Rabu, 23 November 2011

Garuda di Dadaku


Dulu, aku pernah mesantren. Al-Hidayah nama ponpesnya. Ponpes ini letaknya tidak jauh dari rumahku, hanya diselingi lima buah kampung saja. Ponpes ini dibangun di atas sebuah bukit, tepatnya di halaman belakang rumah kyainya. Di bawah bukit tempat berdirinya Al-Hidayah ini, terhampar luas persawahan hijau. Agak jauh ke sebelah barat, laut selat sunda terlihat jelas dan indah. Menakjubkan. Aku sering memandangi lembayung senja di teras depan kobong (kamar santri) sambil merenung di sore hari. Nyaman sekali. Ingin rasanya sekarang aku melakukan hal itu lagi. Ingin sekali.

Tidak banyak santri yang menuntut ilmu di ponpes ini. Jumlahnya dapat dihitung dengan jari. Namun, konon, para santri jebolan Al-Hidayah selalu jadi orang. Sejarah membuktikan. Sudah banyak santri asuhannya kyai Onan Zein, yaitu pimpinan ponpes ini, yang telah menjadi orang. Sejauh yang ku ketahui sekarang ini, ada yang menjadi ustad dan sudah mendirikan ponpes, ada yang menjadi anggota dewan, ada yang menjadi kepala desa, ada yang menjadi pengusaha, ada yang menjadi tokoh penting di masyarakat dan ada juga yang mengambil jalur keamanan daerah, tiada lain adalah jawara. Jawara Banten.

Banyak kenangan yang hingga kini masih melekat erat di kepalaku. Semua bayangan itu tidak pernah mampu membuat bibir ini menahan senyuman saat aku mengingatnya kembali. kenangan dan otakku sudah seperti pasangan pengantin baru. Inginnya selalu berdekatan. Mereka tidak ingin berpisah. Menempel terus. Satu diantaranya adalah cerita tentang bolos mengaji.

Di Al-Hidayah, jadwal mengaji dalam seharinya adalah tiga kali, yaitu: ba’da subuh sampai Mentari terbit, setelah ashar hingga menjelang waktu magrib dan sehabis isya sampai sekitar pukul sepuluh malam. Ada satu diantara waktu belajar itu yang sering aku tidak masuki, yaitu belajar sore. Mengapa demikian? Alasannya tidak lain dan tidak bukan adalah sepak bola.

Bermain sepak bola memang hobiku. Bahkan lebih dari sekedar itu. Aku merasa sepak bola sudah menyatu dengan jiwaku. Ia sudah menjelma menjadi belahan jiwaku. Jika tiba-tiba ada sebuah pesawat melintas di sekitar lapangan dimana ada diriku sedang bermain bola, dan secara mengejutkan pilot pesawat itu menebarkan gepokan uang yang trilyunan jumlahnya, aku tidak akan pernah tertarik untuk bergabung dengan para penonton yang sedang berlomba-lomba untuk mengambil uang yang berjatuhan itu. Dengan senang hati, aku akan tetap melanjutkan bermain bola.

Segala sesuatu itu pasti ada balasannya. Ada sebab, pasti ada akibat. Itu sebuah keniscayaan. Itu merupakan sunnatulloh, yang pasti adanya. Pun, dengan apa yang sering kulakukan ini, yakni bolos mengaji sore demi bermain sepak bola. Apa akibatnya? Apa yang kudapatkan dari prilaku itu? Adalah sindiran dari pak kyai saat pengajian malam atau paginya. Untungnya, tersangka dalam kasus ini tidak hanya diriku saja. Ada satu lagi santri yang dengan suka rela menguntit diriku dibelakang jika aku hendak bermain sepak bola. Seorang santri saraf itu berperawakan kurus dan memiliki tinggi hanya beberapa senti saja dibawahku. Namanya sangat bagus, yaitu Muhamad Firli Firdaus. Namun sayangnya, nama indah itu tidak sesuai dengan prilakunya selama ini. Satu dari kebiasaan jeleknya adalah ia sangat doyan telanjang bulat. Jika dia hendak mandi, mandi pagi ataupun sore, dengan tanpa ada sedikitpun rasa malu, ia keluar kobong dengan tidak sehelai benangpun yang menutupi tubuhnya. Ia berjalan tegap dan santai menuju kamar mandi. Hanya gayung kecil saja di genggaman tangan kanannya yang berisikan alat mandi miliknya. Ia melangkah tegap macam ultraman yang baru mengalahkan monster sebesar pohon jengkol yang sudah seratus tahun tidak ditebang-tebang. Pusaka miliknya bergoyang-goyang seiring dia melangkah, sudah serupa dodol garut yang sudah lembek karena kepanasan. Kami, para penonton pertunjukan spektakuler itu, hanya bisa menggelengkan kepala atas prilaku aneh santri tengik itu.

Pernah suatu ketika, santri tengik itu hendak mandi sore, hanya beberapa menit menjelang adzan magrib. Ia meluncur keluar kobong dengan tujuan kamar mandi. beberapa meter dari pintu kobong, tiba-tiba saja ia berdiri mematung. Ia tidak bergerak sedikitpun. Wajahnya mirip pemuda yang sinting karena tidak jadi menikah dengan sang wanita pujaannya. Tidak jauh di hadapannya, hanya sekitar tujuh meteran, berdiri sesosok pria tua bersorban dan berjenggot lebat. Ia adalah kyai kami. Dengan begonya santri tengik itu bersembunyi di balik tiang berukuran setengah besar badannya. Ia hanya menyembunyikan titit dan wajahnya saja dari pandangan pak kyai. Sebelah matanya dia sembunyikan, sebelah mata satunya dia gunakan untuk mengintip pak kyai. Pak kyai hanya diam memandangi santri tengik itu. Namun, diamnya itu mengandung sebuah arti. Tunggu tanggal mainnya!. Itulah arti dari diam beliau. Sejak saat itu, sang santri tengik tidak lagi berani telanjang bulat di muka umum (para santri). Santri tengik itu kini sudah waras. Semoga penyakit sintingnya itu tidak akan pernah kambuh lagi.

Balik lagi pada persoalan singgungan dari pak kyai untukku saat pengajian malam atau pagi tiba. Saat itu, kami, para santri, yang jumlahnya hanya lima orang saja, duduk menghadap pak kyai yang sedang membacakan dan menerangkan sebuah kitab kuning. Dihadapan kami terdapat sebuah meja kecil yang diatasnya kami mencoretkan tinta pada kitab yang dikaji. Masing-masing santri satu meja. Mejaku paling besar dan meja sang santri tengik paling mungil. Ia harus menundukkan badannya terlebih dahulu saat hendak mencoretkan tinta pada kitabnya. Meja mungil itu merupakan warisan dari santri yang sudah keluar. Tidak dinyana, betapa bahagianya santri tengik ketika ia mendapatkan warisan meja itu. Ia menciumi tangan sang juru selamat layaknya seorang tahanan yang menciumi tangan orang yang membebaskannya setelah berabad-abad lamanya mendiami rumah tahanan. Ia gembira sekali, seperti orang melarat yang tiba-tiba mejadi kaya raya.

Yang membuatku terheran-heran hingga sekarang adalah kemampuan pak kyai yang selalu mendapatkan bahan sindiran untuk para santrinya yang telah membuat suatu kesalahan. Menakjubkannya lagi, bahan sindirian itu selalu berhubungan dengan bab pelajaran yang sedang dibahas di pengajian saat itu juga. Bagi santri yang meras tersinggung, mereka hanya bisa diam menundukan wajahnya pada meja dihadapannya. Tapi tidak untukku dan santri tengik yang duduk tepat di samping kiriku ini. Barusan, kami disindir oleh pak kyai karena lagi-lagi, sore tadi kami tidak mengikuti pengajian. Saat menyadari pembicaraan pak kyai mengarah pada kesalahan kami tadi sore, santri lain mengarahkan padangannya pada kami, para tersangka. Ketika itu, aku menunduk sejenak, kemudian mengarahkan pandangan pada sesama terdakwa. Kami satu pemikiran. Saat aku menatap santri tengik itu, ia pun mengarahkan wajahnya padaku. Kami saling memberikan senyuman, lalu tertawa kecil yang ditahan-tahan. Kami menunduk lagi dan melanjutkan tawa yang tertahan. Dasar, para santri tengik, dimarahin malah tertawa. Kewalat tahu rasa kalian. Tapi mudah-mudahan tidak. Aamiin.

Untuk Abah Haji Onan (kyaiku yang SubhanAllah banyak ilmunya). Untuk yang kesekian kalinya, muridmu ini hendak memohon ma’af karena dulu sering membolos pada pengajian sore. InsyAllah, jika masih ada umur, lebaran nanti santrimu yang kurang ajar ini akan bersilaturahim lagi ke rumah Abah. InsyAllah. Sedikit gambaran saja untuk sidang pembaca, kyaiku itu memiliki rupa hampir sama dengan imam Khardawi yang terkenal itu. Jika tidak percaya, silahkan datang ke ponpes Al-Hidayah ke daerahku di Banten sana.
***

Selidik punya selidik, ternyata, membolos pengajian sore itu tidak berdampak buruk semua. Karena terlampau seringnya aku berlatih bola, kemampuan bermain bolaku semakin bertambah baik saja. Aku merasakan hal itu. Buahnya, keberanianku untuk mengikuti seleksi pada sebuah tim sepak bola dalam mengikuti berbagai kompetisi semakin baik saja. Kini aku tidak lagi merasa minder dengan kempuanku bermain sepak bola. Aku berani bersaing dengan para pendahuluku dalam dunia sepak bola.

Mendengar kabar ada seleksi tim sekolah untuk kompetisi antar SMA se-Banten, tidak banyak pikir lagi aku langsung mengikutinya. Alhamdulillah, aku diterima masuk skuad tim sekolah. Saat kompetisinya bergulir, sekolah kami menyabet medali perunggu. Lumayan. Saat ada seleksi tim kecamatan untuk pekan olahraga kabupaten (PORKAB), aku ambil bagian. Kerja kerasku membuahkan hasil lagi. Lagi-lagi, timku menyabet medali perunggu. Saat di semifinal, timku kalah dalam drama adu penalti melawan kecamatan yang kemudian menjadi juara pertama. Keberuntunganku dalam dunia sepak bola belum berhenti sampai disana. Aku bersama satu rekan setimku saat mengikuti PORKAB, terpilih untuk mengikuti seleksi masuk klub PERSERANG, salah-satu klub terbesar yang ada di Banten. Saat kabar yang membuat jantungku seakan melayang-layang diudara itu aku dengar, aku semakin giat saja dalam berlatih. Namun, disisi lain, semakin sering juga aku membolos pengajian sore. Alhasil, setelah beberapa bulan mengikuti alur seleksi yang ketat dan bersaing dengan para pemain sepak bola hebat lainnya, akhirnya aku dan rekanku terpilih menjadi skuad klub PERSERANG untuk mengikuti piala suratin atau kompetisi tingkat nasional dibawah usia delapan belas tahun. SubhanAllah, betapa bahagianya hatiku saat itu. Bahagia sekali.

Saat piala suratin bergulir, kami tinggal di sebuah hotel yang cukup nyaman untuk ditempati. Selain mendapatkan kebahagiaan karena menjadi bagian dalam sebuah kompetisi tingkat nasional, kami juga mendapatkan bayaran yang lumayan besar. Selian itu juga, setiap harinya kami mendapatkan makan gratis dengan menu yang super nikmat. Hidup kami ditanggung oleh klub. Enak sekali.
MasyaAllah, saat kompetisi bergulir, kutemui para pemain muda yang tidak jarang kujumpai di tv. Sungguh, aku sangat bangga bisa berkompetisi dengan para pemain muda Indonesia itu. Aku dan klubku masuk koran lokal. Meskipun timku terhenti langkahnya oleh PERSITA, namun aku tetap bangga karena telah ambil bagian dalam kompetisi ini. Akhirnya, klub yang mengalahkan timku menjadi juara pertamanya. PERSITA yang telah mengalahkan PERSERANG, menjadi jawara dan menggondol tropi suratin cup.

Tidak usah ditanya bagaimana tanggapan keluarga, teman, dan orang-orang yang mengenalku lainnya tentang prestasiku dalam sepak bola. Mereka semua membanggakanku. Aku gembira. Hanya saja, kegembiraanku belum sempurna, karena pak kyai terlihat datar saja atas prestasiku ini. Ada dua kemungkinan mengapa pak kyai seperti itu. Pertama karena kesalahanku yang menurut beliau aku lebih mementingkan sepak bola ketimbang mengaji sore. Dan kedua adalah karena beliau tidak hobi serta tidak suka bermain dan menonton sepak bola. Memang, pernah sekali saja beliau bertanya tentang hal itu. Namun, nampaknya beliau hanya sekedar ingin tahu saja. Hanya sebatas itu.

Aku berani memastikan, semua anak laki-laki yang bercita-cita menjadi pemain sepak bola profesional, mereka mendambakan untuk mengikuti kompetisi piala suratin. Mengapa demikian? Karena suratin cup ini ibarat jembatan penghubung antara pemain muda dengan dunia sepak bola profesional. Biasanya, ketika kompetisi ini bergulir, ada banyak para pemandu bakat yang memata-matai bibit pemain muda. Tidak sedikit dari para tunas muda itu, resmi dikontrak oleh klub saat kompetisi itu selesai. Mereka mendapatkan gaji yang cukup besar. Minimal, kalaupun ada para pemian yang kurang beruntung, biasanya mereka mendapatkan kesempatan untuk magang di sebuah klub profesional. Meskipun mereka tidak mendapatkan gaji. Hanya uang transport saja yang diberikan klub. Setidaknya mereka mendapatkan ilmu bermain sepak bola dari klub itu dan kemungkinan untuk masuk klub pada tahun depannya akan semakin besar, karena permainan mereka akan bertambah baik serta menejemen klub sudah mengenal mereka.

