Jumat, 29 Juli 2011

Nasibmu Darussalam


Aku tahu apa yang sedang kamu rasakan sekarang. Aku tahu itu, wahai Darussalam yang melindungiku, juga melindungi semua orang yang ada disini, di dirimu, dari dinginnya udara dan teriknya sengatan matahari. Kamu pasti sedang menjerit sedih. Sedih karena ulah orang-orang yang kamu lindungi itu.Tapi jangan khawatir wahai darussalam, semua itu akan ada waktunya. Waktu dimana semua perbuatan akan ada ganjarannya. Disanalah waktunya, waktu untuk kamu utarakan semua kekesalanmu kepada yang telah menciptakanmu dan menciptakan semua orang itu, orang-orang yang kamu anggap tidak memiliki hati itu.Jangan khawatir wahai Darussalam. Bersabarlah.
***

Darussalam dalam masa peralihan. Masa-masa ini adalah masa yang mana barang-barang tergeletak dimana-mana dan tidak pada tempatnya. Masa-masa beberapa orang santri yang tidak melanjutkan program, mengemasi barang mereka untuk migrasi ke tempat tinggal mereka yang baru. Masa-masa penantian beberapa santri yang berasal dari negeri seberang untuk segera berjumpa dengan sanak saudara di kampung nun jauh disana. Masa-masa jiwa banyak santri yang merasa telah berjumpa dengan yang namanya kebebasan. Kebebasan yang menyesatkan. Iya, aku berani mengatakan ini sebagai kebebasan yang menyesatkan.

Masa peralihan ini terjadi hanya beberapa hari setelah pelepasan santri, atau penutupan program satu periode. Pada masa ini, tidak ada lagi rutinitas pembelajaran. Pada masa ini, para santri tidak lagi dibangunkan sebelum subuh, oleh mudabbir untuk segera berangkat menuju mesjid DT guna solat berjamaah.Pada masa ini, para santri dibiarkan bangun sendiri-sendiri. Sang mudabbir hanya akan membangunkan beberapa santri yang setelah adzan subuh selesai belum kunjung juga bangun. Mungkin, cara seperti ini dilakukan guna melatih para santri untuk belajar bangun sendiri. Pada masa ini, sang mudabbir tidak lagi meungumumkan lewat pengeras suara siapa-siapa saja yang piket sampah dan piket mengambil galon air minum. Semua itu dibiarkan begitu saja. Mungkin sang mudabbir ingin menguji seberapa jauh kesadaran para santri akan kebersihan, lebih jauh lagi tentang kesadaran para santri akan sebuah amanah.
***

Beberapa santri yang tidak melanjutkan program, mereka sudah tidak lagi tinggal di darussalam, namun, sesekali mereka datang kesini. Aku tahu, hati mereka belum bisa lepas sepenuhnya akan kenangan disini. Aku yakin itu. Dan bagi santri yang melanjutkan, mereka harus rela menerima keputusan yang dibuat oleh pihak logistik asrama. Mereka harus rela digiring menuju satu kamar. Untuk sementara, paling tidak selama bulan Ramadhan, mereka harus rela tidur tumpuk-tumpukan dengan santri yang melanjutkan lainnya. Hal ini karena, kamar-kamar lainnya di isi oleh santri program dauroh ramadhan.

Pagi ini, di teras depan kamar yang ukurannya lebih besar dari kamar yang lain, barang-barang tertumpuk tidak keruan. Semuanya bercampur aduk, hingga membuat siapapun tidak bisa membedakan mana sampah dan mana barang yang masih bisa dipakai. Tidak hanya itu, di dalam kamarpun keadaannya tidak berbeda jauh dengan yang di teras, bahkan lebih parah. Sampah, barang dan manusia bertumpuk menjadi satu. Di dalam kamar itu, tidak sedikit santri yang sedang tertidur pulas. Tadi, setelah solat subuh, mereka melanjutkan tidur mereka. Posisinya sumrawut, ada yang terlentang, tengkurep, menyamping, dan posisi aneh lainnya. Badan mereka dibalut oleh selimut super tebal.

Tiga buah jam dinding yang tertempel pada dinding kamar, serempak menunjukan pukul delapan. Ketiga jam dinding itu semuanya miring. Mungkin, mereka jadi miring seperti itu karena tertular virus yang bersemayam pada orang-orang yang ada di kamar. Mungkin. Hanya Allah yang tahu apakah itu benar atau tidak.

Tidak semua santri yang hari ini mendapatkan amanah piket menjalankan tugasnya. Mereka sibuk dengan dengkurannya di atas kasur lipat. Mereka tampak menikmati petualangannya di alam mimpi. Mereka bahagia. Tapi apakah mereka benar-benar bahagia? Jika ukurannya hanya hari ini, mungkin benar. Tapi, apakah mereka lupa dengan akan datangnya hari esok. Hari dimana semua perbuatan dimintai pertanggung jawabannya. Hari dimana semua lintasan pikiran akan ditanyai. Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarahpun, niscaya dia akan melihat balasannya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat balasannya pula.
***

Wahai kawan, coba dengarkan suara hatiku ini. Sungguh, aku sangat kesal kepada mereka yang tidak menjalankan amanah yang diembankan kepada mereka, yaitu amanah kebersihan dan mengambil galon air minum. Sering kudapati, hanya seorang saja yang membersihkan semua sampah yang ada di Darussalam untuk di buang ke tempat pembuangan sampah. Padahal, ada banyak santri yang mendapatkan amanah ini selain seorang santri yang tadi. Lalu apa kerja mereka yang tidak menjalankan amanahnya itu? Menurut penuturan mereka, mereka sedang dalam keadaan sibuk. Bahkan, karena saking sibuknya, mereka mengatakan untuk tidak diganggu terlebih dahulu. Apakah kesibukan mereka itu? Mereka sibuk bermain game, mereka sibuk berselancar di dunia maya, mereka sibuk berpetualang di alam mimpi mereka. Itulah kesibukan mereka.

Wahai kawan, apakah kalian lupa dengan hari esok. Hari dimana semua perbuatan akan ada pertanggung jawabannya. Mungkin, orang yang kalian anggap menerima saja dengan apa yang telah kalian lakukan, yaitu tidak membantu membersihkan sampah dan mengambil galon air minum, padahal itu adalah amanah kalian juga, hati dia benar-benar dalam keadaan ikhlas? Beruntung kalau iya, jika tidak! Ingat, akan ada dua hal yang akan kalian pertanggung jawabkan kelak. Pertama, kalian tidak menjalankan amanah, dan yang kedua, kalian telah mendzolimi orang tersebut. Ingat! Esok, kalian akan berada pada hari yang dijanjikan itu. Pasti.

Wahai kawan, jangan salahkan siapa-siapa jika kelak kalian menemui sebuah kesulitan. Karena mungkin, kesulitan yang datang menghampiri kalian itu tidak lain adalah buah dari perbuatan yang selama ini telah kalian lakukan, yang mungkin kalian tidak menyadari itu. Ingat kawan! Ketika aku, ataupun kalian yang telah berbuat dosa atau kesalahan, itu merupakan seakan-akan kita sedang meletakan ranjau di depan kita sendiri, yang nantinya akan kita injak sendiri, bukan oleh orang lain. Ingat itu kawan!

Kepada siapapun perempuan yang telah Allah izinkan untuk membaca tulisan ini, aku berpesan pada kalian. Ketika suatu hari nanti ada seorang laki-laki yang bertamu ke rumah, dengan maksud menjadikan kalian sebagai seorang istri, mohon diperhatikan terlebih dahulu siapa laki-laki itu. Jika mereka termasuk pada golongan orang-orang yang telah disebutkan di atas, jangan sungkan-sungkan untuk menolaknya. Dan kepada para akhwat PPM, jangan mau jikalau esok, lusa, atau kapanpun itu, salah-satu dari ikhwan PPM memintamu untuk menjadi istri mereka, dengan catatan, jika ketika itu keadaan mereka masih seperti sekarang ini. Termasuk diriku. Jika ikhwan yang akan meminangmu itu sudah berubah tidak seperti sekarang lagi, dan kalian menyukainya, silahkan terima. Tapi, jika keadaannya masih belum berubah, jangan ragu, buang saja mereka ke laut. Termasuk diriku. Ingat itu!
***

Kamis, 21 Juli 2011

Berdo'alah (Sebuah Saran Untuk Seorang Sahabat)


Aku dapat kabar, kalau satu dari beberapa sahabat terbaik yang pernah kumiliki, sedang mengalamai gundah gulana. Dia berdiri di antara dua cabang jalan, yang mana dia diharuskan memilih satu diantaranya. Dialah Fauko Ro’si, sahabat yang telah banyak membantu kesulitan-kesulitan yang pernah ku alami. Hingga detik ini, aku masih belum bisa membalas jasanya yang banyak itu.

Menurut kabar, sekarang dia telah bekerja sebagai karyawan inti di sebuah perusahaan baja terbesar yang dimiliki Indonesia. Perusahaan itu berlokasi di sebuah kota di Provinsi Banten, provinsi tempat kami ditempa hingga menjadi seperti sekarang ini.Hematku, dia sudah bisa mewujudkan beberapa mimpi yang dulu dia gembor-gemborkan padaku. Diantaranya yaitu: bekerja sebagai karyawan inti di sebuah perusahaan besar dengan gaji yang besar. Bagiku, hal ini merupakan sebuah prestasi yang besar, mengingat usianya terbilang masih belia.Aku memprediksi, dia akan memperoleh prestasi gemilang di masa yang akan datang. Aku yakin itu. Namun, bagi dia semua itu belum cukup. Menurut penuturannya, jika ukurannya adalah dunia, memang dia telah mendapatkannya. Tapi, bukan hanya dalam taraf itu yang dia cari, dia mencari kenyamanan dalam bekerja. Dia merasa, dia bekerja pada divisi yang salah. Dia ditempatkan pada divisi yang tidak dia inginkan. Dia ingin bekerja pada divisi yang sesuai dengan kemampuan dan keinginannya, juga sesuai dengan keilmuan yang dia pelajari selama bersekolah dulu.

Sepertinya aku paham dengan apa yang sedang dia rasakan sekarang, karena dulu, akupun pernah berdiri pada posisi dimana dia berdiri hari ini.Ketika itu aku bekerja pada sebuah hotel berbintang lima di wilayah Senayan, Jakarta. Jika ukurannya uang, aku mendapatkan gaji numayan besar saat itu, namun, aku merasa pariwisata adalah bukan jalan hidupku. Aku tidak menikmati pekerjaan itu. Aku merasa jalan hidupku bukan disana, tapi berada pada jalur pendidikan. Dengan banyak pertimbangan, akhirnya aku keluar dari pekerjaanku itu. Alhasil, dengan perjuangan yang kulakukan, akhirnya aku masuk pada jalur yang benar dan yang selama ini aku inginkan, adalah jalur pendidikan. Aku menjadi guru, tepatnya guru honor di sebuah sekolah dasar di daerahku. Walaupun pendapatanku jauh lebih kecil dibanding dengan pekerjaan yang dulu, tapi aku menikmati pekerjaanku itu.
***

Teruntuk sahabatku, Fauko Ro’si. Aku meminta ma’af karena belum bisa menjadi sahabat yang baik bagimu. Aku tidak bisa membantu banyak terkait permasalahan yang sedang engkau alami. Hanya satu yang bisa kuberikan untukmu, wahai sahabat terbaikku. Itupun bukan materi ataupun yang mewah-mewah lainnya, melainkan hanya sebuah saran. Saran yang mudah-mudahan bisa menghapuskan gejolak di hatimu. Apakah sebuah saran itu? Sebuah saran itu adalah do’a. Iya, hanya saran itulah yang mampu kuberikan untukmu. Berdo’alah! Berdo’alah! Berdo’alah wahai sahabatku!

