sedang ada di rumah pak Kardi. Selepas menjenguk Intan Ayu, sepupu saya yang juga bersekolah di SMA Nurul Fikri. Nenek mampir ke rumah dinas saya, tapi di rumah sedang kosong, akhirnya nenek hanya memberi kabar via chat what's app. Bahwa beliau menggantungkan bingkisan untuk Si Cinta.

"Waaaaaaah. Rotiiiiiii," Si Cinta sumringah. "Kebetulan banget sedang ingin makan roti. Coklat jugaaaaaa."

MasyaAllah. Sedekah, atau memberi, benar-benar akan langsung dapat balasan dari Tuhan. Wallahu 'alam.

***