Pasca kompetisi piala suratin, aku mulai bimbang. Aku galau. Jalan mana kira-kira yang akan kutempuh untuk menuju masa depanku. Pepatah yang mengatakan jika hidup itu adalah sebuah pilihan, terasa kebenarannya olehku saat itu. Kerasa sekali. Hingga tiba pada satu titik dalam hidupku untuk menentukan trek mana yang akan ku pilih. Akhirnya, dengan berat hati, aku harus rela meninggalkan dunia persepak bolaan. Hati menuntunku untuk memilih jalan yang satunya. Jalan yang cukup hanya Allah dan diriku saja yang tahu. Berat terasa. Jika saja aku tidak ingat kalau diriku adalah seorang laki-laki, ingin rasanya aku lelehkan air mataku satu atau dua tetes saja. ingin rasanya. Namun aku tak bisa.

Tidak sedikit teman seperjuanganku di dunia sepak bola, menyayangkan keputusan yang aku ambil. Tidak hanya mereka, petinggi klub juga demikian. Mereka membujukku agar tetap menggeluti bidang sepak bola. Tapi, meskipun memang terasa berat, namun, keputusanku ini sudah bulat. Aku adalah seorang laki-laki. Aku harus berani mengambil keputusan dan siap untuk menanggung semua kemungkinan resiko yang datang. Pro dan kontra dalam hidup itu sudah biasa. Itu merupakan bumbu dalam kehidupan ini. Aku harus genggam erat pilihanku.
***

Sekarang, statusku adalah seorang mahasiswa yang merangkap sebagai santri. Jika digabungkan, menjadi santri mahasiswa. Ya, itulah diriku saat ini. Sebagai seorang santri dan juga mahasiswa, tugas dan kegiatan menumpuk itu sudah menjadi makanan sehari-hari. Tidak jarang satu atau dua kegiatan berjalan pada waktu yang sama. Jika saja tidak pandai-pandai dalam mengatur waktu, habis sudah.

Pagi hingga siang, atau terkadang sampai sore, aku kuliah. Malamnya mengikuti materi di PPM. Semua rutinitas itu terasa membosankan. Tapi, memang seperti itulah hidup. Terasa pahit memang, tapi pahitnya itu pahit obat, yang nantinya akan menyembuhkan. Aku meyakini, pahit dan sakit dalam perjuangan itu sifatnya hanya sementara. Bisa jadi, pahit dan sakit yang dirasakan itu hanya dalam waktu semenit, sejam, sehari, seminggu, sebulan atau setahun saja. Namun, jika kita menyerah kepada rasa pahit dan sakit itu, maka pahit dan sakit yang sebenarnya akan kita rasakan pada esok hari. Rasa pahit itu akan terasa selamanya dalam sisa hidup kita. Mengerikan sekali.

Untuk mensiasati rasa bosan ini, aku sering menulis. Menulis apapun itu. Saat hati ini sedang sedih ataupun senang, maka aku segera menulis. Karena dengan menulis, aku seperti memiliki sesuatu tak nampak dalam jiwa ini yang mampu menetralisir emosi yang kurasakan. Saat sedih, jiwaku terangkat agar tidak larut dalam kesedihan itu. Ketika gembira, jiwaku teredam supaya tidak berlebihan dalam menyikapi kegembiraan itu. Seperti itulah peran menulis dalam hidupku.

Tapi terkadang, ada hiburan lain yang selalu membuat otak mumetku fresh lagi. Hiburan ini munculnya secara periodik. Bergantung pada even yang sedang dilaksanakan. Tapi, setidaknya setiap tahun pasti adanya. Apa itu? Adalah kompetisi sepak bola yang diikuti Indonesia, seperti: piala AFF, sea games, asian games, pra piala dunia serta kompetisi yang lainnya. Dan satu lagi, saat PERSIB bermain.

Beberapa hari terakhir ini, Indonesia digemparkan oleh ajang sea games pada cabang sepak bola. Bagaimana tidak? Persepak bolaan Indonesia kini mulai merangkak lagi. Permainan para garuda muda nampak memukau untuk ditonton. Ditambah lagi, langkah pasukan garuda muda kini telah menapaki babak semi final. Seluruh penduduk Indonesia menyambut gembira prestasi ini. Tapi tidak bagi sekelompok laki-laki kere yang menghuni asrama Darussalam. Terlebih-lebih bagiku. Mengapa? Karena jadwal pertandingan semi final itu bentrok dengan jadwal muhadoroh untuk santri ikhwan. Bimbang menyapa kami. Galau memeluk diriku. Mana yang akan kami pilih? Mengikuti kewajiban sebagai santrikah? Atau mendukung para garuda muda? Bingung! Namun, kebimbangan itu menguap saat muncul ide brilian dari tempurung kepala salah satu santri ikhwan.

“ Gimana kalau muhadorohnya kita minta dipindah ke malam Senin? Malam itu kan kita gak ada jadwal!” celetuk salah-satu santri. Ide itu layaknya angin segar bagi kami. Segera, kami menyusun strategi paling jitu agar kang Halim, selaku mudabir kami, menyetujui permohonan kami. Sialnya, para santri mendaulat diriku sebagai juru bicaranya. Aku dipaksa mereka untuk berbicara empat mata dengan kang Halim. Aku dimintai untuk mengeluarkan segenap kemampuanku untuk melobi kang Halim. Memang benar-benar sialan mereka semua. Jika saja aku tidak menyukai sepak bola, akan aku jitak kepala mereka satu persatu. Aku tidak akan berhenti menjitak hingga benjolan di kepala mereka sampai sebesar biji duren.

Prosesi perayuan dimulai. Selepas materi malam, aku menghampiri kang Halim. aku duduk sila di hadapan kang Halim. Dengan dada berdebar, aku sampaikan maksudku padanya. Kang Halim mengernyitkan dahi selepas mendengar pembicaraanku. Masya Allah, mendapati wajah itu, nampaknya upaya kami akan gagal. Satu detik berselang, wajah kang Halim berubah tersenyum.

“ Jika kesepakatan semua santri seperti itu, silahkan saja. Tapi awas, konsekuensinya adalah: Antum semua harus hadir ketika muhadoroh malam Senin!” ujar kang Halim. mendengar ujaran itu, aku gembira. Acara nonton bareng di kontrakan alumni santri PPM yang tidak jauh dari asrama akan benar-benar terlaksana.

“ Kalau sampai ada satu saja santri yang tidak hadir, maka yang bertanggung jawab untuk semua ini adalah Antum selaku Ro’isnya!” tutup kang Halim. Bujubune, aku menjadi tumbal untuk semua ini. Secara otomatis pikiranku tertuju pada semua santri ikhwan. Aku bisa melihat jelas wajah mereka satu persatu. aku juga bisa melihat jelas tempurung kepala mereka yang bentuknya mirip buah melon yang gagal panen. Awas saja kalau sampai mereka tidak hadir pada jadwal muhadoroh yang dipindah. Akan aku jitak melon gagal panen itu hingga benjolannya sebesar bola bilyard. Yakin.
***


Semi final usai. Garuda muda mencengkeram pasukan Vietnam. Keperkasaan pasukan Vietnam yang mewarisi semangat para pahlawannya saat memukul mundur pasukan Amerika, sirna sudah. Jiwa semangat itu hancur lebur dicabik-cabik oleh kuku-kuku tajam para garuda muda. Permainan garuda muda sangat memukau. Hebat sekali. Aku bangga pada kalian wahai pasukan garuda muda. Kami bangga pada kalian. Sungguh.

Saat melihat beberapa anak muda kebanggaan Indonesia itu sedang bermain, pikiranku kembali melayang pada zaman ketika aku masih menggeluti dunia sepak bola. Aku ingat betapa nikmatnya bermain diatas rumput hijau nan mulus. Aku ingat gemuruh penonton di tribun. Aku ingat teriakan sang pelatih yang mencoba memberikan intruksi. Aku ingat semuanya. aku ingat semua itu. Wahai kawan semuanya! Tahukah kalian! Beberapa dari pasukan garuda muda yang sedang bahu membahu berusaha membawa kejayaan kembali persepak bolaan Indonesia itu adalah lawan mainku saat mengikuti ajang piala suratin! Satu diantaranya adalah sang kapten kesebelasan. Siapa lagi kalau bukan Egi Melgiansyah!

Saat itu, takdir mempertemukan timku, yaitu Perserang, dengan timnya Egi, yakni Persita. Kami saling mengerahkan kemampuan demi kemenangan tim kami masing-masing. Hasilnya, Perserang kalah. Permainan Persita memang hebat. Langkah Perserang kandas di kaki pasukan Persita. Pada akhir kompetisi, bersama Persita, Egi dan kawan-kawannya menggondol tropi suratin cup itu.

Jika saja dulu aku mengambil jalan sepak bola, tidak menutup kemungkinan, sekarang aku sedang berada di tengah-tengah pasukan garuda muda itu. Aku menjadi bagian dari mereka. Aku mengenakan kaos kebanggaan merah-putih. Lambang burung garuda menempel di bagian dada. Berama Egi cs, aku berjuang memajukan persepak bolaan bangsa. Tapi, hatiku menuntunku memilih jalan lain. Jalan yang sekarang aku syukuri ini.

Wahai garuda muda, kami bangga pada kalian. Terus berjuang untuk kejayaan sepak bola Indonesia kedepannya. Wahai pasukan garuda muda. Meskipun jalan kita kini berbeda, tapi tujuan kita tetap sama, yaitu mengharumkan nama bangsa kita. Engkau berjuang dengan sepak bola, sementara aku dan para pejuang muda lainnya berjuang dengan keahlian kami masing-masing. Bismillah.
***

Pasukan garuda muda menuju partai puncak. Kami pasukan Darussalam muda mempersiapkan tempat sebaik dan senyaman mungkin untuk acara menonton final bareng. Lokasi yang dipilih adalah tempat seperti biasa, yaitu kontrakannya alumni santri PPM. Saat semuanya beres dan sesuai dengan harapan, kami baru menyadari, jika pertandingan final itu waktunya berbarengan dengan materi hadits yang diajarkan langsung oleh sang penanggung jawab PPM, yakni ustad Mardais Al-Hilali. Sadar akan hal itu, kami, para santri PPM aktif berembuk kembali. Mencari cara bagaimana agar kami tetap bisa menonton partai final itu. Akhirnya, melalui musyawarah santri ikhwan, keputusan yang diambil adalah mencoba memohon kepada ustad Mardais untuk mengundurkan atau mempercepat jadwal materinya. Lagi-lagi, para pemuda sinting itu mendaulat diriku yang harus menghubungi ustad Mardais. Aku yang harus melobi ustad. Dasar para santri tengik. Untuk urusan seperti ini saja, aku yang jadi sasaran. Lain lagi kalau urusannya menyoal makanan. Semuanya pasti mengajukan diri untuk menjadi yang terdepan. Yakin.

Jumat, 18 November 2011

Semangkuk Baso Panas


Sore ini bumi sedang basah. Baru saja hujan lebat reda. Tidak biasanya, hujan tadi sangat menyeramkan. Gemuruh petir menggelegar berulang kali. Layaknya bunyi klakson mobil yang saling bersahutan kala lampu merah berganti dengan hijau, namun mobil paling depan tidak juga maju karena pengendaranya tidak sadar kalau lampu sudah berganti warna. Angin bertiup sangat kencang, sampai-sampai gorden warna cokelat yang menutupi jendela ghurfahku berkibar-kibar macam sangsaka merah putih saat upacara peringatan kemerdekaan di kecamatan-kecamatan pada tujuh belas Agustus. Keadaan luar menulari suhu dinginnya pada suasana kamar. Ghurfahku kini menjadi dingin. Air raksa warna biru yang ada di dalam termometer putih drastis menurun.

Saking kerasnya petir menyambar, Mamat terbangun dari tidurnya. Ia membuka mata, lalu berkedip berulang kali. Nampaknya ia sedang berpikir, apa yang sedang terjadi sekarang ini? Kenapa ada suara keras berulang-ulang? Apakah Amerika sedang menyerang Indonesia? Atau Gunung Api Tangkuban Perahu sedang erupsi? Mamat masih tampak kebingungan. Sepertinya, nyawanya belum sepenuhnya kumpul semua. Dengan balutan selimut tebal kusam miliknya itu, ia serupa karung goni yang berisi jengkol seberat satu ton. Jika bukan karena kedipan matanya, semua orang yang melihat tidak akan tahu jika seonggok benda aneh itu adalah makhluk hidup. Petir kembali menggelegar. Mamat semakin cepat mengedipkan mata.

Beneran, ini tidak bohong. Selama lebih dari dua tahun tinggal di kota kembang, baru kali ini aku menjumpai hujan selebat dan seseram ini. Salah-satu temanku mengabariku lewat SMS. Katanya, di kos-kosannya, dia mendapati hujannya bercampur dengan butiran-butiran es kecil. Aku penasaran dengan berita itu, karenanya aku mengintip ke luar lewat jendela. Benar! Sesekali kujumpai butiran kecil es berjatuhan dari langit! Ini adalah untuk yang kedua kalinya aku melihat langsung dengan mataku sendiri hujan es. Menakjubkan!

Suhu semakin dingin saja. Langsung kukenakan jaket hitam tebalku. Aku duduk dipojokan kamar sembari menikmati suasana sore ini. Perlahan gemuruh hujan melemah. Sepertinya sebentar lagi hujan akan reda. Benar saja. tidak berselang lama, hujan lebat mereda. Hanya buih-buihnya saja yang masih melayang dan menari-nari di udara. Namun, suhu dingin masih enggan untuk pergi. Ia masih menetap disini, di ghurfahku.