Wahai sahabatku. Beberapa waktu lalu, aku mendapatkan nasihat dari guruku, Aa Gym. Beliau memberikan nasihat istimewa ini kepadaku, kepada para santri dan kepada para jama’ah pengajian lainnya.

“ Pada zaman ini, banyak negara berlomba-lomba dalam membuat senjata yang paling canggih. Mereka mengerahkan segenap kemampuan untuk membuktian bahwa mereka adalah negara terhebat.Mereka membuat senjata atom, senjata nuklir, rudal yang bisa lintas negara, dan senjata yang canggih-canggih lainnya. Tapi apakah kita sadari, ternyata senjata paling canggih yang ada di dunia ini telah kita miliki. Tidak ada senjata yang melebihi canggihnya senjata yang kita miliki. Apakah senjata itu? Senjata itu adalah do’a,” kurang-lebih seperti itulah kalimat yang teruntai.

Berdo’alah wahai sahabatku. Jangan ragu-ragu. Mintalah semua yang engkau inginkan, apapun itu. Masih ingatkah engkau dengan cerita yang mengalun indah dari guru agama islam semasa sekolah dasar dulu? Panasnya api bisa berubah menjadi dingin ketika Nabi Ibrahim as, dibakar.Tahukah engkau, apa yang membuat api itu menjadi dingin? Jawabannya adalah do’a, do’a tulus yang Nabi Ibrahim as, pinta pada Allah SWT. Tekhnologi apa di zaman sekarang yang bisa membuat api menjadi dingin. Tidak ada, tidak akan pernah ada!

Masih ingatkah engkau dengan cerita yang lainnya, yaitu cerita Nabi Musa as, ketika hampir terkejar oleh Fir’aun dan bala tentaranya, ketika itu Nabi Musa as, dan kaumnya tidak bisa lari kemana-mana lagi, mereka menemui jalan buntu, laut merah telah menghalangi jalan lari mereka. Namun, apa yang terjadi ketika itu, Nabi Musa as, berdo’a kepada Allah agar laut merah terbelah dan menjadi jalan untuk mereka. Seketika itu juga, laut merah itu benar-benar terbelah dan menjadi jalan bagi Nabi Musa as, dan kaumnya. Bisakah kita renungkan kembali! Tekhnologi apa yang bisa membuat lautan yang luas bisa terbelah dalam waktu sekejap? Tidak ada dan mungkin tidak akan pernah ada. Tapi do’a, bisa melakukannya.

Atau cerita yang ini. Cerita ketika Nabi Muhammad SAWmembelah bulan. Lagi-lagi pertanyaan ini muncul, tekhnologi apa yang bisa melakukan itu? Hanya do’a dan hanya do’a.

Jika engkau merasa semua bukti di atas terlalu jauh dengan kenyataan sekarang, dalam artian karena yang berdo’a itu adalah orang-orang suci dan pilihan Allah, sedangkan engkau, aku ataupun manusia lainnya yang hidup di zaman ini, yang notabene penuh dengan dosa-dosamustahil bisa dikabulkan permohonannya. Baiklah, mari kita ambil beberapa contoh keajaiban sebuah do’a yang terjadi pada era sekarang. Sebelumnya, aku meminta ma’af seandainya ada niatan yang berbelok di tengah-tengah cerita nanti.

Wahai sahabatku. Masih ingatkah engkau ketika aku tergila-gila dengan yang namanya sepak bola? Apa yang aku inginkan ketika itu? Ketika itu aku menginginkan masuk skuad tim salah-satu klub sepak bola terbaik di provinsi Banten, yaitu Perserang. Tahukah engkau, berapa ratus pemain sepak bola yang menjadi sainganku untuk mendapatkan satu tempat dalam tim? Ratusan. Atau, berapa banyak pemain yang lebih senior dan permainannya lebih hebat dari kemampuan yang aku miliki? Banyak. Namun akhirnya, meskipun memang ketika itu aku berjuang keras demi mendaptkan jatah itu, tapi, persentase terbesar yang akhirnya membuatku masuk dalam skuad tim Perserang adalah do’a, do’a yang aku panjatkan hampir di setiap helaan nafasku. Apakah engkau menyadari akan hal ini?

Pun, masih ingatkah engkau betapa berharapnya dulu, aku untuk melanjutkan kuliah ke Universitas Pendidikan Indonesia. Tanpa aku ceritakan disinipun, mungkin engkau sudah mengetahuinya. Aku berjuang keras ketika itu, aku juga berdo’a banyak saat itu, hingga akhirnya, sekarang, aku masih sedang menjalani proses pembelajaran di kampus yang dulu aku impi-impikan itu. Do’alah salah-satu penyebabnya wahai sahabatku.

Jangan khawatir, berdo’alah! Mintalah apa yang engkau inginkan, kepada sang pengabul do’a, Dialah Tuhan kita, Allah SWT. Sebuah do’a bisa mengalahkan tekhnologi tercanggih yang dibuat oleh manusia. Do’a bisa menyeberangi lautan, melintasi benua, mendaki pegunungan tertinggi, menembus bumi. Do’a bisa menembus tembok paling kokoh sekalipun, bisa melewati pertahanan terketat sekalipun. Berdo’alah wahai sahabatku! Berdo’a untuk kebahagiaanmu. Jika api saja bisa menjadi dingin, lautan dan bulan bisa terbelah karena do’a, apakah mungkin hanya pindah divisi saja tidak bisa? Semua itu sangat mudah bagiNya. Sungguh-sungguh sangat mudah. Maka dari itu, berdo’alah!

Satu lagi. Hingga detik ini, masih teringat jelas dalam ingatanku. Memori itu tersimpan rapih di otakku. Jika engkau masih menyimpan rasa untuk wanita itu, wanita yang sering engkau ceritakan kepadaku dulu, dan sampai detik ini engkau masih menginginkannya untuk menjadi pendamping hidupmu kelak. Berdo’alah! Mintalah kepada Allah!Do’a bisa menembus sampai ke hati dan bisa membolak-balikannya. Jangan khawatir, berdo’alah dengan tulus dan sepenuh hati. Tidak ada yang bisa merubah takdir, dari takdir satu ke takdir baik lainnya, selain do’a. Percayalah.
***

Rabu, 20 Juli 2011

Tabir yang Tersingkap


Suara mesin kendaraan bersahutan dengan celotehan orang-orang yang sedang menjalankan aktifitasnya di sekitar jalanan Geger Kalong. Langit mulai meredup. Bulan yang menampakan seluruh tubuhnya pada pertengahan bulan Sya’ban ini terlihat masih pucat, sepertinya dia masih enggan untuk membagikan cahayanya pada Bumi. Di depan mesjid DT, seorang DKM sedang merapihkan sandal jama’ah yang datang. Di teras depannya, ada dua orang DKM yang sedang mengepel teras mesjid. Aku mengenal ketiga orang itu. Kami saling melempar senyum.

Aku simpan sandalku di antara ratusan pasang sandal yang terjejer rapih. Di bahah tangga menuju lantai utama mesjid, disana berdiri kotak amal yang terbuat dari kaca. Di dalamnya terlihat banyak uang kertas dengan berbagai pecahan. Di atasnya, tersimpan beberapa tumpukan kertas-kertas buletin tentang wawasan keislaman. Melihat kotak amal itu, aku teringat kepada seorang ustad yang sering membawakan materi mengenai keutamaan sodaqoh dalam setiap ceramahnya. Ustad yang bertubuh mungil, pimpinan pondok pesantren Daruul Qur’an, yang perawakannya persis seperti imam utama mesjid DT, yaitu Ustad Suhud. Ustad itu tiada lain adalah Ustad Yusuf Mansyur, atau kalau para santri PPM menyebutnya Ustad Yusman.

Teringat ketika Ustad Yusuf Mansyur berceramah di televisi. Ketika itu beliau membawakan materi tentang kekuatan shodaqoh. Satu dari banyak manfaat itu adalah menolak bala, atau mencegah datangnya musibah pada diri kita.

“ Shodaqoh itu menolak bala!” ujar ustad Yusuf Mansyur di televisi.

Jika diberikan dua pilihan antara mendapatkan musibah atau dijauhkan dari musibah, aku berani memastikan, semua orang pasti menginginkan pilihan yang kedua. Yakin. Begitupun dengan diriku. Oleh karenanya, aku melakukan ikhtiar untuk itu, yaitu dengan mengeluarkan shodaqoh.

Beberapa meter dari kotak shodaqoh, sambil berjalan menuju tangga, aku merogoh saku samping kanan celana panjangku. Di dalamnya ada pecahan uang seribu rupiah sisa tadi siang beli jus strowberi. Aku ambil uang itu, kemudian dilipat beberapa lipatan, lalu, sambil membaca bismillah dalam hati, aku masukan uang itu pada kotak shodaqoh. Aku melanjutkan langkah, dan meniti anak tangga menuju lantai utama mesjid.
***

Aku, adalah satu dari sedikit orang yang anti dengan yang namanya pacaran. Banyak teman-teman sepermainan dulu yang mengejekku atas jalan hidup yang aku pilih.

Alah, cemen kamu! Hari gini tidak pacaran!” ejek salah satu teman.

“ Kamu kenapa sih gak berani deketi cewek, Ko? Seandainya aku jadi kamu, aku akan godain tuh para kakak tingkat yang cantik-cantik,” ujar teman yang lainnya. Aku hanya menanggapi perkataan mereka dengan sebuah senyuman.

Aku bertahan dengan jalan yang kupilih. Semakin aku bertahan, semakin deras pula bisikan hitam di hatiku. Hingga akhirnya, aku terjatuh, terjatuh pada jurang yang selama ini aku hindari. Aku tidak mampu lagi membendung rasa itu untuk tidak diungkapkan. Akhirnya, aku membuat dua utas tali menjadi sebuah ikatan, ikatan yang terlarang.

