Rabu, 23 November 2011

Garuda di Dadaku


Dulu, aku pernah mesantren. Al-Hidayah nama ponpesnya. Ponpes ini letaknya tidak jauh dari rumahku, hanya diselingi lima buah kampung saja. Ponpes ini dibangun di atas sebuah bukit, tepatnya di halaman belakang rumah kyainya. Di bawah bukit tempat berdirinya Al-Hidayah ini, terhampar luas persawahan hijau. Agak jauh ke sebelah barat, laut selat sunda terlihat jelas dan indah. Menakjubkan. Aku sering memandangi lembayung senja di teras depan kobong (kamar santri) sambil merenung di sore hari. Nyaman sekali. Ingin rasanya sekarang aku melakukan hal itu lagi. Ingin sekali.

Tidak banyak santri yang menuntut ilmu di ponpes ini. Jumlahnya dapat dihitung dengan jari. Namun, konon, para santri jebolan Al-Hidayah selalu jadi orang. Sejarah membuktikan. Sudah banyak santri asuhannya kyai Onan Zein, yaitu pimpinan ponpes ini, yang telah menjadi orang. Sejauh yang ku ketahui sekarang ini, ada yang menjadi ustad dan sudah mendirikan ponpes, ada yang menjadi anggota dewan, ada yang menjadi kepala desa, ada yang menjadi pengusaha, ada yang menjadi tokoh penting di masyarakat dan ada juga yang mengambil jalur keamanan daerah, tiada lain adalah jawara. Jawara Banten.

Banyak kenangan yang hingga kini masih melekat erat di kepalaku. Semua bayangan itu tidak pernah mampu membuat bibir ini menahan senyuman saat aku mengingatnya kembali. kenangan dan otakku sudah seperti pasangan pengantin baru. Inginnya selalu berdekatan. Mereka tidak ingin berpisah. Menempel terus. Satu diantaranya adalah cerita tentang bolos mengaji.

Di Al-Hidayah, jadwal mengaji dalam seharinya adalah tiga kali, yaitu: ba’da subuh sampai Mentari terbit, setelah ashar hingga menjelang waktu magrib dan sehabis isya sampai sekitar pukul sepuluh malam. Ada satu diantara waktu belajar itu yang sering aku tidak masuki, yaitu belajar sore. Mengapa demikian? Alasannya tidak lain dan tidak bukan adalah sepak bola.

Bermain sepak bola memang hobiku. Bahkan lebih dari sekedar itu. Aku merasa sepak bola sudah menyatu dengan jiwaku. Ia sudah menjelma menjadi belahan jiwaku. Jika tiba-tiba ada sebuah pesawat melintas di sekitar lapangan dimana ada diriku sedang bermain bola, dan secara mengejutkan pilot pesawat itu menebarkan gepokan uang yang trilyunan jumlahnya, aku tidak akan pernah tertarik untuk bergabung dengan para penonton yang sedang berlomba-lomba untuk mengambil uang yang berjatuhan itu. Dengan senang hati, aku akan tetap melanjutkan bermain bola.

Segala sesuatu itu pasti ada balasannya. Ada sebab, pasti ada akibat. Itu sebuah keniscayaan. Itu merupakan sunnatulloh, yang pasti adanya. Pun, dengan apa yang sering kulakukan ini, yakni bolos mengaji sore demi bermain sepak bola. Apa akibatnya? Apa yang kudapatkan dari prilaku itu? Adalah sindiran dari pak kyai saat pengajian malam atau paginya. Untungnya, tersangka dalam kasus ini tidak hanya diriku saja. Ada satu lagi santri yang dengan suka rela menguntit diriku dibelakang jika aku hendak bermain sepak bola. Seorang santri saraf itu berperawakan kurus dan memiliki tinggi hanya beberapa senti saja dibawahku. Namanya sangat bagus, yaitu Muhamad Firli Firdaus. Namun sayangnya, nama indah itu tidak sesuai dengan prilakunya selama ini. Satu dari kebiasaan jeleknya adalah ia sangat doyan telanjang bulat. Jika dia hendak mandi, mandi pagi ataupun sore, dengan tanpa ada sedikitpun rasa malu, ia keluar kobong dengan tidak sehelai benangpun yang menutupi tubuhnya. Ia berjalan tegap dan santai menuju kamar mandi. Hanya gayung kecil saja di genggaman tangan kanannya yang berisikan alat mandi miliknya. Ia melangkah tegap macam ultraman yang baru mengalahkan monster sebesar pohon jengkol yang sudah seratus tahun tidak ditebang-tebang. Pusaka miliknya bergoyang-goyang seiring dia melangkah, sudah serupa dodol garut yang sudah lembek karena kepanasan. Kami, para penonton pertunjukan spektakuler itu, hanya bisa menggelengkan kepala atas prilaku aneh santri tengik itu.