Saat-saat dingin seperti ini, tiada kegiatan lain yang lebih nikmat selain makan yang hangat-hangat. Pikiranku melayang pada baso yang ada di pasar gerlong. Ingin rasanya aku segera menghangatkan tubuhku dengan baso itu. Betapa nikmatnya seandainya saja ada semangkuk baso panas dihadapan. Kuahnya masih panas, terlihat dari uap yang mengepul-ngepul diatas mangkuk. Saat dihirup uap yang mengepul itu, wanginya sangat pekat sekali. Air liur membanjir di mulut karena tidak tahan ingin segera menyantapnya. Dimasukan saos sambal sekitar lima sendok makan. Lalu dicampurkan pula setengan sendok makan air cuku. Kemudian sedikit kecap, dan disempurnakan dengan dua sendok kecil cabai ulek. Setelah diaduk, kuah basonya berubah menjadi warna merah kecoklatan. Air kuahnya semakin kental. Beberapa butiran baso kecil, satu buah baso besar, toge, sledri, sesin, dan bihun bercampur menjadi satu. Segera diciduk sedikit kuahnya. Setelah dicicipi, lidah ini langsung bergetar macam seorang bujang yang sedang melihat wanita cantik berjalan dihadapannya. Aroma hangat kuah itu menjalar keseluruh tubuh. Hangat sekali.

Baso yang paling besar di potong empat dengan menggunakan sendol dan garpu. Pada perut baso besar itu, terdapat daging cincang yang warnanya sudah menjadi cokelat. Salah-satu potongan baso besar itu diciduk lagi bersama toge yang layu karena kuah panas. Potongan baso dan toge itu bercampur dengan sedikit kuah. Saat cidukan itu masuk mulut. MasyAllah, nikmat sekali. Panas dan pedas bergumul menjadi satu. Semuanya disempurnakan oleh hembusan angin dingin sore hari. Luar biasa nikmatnya.

Aku tidak ingin kenikmatan yang luar biasa ini hanya kurasakan dalam hayalan saja. aku akan sesegera mungkin mewujudkan lamunan itu menjadi nyata. InsyAllah, sebentar lagi aku akan meluncur menuju pasar gerlong. Duhai mas baso pasar gerlong, tunggulah aku. Aku akan segera tiba.
***

Aku berjalan sendiri di jalanan geger kalong menuju pasar. Buih-buih air masih enggan untuk menghentikan tariannya. Buih-buih itu terombang ambing oleh angin lembut yang bertiup. Angin lembut itu menyapa wajahku yang tidak ditutupi. Buih air itu menempel pada mukaku. Aku usap buih itu. Segar dan dingin berbaur menjadi satu.

Beberapa motor berjalan pelan di jalanan. Pengendaranya mengenakan jas hujan, ada juga yang menggunakan jaket hujan. Sesekali, ada satu atau dua pengendara yang melajukan motornya dengan kencang. Jika diperhatikan, pengendara kencang itu tubuhnya tidak sedang terlindungi jaket atau jas hujan. Baju mereka basah kuyup. Aku bisa merasakan betapa dingin yang mereka rasa.

Aku tiba di pasar gerlong. Pada tempat parkir kendaraan, di salah-satu sudutnya, terdapat warung tenda yang beratapkan terpal biru. Kudapati ada beberapa pembeli disana. Empat orang laki-laki dan seorang perempuan. Kalau boleh menebak, jika dilihat dari penampilannya, sepertinya mereka semua adalah mahasiswa.

Tiga dari empat laki-laki itu duduk pada bangku panjang menghadap meja. Mereka sedang menambahkan saus dan kecap pada kuah basonya. Laki-laki tersisa masih mengobrol dengan mas baso. Sepertinya dia sedang mengeluarkan rayuan maut agar mas baso memberikan sedikit tambahan baso pada mangkuknya. Seorang perempuan duduk pada bangku panjang lain yang masih kosong. Sementara aku duduk di bangku panjang yang berhadapan dengan para pemuda yang sedang menikmati basonya. Bangku kami hanya dipisahkan oleh meja yang diatasnya terdapat beberapa botol saus.

Tiga pemuda di hadapanku saling berbisik. Sayup-sayup kudengar bisikan mereka. Jangan dianggurin tuh. Bisik salah-satu dari ketiga pemuda itu. Beberapa detik berselang, mereka bertanya sesuatu pada perempuan berbaju pink yang sedang menunggu giliran memesan. Perempuan itu menjawab. Seiring berjalannya waktu, semakin banyak pertanyaan yang dilayangkan para pemuda itu padanya. Tidak hanya itu, rayuan-rayuan keluar dari mulut pemuda itu. Tidak heran kenapa mereka mengeluarkan jurus maut, karena perempuan berbaju pink itu memang cantik, imut lebih tepatnya. Tapi sayangnya, karena terlampau berlebihan, tampaknya perempuan imut itu merasa terganggu dengan godaan-godaan para lelaki hidung belang itu. Jangankan dia yang tergolong sebagai manusia perasa, dirikupun, yang ditakdirkan Allah sebagai seorang lelaki, merasa illfeel mendengar rayuan gombal mereka. Enek aku mengupingnya. Kalau saja hidup ini merupakan permainan video game, dan aku adalah yang memainkannya. Akan aku gerakan tangan mas baso untuk memukulkan periuk basonya pada tempurung kepala pemuda hidung belang itu. Biar tahu rasa mereka. Namun sayangnya, aku tidak bisa melakukan itu.

Tiba saatnya giliran perempuan berbaju pink memesan. Dia memesan baso dengan komposisi yang ia inginkan. Perempuan imut itu masih berdiri di samping kiri mas baso. Sepertinya dia mencoba untuk menghindar dari godaan para hidung belang yang mengganggunya. Mas baso membuat baso pesanan perempuan yang bediri disamping kirinya.

“ Campur Mas?” tanya mas baso padaku. Ia memutar kepalanya padaku. Mendengar pertanyaan itu, terbersit sebuah pemikiran dalam kepala. Rasa-rasanya, inilah saat yang tepat. Ia, benar, inilah waktu yang tepat untuk melakukan itu. Yaitu memberikan pelajaran berharga pada para lelaki hidung belang yang sedang rakus menyantap baso mereka.

Untuk sesaat aku terdiam di atas bangku panjang. Aku pura-pura berpikir menentukan komposisi baso yang hendak kupesan. Sesaat kemudian aku beranjak menuju mas baso. Aku berdiri disamping kanannya. Aku berdiri mematung sambil pura-pura mengamati tumpukan baso, mie kuning, bihun, dan beberapa sayuran di gerobak baso. Alarm dikepalaku berbunyi. Sekaranglah waktunya!

“ Campur Mas?” tanya mas baso sekali lagi.

“ Emmmm, komposisinya samain dengan Teteh yang ini aja, Mas,” ujarku pada mas baso. Ia melayani permintaanku. Sepintas, kudapati seorang perempuan berbaju pink yang berdiri di samping kiri mas baso melebarkan bibirnya. Perempuan imut itu tersenyum. Nampaknya ia memalingkan wajahnya padaku. Ia menatap diriku. Namun aku pura-pura tidak melihatnya.

Tiba-tiba saja, sesuai dengan harapanku, para pemuda gombal itu berhenti berceloteh. Mereka serupa burung pipit yang tidak sengaja menelan biji mangga. Mereka terdiam sejuta bahasa. Mereka membisu. Alhamdulillah, caraku berhasil. Aku senang.

Aku kembali duduk pada bangku panjang yang tadi kududuki. Namun kini, aku mengambil posisi agak mendekat pada para lelaki yang membisu dihadapanku. Aku santap baso bagianku dengan santai. Sambil melahap baso, dalam hati aku berbicara. Cara yang kalian tempuh tadi itu sudah kuno kawan. Sekarang sudah tidak berlaku lagi. Wanita itu lembut hatinya. Gunakanlah cara-cara yang lembut pula. Aku menyiduk lagi kuah basoku yang kental. Aku lahap lagi. Nikmat sekali.

Perempuan berbaju pink berjalan menuju bangku panjang sambil membawa semangkuk baso. Ia duduk pada bangku yang tadi ia duduki. Sepintas kudapati wajah perempuan itu berubah warna. Warna mukanya kini menjadi pink, persis dengan warna baju yang ia kenakan. Pink merona.

Untuk kalian para lelaki yang hanya bisa menunduk memandangi mangkuk baso yang kalian santap, gunakanlah cara-cara yang baik jika hendak menarik perhatian seoang wanita. Wanita itu lembut hatinya. Belailah hati mereka dengan cara yang lembut pula. Tapi, jika diriku boleh memberikan saran. Sebelum itu, lihat dulu kedalam diri kalian. Liat dulu niat kalian. Jika niatnya memang baik, maka berikanlah kelembutan itu. Tapi jika niat kalian salah, jangan sekali-kali untuk mengamalkan hal ini.

Dan untuk engkau wahai perempuan imut berbaju pink. Semoga Allah tidak mempertemukan kita kembali. Demi kebaikan kita bersama.
***

Sabtu, 12 November 2011

The Miracle of Silaturahim


Uang saku di dompet lusuh hitamku tinggal tiga lembar uang seribuan. Itupun lusuh sekali, sudah seperti para lansia yang dititipkan di panti jompo oleh anak-anaknya yang tidak tahu balas budi. Kasihan sekali. Padahal dulu, ketika mereka masih ingusan dan sering merengek minta ditetein, orang tua mereka itu dengan sangat penuh kasih sayang melayani mereka. Tapi kini, apa balasan dari semua itu????

Tanpa ambil tempo, karena perut saya sudah tidak bisa dikompromi lagi, segera aku meminjam sepedah Mamat. Aku mengayuh sepedah menuju seberang jalan mesjid DT. Disana terdapat lima buah ATM, yang empat mesin bersatu dalam satu ruangan, dan yang satunya terpisah sendirian. Jika diumpamakan seorang manusia, sepertinya dia sedang kesepian. Dia merana, macam bujang lapuk yang belum kunjung juga menyempurnakan separuh agamanya.

Saat tiba di tempat tujuan, ada beberapa orang yang sedang mengantri. Sepedah Mamat kuparkir di dekat gerobak batagor yang biasa mangkal di depan SMM (super mini market) DT.

“ Tunggu disini ya, Sayang, jangan lari kemana-mana. InsyAlloh sebentar lagi saya balik kok,” gumamku dalam hati, sambil mengelus lembut sepedah warna silver kepunyaannya Mamat.

“ Ia, Aa…,” secara mengejutkan ada jawaban. Suaranya persis dengan suara seorang wanita berusia belia. Aku sedikit terperangah. Aku heran menatap sepedah warna silver itu. Jampi-jampi macam apa yang diberikan Mamat pada sepedah ajaib itu, hingga dia bisa membaca apa yang aku pikirkan? Aku celingukan memperhatikan sekitar. Tidak jauh dari tempat sepedah berdiri, ada seorang siswi SMA yang sedang mengobrol via hp. Jika dilihat dari posturnya, nampaknya dia siswi kelas dua belas.

“ Ia, Aa. Adek segera pulang nih…” ucap siswi berambut lurus dengan panjang sebahu itu. Mendengar ucapan itu, nafasku tenang kembali. Ternyata suara aneh tadi miliknya siswi itu tho. Aku melanjutkan langkah masuk antrian.

Kartu ATM yang juga merangkap sebagai kartu mahasiswa berada dalam genggaman. Aku masukan pada ATM. Saat hendak menarik uang lima puluh ribu. Sebenarnya aku ingin menarik uang dengan jumlah lebih dari itu. Namun karena saldo terakhir yang kutahu memang hanya tinggal Rp. 68.000,- saja, maka hanya lima puluh ribu sajalah yang dapat ku ambil. Namun, HEY! Apa yang sedang kulihat?! Saldoku! Jumlah saldo di kartu ATMku! Tertulis sejumlah angka yang banyak. Sangat banyak malah. Seingatku, terakhir kali kudapati saldoku sebesar ini adalah ketika beasiswa dari kampus cair. Karena kaget, segera ku keluarkan kembali kartu ATMku dari rumahnya. Ku genggam erat kartu itu, kemudian ku bolak-balikan guna memastikan kalau-kalau kartu itu bukan milikku. Pada salah-satu sisinya, terdapat sebuah pas foto seorang pemuda dengan wajah datar. Tidak murung, tidak juga tersenyum. Pemuda itu mengenakan kaos berkerah dengan warna belang tiga: biru, hitam dan abu-abu. Di samping pas foto itu terdapat rangkaian huruh sebagai berikut: Niko Cahya Pratama. Tidak salah. Ini memang kartu ATM milikku. Tersadar dengan antrian di belakang, aku segera memasukan kartu itu lagi. Aku menarik uang sejumlah lima puluh ribu, kemudian melangkah keluar dengan wajah masih penuh dengan tanda tanya.

Agar semua teka-teki ini bisa segera terjawab, aku menelfon bapak. Hendak aku tanyakan pada bapak, apakah beliau mengirim uang dengan jumlah sebesar itu padaku.

“ Bapak gak kirim uang, A,” jawab bapak atas pertanyaanku.

“ Oh, mungkin itu beasiswa, A. Beasiswa dari kampus mungkin cair lagi,” tambah bapak. Aku baru ngeuh sesaat setelah mendengar jawaban bapak. Memang benar, bulan ini adalah jatah beasiswaku turun lagi. Turun untuk yang terkahir kali, karena satu periode sudah beasiswa itu mengucur untukku. Ini berarti jatahku sudah habis. Nampaknya aku harus ekstra menulis, sekedar untuk mendapatkan sedikit uang saku guna melanjutkan hidupku kedepannya. Aku harus ekstra menulis. Titik.

“ Pak, Pak, Pak. Jangan ditutup dulu, Pak,” cerocosku saat bapak hendak menutup telfon.

“ Ada apa lagi, A?” tanya bapak pendek.

“ Emmmm, minta sedikit uang dari ATM untuk beli buku ya?” sembari memandangi sepedah warna silver di hadapan, aku nyengir kuda.