Dua minggu. Iya, hanya dua minggu hal itu berjalan. Kendaraan tanpa izin itu terhenti di pertenggahan jalan, di bawah sebuah tiang lampu merah. Allah SWT, membuat sekenario itu dengan sangat indah, yaitu pada suatu malam, tapatnya setelah waktu isya, ketika materi malam belum dimulai. Di depan, kang Hakmal memerintahkan semua santri untuk mengangkat tangan kiri ke atas. Kami, para santri menuruti perintah aneh itu. Setelah itu, dengan posisi tangan kiri masih teracung, kang Hakmal menyuruh untuk menggenggam erat hape masing-masing. Kami pegang hape kami. Kemudian, kang Hakmal memerintahkan sekali lagi untuk mengangkat tangan kanan yang sedang menggenggam hape. Kedua tangan kami berada di atas, yang kiri kosong sementara yang kanan ada hape. Kami diperintahkan untuk tidak menurunkan tangan kami. Apa yang dilakukan kang Hakmal setelah itu. Dia berjalan menghampiri santri ikhwan dengan membawa sebuah kantong plastik warna putih. Sambil berjalan, dia mengambil hape-hape yang ada di tangan para santri ikhwan. Untuk santri akhwat, yang mengambilnya adalah mudabiroh, atau mudabir untuk sanri akhwat. Aku tidak bisa melakukan apapun saat itu, selain menundukan kepala, karena aku tahu, dalam waktu dekat ini, pasti akan ada sesuatu yang terjadi pada diriku. Benar, kekhawatiranku itu memang benar-benar terjadi. Aku diberikan beberapa pertanyaan angker oleh kang Hakmal di kamarnya. Hari itu aku layaknya seorang narapidana yang sedang diinterogasi oleh polisi.

Tidak berselang lama setelah peristiwa malam itu, meskipun awalnya susah, akhirnya, ikatan terlarang itu terlepas kembali. Namun, bisikan hitam itu tidak pernah berhenti, bisikan itu terus meneror taliku dan tali yang satunya. Secara diam-diam, kedua tali itu masih melakukan komunikasi. Padahal, kang Hakmal mewanti-wanti, agar sementara waktu ini untuk tidak melakukan interaksi terlebih dahulu, namun, dua utas tali itu melanggarnya.

Seiring berjalannya waktu, taliku merasakan ada sesuatu yang salah. Taliku merasa berdosa. Setelah melakukan perenungan, akhirnya taliku berkeputusan untuk benar-benar menyudahi kesalahan ini. Taliku mengajak kepada tali yang satunya untuk melakukan perjanjian, perjanjian yang sejatinya baik untuk kedua belah pihak, baik itu taliku maupun tali yang satunya. Awalnya, tali yang satunya tidak menyetujui perjanjian itu.

“ Semua itu berat untuk dijalani A, neng masih ingin tetap seperti ini,” manja tali yang satunya. Namun, setelah sering mendapatkan pengarahan dari taliku, akhirnya, tali yang satunya menyetujui perjanjian itu.

“ Baiklah, sekarang neng akan coba jalani perjanjian itu. Sekarang neng setuju dengan kesepakatan yang A buat,” tali yang satunya memberi tahu taliku melalui hape.

Jarum panjang warna merah terus berputar mendahului jarum panjang warna hitam dan jarum pendek yang juga warna hitam. Jarum panjang warna hitam ikut bergerak dengan kecepatan yang lebih dibandingkan dengan kecepatan jarum hitam yang pendek. Mentari terus timbul dan tenggelam. Sudah cukup lama perjanjian itu berjalan dalam rel yang benar. Namun, entah apa yang terjadi? Tali yang satunya menghubungi taliku lagi. akan tetapi, bentengku masih terlalu kuat dalam menghalau serangan-serangan yang diberikan tali yang satunya. Jujur, jika menuruti nafsu, taliku senang dengan seringnya tali yang satunya melakukan serangan itu. Taliku bertahan, tapi diserang lagi. bertahan lagi, diserang lagi. hingga pada suatu hari, benteng pertahanan itu runtuh sebagian. Taliku mulai membuka diri. Awalnya taliku pasif. Taliku hanya diam dan mencoba menanggapi dengan baik serangan tali yang satunya, namun, lama-kelamaan taliku mulai berani menghubungi tali yang satunya, tapi hanya sekedarnya saja. Terus dan terus seperti itu.
***

Ba’da solat magrib, setelah melakukan solat sunnat ba’diah, jamaah ikhwan berkumpul mendekat pada meja kecil tempat ustad memberikan materi. Sementara jamaah akhwat berada di belakang jamaah ikhwan, hanya dipisahkan oleh hijab besar yang dibuka dan hijab kecil setinggi lutut orang dewasa. Kami, para jama’ah mendengarkan ceramah dari ustad. Aku duduk dipojok salah-satu tiang penopang mesjid. Aku tidak bergabung dengan jama’ah ikhwan lainnya di depan. Di antara jama’ah ikhwan itu, aku melihat satu dari tiga orang DKM yang tadi aku temui di depan mesjid.

Sedang mendengarkan ceramah, hape yang tersimpan di saku celanaku bergetar. Ada telfon masuk. Aku rogoh hapeku, kemudian kulihat layarnya, tertulis nama seorang perempuan. Langsung aku angkat telfon itu. Sambil mengangkat, aku beranjak dari dudukku dan berjalan menuruni tangga menuju lantai satu mesjid.

“ Halo, Assalamu’alaikum,” jawabku.

Wa’alaikumussalam,” jawab seorang perempuan di seberang sana.

“ Apa kabar?” tanyaku basa-basi.

“ Baik A. Oh ya, mulai sekarang A jangan hubungi saya lagi ya!” ujar seorang perempuan itu tiba-tiba. Aku hanya menanggapinya dengan seutas senyuman.

“ Oh, gitu? Memang kenapa?” tanyaku.

“ Sekarang saya sudah ada calon A!” seorang perempuan itu memberi tahu. Aku senyum lagi. pikirku, itu hanyalah sandiwara, namun pikiranku berubah ketika mendengar suara seorang laki-laki disampingnya.

“ Halo, dengan kang Niko?” tanya laki-laki tiba-tiba. Jujur, aku kaget ketika itu. Aku benar-benar kaget.

“ Iya, benar,” jawabku pendek, karena masih merasa kaget.

“ Kang Niko, jangan hubungi ‘IMUT’ (bukan nama asli, untuk menjaga privasi yang bersangkutan) lagi ya! Sekarang dia sudah punya calon! Saya calonnya itu!” laki-laki itu memberi tahu.

“ Sudah ya kang, terima kasih,” laki-laki itu mencoba menutup telfon.

“ Tunggu-tunggu kang, jang ditutup dulu!” pintaku.

“ Sudah ya kang, Assalamu’alaikum.

TUT TUT TUT TUUUTT

Aku terbengong sendiri, hanya bisa memandangi hape yang kugenggam erat. Aku merasa kaget dan tidak habis pikir. Ada beberapa hal yang aku pikirkan. Pertama, merasa aneh, aneh karena selama ini yang sering menghubungi itu kan bukan aku, tapi dia. Kedua, sejauh ini kami bersepakat hanya saling menganggap sebagai seorang kakak dan adik saja, hanya sebatas itu, tidak lebih. Kalaupun, seandainya dia sudah memiliki calon suami, tidak ada yang harus dipusingkan, karena aku sudah menganggap dia sebagai seorang adik.

Aku mengetik sebuah SMS, kemudian langsung aku kirim.

Punten, bisa berbicara sebentar dengan akang yang tadi?

Aku hendak berbicara untuk meluruskan perkara ini. Namun, tidak juga ada balesan. Aku tunggu lagi, tetap, belum juga ada balasan. Akhirnya, aku kirim SMS sekali lagi.

Tolong sampein ke akang yang tadi, InsyAllah akang tidak akan menghubungi IMUT lagi, kemudian, insyAllah akang juga tidak akan mengangkat, seandainya IMUT menghubungi akang lagi. tolong sampein ya, ini amanah dari akang. Mohon ma’af apabila selama ini akang ada kesalahan.

Aku tidak mengharapkan balesan SMS darinya, karena mungkin dia tidak akan membalasnya. Aku kembali berjalan meniti tangga melewati kotak amal menuju lantai utama lagi.

Ceramah ba’da magrib selesai, dilanjutkan solat isya berjama’ah. Sehabis solat aku langsung pulang ke asrama. Sesampainya di asrama, tidak bisa kupungkiri, aku masih merasa kaget dengan perkara yang barusan terjadi. Aku tidak habis pikir dengan keputusan yang diambilnya.

Di kamar, ketika hendak tidur, hapeku bergetar. Ada SMS masuk. Aku baca SMS itu.

Ma’afin IMUT A, tidak seharusnya cara seperti ini yang IMUT lakukan pada A. Malam ini juga, IMUT putuskan hubungan dengannya. Imut gak yakin kalau dia yang akan jadi imam untuk IMUT dan anak-anak IMUT nanti. Ma’afin IMUT, dan IMUT minta waktu untuk menenangkan ini semua.

Aku terbengong membaca SMS masuk itu. Aku bingung dengan apa yang sedang dia pikirkan, aku bingung dengan pola pikir dia.

Jujur, sebelum dia kirim SMS penyesalan dan permohonan ma’af itu, aku sudah mema’afkan dia. Karena aku yakin, pembuat sekenario hebat ini adalah DIA, Allah SWT, sang pembuat sekenario terbaik. Aku memperoleh pelajaran yang teramat sangat berharga dari peristiwa ini. Terima kasih Yaa Allah, Engkau telah mengajariku sesuatu yang berharga dari ketentuanMu ini. Engkau telah membukakan hijab itu, hingga terbukalah tabir ini. Hingga tersadarlah diriku.

Jumat, 15 Juli 2011

Bisikan Sang Mentari


Satu dari beberapa jalan untuk melakukan mobilitas sosial vertikal naik, atau menurut bahasa mudahnya adalah upaya untuk meningkatkan derajat serta kualitas diri dan keluarga adalah pendidikan.Berkenaan dengan ini, aku harus melanjutkan pendidikanku ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu kuliah.

Aku ingin kuliah, aku harus kuliah, aku sangat berhasrat besar untuk kuliah. Aku sudah mempersiapkan untuk hal ini jauh-jauh hari. Agar mempermudah dalam mengisi soal seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri, aku lebih banyak menggunakan waktu luangku dengan membaca buku-buku pelajaran.Untuk menguatkan mental, aku banyak bertanya tentang dunia kampus kepada teman yang sudah kuliah. Untuk mencuri start dari bakal saingan-saingan satu jurusanku nanti, aku perdalam pemahamanku tentang keilmuan Geografi, jurusan yang sangat ingin aku masuki.

“ Perkuat keimananmu, Ko. Kampus berbeda dengan sekolah. Banyak ilmu disana, tinggal pinter-pinter kita aja mencarinya. Namun, godaannya juga super banyak, yang terutama sekali adalah godaan wanitanya. Saran saya, sebelum kamu benar-benar kuliah, perbaiki dulu kualitas agamamu, perbaiki dulu kualitas keimananmu!” jawab seorang teman yang sudah dua tahun kuliah, ketika aku meminta saran padanya. Untuk itu, aku lebih menyeringkan dalam menghadiri majelis-majelis pengajian, baik itu pengajian yang untuk remaja ataupun pengajian bapak-bapak. Aku baca buku-buku mengenaik keislaman.