Pernah suatu ketika, santri tengik itu hendak mandi sore, hanya beberapa menit menjelang adzan magrib. Ia meluncur keluar kobong dengan tujuan kamar mandi. beberapa meter dari pintu kobong, tiba-tiba saja ia berdiri mematung. Ia tidak bergerak sedikitpun. Wajahnya mirip pemuda yang sinting karena tidak jadi menikah dengan sang wanita pujaannya. Tidak jauh di hadapannya, hanya sekitar tujuh meteran, berdiri sesosok pria tua bersorban dan berjenggot lebat. Ia adalah kyai kami. Dengan begonya santri tengik itu bersembunyi di balik tiang berukuran setengah besar badannya. Ia hanya menyembunyikan titit dan wajahnya saja dari pandangan pak kyai. Sebelah matanya dia sembunyikan, sebelah mata satunya dia gunakan untuk mengintip pak kyai. Pak kyai hanya diam memandangi santri tengik itu. Namun, diamnya itu mengandung sebuah arti. Tunggu tanggal mainnya!. Itulah arti dari diam beliau. Sejak saat itu, sang santri tengik tidak lagi berani telanjang bulat di muka umum (para santri). Santri tengik itu kini sudah waras. Semoga penyakit sintingnya itu tidak akan pernah kambuh lagi.

Balik lagi pada persoalan singgungan dari pak kyai untukku saat pengajian malam atau pagi tiba. Saat itu, kami, para santri, yang jumlahnya hanya lima orang saja, duduk menghadap pak kyai yang sedang membacakan dan menerangkan sebuah kitab kuning. Dihadapan kami terdapat sebuah meja kecil yang diatasnya kami mencoretkan tinta pada kitab yang dikaji. Masing-masing santri satu meja. Mejaku paling besar dan meja sang santri tengik paling mungil. Ia harus menundukkan badannya terlebih dahulu saat hendak mencoretkan tinta pada kitabnya. Meja mungil itu merupakan warisan dari santri yang sudah keluar. Tidak dinyana, betapa bahagianya santri tengik ketika ia mendapatkan warisan meja itu. Ia menciumi tangan sang juru selamat layaknya seorang tahanan yang menciumi tangan orang yang membebaskannya setelah berabad-abad lamanya mendiami rumah tahanan. Ia gembira sekali, seperti orang melarat yang tiba-tiba mejadi kaya raya.

Yang membuatku terheran-heran hingga sekarang adalah kemampuan pak kyai yang selalu mendapatkan bahan sindiran untuk para santrinya yang telah membuat suatu kesalahan. Menakjubkannya lagi, bahan sindirian itu selalu berhubungan dengan bab pelajaran yang sedang dibahas di pengajian saat itu juga. Bagi santri yang meras tersinggung, mereka hanya bisa diam menundukan wajahnya pada meja dihadapannya. Tapi tidak untukku dan santri tengik yang duduk tepat di samping kiriku ini. Barusan, kami disindir oleh pak kyai karena lagi-lagi, sore tadi kami tidak mengikuti pengajian. Saat menyadari pembicaraan pak kyai mengarah pada kesalahan kami tadi sore, santri lain mengarahkan padangannya pada kami, para tersangka. Ketika itu, aku menunduk sejenak, kemudian mengarahkan pandangan pada sesama terdakwa. Kami satu pemikiran. Saat aku menatap santri tengik itu, ia pun mengarahkan wajahnya padaku. Kami saling memberikan senyuman, lalu tertawa kecil yang ditahan-tahan. Kami menunduk lagi dan melanjutkan tawa yang tertahan. Dasar, para santri tengik, dimarahin malah tertawa. Kewalat tahu rasa kalian. Tapi mudah-mudahan tidak. Aamiin.