Mangga, mangga, itukan uang Aa. Gunakanlah untuk keperluan Aa. Cuman, satu saran Bapak, separuhnya tabungin ya! kalau-kalau nanti ada keperluan mendadak saat Bapak lagi gak ada uang,” jawab bapak. Jawaban itulah yang memang aku harapkan. Engkau memang bapak nomer satu sedunia, Pak.

Aku kembali masuk antrian. Hendak mengambil uang sejumlah dua ratus ribu rupiah. Buat apalagi kalau bukan untuk beli buku. Seperti itulah kebiasaanku jika sedang ada sedikit uang lebih. Pikiranku tidak akan melayang kemana-mana selain pada toko buku. Entah kenapa aku sangat suka sekali pergi ke toko buku. Sekedar membeli satu atau dua judul buku. Padahal, pada lemari bukuku di asrama. Pada rak bukuku di rumah, masih banyak buku yang kubeli namun belum selesai kubaca. Banyak malah.

Memang, ada sensasi berbeda dalam jiwa saat aku berkeliling di toko buku. Seperti ada kekuatan aneh dan kuat, entah dari dunia mana datangnya, yang merasuk kedalam jiwaku, saat aku melihat buku-buku laris dipajang di rak-rak. Terlebih ketika aku melihat nama penulisnya. Bergetar hebat hatiku saat itu.
***

Jatah beasiswaku sudah habis. Seperti yang sudah aku gemborkan, aku harus berpikir ekstra agar bisa mendapatkan uang guna biaya hidup kedepannya. Mencoba meringankan pundak orang tua dalam membiayaiku selama hidup dan menempuh pendidikan di negeri rantauan. Dengan usia yang tidak muda lagi, aku malu karena masih mengandalkan orang tua. Namun sayangnya, kenyataannya memang benar-benar berbicara seperti itu. Aku masih hidup dalam pundak para malak (tunggal untuk malaikat) itu.

Suatu pagi, hanya berselang sekitar seminggu setelah membeli buku pada toko buku yang cabangnya terebar di seluruh Indonesia. Aku duduk pada kursi bambu di depan kamar mandi asrama yang menghadap pada lapangan futsal. Aku antri untuk mandi. Suara siraman air terdengar sampai keluar. Aku hanya mengenakan celana pendek selutut dan kaos warna biru muda. Handuk warna hijau pucuk daun kelapa melingkar di leherku. Alat-alat mandi tersimpan tepat disamping kananku.

“ Kang Niko, ada SMS masuk!” teriak Mamat di dalam kamar yang tidak jauh dari kamar mandi. Aku masuk kamar lagi. Aku baca SMS masuk. SMS itu datangnya dari teman satu jurusanku. Dia adalah ketua himpunan jurusan Geografi.

Assalamu’alaikum. Ko, belum ke kemahasiswaan fakultas ya? Segera meluncur kesana ya! Tadi Ibu Wida nanyain lagi ke saya...

Untuk yang kesekian kalinya dia mengabariku perihal dipanggilnya aku untuk menghadap kemahasiswaan fakultas. Kembali, misteri menghampiri diriku lagi. Ada apa gerangan hingga diriku sampai dipanggil oleh kemahasiswaan fakultas? Tanda tanya menari-nari di atas kepalaku. Aku sedikit cemas, seandainya akan mendapatkan suatu peringatan, atau mungkin sebuah sangsi.

Setelah dikira penampilanku terlihat rapih dan sopan, aku meluncur menuju kampus, tepatnya ruang kemahasiswaan, fakultas pendidikan ilmu pengetahuan sosial. Sebuah gedung raksasa tempat diriku mengeruk ilmu. Sesampainya di ruang kemahasiswaan, kudapati pintunya terbuka. Sambil mengucapkan salam, aku masuk. Di dalam, ibu Wida sedang sibuk dengan tumpukan berkas di mejanya.

Wa’alaikumussalam Warohmatullohi Wabarokaatuuh,” jawab ibu Wida. Dia melirik ke arah pintu, padaku.

Masya Alloh, Niko....! Ayo segera kesini,” pinta ibu Wida.

Aku menghampiri ibu Wida, lalu duduk di kursi yang berhadapan dengan posisi duduknya ibu Wida.

“ Ma’af, Bu, saya baru sempat kesini. Ada apa ibu memanggil saya? Saya kena sangsi ya, Bu?” aku masih sedikit kaku. Kulihat ibu Wida masih sedang sibuk dengan tumpukan map warna merah di mejanya. Ia membolak-balik sejumlah kertas yang ada di dalam map merah itu.

Ibu Wida menghentikan pekerjaannya. Ia mengambil secarik kertas yang terdapat tulisannya. Jika dilihat, nampaknya kertas itu adalah sebuah formulir.

“ Ini segera diisikan ya,” pinta ibu Wida. Aku melihat ibu Wida. Kertas apa ini, Bu? Begitulah arti dari tatapanku.

“ Kamu dapat beasiswa lagi. Segera isi formulirnya ya,” ujar ibu Wida. Wah, dahsyat! Ibu Wida tahu arti dari tatapanku. Luar biasa! Namun, ada yang lebih dahsyat dari itu. Yaitu berita yang barusan kudengar dengan menggunakan telingaku sendiri. Aku mendapatkan beasiswa lagi.

“ Beasiswa, Bu????” tanyaku untuk memastikan.

“ Iya. Kamu diajukan dapat beasiswa lagi.”

Dengan hati berbinar bagai Rembulan di pertengahan bulan Komariah, aku mengisi formulir yang tergeletak dihadapanku. Sambil mengisi, hatiku bertanya-tanya. Siapa gerangan yang mengajukan diriku untuk mendapatkan beasiswa lagi? Hipotesisku sementara, sepertinya pihak jurusan yang mengajukan. Kemungkinan ini karena aku memang dekat dengan pihak jurusan. Aku dekat dengan para staffnya. Aku sering silaturahim dan mengobrol dengan mereka. Aku juga dekat dengan beberpa dosen. Pernah, karena kedekatanku dengan salah-satu dosen, aku ditawari untuk menulis salah-satu judul buku dalam proyek menulisnya. Tapi sayangnya, ketika itu aku menolak, karena aku belum yakin dengan kemampuan menulisku. Jika hipotesisku ini benar adanya, satu yang menyebabkan sebuah keajaiban ini terjadi, yaitu silaturahim. Benar, silaturahim. SubhanAlloh, betapa hebat kekuatan sebuah silaturahim itu. Kalaupun hipotesisiku ini salah. Namun aku yakin. Siapapun yang mengajukan, jalan untuk semua itu adalah silaturahim. Benar apa yang pernah ku denagar dari para ustad. Silaturahim itu bisa memperpanjang umur dan menambah rejeki. Sekarang ini buktinya. Tidak percaya? Silahkan coba! Perbanyaklah jaringan! Perkuatlah kedekatannya! Niatkan semuanya untuk beribadah kepada Alloh! InsyAlloh dimudahkan.
***

Kamis, 03 November 2011

Mengejar Mutiara


Ini adalah sebuah cerpen yang saya tulis untuk diajukan sebagai salah-satu syarat menjadi tim penulis dari manajemennya Mr.Q (baca: Mister Qyu). Beliau adalah pengajar kelas leadership di PPM (program pesantren mahasiswa).
***
SATU
Mobil kijang warna silver meluncur mulus membelah tol Cipularang. Kijang silver itu berangkat dari Bandung hendak menuju Anyer, Banten. Ia melesat cepat bagai peluru yang lari dari larasnya. Tidak terhitung berapa puluh mobil yang terlewati. Pada speedometer, jarum warna merah menunjuk pada angka seratus dua puluh.

Kijang silver itu membawa sebuah keluarga yang baru saja menghadiri acara wisuda anak lelakinya yang baru lulus kuliah di kampus Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Di dalamnya ada lima orang. Sang lelaki pengemudi adalah adik nomer satu dari sarjana baru yang tadi pagi diwisuda. Sang ayah duduk di kursi depan. Pada kursi tengah yang panjang, disana terdapat tiga orang. Di sebelah kanan adalah sang ibu. Sebelah kiri sarjana muda. Ditengah-tengah, antara sang ibu dan sang kakak, duduk manis anak paling buncit. Dia menggunakan busana muslim warna biru muda. Sementara di bangku belakang, bertumpuk oleh-oleh untuk sanak saudara yang ada di kampung.

“ A, jangan kencang-kencang bawa mobilnya atuh. Ummi takut nih. Kasihan juga Si Akangnya kan belum nikah,” sang ibu mengingatkan putra keduanya yang sedang nikmat mengemudi.

“ Santai aja, Mi. Kali-kali Aa bawa mobil ngebut gak papa dong. Lagian tidak hanya si Akang, Aa juga kan belum kawin,” jawab sang anak kedua santai. Dia melirik ke belakang sebentar mencoba menggodai sang ibu. Mendengar jawaban anaknya seperti itu, sang ayah yang dari tadi sering diam, angkat bicara.

“ A….” ucap sang ayah panjang. Ia memalingkan wajahnya pada sang anak yang sedang mengemudi di samping kanannya. Sang anak melirik mencoba melihat raut wajah sang ayah. Beberapa detik berselang, kijang silver mengurangi kecepatannya menjadi normal. Speedometer menunjukan angka delapan puluh saja. Kini, banyak mobil yang mendahului dan tidak sedikit juga yang didahului.

Di kursi tengah, sang ibu dan anak bungsu tersenyum-senyum melihat mimik muka sang pengemudi. Sementara anak pertama tidak sadar dengan peristiwa yang sedang terjadi. Ia masih belum percaya jika dia sekarang sudah menjadi seorang sarjana. Sarjana pendidikan. Masih teringat jelas ketika tiga setengah tahun lalu dia masih di ospek. Masih nampak di pelupuk mata, kenangan ketika dia bangga dengan statusnya yang sudah menjadi seorang mahasiswa. Namun kini, tiga setengah tahun itu telah terlewat. Ia masih memandang lekat-lekat toga dan jubahnya yang terlipat dan disimpan rapih pada kantong plastik putih yang ada di pangkuannya. Sang sarjana muda itu sedang memikirkan rencana jalan hidupnya yang telah jauh-jauh hari dia buat. Terlihat jelas jalan mana saja yang akan segera dia tempuh. Dia sudah tidak sabar untuk melaksanakan itu semua. Dia sungguh tidak sabar.

Kijang silver masih melaju di jalan tol. Bukit-bukit hijau di sisi kanan dan kiri jalan menjadi pemandangannya. Lagu nasyid menjadi musik penghibur sebuah keluarga yang ada di dalam mobil. Kepala sang pengemudi manggut-manggut mengikuti alunan melodi lagu, namun tatapannya tetap fokus pada jalan di depannya.
***

DUA
Pada sebuah tempat foto kopian di salah-satu sudut pasar Anyer, disana ada seorang pemuda sedang memeriksa lagi berkas-berkas untuk surat lamaran mengajar pada sebuah sekolah. Pemuda itu mengenakan kemeja garis-garis vertikal warna krem. Celana bahan katun warna hitam dan sepatu hitam. Rambutnya tersisir rapih. Pemuda itu bernama lengkap Arif Rahman, yang tidak lain adalah sarjana baru jebolan Universitas Pendidikan Indonesia.

Arif tersenyum puas memandangi surat lamarannya yang sudah lengkap. Ia bayarkan sejumlah uang pada sang penjaga tempat foto kopian itu. Arif ambil surat lamarannya yang tersimpan pada amplop warna cokelat besar di atas etalase toko. Ia hendak segera meluncur pulang menuju rumahnya di kampung Karang Bolong. Baru saja Arif berjalan beberapa langkah dari tempat foto kopian, tiba-tiba ada sebuah panggilan pada hapenya. Arif mengangkat telfon itu.

“ Halo, Assalamu’alaikum,” ucap Arif.

“ Halo, Wa’alaikumussalam,” jawab seseorang diseberang sana. Suaranya berat. Sepertinya dia laki-laki berusia lumayan sepuh.

“ Ma’af ini dengan siapa? Apakah ada yang bisa saya bantu?” tanya Arif pada seseorang yang menelfonnya dengan nomer baru yang belum ia ketahui.

“ Ini Pak Eno, Arif. Oya, ma’af Bapak telfonnya pake nomer teman Bapak, soalnya Bapak belum isi pulsa,” terang pak Eno.

Masya Allah, Pak Eno, ma’afin Arif Pak, Arif agak tahu kalau ini Pak Eno,” ujar Arif sedikit malu. Arif mencari posisi yang enak untuk mengobrol. Ia berdiri di depan toko sepatu yang di depannya terdapat kanopi. Ia berdiri disana dengan diteduhi kanopi itu. Tubuhnya mengarah pada jalan raya. Sambil mengobrol dengan pak Eno, guru SMAnya dulu, Arif memandangi banyak mobil yang hilir mudik di jalan raya Anyer.

“ Bapak apa kabar? Omong-omong sekarang Arif sudah ada di Anyer lagi, Pak. Oya, sebelumnya Arif minta ma’af karena belum sempat mengabari Bapak soal ini.”

Alhamdulillah baik, Rif. Bapak tahu kalau sekarang-sekarang ini Arif masih sedang sibuk-sibuknya dalam mempersiapkan segalanya untuk menjadi seorang guru. Betul tidak? Kan sekarang sudah menjadi sarjana baru, Hehe….” Canda pak Eno pada Arif. Arif menanggapi candaan pak Eno dengan tawa ringan.

“ Oya, Bapak cuman mau ngasih tahu Arif, kalau SMA kita sekarang sedang membutuhkan guru Biologi. Bapak ingat, kalau Arif itu kan ngambil jurusan Biologi, maka dari itu Bapak kasih kabar ini pada Arif, kali aja Arif berminat. Setahu Bapak, dulu Arif bercita-cita ingin mengajar disini kan?” tawar pak Eno sambil membuka kenangan lalu. Mendengar tawaran itu, Arif langsung sumringah. Mungkin pepatah yang bisa mewakili perasaan Arif hari ini adalah “pucuk dicinta ulampun tiba”. Baru saja Arif selesai mempersiapkan surat lamaran mengajar untuk SMA yang dulu tempat dia menuntut ilmu, dan yang rencananya akan Arif ajukan esok hari. Tanpa diduga-duga sebelumnya, malah ada tawaran dari SMA itu untuk dirinya.