Satu lagi. Supaya semuanya dipermudah, aku selalu menyelipkan sebuah do’a, diantara do’a-do’a yang kupanjatkan.

“ Yaa Allah, Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, berilah jalan kepada hamba; jalan sebaik-baiknya, jalan semudah-mudahnya, dan jalan sehalal-halalnya, agar hamba bisa berkuliah pada jurusan Pendidikan Geografi, di Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung,” pintaku dengan sangat penuh harap.
***

Waktu penutupan pembelian formulir seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN), hanya tinggal satu minggu lagi. Namun, belum jua aku mendaftarkan diri. Penyebabnya adalah uang. Hingga detik ini, uangku belum cukup untuk itu. Uang yang kubutuhkan kurang-lebih sekitar dua ratus lima puluh ribuan. Dua ratus ribu untuk membeli formulir, dan yang lima puluh ribunya untuk ongkos pulang-pergi dari rumah ke Kota Serang, kota dimana kampus UNTIRTA berdiri. Kampus yang menjadi panitia daerah SNMPTN untuk Provinsi Banten.

Hendak meminta pada orang tua, aku tak sanggup. Untuk biaya makan saja terbilang susah mencarinya. Aku tidak mau merepotkan mereka lagi. Belum bisa membantu mereka dalam membiayai hidup saja, itu sudah cukup bagiku, aku tidak ingin merepotkan lebih jauh lagi. Aku malu. Sungguh. Satu yang jelas, jalanku dalam mendapatkan uang, yaitu upah sebagai seorang guru honor sekolah dasar, itupun tidak cukup, karena gaji yang kuterima setiap bulannya hanyalah seratus ribu rupiah. Kalaupun lebih dari itu, tiga ratus ribu misalnya, tatap saja akan terasa percuma, karena waktu gajian dua minggu lagi, sedangkan penutupan pembelian formulirnya hanya tinggal satu minggu saja.
***

Adzan dzuhur berkumandang melalui pengeras suara mesjid yang letaknya tidak jauh dari sekolah dasar tempatku mengajar. Para siswa sudah pulang, hanya tinggal para pengajar saja yang juga bersiap untuk pulang. Di kantor, kami, para guru, masing-masing mendapatkan satu amplop putih yang berisikan uang sebesar sepuluh ribu rupiah. Amplop itu akan kami berikan kepada sohibul hajat pernikahan.
Sebelum menuju acara pernikahan itu, kami mampir dulu di mesjid guna menunaikan solat dzuhur. Selepas solat, kami, para guru, berjalan berbondong-bondong menuju tempat nikahan. Sesampainya ditujuan, kami salami kedua mempelai, kemudian dilanjutkan makan. Di halaman belakang, aku mendengar teriakan-teriakan ceramah seorang mubaligh. Di sela-sela teriakan mubaligh itu, terdengar tawa hadirin pendengar. Mendengar itu, aku tidak sabar untuk segera menyelesaikan makan dan langsung meluncur menuju halaman belakang, guna mendengarkan ceramah itu.

Selesai makan, aku segera menuju halaman belakang. Halaman belakang itu tampak penuh, banyak pendengar yang tidak kebagian kursi. Aku menyelip di antara sela-sela kumpulan bapak-bapak yang berdiri. Aku menyatu dengan mereka, mendengarkan materi yang disampaikan oleh sang da’i. Materi yang disampaikan banyak, namun, yang paling membekas kuat dalam ingatanku adalah tentang keutamaan shodaqoh.

Pada akhir ceramah, da’i setengah baya itu melantunkan sebuah do’a penutup, jugamengutarakan keinginannya untuk menambah bangunan asrama santri pondok pesantrennya yang sudah mulai tidak sanggup menampung jumlah santri yang terus bertambah. Kebanyakan santri ponpes itu adalah anak yatim-piatu. Selain menjadi kyainya, da’i itu juga merangkap sebagai orang tua angkat mereka. Da’i itu membiayai seluruh kebutuhan para santrinya.

Pihak panitia melakukan inisiatif untuk mengedarkan kotak kosong kepada para hadirin. Banyak orang yang memberikan sodaqoh untuk perluasan pembangunan ponpes itu. Aku pegang kantong celana belakangku yang ada dompetnya, dompet hitam lusuh itu hendak kubuka, namun tidak jadi, karena aku ingat tidak ada isinya, kecuali kartu penduduk dan beberapa kertas tidak penting. Aku rogoh kantong samping sebelah kanan, terasa ada lipatan beberapa kertas, aku ambil lipatan kertas itu, kulihat, ada tiga pecahan uang satu ribuan. Aku genggam uang itu, kemudian sambil membaca basmalah dalam hati, aku masukan uang itu pada kotak sodaqoh di depanku.

Ceramah selesai, kami, para pendengar pulang ke rumah masing-masing, tidak terkecuali juga diriku. Aku menjalankan lagi rutinitas seperti hari-hari sebelumnya.

Esoknya, ketika di sekolah hanya tinggal para guru saja, ketika aku hendak pamit pulang lebih dulu, seorang guru wali kelas satu, yang merangkap sebagai bendahara sekolah, memanggilku. Aku hampiri ibu itu, beliau menyodorkan sebuah amplop putih.

“ Ini untuk jajan,” ujar ibu guru itu.

“ Lho, bukannya masih dua minggu lagi Bu?” tanyaku heran.

“ Ini bukan gaji, ini bonus untuk Niko,” jawab ibu itu dengan tidak mengurangi kadar senyumannya. Tanpa banyak pikir lagi, aku terima amplop putih itu, langsung aku masuki saku samping kanan celanaku. Aku pamit pulang.

Di dalam kamar yang bercatkan biru langit, aku buka amplop putih pemberian ibu bendahara sekolah tadi. Masya Allah, isinya tiga ratus ribu rupiah. Aku senang. Bagaimana tidak, jumlah uang itu cukup untuk membeli formulir SNMPTN.Aku yakin, ini adalah sepersekian dari balasan dari sodaqoh kemarin. Kalaupun, balasan itu berhenti sampai disini, aku sudah untung. Namun, semuanya tidak berhenti hanya disini, kita lihat nanti. Allah Maha Pengasih.Terima kasih Yaa Allah. Terima kasih Yaa Allah.
***

Seleksi telah lewat. Kini, tugasku hanya tinggal menyempurnakan permohonanku kepada Yang Maha Memberi, karena, sehebat dan sedahsyat apapun perjuanganku, yang menentukan lolos atau tidaknya aku, tetaplah hanya Allah.

Ketika hari pengumuman tiba, aku sempatkan untuk membeli salah-satu koran nasional, karena lewat koran itulah pengumuman SNMPTN dicantumkan, selain via internet tentunya.Aku beli koran itu di loper koran dekat alun-alun Anyar. Setelah kudapatkan koran yang kucari, aku langsung naik angkutan umum. Di dalam mobil angkutan umum yang sedang melaju itu, di antara beberapa penumpang lain, aku cari-cari apakah namaku ada di antara ribuan peserta yang lolos.

Sudah setengah jalan aku mencari. Sudah setengah peserta lolos yang kulihat, namun belum juga kutemukan namaku. Aku mulai cemas. Aku cari lagi pada nama-nama selanjutnya. Dua per tiga sudah peserta lolos yang kulihat, belum juga kutemukan namaku. Rasa cemasku semakin menjadi-jadi. Mungkinkah aku tidak lolos seleksi? Padahal aku sangat berharap bisa lolos.

Aku mencari lagi. Aku kaget, kulihat nama “Niko”. Aku gembira. Kini hatiku bak bunga mawar yang sedang mekar. Tapi, sayang seribu sayang, bunga mawar yang sedang mekar itu layu kembali, ternyata, yang kulihat itu bukan namaku, karena nama belakangnya berbeda dengan nama belakangku. Aku kecewa.

Aku belum putus asa. Aku mencari lagi. sekali lagi, aku menemukan nama “Niko”. Tapi aku tidak mau terlebih dahulu gembira, karena siapa tahu, Niko itu bukan diriku, tapi, Niko yang lain lagi. aku tidak ingin kecewa untuk yang kedua kalinya.

Aku lihat lagi kata “Niko” itu. Aku baca nama lanjutannya, tertulis kata “Cahya”. Dadaku mulai mengembang. Degup jantungku sedikit bertambah cepat. Harapku mulai timbul kembali. Aku lanjutkan membaca kata selanjutnya, tertulis kata “Pratama”. Dadaku mengembang lagi, jantungku berdetak lebih cepat lagi. aku baca dari awal nama itu, tertulis “Niko Cahya Pratama”. Yaa Allah, itu namaku. berarti aku lolos seleksi. Gembiraku mulai membuncah, ingin rasanya aku teriak saat itu juga, tapi aku tahan terlebih dahulu keinginanku. Aku takut, itu bukan diriku, tapi ada seseorang yang namanya sama persis dengan namaku. segera aku ambil kartu seleksiku dari dompet. Aku lihat nomer testku. Aku samakan dengan yang ada di koran. Sama. Saat itu, aku tidak tahu selebrasi apa yang akan aku lakukan.Aku gumamkan kata Hamdalah. Aku tidak bisa mengontrol diri, saking senangnya, aku terlalu keras melafalkan kata Hamdalahnya, hingga membuat penumpang lain melihat diriku. Mereka semua memperhatikanku. Aku tidak peduli, urat maluku putus sementara ketika itu. Aku dapati, para penumpang itu tersenyum melihatku. Mungkin, mereka juga bisa merasakan kegembiraanku ini.

Aku sudah tidak sabar ingin memberitahukan berita gembira ini pada kedua orang tuaku. Oh mobil, cepatlah sampai rumahku, aku ingin segera berjumpa kedua orang tuaku, cepatlah, cepatlah. Sesampainya dirumah ibu, tanpa basa-basi, aku langsung berikan koran itu. Aku tunjuk salah-satu nama yang tertulis pada koran itu. Mata ibuku mengikuti arah yang aku tunjuk. Sesaat ibuku terdiam. Beliau melihat wajahku, kemudian kembali melihat koran. Aku dapati, dari mata indah ibuku, menetes air mata, keluar, dan mengalir lembut melalui pipi ibu. Ibu tersenyum padaku. Aku balas senyum ibu. Kami saling melempar senyum. Kami saling mempersembahkan senyum paling indah yang bisa kami persembahkan.

Setelah itu, aku pamit pada ibu, untuk memberitahukan berita ini pada bapak. Sepanjang perjalanan menuju rumah bapak, yang terbayang hanyalah wajah bapak dan wajah bapak, tiada yang lain. Sesampainya di rumah bapak, aku ucapkan salam, tapi tidak ada yang menjawab. Aku masuk, tidak seorangpun kutemui di dalam rumah. Aku berfikir kalu bapak sedang ada di kebun. Segera aku lari menuju kebun. Di kebun itu, aku lihat bapak sedang mencangkul, membersihkan semak-semak yang mengganggu tumbuhnya pohon albasiah yang baru beberapa bulan ditanam. Langkahku terhenti. Aku berdiri mematung sekitar sepuluh meter di belakang bapak. Aku lihat bapak, aku lihat koran, kemudian melihat bapak lagi. aku melangkah lebih mendekat pada bapak.