Untuk Abah Haji Onan (kyaiku yang SubhanAllah banyak ilmunya). Untuk yang kesekian kalinya, muridmu ini hendak memohon ma’af karena dulu sering membolos pada pengajian sore. InsyAllah, jika masih ada umur, lebaran nanti santrimu yang kurang ajar ini akan bersilaturahim lagi ke rumah Abah. InsyAllah. Sedikit gambaran saja untuk sidang pembaca, kyaiku itu memiliki rupa hampir sama dengan imam Khardawi yang terkenal itu. Jika tidak percaya, silahkan datang ke ponpes Al-Hidayah ke daerahku di Banten sana.
***

Selidik punya selidik, ternyata, membolos pengajian sore itu tidak berdampak buruk semua. Karena terlampau seringnya aku berlatih bola, kemampuan bermain bolaku semakin bertambah baik saja. Aku merasakan hal itu. Buahnya, keberanianku untuk mengikuti seleksi pada sebuah tim sepak bola dalam mengikuti berbagai kompetisi semakin baik saja. Kini aku tidak lagi merasa minder dengan kempuanku bermain sepak bola. Aku berani bersaing dengan para pendahuluku dalam dunia sepak bola.

Mendengar kabar ada seleksi tim sekolah untuk kompetisi antar SMA se-Banten, tidak banyak pikir lagi aku langsung mengikutinya. Alhamdulillah, aku diterima masuk skuad tim sekolah. Saat kompetisinya bergulir, sekolah kami menyabet medali perunggu. Lumayan. Saat ada seleksi tim kecamatan untuk pekan olahraga kabupaten (PORKAB), aku ambil bagian. Kerja kerasku membuahkan hasil lagi. Lagi-lagi, timku menyabet medali perunggu. Saat di semifinal, timku kalah dalam drama adu penalti melawan kecamatan yang kemudian menjadi juara pertama. Keberuntunganku dalam dunia sepak bola belum berhenti sampai disana. Aku bersama satu rekan setimku saat mengikuti PORKAB, terpilih untuk mengikuti seleksi masuk klub PERSERANG, salah-satu klub terbesar yang ada di Banten. Saat kabar yang membuat jantungku seakan melayang-layang diudara itu aku dengar, aku semakin giat saja dalam berlatih. Namun, disisi lain, semakin sering juga aku membolos pengajian sore. Alhasil, setelah beberapa bulan mengikuti alur seleksi yang ketat dan bersaing dengan para pemain sepak bola hebat lainnya, akhirnya aku dan rekanku terpilih menjadi skuad klub PERSERANG untuk mengikuti piala suratin atau kompetisi tingkat nasional dibawah usia delapan belas tahun. SubhanAllah, betapa bahagianya hatiku saat itu. Bahagia sekali.

Saat piala suratin bergulir, kami tinggal di sebuah hotel yang cukup nyaman untuk ditempati. Selain mendapatkan kebahagiaan karena menjadi bagian dalam sebuah kompetisi tingkat nasional, kami juga mendapatkan bayaran yang lumayan besar. Selian itu juga, setiap harinya kami mendapatkan makan gratis dengan menu yang super nikmat. Hidup kami ditanggung oleh klub. Enak sekali.
MasyaAllah, saat kompetisi bergulir, kutemui para pemain muda yang tidak jarang kujumpai di tv. Sungguh, aku sangat bangga bisa berkompetisi dengan para pemain muda Indonesia itu. Aku dan klubku masuk koran lokal. Meskipun timku terhenti langkahnya oleh PERSITA, namun aku tetap bangga karena telah ambil bagian dalam kompetisi ini. Akhirnya, klub yang mengalahkan timku menjadi juara pertamanya. PERSITA yang telah mengalahkan PERSERANG, menjadi jawara dan menggondol tropi suratin cup.

Tidak usah ditanya bagaimana tanggapan keluarga, teman, dan orang-orang yang mengenalku lainnya tentang prestasiku dalam sepak bola. Mereka semua membanggakanku. Aku gembira. Hanya saja, kegembiraanku belum sempurna, karena pak kyai terlihat datar saja atas prestasiku ini. Ada dua kemungkinan mengapa pak kyai seperti itu. Pertama karena kesalahanku yang menurut beliau aku lebih mementingkan sepak bola ketimbang mengaji sore. Dan kedua adalah karena beliau tidak hobi serta tidak suka bermain dan menonton sepak bola. Memang, pernah sekali saja beliau bertanya tentang hal itu. Namun, nampaknya beliau hanya sekedar ingin tahu saja. Hanya sebatas itu.