“ Kalau bisa, besok Arif segera kirim surat lamarannya ke SMA ya!” titah pak Eno. Mendengar perintah itu Arif tersenyum mesem. Kalaupun sekarang, saya sudah siap pak. Mungkin kalimat itulah yang disuarakan isi hatinya.

“ Kalau Arif ke SMAnya sekarang bisa Pak?” tanya Arif optimis.

“ Hah!! Sekarang!?” pak Eno kaget mendengar pertanyaan dari Arif.

“ Memang semua berkas lamarannya sudah Arif siapkan?” tanya pak Eno lagi.

Alhamdulillah sudah Pak,” jawab Arif pasti.

SubhanAlloh, kamu belum berubah Arif. Sepertinya kamu masih seperti yang dulu Bapak kenal. Kamu selalu mempersiapkan segala sesuatunya sedari awal. Bapak salut pada kamu, Rif. Pemuda seperti kamulah yang dibutuhkan Indonesia, Rif,” sanjung pak Eno pada anak muridnya itu.

“ Ah, Bapak berlebihan menyanjung saya. Kan ilmu ini saya dapatkan dari Bapak sendiri. Jadi, orang seperti Bapaklah yang benar-benar dibutuhkan oleh Indonesia itu,” Arif menyanjung balik pak Eno. Tawa renyah keluar dari mulut kedua guru dan murid itu.

Untuk sesaat pak Eno dan Arif terdiam sejenak. Kemudian, tanpa ada komando terlebih dahulu, mereka mengucapkan sebuah kalimat secara berbarengan,” Persiapan yang kita lakukan berbanding lurus dengan hasil yang akan kita dapatkan. Jika persiapannya baik, maka hasilnya akan baik pula. Dan, jika persiapannnya seadanya saja, maka hasilnya pun akan seadanya juga,” mereka menyuarakan kalimat itu sama persis dan serempak.

“ Masih ingat kalimat ini, Rif?” tanya pak Eno seakan tidak percaya.

“ Tidak mungkin saya melupakan kalimat luar biasa ini, Pak!” jawab Arif yakin.

SubhanAllah, ya sudah kita lanjutkan di sekolah aja ngobrolnya, Arif langsung kesini ya! Bapak sudah kangen nih,” tutup pak Eno.

“ Siap Pak. Laksanakan.”
***

TIGA
Sebulan sudah Arif menjadi pengajar di SMA N 1 Anyer. Terdapat banyak perubahan yang Arif rasakan di sekolah ini. Ada beberapa sarana sekolah yang baru, seperti: ruang kelas yang sudah ada ACnya. Pembelajaran sudah dengan media infocus, di setiap kelas sudah terpasang satu infocus di langit-langit ruangan. Lapangan basket yang dulu sering menjadi rebutan antara anggota ekskul basket dengan anggota futsal, kini sudah dipisah. Kini sudah ada lapangan khusus untuk olahraga futsal. Lapangan bulu tangkis dan lapangan bola voli ditambah jumlahnya. Semua sarana itu semakin membuat nyaman para siswa dan guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar.

Namun, disisi yang lain, ada beberapa perubahan yang dirasa sangat mengganggu pikiran Arif. Adalah moral dari para siswanya. Kemerosotan moral anak-anaknya sangat kentara sekali jika dibandingkan dengan ketika Arif masih menjadi murid di sekolah yang sama. Dulu, pacaran di kalangan siswa merupakan hal yang masih tabu. Siswa yang ketahuan pacaran merupakan suatu hal yang sangat tidak diinginkan oleh para siswa yang pacaran itu. Mereka akan merasa malu sekali jika benar-benar sampai ada orang yang tahu soal hubungan mereka. Kalaupun ada segelintir siswa yang terang-terangan menjalin status pacaran dengan teman sekolahnya. Interaksi diantara mereka masih terjaga. Biasanya, setiap kali siswa yang pacaran itu ingin mengobrol, minimal selalu ada seorang teman yang menemani mereka. Karena mereka takut akan ada sesuatu hal yang tidak diinginkan diantara mereka. Tapi kini, mungkin, hampir lima puluh persen dari keseluruan siswa menjalani yang namanya pacaran. Terang-terangan pula. Tidak hanya dengan teman satu sekolah, dengan siswa sekolah lainpun ada, bahkan dengan yang sudah kerjapun ada. Tidak mengganggu pikiran Arif seandainya interaksi dianara mereka masih berada pada batas-batas yang wajar. Tapi yang terjadi memang sudah berada diluar batas yang seharusnya. Tidak sedikit siswa yang berdua-duaan di taman sekolah. Tidak hanya itu, ada juga para siswa yang berjalan bergandengan di hadapan para guru. Arif tidak habis pikir dengan hal itu.

Selain itu, bahasa yang digunakan anak-anak sangat tidak pantas diucapkan oleh mereka. Bahasanya sangat kasar. Jika sekelompok siswa sedang berkumpul, tidak sedikit nama-nama jenis binatang mereka ucapkan. Tidak jarang Arif memergoki sekelompok siswa yang sedang mengobrolkan beberapa orang guru dengan bahasa yang tidak baik. Sikap mereka kepada guru sangat menghawatirkan. Tidak banyak memang yang seperti itu, namun, semua itu sangat mengganggu perasaan terdalam Arif.

Belum lagi pola pikir dari kebanyakan siswa yang ada. Sebagian besar dari mereka seperti tidak memiliki tujuan hidup. Mereka menjalani kehidupan ini seakan mereka lupa akan adanya hari dimana setiap tindakan akan dimintai pertanggung jawabannya. Mereka lupa dengan akan datangnya hari esok. Hari yang mana seluruh manusia yang pernah hidup di dunia ini dikumpulkan di sebuah lapangan yang maha luas, yaitu padang mahsyar. Tidak akan ada yang bisa menolong mereka kecuali amal mereka sendiri. Mendapati semua ini, Arif tidak ingin hanya diam saja mengalah pada keadaan. Arif ingin merubah semua ini.

...Qod qoomatish-sholaah,
Qod qoomatish-sholaah,
Allahu Akbar, Allahu Akbar,
Laa ilaahaillallaah.


Suara iqamat itu membuyarkan lamunan Arif. Segera Arif beranjak menuju shaf pertama. Beberapa guru senior mempersilahkan Arif untuk menjadi Imam solat. Arif menerima tawaran itu. Ia melangkah menuju mihrab. Arif berdiri menghadap jama’ah solat dan meminta mereka untuk meluruskan dan merapatkan barisan. Arif menoleh ke kanan dan ke kiri memperhatikan jama’ah. Hanya dua shaf jama’ah yang melaksanakan solat dzuhur siang ini. Hati Arif miris. Tiba-tiba saja terbayang kenangan empat tahun lalu. Disini, di mesjid yang sama, saat-saat mesjid ini dipenuhi oleh para siswa untuk melaksanakan solat berjama’ah. Andai saja keadaan yang dulu itu bisa terulang kembali, pikir Arif dalam hati yang terdalam. Arif membalikan badannya mengarah kiblat. Sesaat sebelum mengucapkan takbiratul ikhrom, Arif sempatkan berdo’a agar mesjid ini penuh dengan jama’ah lagi.
***

EMPAT
Malam telah sampai pada sepertiga yang terakhir. Pada waktu ini Sang pemilik langit dan bumi, serta seluruh isinya turun ke langit dunia. Sang Maha Gagah itu berjanji dengan segala kebesaranNya. Bagi siapa saja makhlukNya yang memohon untuk diampuni segala dosanya yang lalu, maka Dia akan mengampuninya. Bagi siapa saja yang memohon sesuatu, maka Dia akan memberikannya. Asalkan orang-orang itu berani untuk bangun untuk bermunajat hanya padaNya, dan berani melawan dinginnya suhu yang terasa seperti menusuk-nusuk tulang hingga ke sum-sumnya. Dingin sekali.

Malam ini, ada segelintir manusia yang hendak mengamalkan berita gembira itu. Mereka bangun dan segera mengambil air wudhu untuk mendirikan solat malam. Satu dari sedikit orang itu adalah Arif. Ia sudah siap untuk sebuah pertemuan ini. Pertemuan dengan raja dari segala raja. Arif ingin segera bermunajat kepadaNya. Bermunajat tentang segala kegundahan yang ada di hatinya. Arif sudah tidak sabar. Tatapannya mengarah pada gambar ka’bah yang ada pada sajadah biru dihadapannya. Hawa dingin dari luar masuk melalui celah-celah jendela. Kemudian menjalar memenuhi ruang kamar dimana Arif berdiri solat. Hawa dingin itu membelai-belai kulit Arif. Arif merasakan kulitnya sedingin salju.

Sesaat saja setelah Arif ungkapkan semua keinginannya kepada pemilik dirinya. Rasa kantung menyerangnya. Matanya terasa berat, seperti ada baja seberat puluhan ton yang menggelayut di kelopak matanya. Arif tidak kuasa untuk menahan rasa kantuk itu. Arif tertidur masih pada tempat yang sama. Ia terkulai lemah di atas sajadah biru bergambar ka’bah. Kini, hawa dingin itu berubah menjadi terasa hangat.

Dalam tidurnya, Arif berada pada sebuah ruangan yang semuanya serba putih. Cat dindingnya putih. Di tengah ruangan tedapat sebuah sofa putih. Di depan sofa itu berdiri meja yang berwarna putih juga. Sofa dan meja itu mengahadap pada sebuah dinding yang terdapat sebuah layar sangat lebar. Lebarnya hampir memenuhi luasnya dinding itu. Tiba-tiba saja tubuh Arif seperti ada yang menggerakan. Arif kebingungan mendapati tubuhnya bergerak sendiri. Ia melangkah mendekat pada sofa putih. Kemudian duduk bersandar dan menghadap pada layar dihadapannya. Layar putih itu menampakan sebuah gambar-gambar bergerak layaknya sebuah televisi pada umumnya. Pada layar itu, Arif melihat sebuah pulau kecil yang letaknya jauh dari pulau-pulau besar yang lain. Pada pulau itu, Arif juga melihat tiga orang penghuninya. Hanya tiga orang saja. Ia mendapati, satu dari ketiga orang itu mengenakan sebuah mahkota besar yang terang kilauannya. Kemudian Arif melihat sebuah lautan yang luas dan dalam. Pada dasar lautan itu, Arif melihat tumpukan kerang-kerang. Kerang-kerang itu ada yang terbuka dan ada juga yang masih tertutup. Pada kerang yang terbuka, Arif dapati seberkas cahaya yang sangat terang. Arif terpesona memandangi kilatan cahaya itu. Tiba-tiba saja, ada seberkas cahaya putih yang muncul tepat di hadapan Arif. Ia terkager. Arif diam seperti terhipnotis. Perlahan cahaya itu mendekat pada Arif. Kemudian masuk pada tempurung kepalanya. Cahaya putih itu hilang dikepala Arif.

Arif terbangun dari tidurnya. Dia mendapati dirinya tergeletak di atas sajadah yang tadi dia gunakan untuk solat malam. Arif terbengong-bengong memikirkan sesuatu yang aneh pada mimpinya barusan. Tidak lama berselang, adzan subuh berkumandang. Arif beranjak menuju kamar mandi. Ia mengambil wudhu, lalu berangkat menuju mesjid yang tidak jauh dari rumahnya.

...Assholaatu khoirumminannauum
Assholaatu khoirumminannauum.
..
(...Solat lebih baik dari pada tidur...)
***

Esoknya. Arif berada di depan kelas 3 IPA 1. Ia sedang mengajar disana. Materi untuk hari ini sudah habis dijelaskan Arif pada anak muridnya. Karena waktu yang tersisa masih cukup banyak, maka Arif mempersilahkan siswanya untuk bertanya terkait materi yang telah dijelaskan. Ada tiga siswa yang bertanya. Dua siswa laki-laki dan satunya siswa perempuan. Pertanyaan pertama dan kedua Arif jawab dengan sangat jelas dan gamblang. Mereka terlihat puas dengan jawaban bapak guru muda yang ganteng itu. Namun, ketika siswa ketiga mengacungkan tangan, Arif mulai tampak sulit menguasai keadaan. Semua ini karena ulah beberapa siswa usil yang menggodai Arif saat mereka tahu siapa siswa perempuan yang mengacungkan tangan.

Namanya Mutiara. Ia salah-satu siswa paling pintar dikelas, bahkan di sekolah. Mutiara merupakan pengurus rohis di sekolahnya. Jika diibaratkan sebuah bunga, Mutiara adalah bunga mawar yang tumbuh di ujung tebing yang terjal. Ia cantik. Prilakunya baik. Banyak temannya yang tertarik padanya. Namun, tidak satupun dari mereka yang berani mendekatinya. Mereka segan untuk mendekati wanita yang selalu berpenampilan sopan itu.

Semenjak kedatangan di sekolah, Arif dikenal sebagai guru yang baik. Ibadahnya rajin. Amalan sunnah senantiasa dia laksanakan. Karenanya, tidak sedikit dari rekannya mengajar memanggilnya dengan sebutan “Akhi Arif”. Arif hanya tersenyum menanggapi panggilan itu. Tidak hanya itu, para siswa tidak mau kalah. Mereka menggodai Arif dengan selalu mengait-ngaitkan Arif dengan siswa paling cantik dan baik di sekolah, tiada lain adalah Mutiara. Seperti hari ini.

Cie, cie…..” goda siswa 3IPA 1 ketika Mutiara mengacungkan tangan untuk bertanya. Arif salah tingkah. Mutiara terlihat malu-malu.

Arif tidak ingin kalah. Dia sudah sering mendapati hal seperti ini ketika masih aktif di lembaga dakwah kampus dulu. Perlahan Arif mulai menguasi keadaan. Ia mulai tenang kembali. Arif jawab pertanyaan Mutiara dengan jelas.