“ Pak,” aku panggil bapak. Mendengar ada yang memangggil, bapak berhenti mencangkul. Beliau menegakkan tubuhnya, lalu berbalik melihat ke sumber suara.

“ A,” ujar bapak ketika melihatku.

“ Ada apa A?” tanya bapak. Aku sodorkan koran yang kupegang. Bapak menerima koran yang kuberikan.

“ Koran apa ini?” tanya bapak lagi.

Aku tunjuk salah-satu nama yang ada pada koran yang sedang bapak pegang. Bapakmembacanya. Bapak langsung terdiam. Bapak tersenyum. Aku tahu, senyum itu adalah senyum kebanggaan. Namun, senyum itu terjadi hanya sekejap saja. Wajah bapak kembali menjadi seperti yang tadi. Bapak seperti memikirkan sesuatu, sesuatu yang berat. Sepertinya aku tahu apa yang sedang bapak pikirkan.

Bapak memberikan koran itu lagi padaku. Aku terima koran itu. Kami saling pandang. Bapak terlihat kelelahan. Keringat mengalir di pelipisnya, terus turun ke pipi, hingga ke dagu, kemudian jatuh menghantam tanah. Kami saling diam. Aku melipat koran yang kupegang. Aku kembali pulang. Wajahku tertunduk lemas. Aku berjalan seperti tidak memiliki tenaga. Beberapa langkah, aku menoleh ke belakang melihat bapak, kudapati bapak masih berdiri mematung, dengan pandangannya terarah padaku, anak lelakinya. Aku berbalik lagi melanjutkan langkah.
***

Jika ibarat sebuah rumah, aku baru memegang kunci pintu gerbangnya saja. Pintu utama rumah itu belum aku dapatkan. Ingin rasanya aku berlari ke Istana kepresidenan di Bogor, kemudian bertemu dengan orang nomer satu di Indonesia itu. Aku ingin meminta bantuan agar beliau memberikan sedikit uangnya agar aku bisa berkuliah. Tapi, rasa-rasanya itu sangatlah tidak mungkin dilakukan. Sulit.

Waktu registrasi hanya tinggal beberapa hari lagi, hanya tinggal menghitung jari. Sayangnya, hingga detik ini, belum juga aku mendapatkan uang itu. Harapan itu hampir sirna. Sinar itu telah meredup. Hidupku serasa gelap. Yaa Allah, darimana aku akan mendapatkan uang itu? Seperti apa keajaibanMu menyapaku? Munculkanlah? Munculkanlah? Hamba mohon.Tidak henti-hentinya aku memanjatkan do’a di setiap waktuku.

Pada suatu petang, ketika hendak pulang dari mesjid, tiba-tiba ada yang memanggilku dari belakang.

“ Iko,” seseorang memanggilku dari belakang. Aku menoleh pada sumber suara. Ternyata dia mang Ipi, adik laki-lakinya bapakku.

“ Iya Mang? Mamang manggil Iko?” tanyaku pada mang Ipi.

“ Sekarang ke rumah Mamang ya!” pinta mang Ipi padaku.

Aku penuhi permintaan beliau, aku ikuti mang Ipi dari belakang. Sesampainya di rumahnya, aku disuruh menunggu di ruang tamu. Ruang tamunya bagus, terasa teduh dengan permainan warna cat yang lembut. Tidak begitu lama menunggu, mang Ipi menemuiku. Beliau hanya mengenakan kaos oblong warna putih dan sarung kotak-kotak yang tadi digunakan untuk solat. Beliau duduk pada sofa yang berukuran pendek, di depan sofa panjang yang aku duduki.

“ Mamang dengar, Iko lolos SNMPTN ya?” mang Ipi membuka pembicaraan.

“ Iya Mang,” jawabku pendek.

“ Iko keterima di Universitas apa? Jurusannya apa?” tanya mang Ipi lagi.

“ Jurusan pendidikan Geografi Mang, di UPI Bandung,” jawabku lagi.

“ Oh, Alhamdulillah,” ujar mang Ipi sambil manggut-manggut. “ Ini Mamang ada sedikit uang, tidak banyak jumlahnya, hanya tiga juta saja, mudah-mudahan ini bermanfa’at untuk Iko, sebelumnya Mamang minta ma’af, Mamang tidak bisa bantu banyak,” ujar mang Ipi sambil menyodorkan amplop cokelat besar padaku.

Uang tiga juta sudah ditangan, berarti hanya tinggal empat juta lagi jumlah uang yang harus segera kudapatkan agar aku bisa berkuliah. Yaa Allah, lagi-lagi Engkau menjawab do’aku. Terima kasih Yaa Allah, meskipun uang ini belum cukup untuk pembayaran registrasi kuliahku, tapi aku yakin, Engkau akan tunjukan lagi keajaibanmu itu, aku yakin.
***

Lima hari penuh makna. Lima hari penentuan masa depanku. Terhitung, lima hari lagi batas akhir pembayaran registrasi kuliah.

Sore ini, di pesisir selat sunda, aku termenung memikirkan nasibku. Aku duduk sendiri pada sebuah bangku panjang di bawah pohon rindang yang aku tidak tahu nama pohonnya. Di depan, lautan biru terhampar luas. ombak-ombak saling berkejaran.Cuaca sore ini tampak cerah, hanya beberapa awan cirrus saja yang melukis langit.Mentari semakin condong ke Barat, hendak menuju peraduannya. Semakin lama, sinarnya semakin meredup, dia terlihat kelelahan. Sinar lemah mentari itumenerpa tubuhku, sepertinya mentari itu hendak mengajakku untuk bekerjasama. Dia memberikan sinarnya yang tampak lemah untuk jiwaku yang sedang lemah. Dia berharap, pertemuan antara sinar dan jiwa yang sama-sama lemah itu dapat menghasilkan output yang baik. Melalui sinarnya, mentari itu berbisik padaku,” Semoga, sinar lemah ini bisa menguatkan jiwamu yang sedang lemah. Aku hanya menjalankan tugas sebagai makhlukNya. DIA memerintahkanku untuk menguatkan jiwamu. Semoga, sinar ini bisa bermanfaat. Kabari aku jika jiwamu sudah kuat. Aku gembira jika itu terjadi. Aku gembira jika itu terjadi. Aku sangat gembira jika itu terjadi,” semakin lama bisikan itu semakin melemah, kemudian menghilang.

Mentari semakin condong ke Barat. Kaki langit berubah warna, dari biru menjadi jingga. Di sini, dibawah pohon rindang ini, aku pandangi alam indah itu.

Tiba-tiba, hapeku bergetar. Ada telfon masuk. Pada layar hape, tertulis nama “Fauko”. Aku sedikit kaget. Dia adalah sahabat, sekaligus sainganku ketika masa SMP dulu. Sudah lama kami tidak berkomunikasi. Aku angkat telfon itu. Kami saling tanya kabar dan melepas rindu.

Alhamdulillah, lancar-lancar aja Ko. Oh ya, saya mohon do’anya ya, jika saya lolos seleksi, saya akan ke Jepang atau ke Thailland,” jawab Fauko ketika aku tanya tentang keadaannya di balai latihak kerja (BLK) Serang, BLK terbesar di Indonesia.

“ Kegiatan kamu sekarang apa?” tanya Fauko di seberang sana.

“ Ngajar di SD, Fok. Jadi guru honor,” jawabku sekenanya.

Weleh-weleh, pak guru!Sekarang saingan saya ini sudah jadi guru toh!”canda Fauko sambil melepas tawa. “ Oh ya, kamu gak kuliah?” tambah Fauko. Aku terdiam sebentar mendengar pertanyaan itu.

“ Belum Fok.”

“ Loh, emang kamu gak ikut SNMPTN tahun ini?”

“ Ikut.”

“Dapet?”

Alhamdulillah lolos Fok.”

“ Wah! Masuk Universitas mana, Ko? Jurusan apa?” tanya Fauko semangat.

“ UPI Bandung, jurusan Pendidikan Geografi, Fok,” jawabku datar.

Weleh-weleh, sepertinya sahabatku yang satu ini memang benar-benar akan menjadi seorang pendidik, He..... Kapan kuliahnya?” tanya Fauko. Aku diam tak bisa melepas kata. Aku diam tak menjawab.

“ Lho. Kok diam? Kapan mulai kuliahnya?” tanya Fauko lagi.

“ Gak tahu Fok, saya belum bisa jawab, soalnya belum pasti diambil atau tidaknya, saya masih ada kendala Fok.”

“ Kendala? Kendala apa, Ko?”

“ Saya belum ada uang untuk bayar registrasinya.”

Masya Allah. Memang berapa biayanya?”

“ Tujuh juta. Sekarang saya baru ada uang tiga juta.”

“ Yaa Allah, kenapa tidak bilang kemarin-kemarin! Coba kamu hubungi saya dua atau tiga hari kemarin, saya ada uang lima juta, saya bisa pinjemin untuk biaya kuliah kamu. Tapi, sekarang, uang saya kepake, kemarin saudara saya kecelakaan, uangnya dipinjem sama paman saya.”

Aku diam.

“ Mungkin jalannya memang harus seperti ini Fok,” jawabku.

“ Yaudah, gini aja. Saya ada uang satu juta lagi di ATM. Mangga pake aja dulu sama kamu, mudah-mudahan itu bisa membantu. Besok, saya ada di rumah, sekitar jam sepuluhan, kita ketemu di ATM dekat alun-alun Anyer ya! Oya, Sebelumnya saya minta ma’af ya, karena gak bisa membantu banyak,” tawar Fauko padaku. Mendengar tawaran itu, pikiranku campur aduk, antara malu, sedikit senang dan takjub. Malu karena harus merepotkan Fauko, sedikit senang karena dapat bantuan sedikit biaya, dan takjub kepada jiwa besarnya sahabatku itu. Bagaimana tidak? Usia dia masih muda, satu pantaran dengan usiaku. Dia masih menempuh pendidikan, belum kerja, tapi sudah berani memberikan bantuan uang sebesar itu. Sungguh, aku masih heran dengan kebesaran jiwa sahabat sekaligus sainganku itu.

“ Ko, jangan lupakan kompetisi kita ya!” Fauko menutup pembicaraan sambil mengingatkanku tentang sebuah perjanjian yang kami buat ketika hari kelulusan SMA. Sebuah kompetisi yang hanya Allah, aku, Fauko, serta dua sahabat dan sainganku yang lainnya, yang tahu.
***

Atas saran dua dari tiga sahabat sekaligus sainganku semasa sekolah, meskipun uang baru terkumpul empat juta, aku tetap berangkat ke Bandung. Dua juta akan aku gunakan untuk pembayaran registrasi, dan dua juta sisanya untuk biaya hidup sementara, selama aku mencari cara lain untuk membayar registrasi kuliah.