Aku berani memastikan, semua anak laki-laki yang bercita-cita menjadi pemain sepak bola profesional, mereka mendambakan untuk mengikuti kompetisi piala suratin. Mengapa demikian? Karena suratin cup ini ibarat jembatan penghubung antara pemain muda dengan dunia sepak bola profesional. Biasanya, ketika kompetisi ini bergulir, ada banyak para pemandu bakat yang memata-matai bibit pemain muda. Tidak sedikit dari para tunas muda itu, resmi dikontrak oleh klub saat kompetisi itu selesai. Mereka mendapatkan gaji yang cukup besar. Minimal, kalaupun ada para pemian yang kurang beruntung, biasanya mereka mendapatkan kesempatan untuk magang di sebuah klub profesional. Meskipun mereka tidak mendapatkan gaji. Hanya uang transport saja yang diberikan klub. Setidaknya mereka mendapatkan ilmu bermain sepak bola dari klub itu dan kemungkinan untuk masuk klub pada tahun depannya akan semakin besar, karena permainan mereka akan bertambah baik serta menejemen klub sudah mengenal mereka.

Pasca kompetisi piala suratin, aku mulai bimbang. Aku galau. Jalan mana kira-kira yang akan kutempuh untuk menuju masa depanku. Pepatah yang mengatakan jika hidup itu adalah sebuah pilihan, terasa kebenarannya olehku saat itu. Kerasa sekali. Hingga tiba pada satu titik dalam hidupku untuk menentukan trek mana yang akan ku pilih. Akhirnya, dengan berat hati, aku harus rela meninggalkan dunia persepak bolaan. Hati menuntunku untuk memilih jalan yang satunya. Jalan yang cukup hanya Allah dan diriku saja yang tahu. Berat terasa. Jika saja aku tidak ingat kalau diriku adalah seorang laki-laki, ingin rasanya aku lelehkan air mataku satu atau dua tetes saja. ingin rasanya. Namun aku tak bisa.

Tidak sedikit teman seperjuanganku di dunia sepak bola, menyayangkan keputusan yang aku ambil. Tidak hanya mereka, petinggi klub juga demikian. Mereka membujukku agar tetap menggeluti bidang sepak bola. Tapi, meskipun memang terasa berat, namun, keputusanku ini sudah bulat. Aku adalah seorang laki-laki. Aku harus berani mengambil keputusan dan siap untuk menanggung semua kemungkinan resiko yang datang. Pro dan kontra dalam hidup itu sudah biasa. Itu merupakan bumbu dalam kehidupan ini. Aku harus genggam erat pilihanku.
***

Sekarang, statusku adalah seorang mahasiswa yang merangkap sebagai santri. Jika digabungkan, menjadi santri mahasiswa. Ya, itulah diriku saat ini. Sebagai seorang santri dan juga mahasiswa, tugas dan kegiatan menumpuk itu sudah menjadi makanan sehari-hari. Tidak jarang satu atau dua kegiatan berjalan pada waktu yang sama. Jika saja tidak pandai-pandai dalam mengatur waktu, habis sudah.

Pagi hingga siang, atau terkadang sampai sore, aku kuliah. Malamnya mengikuti materi di PPM. Semua rutinitas itu terasa membosankan. Tapi, memang seperti itulah hidup. Terasa pahit memang, tapi pahitnya itu pahit obat, yang nantinya akan menyembuhkan. Aku meyakini, pahit dan sakit dalam perjuangan itu sifatnya hanya sementara. Bisa jadi, pahit dan sakit yang dirasakan itu hanya dalam waktu semenit, sejam, sehari, seminggu, sebulan atau setahun saja. Namun, jika kita menyerah kepada rasa pahit dan sakit itu, maka pahit dan sakit yang sebenarnya akan kita rasakan pada esok hari. Rasa pahit itu akan terasa selamanya dalam sisa hidup kita. Mengerikan sekali.