“ Bagaimana, Tia? Cukup? Apa ada pertanyaan lagi?” tawar Arif pada Mutiara. Mutiara menggelengkan kepala pertanda dia puas dengan jawaban gurunya itu. Namun, apa yang dilakukan oleh siswa lainnya. Mereka mendehem seperti yang hendak mengeluarkan dahak dari tenggorokannya, padahal mereka tidak tampak sedang ada gangguan tenggorokan. Arif mencoba untuk menenang-nenangkan dirinya. Sementara Mutiara hanya menunduk saja.

Arif menatap jam yang tertempel pada dinding bagian belakang kelas. Masih tersisa cukup waktu untuk mengajar. tanpa banyak mengambil tempo, khawatir ada godaan lagi dari siswanya, Arif langsung bercerita tentang seorang sahabat semasa kuliahnya yang menjadi salah-satu inspirasi baginya. Arif memulai cerita dari semenjak mereka berkenalan dan kemudian menjadi sahabat. Arif menceritakan masa-masa sulitnya ketika kuliah dulu. Sampai tiba pada satu bagian yang menceritakan saat-saat masa sulit bagi diri Arif, yaitu ketika banyak mahasiswa lain yang menggunjingkan dirinya dan kepemimpinannya pada salah-satu organisasi terbesar di kampus. Arif mengisahkan saat-saat ngedrop itu. Arif putusa asa ketika itu. Sampai sempat terpikir untuk mengundurkan diri dari amanahnya itu. Namun, niatan itu terhenti ketika sahabat yang juga merangkap sebagai wakilnya pada organisasi yang sama menasihati dirinya. Hingga detik ini, Arif tidak akan pernah melupakan nasihat super itu. Melalui nasihat itulah Allah menghendaki Arif untuk terus melanjutkan amanahnya sebagai seorang ketua hingga masa jabatannya habis. Arif menceritakan kembali nasihat itu kepada siswanya.

“ Saat itu, sahabat saya, menasihati saya seperti ini, ‘ Kamu tahu, Rif, bagaimana asal mula terbentuknya sebuah mutiara yang indah dan mahal harganya?’. Saya hanya diam mendengarkan pertanyaan dari sahabat saya itu. Kemudian dia menjawab pertanyaannya sendiri. Dia mengatakan,’Dulu, Ayah saya bercerita kepada saya. Saat kerang muda membuka cangkangnya hendak mencari makan, ada beberapa butiran pasir yang masuk pada sebagian kerang-kerang yang membuka cangkangnya itu. Kerang yang termasuki pasir itu merasakan sakit. Kerang-kerang itu kesakitan. Mereka menangis dan mengeluarkan air matanya. Saat itu, kerang muda itu mengadu kepada ibunya akan rasa sakitnya itu. Dengan sabar sang ibu berbicara kepada anak-anaknya itu. Dengan suara lembut ibu itu menguatkan agar anak-anaknya tetap sabar dalam merasakan sakit itu. Sang ibu menyarankan agar anaknya tidak membalas pasir yang telah menyakitinya dengan keburukan lagi. Sang ibu menyarankan agar anaknya selalu membalas pasir itu dengan kebaikan. Mendengar nasihat bijak itu, kerang-kerang muda itu selalu menggunakan air matanya yang keluar karena kesakian untuk membaluti pasir yang ada di dalam tubuhnya. Setiap merasakan sakit, mereka selalu menggunakan air matanya untuk membalut pasir itu.

Seiring berjalannya waktu, kerang-kerang muda itu kini telah menjadi dewasa. Dan, tahukan kau, Rif? menjadi apa air mata yang digunakan untuk membalut pasir-pasir itu? Air mata itu menjadi mutiara yang sangat elok, Rif! Air mata itu berubah menjadi barang yang sangat berharga dan mahal harganya. Hingga suatu ketika, pemilik tambak siap untuk memanen kerang-kerangnya itu. Saat dipanen, kerang-kerang itu disortir menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah kerang yang terdapat mutiaranya. Kerang yang ada mutiaranya itu dipisahkan pada aquarium yang bagus untuk diambil mutiaranya. Sementara bagian yang kedua, kerang-kerang itu merupakan kerang yang tidak memiliki mutiara. Kerang-kerang ini langsung ditumpuk pada sebuah oblong penampungan kerang. Kemudian mereka dibawa ke pasar ikan untuk dijual menjadi kerang rebus. Sepeti itulah nasib kedua macam kerang itu, Rif! Nasib mereka berbeda. Kerang yang termasuki pasir itu awalnya memang sering kali merasakan kesakitan. Tapi, karena buah dari kesabarannya itu, maka mereka menghasilkan mutiara. Mereka menjadi sangat berharga. Mereka mendapatkan nilai jual yang tinggi, Rif! Sebaliknya, meskipun pada awalnya kerang yang satunya, yaitu kerang yang tidak termasuki pasir pada awalnya santai-santai saja, tapi apa yang terjadi setelahnya. Mereka hanya dijadikan kerang rebus, dan nilai jualnya sangat rendah sekali, Rif. Nah, demikian juga dengan kita. Kalau kita langsung menyerah hanya karena sebuah persoalan sepele, maka kita hanya akan menjadi seperti kerang rebus itu, Rif! Kita hanya akan menjadi seorang pecundang saja, Rif! Mau, kamu jadi seperti itu!’ suara sahabat saya semakin mengeras. Seakan dia ingin agar saya bangkit kembali dari keterpurukan.”

Mendengar cerita Arif, para siswa terbengong-bengong. Sepertinya mereka terhipnotis oleh gaya berceritanya. Semua itu disempurnakan dengan hebatnya hikmah yang terkandung dibalik sebuah kisah pengalaman itu. Sebagian siswa menyangga dagu mereka dengan kedua tangan mereka. Mereka khusuk mendengar dengan tatapan terpesona, layaknya Jaka Tarub yang sedang mengintip bidadari yang mandi di sungai. Menyengaja Arif berjalan dari depan sebelah kiri menuju sisi sebelah kanan. Arif mendapati kepala para muridnya memutar mengikuti kemana Arif berjalan. Arif tersenyum. Karena hal ini berarti mereka sedang benar-benar memperhatikan ceritanya.

Arif melihat jam dinding lagi. Masih tersisa sedikit waktu. Tanpa banyak pemikiran, Arif langsung menawarkan lagi sebuah cerita kepada murid-muridnya. Gayungpun bersambut. Mereka satu suara meng-ia-kan Arif. Arif bercerita lagi. Kali ini Arif bercerita tentang sebuah mimpi yang dia alami semalam. Mimpi tentang sebuah pulau kecil yang terpencil di tengah Samudera. Mimpi tentang tiga orang penghuninya. Serta mimpi tentang mutiara.

“ Kok, ceritanya selalu ada hubungannya dengan mutiara sih, Pak??” celetuk siswa laki-laki yang duduk pada bangku paling pojok. Mendengar celetukan itu, siswa lain mulai bersuara. Mereka saling berbisik dengan bibir tersenyum lebar. Melihat kondisi seperti itu, Arif tidak mau kehilangan momen lagi yang pada akhirnya bisa membuat dia kikuk kembali. Arif segera memulai cerita. Pada salah-satu bangku, Mutiara menahan-nahan senyumnya. Dia menyembunyikan bibirnya yang sedikit melebar. Namun sayangnya, dia tidak pandai dalam melakukan itu. Sepintas, Arif dapati Muridnya itu sedang menahan senyum, lalu menunduk.

Arif hendak berkisah tentang sebuah mimpi aneh yang semalam ia rasakan. Ketika dipikir lebih dalam lagi, Arif mendapati sebuah hikmah dalam mimpi itu. Dan siang ini, Arif hendak berbagi himah yang tekandung itu.

“ Alkisah. Di tengah-tengah Samudera yang luas dan dalam, terapat sebuah pulau kecil yang letaknya sangat jauh dari pulau-pulau lainnya. Pulau kecil itu hanya dihuni oleh tiga manusia saja. Pertama adalah seorang raja. Kedua adalah abdi setia sang raja. Dan yang terakhir adalah rakyat biasa. Pada suatu hari, sang raja memberikan perintah kepada abdinya untuk memanggilkan satu-satunya rakyat yang ada di pulau itu. Dengan setia, abdi itu segera melaksanakan perintah sang raja. Dia langsung meluncur menuju sebuah perkebunan yang ditengah-tengahnya terdapat sebuah gubuk tempat tinggal seorang rakyat itu. Sang abdi langsung memberitahukan kepada seorang rakyat itu bahwa sang raja ingin bertemu dengannya. Mendengar kabar itu, sang rakyat bertanya-tanya dalam hati. Ada apa gerangan sang raja meminta dirinya untuk bertemu. Adakah ini pertanda bahwa dirinya akan mendapatkan penghargaan? Ataukah hukuman? Terdorong ingin segera mengetahui teka-teki ini, sang rakyat menyetujui permintaan itu dan segera meluncur menuju kerajaan.

Sesampainya di kerajaan, sang rakyat langsung disambut oleh sang raja. Ia disuguhi dengan makanan yang super lezat. Seumur hidup belum pernah dia temui makanan senikmat itu. Selepas makan, sang raja mengajaknya mengobrol di sebuah taman kerajaan yang elok. Banyak bunga bermacam warna yang tumbuh. Baunya harum semerbak. Sang rakyat terbuai dengan suasana itu. Mereka mengobrol panjang lebar. Hingga tiba pada sebuah permintaan tolong dari sang raja kepada rakyat itu.

“ Wahai rakyatku yang baik hati, saya hendak meminta tolong Anda untuk mengambilkan sejumlah mutiara yang terdapat pada tumpukan kerang yang ada di dasar Samudera yang mengelilingi pulau kita ini. Apakah Anda bersedia?” pinta sang raja dengan suara berat berwibawa. Mendengar sang raja meminta langsung kepadanya. Sang rakyat merasa tersanjung. Tanpa banyak pikir lagi, dia menyetujui permintaan sang raja. Namun, sebelumnya rakyat itu memohon kepada sang raju untuk memberinya beberapa barang untuk perbekalannya selama melakukan penyelaman itu.

“ Saya bersedia, Tuan. Namun, sebelumnya saya ingin meminta beberapa barang untuk perbekalan saya ketika di dalam laut nanti,” pinta sang rakyat dengan suara pelan.

“ Baik. Silahkan Anda sebutkan semua barang yang diperlukan itu.”

“ Saya butuh: tabung oksigen untuk nafas saya di dalam laut, baju menyelam untuk melindungi kulit saya, kaca mata selam agar saya dapat melihat dengan jelas di dasar laut, sebuah senter untuk penerangan di dasar laut yang gelap, serta peta yang menunjukan dimana tempat mutiara itu berada,” pinta sang rakyat. Mendengar permintaan itu, sang raja langsung mengabulkannya.

Esok harinya, saat Mentari baru memunculkan tubuhnya, ketiga penghuni pulau kecil itu berkumpul di lepas pantai dalam acara pelepasan sang rakyat menuju dasar Samudera. Dengan diiringi sebuah do’a, sang rakyat mulai menyelam. Setelah tidak terlihat lagi di permukaan laut, sang raja dan abdi setianya pulang menuju kerajaannya.

Setengah jam sudah sang rakyat menyelam. Tujuannya adalah sebuah dasar laut yang terdapat markas kerang mutiara. Secara perlahan dia meluncur seperti terbang di dalam laut. Dengan menggunakan senter dia dapat melihat di kegelapan Samudera. Dengan senter itu pula dia bisa membaca peta yang ada pada genggamannya. Dia ikuti semua arah yang ditunjukan oleh peta itu.

Suatu ketika, saat sang rakyat itu sudah menempuh satu jam penyelaman, datang segerombolan ikan hias kecil yang rupawan bentuk dan warnanya. Sang rakyat itu tergoda akan keindahan ikan-ikan kecil itu. Dia memandangi terus ikan elok itu. Ingin sekali dia menangkap ikan itu untuk dijadikan ikan hias dan disimpan di aquarium yang ada dirumahnya. tanpa tersadar, dia mengikuti segerombolan ikan hias itu. Dia mengejarnya hendak menangkap beberapa ekor saja. Semakin sang rakyat itu mengejar, semakin gesit kecepatan berenang ikan-ikan itu. Semakin lama, semakin jauh dan semakin dalam sang rakyat itu menyelam. Namun, belum juga ikan indah itu didapatkan. Tiba-tiba, muncul lagi segerombolan ikan lain. Gerombolan ikan baru itu lebih indah rupanya dari gerombolan ikan yang awal. Sang rakyat itu terpesona pada rupa dari gerombolan ikan yang lebih besar ukurannya. Dia hiraukan gerombolan ikan kecil, kemudian berbelok mencoba mengejar ikan-ikan yang lebih besar itu. Dia ikuti kemana gerombolan ikan itu berenang. Niatnya adalah untuk menangkap ikan-ikan itu.

Tidak terasa, empat jam sudah dia menyelam. Dia merasakan kelelahan karena telah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk mengejar ikan-ikan indah itu. Dia merasakan tubuhnya semakin lemas. Bersamaan dengan itu, persediaan oksigen dalam tabung semakin menipis. Dia berhenti mengejar ikan. Dia diam mencoba melepas lelah. Setelah tubuhnya dirasa cukup kuat, dan pikirannya segar kembali, dia teringat akan perintah sang raja untuk mengambilkannya mutiara. Tersadar akan hal itu, segera dia kembali berbalik menuju tempat dimana dia pertama kali melihat segerombolan ikan hias kecil. Dengan bantuan peta, setelah lama mencari-cari, akhirnya dia sampai pada tempat itu. Kemudian dia kembali melanjutkan penyelaman menuju tempat dimana mutiara berada.