“ Kamu jangan diam Ko. Kamu harus bergerak. Jemput mimpi itu! Jemput mimpimu!” nasihat dua orang sahabatku satu nada.

Dengan berbekal sedikit uang, spirit dari sahabat dan do’a yang tulus dari kedua orang tua, aku berangkatmencoba menjemput mimpiku. Aku hujamkan bismillah dalam hati ketika kaki kananku keluar pintu depan rumahku.

Sesampainya di Bandung, aku segera mancari alamat kos-kosan taman satu angkatan ketika sekolah, yang sudah duluan berkuliah di UPI. Sebelum berangkat ke Bandung, aku hubungi dia untuk meminta tolong numpang berteduh, selama aku mencari cara agar aku tetap bisa berkuliah.

Pertama kali menginjakan kaki di kampus impian, aku disambut oleh gedung-gedung yang tinggi menjulang ke langit. Gedung-gedung itu tampak indah, karena dihiasi oleh pohon-pohon besar yang hijau dan rindang. Saat itu, aku putuskan lagi urat maluku. Aku buang jauh-jauh rasa maluku. Aku tidak mau kalah oleh para pencopet dan perampog. Untuk sesuatu hal yang tidak baik saja mereka berani nekat, mengapa aku tidak berani nekat untuk sesuatu hal yang baik? Aku harus berani!

Aku temui para petinggi universitas. Aku tidak mau bertemu hanya dengan bawahan yang menerima perintah. Aku inginnya bertemu langsung dengan orang yang memberikan perintah dan pembuat kebijakan. Pada sebuah ruangan, aku duduk berhadap-hadapan dengan seseorang dengan penampilan yang rapih dan berdasi. Kami hanya dipisahkan oleh sebuah meja kayu besar yang berwarna coklat mengkilat. Aku utarakan semua maksud kedatanganku. Setelah semuanya keluar, aku pamit pulang. Sebelum aku keluar ruangan, bapak itu meminta nomer telepon yang bisa dihubungi. Aku berikan nomer hapeku. Esoknya, aku disuruh menghadap bapak itu lagi. beliau mengatakan, kalau aku bisa berkuliah. Aku mendapatkan bantuan pembayaran registrasi sisanya. Aku mendapatkan bantuan sebesar lima juta rupiah. Jika disatukan, genap sudah jumlahnya. Dua juta ditambah lima juta, jadi tujuh juta. Akhirnya, aku resmi menjadi seorang mahasiswa. Satu lagi mimpi yang tercoret dari daftar mimpi yang tertulis pada buku agendaku.Terima kasih Yaa Allah.

Sorenya, aku masuki gedung fakultas yang sebentar lagi akan menjadi tempatku menggali ilmu, yaitu fakultas pendidikan ilmu pengetahuan sosial (FPIPS).Aku naik ke lantai enam. Aku berdiri mematung di salah-satu jendela yang terbuka. Aku pandangi indahnya kota Bandung dari ketinggian. Beruntung, Bandung sedang tidak hujan. Di kaki langit sebelah Barat, aku melihat mentari berwarna jingga. Sinarnya masuk ke dalam FPIPS melalui jendela-jendela yang ada. Melalui jendela yang terbuka di depanku, sinar lemah itu menerpa wajahku. Aroma hangat membelai jiwaku. Melalui sinar itu, mentari itu tersenyum padaku. Dia membisikan sesuatu padaku.

Apa kabar saudaraku?” tanya mentari. Aku jawab pertanyaannya. Aku titipkan padanya sebuah pesan untuk Tuhan kami, Allah SWT. Agar dia menyampaikan rasa terima kasihku untukNya. Aku juga berpesan, supaya dia menyampaikan beberapa permohonanku, agar DIA melindungi keluargaku di kampung sana. Supaya DIA selalu mempermudah langkahku dalam meraih mimpi. Juga agar DIA memberikan ilham kepada kedua orang tuaku,supaya mereka rujuk kembali dan merangkai lagi sebuah keluarga yang damai. Aku merindukan akan hal itu. Teramat sangat.
***

Rabu, 13 Juli 2011

Majelis Mobil


Bandung sedang basah. Beberapa hari ini kota kembang mulai diguyur hujan lagi. Godaan untuk solat berjama’ah di mesjid semakin berat saja. Dingin, becek, dan basah adalah beberapa alasannya. Terlebih untuk solat isya dan subuh. Mungkin itulah mengapa pahala berjama’ah kedua solat itu lebih dari yang lain.Jika kita solat isya berjama’ah, seakan-akan kita melaksanakan solat sunnah setengah malam, dan jika kita solat subuh berjama’ah, seakan-akan kita melaksanakan solat sunnah semalaman. Itulah yang aku ingat. Mohon direvisi jika ada kesalahan.

Suhu Bandung terasa lebih dingin dari sebelum-sebelumnya. Petang ini, angin lembut menyelinap masuk kamar lima belas melalui celah-celah jendela dan lubang kecil di bawah pintu. Perlahan angin itu memenuhi ruang kamar. Jaket hitam perserang tak kuasa melindungi tubuhku dari rasa dingin itu. Aku sedikit menggigil, namun, tidak separah ketika pertama kali aku menginjakan kaki di kota ini.

Jam dinding menunjukan pukul setengah tujuh. Langit semakin gelap.Asrama tampak lengang, seperti tidak ada aktifitas. Aku seorang diri di kamar ini, hanya ditemani oleh beberapa barang yang membisu.

“ Niko......” seseorang memanggil namaku di luar, namun, hanya suaranya saja yang terdengar, orangnya tidak tampak.

“ Ko...., Niko...” suara itu terdengar sekali lagi. aku melihat ke arah jendela tak bergorden. Disana tidak tampak sesosok makhlukpun.

“ Niko.....” sekali lagi suara itu memanggil namaku. semakin keras saja. Mataku masih memandang pada jendela. Tidak berselang lama, muncul sesosok makhluk berperawakan kekar, namun badannya tidak terlalu tinggi. Adalah kang Rudi, bagian logistik DT. Dia masuk membuka pintu dan langsung duduk di samping kiriku, dengan jarak satu meteran.

“ Malam ini sampai besok, antum ada agenda tidak?” tanya kang Rudi tiba-tiba. Tangannya memain-mainkan kunci mobil yang sedang dia pegang. Untuk sesaat aku masih bengong sendiri, karena pertanyaan itu datangnya tiba-tiba. Otakku masih loading untuk mencernanya.

Aku memandang langit-langit kamar, hendak mengingat-ingat apa saja agendaku untuk malam ini sampai besok.

“ Besok pagi, sampai menjelang jum’atan tidak ada. Terus, kalau untuk malam ini palingan hanya ikut kajian ma’rifatulloh aja di Daruul Hajj. Memang ada apa kang Rud?” aku memberi tahu kang Rudi.

“ Bagus! Berarti tidak ada agenda yang terlalu penting. Kalau begitu, antum ikut ke rumah saya ya di Majalengka! Bareng Farhan juga. Kita angkut barang kesana. Berangkatnya setelah isya. Perjalanan mungkin sekitar satu setengah jam. Kita tidur disana, terus pulang laginya setelah subuh. Nah, untuk kajian ma’rifatulloh, kita dengarnya lewat radio saja di mobil,” terang kang Rudi panjang lebar. Mendengar semua itu, aku sedikit berfikir. Kang Rudi menunggu jawabanku, sementara diriku, diam mencari jawaban. Kami sama-sama diam.

“ Ke Majalaya, kerumah kang Rud. Sama Farhan juga. Angkut barang. Pulangnya mungkin sekitar jam tujuh pagi ya?” aku bertanya sebagai pertimbangan.

“ Iya,” jawabkang Rudi pendek. Dia masih menunggu jawabku.

Aku berfikir sekali lagi. Aku melihat kang Rudi. “ Siap kang Rud. Saya ikut.”
***

Selepas solat isya di mesjid Baiturrahmaan, aku segera balik ke asrama. Gerimis turun lagi. Mobil pick-up kijang hitam sudah terpalkir di halaman depan asrama. Baknya masih kosong. Kaca mobilnya terlihat berembun.

Pintu asrama sudah terbuka, berarti sudah ada orang yang duluan masuk. Benar, sudah ada kang Rudi dan Farhan di dalam. Merekamembawa potongan kayu.

“ Hayu Niko,” ajak kang Rudi.

“ Siap kang,” jawabku sambil setengah lari menuju kamar lima belas.

Aku ganti pakaian. Celana olahraga PPM dan kaos warna abu-abu yang kupilih, kemudian disempurnakan dengan jaket hujan tebal. Segera aku susul kang Rudi dan Farhan ke halaman belakang, menuju tumpukan kayu, triplek, beberapa kaca, tumpukan tenda bekas dan beberapa kotak amal mesjid. Kami pindahkan semua barang itu ke bak mobil.Semua barang itu menggunung memenuhi bak mobil. Barang-barang itu dilindungi terpal penutup. Penutup itu diikat kuat, agar tidak berjatuhan ketika mobil melaju kencang.

Alhamdulillah.....” ucap kang Rudi, sesaat selepas menyelesaikan ikatan terakhir. Kedua tangannya dia adukan, bermaksud menghilangkan kotoran yang tertempel di tangannya. Terlebih dahulu kami masuk asrama menuju keran wudhu. Kami membersihkan kotoran yang tertempel di tubuh dan pakaian.

DEBB DEBBB

Hampir berbarengan aku dan kang Rudi menutup pintu mobil.

“ Siap!” tanya kang Rudi kepadaku dan Farhan.

“ Siap.” Jawab kami berbarengan.Kang Rudi yang nyetir, Farhan duduk di tengah dan aku duduk di sebelah kiri dekat jendela. Aku sedikit membuka kaca jendela. Angin dingin masuk memenuhi setiap sudut ruang depan.

Bismillahirrahmaanirrahiim,” gumam kang Rudi, bersamaan dengan menjalankan mobil. Kijang pick-up hitam keluar asrama, melaju membelah kedinginan Geger Kalong.Semakin lama, semakin jauh kami meninggalkan darussalam tercinta. Di luar, tetesan air dari langit masih mengguyur bumi, membasahi kaca mobil.

Memasuki tol, mobil melaju kencang. Hujan semakin deras. Pembersih kaca mobil bergerak bolak-balik membersihkan kaca depan. Di dalam, kami khusuk mendengarkan ceramah Aa Gym lewat radio. Melalui kaca depan, aku melihat beberapa mobil yang terkejar dan banyak mobil juga yang mengejar.

Ceramah Aa Gym selesai. Radia MQ FM memutar sebuah lagu islami. Lagu selesai, kang Rudi mematikan radio.

“ Gimana kabar si dia Ko?” tanya kang Rudi padaku tiba-tiba.

“ Si dia siapa kang Rud?” aku balik tanya.