Untuk mensiasati rasa bosan ini, aku sering menulis. Menulis apapun itu. Saat hati ini sedang sedih ataupun senang, maka aku segera menulis. Karena dengan menulis, aku seperti memiliki sesuatu tak nampak dalam jiwa ini yang mampu menetralisir emosi yang kurasakan. Saat sedih, jiwaku terangkat agar tidak larut dalam kesedihan itu. Ketika gembira, jiwaku teredam supaya tidak berlebihan dalam menyikapi kegembiraan itu. Seperti itulah peran menulis dalam hidupku.

Tapi terkadang, ada hiburan lain yang selalu membuat otak mumetku fresh lagi. Hiburan ini munculnya secara periodik. Bergantung pada even yang sedang dilaksanakan. Tapi, setidaknya setiap tahun pasti adanya. Apa itu? Adalah kompetisi sepak bola yang diikuti Indonesia, seperti: piala AFF, sea games, asian games, pra piala dunia serta kompetisi yang lainnya. Dan satu lagi, saat PERSIB bermain.

Beberapa hari terakhir ini, Indonesia digemparkan oleh ajang sea games pada cabang sepak bola. Bagaimana tidak? Persepak bolaan Indonesia kini mulai merangkak lagi. Permainan para garuda muda nampak memukau untuk ditonton. Ditambah lagi, langkah pasukan garuda muda kini telah menapaki babak semi final. Seluruh penduduk Indonesia menyambut gembira prestasi ini. Tapi tidak bagi sekelompok laki-laki kere yang menghuni asrama Darussalam. Terlebih-lebih bagiku. Mengapa? Karena jadwal pertandingan semi final itu bentrok dengan jadwal muhadoroh untuk santri ikhwan. Bimbang menyapa kami. Galau memeluk diriku. Mana yang akan kami pilih? Mengikuti kewajiban sebagai santrikah? Atau mendukung para garuda muda? Bingung! Namun, kebimbangan itu menguap saat muncul ide brilian dari tempurung kepala salah satu santri ikhwan.

“ Gimana kalau muhadorohnya kita minta dipindah ke malam Senin? Malam itu kan kita gak ada jadwal!” celetuk salah-satu santri. Ide itu layaknya angin segar bagi kami. Segera, kami menyusun strategi paling jitu agar kang Halim, selaku mudabir kami, menyetujui permohonan kami. Sialnya, para santri mendaulat diriku sebagai juru bicaranya. Aku dipaksa mereka untuk berbicara empat mata dengan kang Halim. Aku dimintai untuk mengeluarkan segenap kemampuanku untuk melobi kang Halim. Memang benar-benar sialan mereka semua. Jika saja aku tidak menyukai sepak bola, akan aku jitak kepala mereka satu persatu. Aku tidak akan berhenti menjitak hingga benjolan di kepala mereka sampai sebesar biji duren.

Prosesi perayuan dimulai. Selepas materi malam, aku menghampiri kang Halim. aku duduk sila di hadapan kang Halim. Dengan dada berdebar, aku sampaikan maksudku padanya. Kang Halim mengernyitkan dahi selepas mendengar pembicaraanku. Masya Allah, mendapati wajah itu, nampaknya upaya kami akan gagal. Satu detik berselang, wajah kang Halim berubah tersenyum.

“ Jika kesepakatan semua santri seperti itu, silahkan saja. Tapi awas, konsekuensinya adalah: Antum semua harus hadir ketika muhadoroh malam Senin!” ujar kang Halim. mendengar ujaran itu, aku gembira. Acara nonton bareng di kontrakan alumni santri PPM yang tidak jauh dari asrama akan benar-benar terlaksana.

“ Kalau sampai ada satu saja santri yang tidak hadir, maka yang bertanggung jawab untuk semua ini adalah Antum selaku Ro’isnya!” tutup kang Halim. Bujubune, aku menjadi tumbal untuk semua ini. Secara otomatis pikiranku tertuju pada semua santri ikhwan. Aku bisa melihat jelas wajah mereka satu persatu. aku juga bisa melihat jelas tempurung kepala mereka yang bentuknya mirip buah melon yang gagal panen. Awas saja kalau sampai mereka tidak hadir pada jadwal muhadoroh yang dipindah. Akan aku jitak melon gagal panen itu hingga benjolannya sebesar bola bilyard. Yakin.
***


Semi final usai. Garuda muda mencengkeram pasukan Vietnam. Keperkasaan pasukan Vietnam yang mewarisi semangat para pahlawannya saat memukul mundur pasukan Amerika, sirna sudah. Jiwa semangat itu hancur lebur dicabik-cabik oleh kuku-kuku tajam para garuda muda. Permainan garuda muda sangat memukau. Hebat sekali. Aku bangga pada kalian wahai pasukan garuda muda. Kami bangga pada kalian. Sungguh.