Na’as, persediaan tabung oksigen semakin menipis saja. Dia mulai berat dalam bernafas. Dia mulai panik. Dengan sisa-sisa tenaga dan oksigen yang hanya tinggal sedikit lagi, dia memaksakan dirinya untuk terus menyelam menuju tempat mutiara itu. Saat sang rakyat itu tiba ditujuan, nafas dia mulai tersengal-sengal. Dia tidak bisa berpikir sehat ketika itu. Takut, oksigennya keburu habis, segera dia mengambil sebuah kerang mutiara saja yang ada pada jangkauannya. Setelah satu kerang mutiara itu berada pada genggaman, dia langsung berbalik menuju permukaan Samudera. Belum sampai ke permukaan, persediaan oksigen habis. Dia tidak bisa bernafas. Dia tidak sadarkan diri, kemudian pingsan. Kerang mutiara yang ada pada genggamannya jatuh kembali ke dasar Samudera. Beruntung, arus membawanya muncul ke permukaan sehingga dia tetap bisa bernafas walau masih dalam keadaan pingsan. Dia mengambang di permukaan Samudera dan terombang ambing oleh arus permukaan kesana-kemari. Hingga pada akhirnya, sang arus mendamparkannya ke tepi pantai sebuah pulau kecil yang tidak lain adalah pulau tempat dia dan seorang raja serta abdi setianya menetap. Dia tergeletak di bibir pantai dengan masih menggunakan peralatan menyelamnya.

Menjelang sore hari, sang rakyat itu sadarkan diri. Dia siuman. Sembari merintih kesakitan dia beranjak duduk. Dia melamun memikirkan tentang kelalaiannya dalam menjalankan perintah dari sang raja. Dia sedih. Jika tidak ingat dirinya adalah seorang laki-laki, mungkin dia sudah mengucurkan air mata sepuas-puasnya.

Tidak berselang lama setelah kesadarannya, datanglah seorang raja dan abdi setianya menghampiri sang rakyat yang masih terduduk di tepi pantai. Sang raja menagih mutiara kepada rakyat itu.

“ Wahai rakyatku, selamat atas kedatanganmu sore ini. Saya hendak menagih mutiara yang engkau ambil itu,” pinta sang raja. Mendengar penagihan itu, hati sang rakyat sanga pilu. Pilu sekali. Dengan sura terbata, dia mengiba kepada sang raja.

“ Mohon ma’afkan saya, Tuan. Saya telah lalai dalam menjalankan perintah, Tuan. Ketika menyelam tadi, saya tergoda akan keindahan ikan hias yang berenang disekitar saya, hingga membuat saya lupa dengan tugas dari, Tuan. Sekali lagi saya memohon ma’af kepada,Tuan. Saya mohon, sudi kiranya Tuan memberikan sekali lagi kesempatan kepada saya untuk menjalankan tugas ini lagi. Saya berjanji kepada Tuan. Saya akan melaksanakan kesempatan kedua itu dengan sebaik yang saya bisa. Saya mohon Tuan,” sang rakyat mengiba kepada sang raja. Mendengar ucapan itu, sang raja murka. Dia kecewa. Dia tidak memberikan kesempatan kedua yang diminta oleh rakyatnya itu.

“ Wahai rakyatku yang telah lalai, tidak akan pernah ada kesempatan kedua bagimu. Seungguh tidak akan pernah ada!” murka sang raja. Sang raja memerintahkan kepada abdi setianya untuk menyeret sang rakyat ke kerajaan. Sang raja memerintahkan kepada abdi setianya untuk memenjarakan rakyat itu di penjara bawah tanah seumur hidup. Mendengar perintah itu, sang rakyat sangat kecewa. Dia kecewa pada dirinya sendiri yang telah melalaikan perintah rajanya. Dia hanya bisa menangis dan menyesal. Tiada lain yang bisa dia lakukan selain menangis dan menyesali kelalaiannya.
***

Arif mengakhiri cerita dalam mimpinya semalam. Para siswa terbuai dengan cerita gurunya yang tampan itu.

“ Silahkan, ada yang mau mencoba menggali hikmah dari cerita yang barusan saya sampaikan!” tawar Arif pada seluruh siswa. Mendengar tawaran sang guru, tidak ada satu siswapun yang berani mengacungkan tangan. Sebenarnya ada beberapa siswa yang ingin menjawab. Tapi mereka ragu akan jawabannya. Mereka takut keliru dalam mengambil hikmah. Salah-satu dari mereka adalah Mutiara. Dia hanya diam menyembunyikan jawabannya.

“ Silahkan, ada yang mau berpendapat?” tanya Arif lagi.

Secara tiba-tiba siswa laki-laki yang duduk di kursi paling pojok, seorang siswa yang paling sering menggodai Arif dan Mutiara mengacungkan tangannya. “ Ma’af, Pak. Saya tidak bisa berpendapat tentang cerita tadi. Tapi, coba Bapak tanya kepada Mutiara, mungkin dia bisa menjawabnya,” ceplosnya. Kontan siswa lain mendengungkan bisikan layaknya dengungan lebah yang sedang mencari madu. Mutiara kaget mendengar itu. Arif berdiri mematung di depan kelas. Siswa lain hanya tersenyum memandangi kedua manusia yang sedang salah tingkah itu.

“ Silahkan kepada Mutiara, mau mencoba berpendapat?” tawar Arif terpaksa. Dia mencoba menegas-negaskan suaranya. Padahal hatinya bergetar saat itu. Mendapati tawaran itu, tidak ada pilihan lain bagi Mutiara, selain menjawabnya. Ia mencoba menjawab dengan semampu yang dia bisa. Dia utarakan hikmah yang didapat setelah memperhatikan cerita sang guru. Mutiara mengeluarkan rangkaian kalimat dengan sangat santai dan dengan artikulasi yang jelas. Suara lembutnya membuat yang mendengarkannya merasakan sebuah kenyamanan yang entah dari mana datangnya. Memang seperti itulah Mutiara. Dia tidak berbicara, kecuali hal yang penting dan perlu saja. Mutiara lebih sering menggunakan waktu luangnya dengan membaca Al-Qur’an ketimbang harus ngerumpi layaknya siswa perempuan kebanyakan.

SubhanAlloh...” gumam Arif selepas Mutiara mengakhiri pendapatnya. Tanpa Arif sadari, siswa laki-laki yang duduk di kursi paling pojok mendengar gumaman gurunya itu.

SubhanAlloh kenapa, Pak Arif? Mutiara cantik ya?” celetuk siswa berambut ikal itu. Arif kikuk tidak bisa menaggapi celetukan siswa berambut ikal.

“ Ma’af, Pak. Maksud saya, jawaban Mutiara cantik ya?” goda siswa berambut ikal itu lagi. Tidak ingin tenggelam dalam perangkap siswanya yang usil, Arif langsung mengambil kemudi.

“ Iya, pendapat Mutiara benar. Cerita yang tadi itu merupakan sebuah analogi untuk kehidupan kita di dunia yang fana ini. Sang raja dalam cerita itu kita ibaratkan Allah, Tuhan kita, yang telah menciptakan kita dan yang memerintahkan kita untuk senantiasa beribadah kepadaNya serta menjadikan kita sebagai kholifah dimuka bumi ini.

Kemudian, sang abdi setia itu adalah Nabi Muhammad SAW, rosul kita. Tugas beliau adalah menyampaikan wahyu yang diperoleh dari malaikat Jibril kepada kita. Tujuan akhir dari perintah-perintah itu adalah agar kita beribadah kepada Alloh, Tuhan kita. Dengan mengikuti tata cara beliau tentunya.

Kemudian, lautan atau Samudera itu kita umpamakan dunia ini. Dunia tempat kita hidup sementara ini. Tabung oksigen adalah jatah usia kita. Pakaian selam adalah tubuh kita. Senter adalah ilmu yang kita miliki. Semakin banyak ilmu yang dimiliki, maka akan semakin memudahkan kita dalam melihat dunia yang gelap ini. Lalu, peta adalah sebuah petunjuk untuk hidup kita. Peta itu adalah Al-Qur’an dan As-sunnah. Kita tidak akan pernah tersesat dalam menjalani hidup ini jika kita berpegang teguh pada kedua petunjuk itu.

Ikan-ikan hias itu adalah godaan dunia. Jika kita kalah oleh godaan itu, maka hal itu akan membuat kita terlupa akan tugas kita yang sebenarnya, yaitu beribadah kepada Alloh dan menjadi kholifah untuk kelestarian dunia ini. Dan, mutiara itu merupakan amalan kita selama hidup di dunia. Semakin banyak amalan kita, maka akan semakin beruntung kita. Mutiara itu, atau amalan-amalan itu merupakan bekal untuk kita di hari kemudian, yaitu hari akhirat, yang pada akhirnya menentukan kita, apakah masuk ke dalam surga atau nerakaNya.

Dan, sang rakyat yang diperintahkan oleh sang raja untuk mengambil mutiara itu adalah kita. Saya dan kalian, tidak terkecuali juga Anda, Anda dan Anda,” Arif menunjuk beberapa siswanya.

“ Tidak terkecuali juga Anda!” Arif menunjuk siswa berambut ikal yang duduk di kursi paling pojok yang sering menggodai dirinya. Mendapati gurunya menunjuk dirinya, dia tersenyum malu.

“ Kita semua perlu mengingat ini! Semua hal yang kita lakukan dari mulai membuka mata sampai menutupnya kembali, itu merupakan amal perbuatan kita. Amalan sehari-hari kita itu terkelompokan menjadi dua jenis, yaitu: amalan baik dan amalan buruk. Kedua amalan itu tidak akan lari kemana-mana. Mereka akan memintai pertanggung jawaban kita kelak di hari penghitungan amal. Jika amalan baik kita lebih banyak dari amalan buruk, niscaya kehidupan akhirat kita akan bahagia. Tapi, jika sebaliknya, yaitu amalan buruk kita lebih banyak dari amalan baik kita, maka di akhirat kelak kita akan sengsara. Itu merupakan sebuah kepastian.

Hidup itu adalah sebuah pilihan. Kita ingin akhir yang bahagia atau akhir yang sengsara, bukan orang lain yang menentukan, tapi diri kita sendirilah yang menentukan. Pilihan mana yang dipilih oleh seseorang itu, tercermin dari tingkah lakunya selama ini.

Kalian sudah dewasa, saya meyakini kalian sudah mengetahui yang mana perbuatan baik dan yang mana perbuatan buruk. Saya yakin, kalian pasti tahu jika menggunjingkan orang itu adalah hal yang buruk. Saya yakin, kalian pasti tahu jika dua orang yang belum menikah duduk berduaan di tempat yang sepi dengan sambil berpegangan tangan itu merupakan perbuatan yang buruk. Saya yakin, kalian pasti tahu kalau mencontek itu adalah perbuatan yang buruk. Saya yakin, kalau kalian tahu jika durhaka kepada orang tua itu perbuatan buruk. Dan saya juga yakin, kalian tahu, ketika kalian tidak menjalankan kewajiban solat itu juga merupakan perbuatan yang sangat buruk.

Sekali lagi saya tekankan, yang menentukan akhir kita bahagia atau sengsara itu adalah amalan kita selama hidup di dunia ini,” Arif mengingatkan kembali para siswanya.

Bel tanda istirahat berbunyi. Para siswa mendesah kecewa karena sedang asik-asiknya menikmati pembicaraan sang gurunya. Arif mendekat pada meja guru. Dia membereskan bukunya yang tercecer di atas meja. Arif memeluk buku-buku itu, kemudian berjalan menuju depan kelas lagi. Dia berdiri disana.

“ Pesan untuk pelajaran hari ini adalah: jangan sampai kita melupakan tujuan hidup kita yang sebenarnya. Yaitu menggapai ridho Allah dengan cara-cara yang dilakukan oleh Rosululloh SAW,” Arif menutup kelas. Dia memberikan senyuman manis kepada seluruh siswanya, lalu dia berjalan menuju pintu.
***

LIMA
Di dalam kamar berukuran tiga kali tiga meter yang bercatkan biru muda. Disana ada seorang guru muda yang sedang merenung seorang diri. Dialah Arif. Ia berpikir bahwa usia dia sekarang sudah tidak muda lagi. Mungkin sudah saatnya dia untuk segera menyempurnakan separuh agamanya, yaitu menikah. Dia teringat kembali dengan mimpinya kemarin malam. Dalam mimpinya itu, dia melihat sebuah mahligai indah di samping tumpukan kerang-kerang mutiara. Dengan itu, dia benar-benar semakin yakin, jika sekaranglah waktunya untuk segera menjalankan salah-satu sunnah nabi.

Setelah Arif yakin untuk menyegerakan pernikahannya. Arif berpikir wanita mana yang hendak dia lamar. Arif ingin mendapatkan pendamping hidup yang bisa dia ajak untuk bahu membahu guna menegakan kembali panji-panji islam. Arif menginginkan calon isteri yang seperti itu. Tiba-tiba saja Arif terpikir seorang wanita yang telah dia kenal. Sejauh ini, tidak banyak interaksinya dengan wanita itu. Tapi, meskipun begitu, entah mengapa hati Arif seperti yakin kepada seorang wanita itu.

Segera Arif menuju meja kerjanya. Ia membuka laptop dan menyalakannya, kemudian mengkoneksikan internet. Arif membuka website sekolahnya. Arif mencari-cari data yang ia butuhkan. Setelah mendapatkan data yang dicarai, Arif membaca dan memperhatikan data itu. Dengan menghujamkan bismillah dalam hati, Arif mengahapalkan salah-satu tulisan yang ada pada website itu. Tulisan itu merupakan sebuah alamat rumah, yang esok hari akan Arif sambangi.
***

Hari Minggu pagi. Waktu menunjukan pukul sembilan. Motor yang dikendarai Arif meluncur menuju sebuah alamat. Karena bingung, di pertigaan jalan Arif menanyakan alamat itu kepada tukang ojek yang sedang mangkal. Setelah yakin tahu, Arif melanjutkan perjalanannya lagi.