“ Yang dulu ngobrol di depan K-pe sehat,” kang Rudi mengingatkan. Aku sedikit kaget, ternyata kang Rudi masih ingat toh, peristiwa itu.

“ Oooh, sudah tidak kang, belum waktunya.”

“ Belum waktunya gimana?” kang Rudi tanya lagi.

“ Konsentrasi kuliah dulu kang,” jawabku sekenanya.

“ Bagus! Antum telah memilih jalan yang benar Ko,” reflek aku melihat kang Rudi. Kang Rudi juga melihatku, namun hanya sebentar, dia memalingkan wajah lagi melihat jalan. Sementara Farhan, hanya duduk mematung memandangi pembersih kaca yang terus bolak-balik.

“ Nih, Farhan! Niko! dengerin omongan saya!” kang Rudi menegakan tubuhnya. Dia membenarkan posisi duduknya. Aku dan Farhan menatap kang Rudi yang sedang nyetir. Farhan memalingkan pandangannya lagi pada pembersih kaca mobil yang sedang bergerak bolak-balik.

“ Untung antum sudah tidak ada hubungan itu lagi, Ko, jadi saya bisa lebih leluasa ngomongin hal ini,” kang Rudi melirik padaku.

“ Begini. Harus kalian ketahui, setan yang menggoda orang yang belum nikah dengan orang yang sudah nikah itu berbeda. Kepada yang belum nikah, setan selalu membisikan agar selalu berdekatan dengan yang bukan mahromnya. Itulah yang dinamakan pacaran. Bahkan semakin kesini, semakin aneh lagi, sekarang sudah muncul istilah TTM, HTS dan yang sejenis lainnya.

“ Berbeda lagi jika sudah menikah, setan akan selalu membisikan agar pasangan suami-istri itu berpisah, atau dengan kata lain bercerai,” terang kang Rudi kepada kami. Farhan melihat kang Rudi, lalu kembali melihat pembersih kaca yang masih bergerak.

Antum-antum harus tahu hal ini, karena usia-usia antum itu sedang krisis-krisisnya, yang mana keinginan untuk mengenal lawan jenis itu sedang besar-besarnya. Disaat inilah godaan itu akan terasa berat. Setan tiada henti dalam berupaya membisikan hitam itu pada usia-usia seperti kalian.

“ Saya penasaran ingin bertanya pada antum, Ko. Apa yang biasa antum lakukan atau rasakan ketika menjelang tidur atau lagi sendiri pada saat masih ada hubungan dengan akhwat itu dulu? Melamun kan?! Melamunin dia kan?!Antum merindukan dia kan?!!” tanya kang Rudi padaku, namun dia jawab sendiri pertanyaan-pertanyaannya. Aku hanya bengong melihat kang Rudi. Dalam hati aku membenarkan pernyataannya itu.

“ Begini Ko. Harus antum ketahui lagi. Rasa rindu antum pada akhwat itu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan rasa rindunya sepasang suami-istri yang sedang merindu. Saya berani sumpah untuk hal itu, karena saya sendiri yang merasakannya.

“ Terus terang, saya juga dulu pernah pacaran. Kalau boleh jujur, saya menyesali hal itu. Banyak waktu yang tersita hanya karena memikirkan pacar saya yang belum tentu jadi jodoh saya, dan ternyata itu terbukti sekarang. Kalau saja waktu bisa diputarkembali, saya akan menggunakan waktu sia-sia itu untuk menghafal Al-Qur’an, mungkin sudah nambah berapa banyak ayat yang sekarang saya hafal.

“ Sampai sekarang saya masih merasa heran kepada para lelaki yang memberikan sesuatu kepada pacarnya. Apa coba untungnya? Malah banyak mudharotnya! Mending ngasih sesuatunya itu kepada ibu atau saudara-saudaranya. Itu lebih bermanfaat, lebih berkah, juga mendatangkan pahala,” terang kang Rudi.

Mobil masih melaju dengan kencang, membelah jalan tol. Hujan semakin deras, bersamaan dengan itu, semakin cepat pula pembersih kaca mobil bergerak. Bagiku, kendaraan yang kami tumpangi ini bukan hanya sekedar mobil biasa, tapi sudah menjadi majelis mobil, lebih tepatnya majelis munakahat.

“ Sudah, yang lalu biarlah berlalu, sekarang kita harus menatap hari esok. Jadikan peristiwa kemarin sebagai pembelajaran untuk kedepannya. Jangan sampai kita jatuh pada lubang yang sama,” ujar kang Rudi dengan suara yang sedikit lebih tenang.

“ Oh ya, ngomong-ngomong usia kalian berapa, Han, Ko?” tanya kang Rudi padaku dan Farhan.

“ Usia saya dua puluh kang,” jawab Farhan, dengan tidak memalingkan pandangannya dari pembersih kaca mobil yang sedang bergerak.

“ Saya dua puluh dua kang Rud,” jawabku pendek.

“ Wah, berarti sebentar lagi kalian nikah atuh ya? Apalagi antum, Ko. Idealnya, dua atau tiga tahun lagi antum harus sudah menikah tuh, Ko,”ucap kang Rudi sambil tersenyum, namun pandangannya tetap melihat jalan.

“ Segera persiapkan segala sesuatunya dari sekarang, terutama sekali ilmu munakahat. Bahkan, ekstremnya saya katakan, wajib hukumnya mempelajari ilmu ini bagi yang hendak menikah,” suara kang Rudi mulai meninggi kembali.

“ Dan satu lagi yang perlu diingat! Sebelum menikah, yang dibayangin itu jangan yang enak-enaknya aja, tapi bayangin juga yang pahit-pahitnya, agar tidak kaget ketika nanti kita benar-benar mengalaminya.Masalah dalam rumah tangga itu sangat rumit, setidaknya menurut yang pernah saya alami sendiri. Untuk menghadapinya, hanya satu kuncinya, yaitu sabar, titik,” nasihat kang Rudi padaku dan Farhan.

“ Oh ya, gimana, antum sudah menentukan calon istri belum, Ko?” tanya kang Rudi kepadaku. Aku diam tidak menjawab. Kang Rudi menanggapi diamku hanya dengan tertawa ringan.

“ Saya minta ma’af dulu sebelum berbicara hal ini pada antum. Begini, Ko. Ini hanya sebagai pertimbangan saja ya. Ingat! Ini hanya sebagai bahan pertimbangan saja untuk antum. Sekiranya antum belum ada calon, saya sarankan antum per-istri akhwat yang satu ini,” kang Rudi mencoba memberikan saran.

“ Akhwat yang mana kang????” tanyaku penasaran.

“ Akhwat ini baik, Ko, dia penurut, akhlaknya baik, setidaknya sejauh saya mengenal dia. Dia akhwat PPM juga, Ko,” jelas kang Rudi. Farhan melihat kang Rudi, lalu beralih melihatku.

“ Dia itu siapa kang?” celetuk Farhan. Sepertinya dia juga penasaran.

“ Namanya ‘BUNGA’ (nama samaran, untuk menjaga privasi orang yang dimaksud),” jawab kang Rudi. Kami terdiam seketika, yang terdengar hanyalah deruman mesin mobil dan suara deras hujan. Aku dan Farhan saling pandang satu sama lain. Aku melihat kang Rudi. Dia mengangguk padaku.

Aku terdiam lagi. Aku memikirkan apa yang barusan kang Rudi katakan. Aku pandangi jalanan, mobil-mobil saling berkejaran.

“ Tapi tetap, keputusan sepenuhnya berada di tangan antum, Ko, karena ini sifanya hanya rekomendasi saja. Cuman, si bunga itu, menurut pengamatan saya, jika sudah menjadi istri, dia akan menjadi seorang istri yang baik, Ko,” ujar kang Rudi.

“ Iya kang Rud, insyAllah dia akan menjadi pertimbangan saya, itupun kalau nanti dianya mau kang, he...” aku nyengir kuda.

“ Sip. Tapi, siapapun nantinya yang antum pilih, satu kunci agar antum bisa mendapatkan istri yang baik, yaitu, antumnya harus menjadi orang baik dulu.Itu kunci rahasianya,”sabda kang Rudi.

Mobil belok kiri mengambil jalur keluar tol. Mobil terus berbelok dengan lancar, tubuh kami seperti tertarik ke sebelah kanan, aku menyender pada Farhan, Farhan menyender pada kang Rudi, dan kang Rudi menyender pada pintu sebelah kanan. Hujan belum juga reda. Pembersih kaca mobil masih bekerja. Farhan setia memandangi benda bergerak itu. Dia benar-benar setia.
***

Kamis, 07 Juli 2011

Samson Jadi-jadian


Hidup itu ibarat sebuah buku. Sampul depan adalah kelahiran kita, dan sampul belakang hari kematian kita. Buku-buku itu ada yang tebal dan juga ada yang tipis. Semuanya bergantung pada seberapa lama jatah hidup kita di dunia ini. Sesumrawut dan sekotor apapun coretan pada sebuah halaman, akan tetap ada lembaran putih-bersih pada lembaran-lembaran berikutnya. Rangkaian kalimat inilah salah-satu yang membuatku ada niatan untuk berubah ke arah kehidupan yang lebih baik, setelah lebih dari satu setengah tahun aku hidup tanpa kegiatan, atau yang lebih keren disebut dengan pengangguran. Iya, satu setengah tahun aku menjalani hidup tanpa arti. Masyarakat sekitar serasa mengucilkan diriku. Aku dipandang sebelah mata.

Pasca mendengar kalimat hidayah itu, aku berusaha sebisa mungkin untuk mengubah hidupku. Aku ingin masa depanku nanti cerah, laksana mentari di siang hari. Dan, kunci dari semua permasalahan ini adalah pendidikan. Aku harus menuntut ilmu. Aku harus bersekolah lagi. Mau tidak mau, itu harus aku jalani. Tidak bisa ditawar-tawar lagi. Harga mati hukumnya. Karenanya, aku harus segera menambal kekosongan ilmu yang tidak kudapatkan di sekolah dulu. Aku harus membaca buku pelajaran sebanyak-banyaknya, guna mempermudah dalam mengisi soal-soal tes masuk perguruan tinggi negeri yang dijadwalkan akan dilaksanakan sekitar setengah tahun kedepan.

Bangun pagi aku cari buku. Ke toilet bawa buku. Sarapan ditemani buku. Jalan-jalan bareng buku. Di pantai bermesraan dengan buku. Mau tidur, di nina boboin oleh buku. Dalam tidur, aku bermimpi membaca buku. Seperti itulah keseharianku menjelang waktu tes.

Alhamdulillah, perjuanganku berbuah hasil. Pada hari pengumuman kelolosan, namaku terselip diantara ratusan ribu nama peserta yang lulus, pada surat kabar nasional. Aku sangat gembira ketika itu. Segera aku beritahukan kabar menyenangkan ini kepada kedua orang tuaku. Mata orang tuaku berkaca-kaca, telebih-lebih mamah. Mereka bangga padaku. Satu anak tangga sudah aku naiki. InsyAllah, anak tanga-anak tanga berikutnya segera menyusul.