Saat melihat beberapa anak muda kebanggaan Indonesia itu sedang bermain, pikiranku kembali melayang pada zaman ketika aku masih menggeluti dunia sepak bola. Aku ingat betapa nikmatnya bermain diatas rumput hijau nan mulus. Aku ingat gemuruh penonton di tribun. Aku ingat teriakan sang pelatih yang mencoba memberikan intruksi. Aku ingat semuanya. aku ingat semua itu. Wahai kawan semuanya! Tahukah kalian! Beberapa dari pasukan garuda muda yang sedang bahu membahu berusaha membawa kejayaan kembali persepak bolaan Indonesia itu adalah lawan mainku saat mengikuti ajang piala suratin! Satu diantaranya adalah sang kapten kesebelasan. Siapa lagi kalau bukan Egi Melgiansyah!

Saat itu, takdir mempertemukan timku, yaitu Perserang, dengan timnya Egi, yakni Persita. Kami saling mengerahkan kemampuan demi kemenangan tim kami masing-masing. Hasilnya, Perserang kalah. Permainan Persita memang hebat. Langkah Perserang kandas di kaki pasukan Persita. Pada akhir kompetisi, bersama Persita, Egi dan kawan-kawannya menggondol tropi suratin cup itu.

Jika saja dulu aku mengambil jalan sepak bola, tidak menutup kemungkinan, sekarang aku sedang berada di tengah-tengah pasukan garuda muda itu. Aku menjadi bagian dari mereka. Aku mengenakan kaos kebanggaan merah-putih. Lambang burung garuda menempel di bagian dada. Berama Egi cs, aku berjuang memajukan persepak bolaan bangsa. Tapi, hatiku menuntunku memilih jalan lain. Jalan yang sekarang aku syukuri ini.

Wahai garuda muda, kami bangga pada kalian. Terus berjuang untuk kejayaan sepak bola Indonesia kedepannya. Wahai pasukan garuda muda. Meskipun jalan kita kini berbeda, tapi tujuan kita tetap sama, yaitu mengharumkan nama bangsa kita. Engkau berjuang dengan sepak bola, sementara aku dan para pejuang muda lainnya berjuang dengan keahlian kami masing-masing. Bismillah.
***

Pasukan garuda muda menuju partai puncak. Kami pasukan Darussalam muda mempersiapkan tempat sebaik dan senyaman mungkin untuk acara menonton final bareng. Lokasi yang dipilih adalah tempat seperti biasa, yaitu kontrakannya alumni santri PPM. Saat semuanya beres dan sesuai dengan harapan, kami baru menyadari, jika pertandingan final itu waktunya berbarengan dengan materi hadits yang diajarkan langsung oleh sang penanggung jawab PPM, yakni ustad Mardais Al-Hilali. Sadar akan hal itu, kami, para santri PPM aktif berembuk kembali. Mencari cara bagaimana agar kami tetap bisa menonton partai final itu. Akhirnya, melalui musyawarah santri ikhwan, keputusan yang diambil adalah mencoba memohon kepada ustad Mardais untuk mengundurkan atau mempercepat jadwal materinya. Lagi-lagi, para pemuda sinting itu mendaulat diriku yang harus menghubungi ustad Mardais. Aku yang harus melobi ustad. Dasar para santri tengik. Untuk urusan seperti ini saja, aku yang jadi sasaran. Lain lagi kalau urusannya menyoal makanan. Semuanya pasti mengajukan diri untuk menjadi yang terdepan. Yakin.

4 komentar:

  1. tulisannya selalu panjang-panjang. hehe..
    mampir juga ke blog saya kang...

    BalasHapus
  2. numpang jalan2 ke blog teman....
    :)
    kunjungan balik juga yaah

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih kunjungannya mbak...
      sip insyAllah... :-)

      Hapus