Arif memarkirkan motornya di depan rumah yang memiliki cat warna krem. Arif perhatikan alamat yang tertulis pada sobekan kertas yang dia pegang. Kemudian ia melihat nomer rumah yang tertempel pada pintu gerbang tembok rumah itu. Nomernya sama. Berarti benar, Arif tidak salah alamat.

Arif berjalan mendekat menuju rumah itu. Ia mengetuk pintu, lalu disempurnakan dengan ucapan salam. Seorang wanita belia berkerudung lebar membuka pintu. Pandangan Arif dan wanita belia itu beradu. Wanita belia itu terkejut dengan kedatangan Arif kerumahnya.

“ Pak Arif...” Mutiara kaget. Arif memberikan senyuman. Mutiara membalas senyuman Arif.

“ Bapaknya ada?” tembak Arif.

“ Oh, Abi ada. Silahkan masuk dulu, Pak” tawar Mutiara. Arif masuk lalu duduk pada sofa cokelat. Sementara Mutiara masuk hendak memanggil Bapaknya. Mutiara melangkah dengan banyak tanda tanya dikepalanya. Ada apa gerangan pak Arif ingin bertemu dengan bapaknya.

Tidak lama berselang. Pada sebuah ruang tamu, disana terdapat tiga orang yang sedang mengobrol. Mereka adalah Arif dan kedua orang tua Mutiara. Dengan suara gemetar tapi pasti, Arif mengutarakan keinginannya untuk meminang Mutiara kepada kedua orang tuanya. Mutiara bergemuruh hatinya ketika menguping pembicaraan Arif kepada Orang tuanya. Dia tidak bisa membohongi hatinya, sesungguhnya dia juga menaruh hati untuk si bapak guru mudanya itu.

Angin lembut bertiup sepoi-sepoi. Angin itu masuk menuju ruang tamu rumah Mutiara. Angin itu membelai lembut jiwa-jiwa yang sedang mengobrol di dalamnya.

Arif menatap bapaknya Mutiara, menunggu jawaban. Bapaknya Mutiara melihat wajah teduh Arif hendak memberikan jawaban. Ibunya Mutiara tersenyum setelah beberapa detik lalu saling tatap dengan suaminya. Sementara Mutiara harap-harap cemas menunggu jawaban apa yang akan terucap dari mulut bijaksana bapaknya. Pada salah-satu sudut dinding, tergantung sebuah foto keluarga. Pada foto itu terdapat empat orang. Bapak dan ibunya duduk pada dua buah kursi. Sementara di belakangnya, berdiri Mutiara dan seorang kakak laki-lakinya yang sudah menikah. Mereka semua tersenyum.
***

Selasa, 04 Oktober 2011

Masih Ada


Hapeku rusak. Kejadiannya sekitar empat hari yang lalu. Ketika itu aku menyimpan hapeku di atas lemari. Entah seperti apa kejadian pastinya, tahu-tahu, hape malangku itu sudah tergeletak di lantai dengan layarnya yang sedikit retak. LCDnya rusak. Sebenarnya, hapenya masih bisa menyala, tapi layarnya tidak tampak selain warna putih berkedip-kedip, layaknya mata seorang playboy cap ikan teri yang sedang menggodai wanita jadi-jadian di pinggir jalan. Genit.

Awalnya aku kebingungan atas peristiwa ini. Tapi, setelah direnungkan lebih dalam lagi, sebenarnya buat apa aku memusingkan hal sepele semacam ini. Toh, orang-orang zaman dulu tetap bisa hidup meskipun tanpa alat komunikasi genggam itu. Life must go on, boy. Semuanya aku serahkan kepada Sang Maha Pengatur. Pasti akan ada hikmah dibalik rusaknya hapeku ini. Dan, ketika segalanya telah benar-benar dipasrahkan padaNya, pertolongan itupun datang. Dia mengulurkan tanganNya pada diriku. Sore hari, saat aku bersilaturahim dan berbincang dengan teman santri PPM di kamarnya. Santri ini tidak lain adalah Aditia Sam Kamarulloh, teman satu kamarku ketika dulu masih menghuni ghurfah tiga belas. Ghurfah yang selalu menggondol trofi Darussalam cup (lomba futsal antar kamar, se-asrama Darussalaam).

“ Oya, kartu kamu masukin aja ke hape saya yang dua sim Ko. Kebetulan yang satunya masih kosong, gak saya isi,” tawar Adit di sela-sela obrolan kami. Tanpa banyak pikir lagi, aku serahkan kartu hapeku pada Adit. Adit menerima kartuku, kemudia langsung memasukan pada hapenya. Meskipun aku sering telat membaca pesan masuk karena jarang-jarang bertemu Adit, sebab kami memiliki kegiatan masing-masing, namun ini tetap bisa mengatasi sedikit kesulitanku.

Ada beberapa cara untuk aku bisa membaca pesan masuk pada kartu sim-ku. Pertama, jika aku dan Adit sedang sama-sama berada di asrama, suara Adit setengah teriak memanggil namaku.

“ Ko, ada SMS masuk,” ujar Adit sambil berjalan menuju kamarku.

Kedua, saat aku sedang santai atau sedang mengerjakan sesuatu di asrama, tiba-tiba deruman suara motor Adit terdengar dari luar. Adit masuk asrama dengan masih menyalakan mesin motornya. Beberapa detik setelah suara motor itu hilang, sesosok pria muncul di pintu kamarku. Pria itu mengenakan jaket hitam tebal, celana jeans, sepatu kets, dan sebuah tas gendong menempel di punggungnya.

“ Ko, ada SMS masuk nih, ma’af yah, saya telat ngasih tahu, soalnya saya tadi lagi ada di luar,” ucap Adit sambil menyodorkan hapenya padaku. Setelah hape berada di genggamanku, Adit keluar begitu saja. Dia berjalan menuju kamarnya. Sedangkan hapenya dibiarkan tetap padaku. Mungkin, Adit mempersilahkan diriku untuk menyelesaikan urusanku terkait pesan-pesan yang masuk.

Dan yang ketiga, caranya adalah dengan memberdayakan pihak ketiga. Untuk memilih pihak ketiga ini, kriteria yang harus ada adalah, dia harus sering stay di asrama. Dan, orang yang terpilih itu adalah temanku juga saat tidur di ghurfah tiga belas. Adalah Arahmat Jatnika, alias Mamat.

Jika Adit sedang berada di luar, dan dia merasa pulang kandangnya akan sedikit lama. Adit akan mengirimkan terlebih dahulu SMS yang masuk di kartuku pada nomer Mamat. Jadi, aku bisa baca pesan masuk pada sim-ku dari sim-nya Mamat. Seperti itu.
***

Sore hari, sekitar jam lima. Ketika sinar Mentari mulai berubah menjadi jingga. Ketika burung walet banyak yang berseliweran di atas asrama Darussalaam. Dan ketika beberapa santri PPM pulang kandang dengan wajah yang lesu dan tidak keruhan karena padatnya aktivitas di kampus. Ketika itu aku masuk kamar mandi. Aku hendak menuntaskan hak untuk tubuhku, yaitu mandi. Adegan selanjutnya aku sensor, karena aku sedang berada di dalam kamar mandi. Tiiiiiiiiiiiitttttttt.

Sepuluh menit berselang, aku keluar kamar mandi dengan hanya mengenakan handuk warna hijau muda. Tangan kanan menjinjing alat mandi dan tangan kiri menggenggam kaos, celana dan kolor kotor yang tadi aku gunakan. Aku melangkah menuju kamarku. Sesampainya di kamar, aku menyimpan alat mandi dan pakaian kotor pada tempatnya masing-masing. Pada cermin berukuran empat puluh kali seratus senti yang tertempel di salah-satu sudut kamarku, aku melihat diriku sendiri yang masih hanya terlindungi oleh sehelai haduk. Aku melihat diriku sekali lagi. Meskipun intensitas olah ragaku tidak seperti yang dulu lagi, ketika aku masih menjadi atlet sepak bola, namun, sisa-sisanya masih nampak padaku. Otot-ototku masih ada. Perutku masih terlihat six-pack, walau tidak sekekar dulu. Setelah flash back pada zaman dulu, segera aku mengganti pakaian baru dengan yang masih bersih dan wangi. Tiba-tiba, tidak dijemput juga tidak di undang, Mamat muncul.

“ Kang Niko, ini ada SMS dari Adit, katanya ada pesan masuk untuk Kang Niko,” Mamat memberikan hapenya padaku.

“ Nanti hapenya Akang pegang dulu aja ya, soalnya saya mau ke warung dulu, mau beli makan,” ucap Mamat padaku.

“ Oh iya Mat, sip-sip,” jawabku. Mamat meluncur menuju luar asrama. Aku tutup pintu kamarku, lalu duduk di dekat lemariku. Aku baca SMS untukku.

Ko, ini ada SMS dari nomer 08XXXXXXXXXX
Ini sebuah catatan untukmu dan saya sendiri. Untukmu wahai saudaraku, sudah saatnya engkau malu pada Tuhanmu. Tentang rasa cinta yang tak halal untuk dirasa. Tentang angan yang tak pantas dibayangkan. Karena semua itu adalah sebuah penghianatan padaNya, dan juga pada seseoarang yang kini sedang menjaga hatinya untukmu. Ketahulilah, disana ada insan yang setia menundukan pandangannya, yang menghijab hatinya, yang menunggu dengan mengisi hari-harinya penuh dengan do’a terbaik untukmu. Ia yang tak ingin jauh mengenalmu sebelum halal atasmu. Karena dengan itu ia menjagamu. Maka dengarkanlah saudaraku, tak inginkah kau menghargainya dengan berbuat seperti apa yang ia perbuat untukmu? Menundukan hati dan pandanganmu untuknya, sampai datang waktunya? Wallohu’alam yamuqolibalqulub.


Seketika aku membaca SMS itu, seketika itu juga pikiranku terbang menghampiri seseorang. Seseorang yang kupanggil dengan sebutan bidadari surga. Seseorang yang sering ku obrolkan dengan diriku sendiri. Seseorang yang selalu ingin kujaga dengan ketiada berdayaanku. Seseorang yang jika ingin melihatnya, aku lukiskan dia dengan rangkaian kata dan kalimat, lalu kubaca lukisan itu sampai aku merasa lelah.

Sempat terpikir, apakah ini merupakan teguran dari-Nya untukku? Meskipun sejauh ini aku merasa interaksiku di dunia nyata dapat dikatakan sangat baik, atau sesuai dengan yang telah diajarkan islam. Namun, tidak demikian dengan dunia khayalku. Terkadang, memang, saat aku tak mampu mencuri pandang, dalam dunia khayal aku bisa memandangi lekat-lekat wajahnya. Saat aku tak bisa mengobrol dan berbagi cerita, dalam dunia khayal aku sanggup berbincang dengannya. Saat aku berpapasan dan tak mampu memberikan seutas senyuman, dalam dunia khayal aku tarik lebar-lebar bibirku untuk senyum selebar-lebarnya. Dan saat aku termenung sendiri, dalam dunia khayal aku hadirkan dia disampingku. Jika kupikirkan lagi, sepertinya pesan itu memang benar-benar sebuah teguran untukku dari-Nya, dan Dia gerakan hati seorang temanku ini untuk menuliskan sesuatu dan mengirimkannya padaku. Teguran itu Dia sampaikan lewat jalan SMS ini. Terima kasih Yaa Allah, kasih sayangMu untukku, juga untuk hamba-hambaMu yang lain, melebihi luasnya langit dan bumi.
***

Teruntuk sahabat-sahabatku, dimanapun engkau berada, amat rugi kiranya jika sebuah pesan yang sarat akan hikmah yang dikirim oleh seorang teman ini kita abaikan begitu saja. Mari kita gali kembali pelajaran yang tersembunyi dari untaian kata yang ada.

Sahabat, coba bayangkan, disana, di sudut bumi sana, ada seorang wanita/laki-laki yang diam-diam mengagumi dirimu. Wanita/laki-laki itu memiliki perangai yang baik. Dia sangat mencintai dirimu. Tapi, disisi hatinya yang lain, dia tidak ingin meninggalkan cintanya pada Allah hanya karena cintanya kepadamu. Karenanya, mati-matian dia melawan perasaannya padamu itu untuk tetap bisa dikendalikan. Mati-matian dia menjaga pandangannya, menghijab hatinya, dan menjaga dirinya untuk ridhoNya dan untuk dirimu. Berharap, esok hari, ketika hari itu tiba, dia memang benar-berar pantas disandingkan dengan dirimu.

Sahabat, tidakkah engkau menginginkan kelak disandingkan dengan seseorang yang seperti itu. Seseorang yang cantik jelita/tampan serta hatinya yang putih bersih itu. Jika ia, sudah sepantasnya sekarang kita menundukan hati dan pandangan kita untuk ridhoNya dan untuknya. Jika tidak, jangan pernah berharap untuk mendapatkan seseorang yang sangat istimewa itu, atau seseorang lain yang sama istimewanya dengan dia. Kelak, engkau akan mendapatkan yang sesuai dengan bagaimana keadaan dirimu. Baik dan buruknya, kita yang menentukan. Hendak pilih yang mana?
***

Teruntuk bidadari surgaku, dimanapun engkau berada, ma’afkanlah dengan apa yang telah aku lakukan padamu di dunia khayalku. Mohon kirimi aku sebuah do’a, agar aku bisa istiqomah dalam menjaga jiwa dan tubuh ini. Duhai dirimu disana, mari kita jaga hati kita. Kalaupun nanti takdir tidak mempertemukan kita, insyAllah, Dia akan memberikan seseorang yang telah benar-benar menjaga hatinya untuk kita, untuk diriku dan dirimu. Duhai dirimu disana, namun, tetap, disini, di dalam lubuk hati ini, masih tersimpan sebuah asa. Sebuah asa yang meskipun tidak kubahasakan, aku meyakini, engkau mengetahuinya.