Namun, terdapat sebuah batu sandungan yang menghalangi jalanku. Adalah biaya kuliah. Dana yang harus aku bayarkan untuk pembayaran registrasi awal adalah kurang-lebih cukup untuk mendapatkan satu sepeda motor. Aku bingung. Orang tuaku bingung. Hendak dari mana kami mendaptkan uang sebanyak itu. Sempat terpikir untuk mengundurkan diri. Tapi, pengalaman pahit di kehidupan masa lalu, membuatku membuang jauh-jauh pemikiran pecundang itu. Aku mencoba memutar otak, agar aku tetap bisa berkuliah.

H–3 menuju batas akhir pembayaran registrasi, aku belum juga mendapatkan uang itu. Tanpa banyak pikir lagi, dengan berbekal sedikit uang dan do’a yang tulus dari kedua orang tua, aku meluncur menjemput mimpiku. Aku tetap berangkat ke Bandung, tempat dimana kampus, aku diterima. Setelah tawakalku sudah sampai pada titik zenit, aku mencoba memaksimalkan ikhtiarku. Dengan menghujamkan lafadz basmallah di hati, aku melangkahkan kaki menuju kota kembang. Bagiku, kampus itu laksana kawah candra dimuka yang akan menggemblengku untuk sebuah imbalan masa depan yang bahagia.

Pertama kali menginjakan kaki di kampus impian, aku sempat kebingungan, hendak kemana langkah ini tertuju. Beruntung, aku punya seorang teman yang semasa sekolah dulu, kami satu angkatan. Dia berkuliah di kampus yang sama. Aku hubungi dia, bermaksud meminta tumpangan sementara, selama aku berjuang untuk mencari jalan keluar pada masalahku. Alhamdulillah, dia menerimaku dengan sebuah senyuman dan tangan terbuka.

Berbekal sedikit informasi tentang kampus dan segala seluk-beluknya dari seorang teman, aku mencoba peruntungan. Aku kunjungi pihak rektorat. Aku sambangi direktur kemahasiswaan. Aku temui kepala bagian keuangan. Aku utarakan keinginanku untuk menuntut ilmu. Aku ceritakan bagaimana keadaanku. Pokoknya aku kemukakan semua tentang diri, keluarga, masalalu dan harapan-harapanku kepada mereka. Dari A sampai Z. Semuanya, tanpa ada yang terlewat.

Setelah semua jalan telah aku coba, aku kembali menyempurnakan do’aku lagi. Pada sepertiga malam terakhir, aku bermunajat kepada Sang Maha Pengabul do’a, Allah Swt, supaya Dia berkenan mengabulkan permintaan-permintaanku.

H-1, belum juga ada kabar dari pihak kampus terkait permohonanku. Aku sempat putus asa. Sepertinya aku akan balik lagi ke kampung halaman. Sepertinya nasib menggariskanku untuk tetap tinggal di pesisir selat sunda. Aku termenung sendiri di teras depan kamar kos-kosan temanku. Aku sudah lelah.

Getaran hape yang tersimpan di saku celana yang kukenakan mengagetkanku. Sebuah pesan masuk. Kulihat, pada layar hape tertulis nama seseorang yang baru aku kenal, berikut dengan jabatannya. Dia adalah salah-satu petinggi kampus yang kemarin aku temui. Isi pesannya adalah sebuah undangan, agar aku datang ke kantornya. Tanda tanya, penuh menyesaki kepalaku ketika itu. Berita apa gerangan yang akan beliau sampaikan?

Ba’da Dzuhur, aku temui bapak petinggi kampus. Maha suci Allah, apa yang aku dengar darinya?! Aku mendapatkan bantuan pembebasan biaya registrasi kuliah. Aku tidak kuat lagi menahan air mata untuk tidak jatuh. Air mataku menetes. Aku cium tangan kanan beliau. Aku mengucapkan beberapa kali kata terima kasih. Dan aku, sangat berterima kasih kepada Allah karena telah mengabulkan do’aku. Kini, telah kuinjakan lagi kakiku pada anak tangga yang kedua. Aku sampaikan kabar berita ini kepada orang tuaku di kampung. Aku mendengar tangisan mereka lewat hape. Sungguh, aku tidak tahan. Air mataku semakin deras mengalir. Aku menagis tanpa suara. Aku sembunyikan tangisanku. Kawah candra dimuka, sambutlah aku, sambutlah jiwaku!
***

Satu lagi mimpiku yang tercoret di buku agenda. Aku berkuliah di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Dengan mengambil konsentrasi pada jurusan pendidikan geografi. UPI adalah sebuah kampus di bumi siliwangi. Disinilah aku akan menggali ilmu, setidaknya untuk empat atau lima tahun kedepan.

Banyak hal baru yang kutemui disini. Semua itu aku terima dengan otak pembelajar. Aku cerna semuanya, aku saring, kemudian kuambil yang baik-baiknya dan kubuang yang jeleknya. Benar apa yang dikatakan temanku. Seorang mahasiswa baru itu ibarat sebuah kertas putih, yang sangat mudah sekali dicoret dengan pena bermacam warna.

“ Kamu harus pandai-pandai dalam mencari teman dan lingkungan, kawan. Hidup di kampus itu berbeda jauh dengan di sekolahan. Anak bangsa yang berasal dari seluruh penjuru negeri berkumpul di tempat ini. Kampus adalah miniatur sebuah negeri. Banyak aliran yang ada disini. Jangan sampai kamu salah langkah!” saran seorang teman kepadaku. Aku perhatikan dengan baik setiap saran demi saran yang keluar dari mulut temanku itu.

Dengan berbagai pertimbangan, terpilihlah organisasi dakwah kampus. Disini aku akan menggali ilmu islam lebih dalam, disamping belajar berorganisasi tentunya. Aku tidak mau dikategorikan sebagai golongan mahasiswa yang KUPU-KUPU, atau kuliah pulang-kuliah pulang. Jika demikian, hanya aspek kognitif yang kumiliki, selebihnya, mungkin nol besar. Terlebih lagi golongan KUNANG-KUNANG, atau kuliah nangkring-kuliah nangkring (nongkrong), yang ini lebih parah. Aku ingin masuk kedalam kelompok yang KURA-KURA, atau mahasiswa yang kuliah rapat-kuliah rapat. Banyak ilmu dan keterampilan yang bisa diperoleh di organisasi dan tidak dipelajari di bangku kuliah. Semua itu, akan berguna ketika hidup di masyarakat kelak. Tidak sedikit para pendahulu yang membuktikan hal ini.
***

Di UPI, terdapat tujuh fakultas di dalamnya, yaitu: FIP (Fakultas Ilmu Pendidikan), FPIPS (Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial), FPBS (Fakultas Pendidikan Bahasa dan sastra), FPMIPA (Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam), FPTK (Fakultas Pendidikan Teknik dan Kejuruan), FPOK (Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan) dan fakultas yang paling bungsu, yaitu FPEB (Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Bisnis). Juga kampus-kamus daerah yang tersebar di beberapa wilayah di Jawa Barat dan Banten. Semua fakultas itu berdiri dengan kokoh menjulang ke langit. Bentuknya sangat indah. Terlihat semakin asri karena dihiasi dengan pohon-pohon hijau yang besar dan rindang. Teduh.

Pada setiap fakultas, terdapat fasilitas lift. Masing-masing dua buah. Lift-lift itu mempermudah dosen dan mahasiswa jika hendak naik-turun lantai dengan cepat dan tidak banyak menguras energi. Namun, tidak bagiku. Aku lebih suka naik-turun tangga. Biarpun sedikit capek, tapi itu baik untuk kesehatan. Memang, tidak bisa dipungkiri, ada beberapa kondisi yang membuatku pada akhirnya merasakan fasilitas yang satu ini.
***

Mungkin, kaum laki-laki yang paling tersiksa adalah dari FPIPS, tidak terkecuali diriku. Hal ini karena ada tiga prodi, jurusan kepariwisataan disana. Antara lain: MPP (Manajemen Pemasaran Pariwisata), MRL (Manajemen Resort and Leisure) dan MIK (Manajemen Industri Katering). Bagaimana tidak, sebagian mahasiswi ketiga prodi ini mengenakan seragam yang minim. Lekuk-lekuk tubuhnya dapat terlihat dengan jelas. Bagi mahasiswa dari kalangan kaum Adam yang tidak bisa menahan pandangan. Disana keran dosa mulai terbuka.

FIP dan FPMIPA adalah kutub yang berseberangan dengan FPIPS. Perbedaannya sangat kontras. Secara kasat mata, mahasiswa dan mahasiswinya alim-alim. Sebagian besar laki-lakinya mengenakan pakaian-pakaian rapih, seperti: baju takwa, batik, dan kemeja berlengan panjang. Pun, dengan perempuannya. Busana muslim, gamis dan kerudung besar membalut seluruh bagian tubuhnya, kecuali wajah dan telapak tangan. Satu lagi. Jika kita ingin melihat pemandangan surga dunia, di kedua fakultas inilah tempatnya. Tidak sedikit mahasiswa yang sudah menikah. Mereka menikah dengan teman satu jurusan, adik atau kakak tingkat, atau dengan teman satu organisasi. Jika aku sedang berada di kedua fakultas ini, tidak jarang kutemui pasangan muda-mudi berjalan berbarengan menuju kampus. Tangan sang pangeran digandeng erat oleh sang permaisuri. Oh, alangkah indahnya pemandangan itu.

Lain lagi dengan FPOK dan FPTK. Kedua fakultas ini statusnya adalah yang paling angker. Penghuninya sebagian besar kaum laki-laki, kalaupun ada perempuan, itu hanya sedikit. FPEB adalah fakultas yang dipenuhi wirausahawan-wirausahawan muda. Minimal berbisnis pulsa. Dan, jika kita ingin menemukan mahasiswa yang penampilannya aneh, nyentrik, tengil, atau modis. FPBS lah tempatnya, karena disana, terdapat jurusan seni: seni rupa, seni musik dan seni tari.
***

Sore ini aku lelah. Jadwal kuliah penuh, karena ada jadwal pengalihan. Sebenarnya hari ini jadwalnya hanya tiga mata kuliah. Jam tujuh sampai jam delapan lewat empat puluh. Kemudian masuk lagi jam delapan lima puluh sampai jam sepuluh lebih dua puluh menit. Setelah itu kosong sampai jam satu siang. Jam satu masuk lagi sampai jam dua lebih empat puluh. Setelah itu seharusnya sudah pulang. Namun karena jadwal salah-satu mata kuliah untuk sementara dipindah ke hari ini, kami harus rela kuliah sampai sekitar jam empatan. Jenuh menyapa jiwa kami. Kami belajar bagai mobil yang kehabisan bensin.

Jam empat kurang sedikit, kami pulang. Menyengaja aku mengakhirkan keluar kelas, bermaksud santai sejenak melepas penat. Setelah semua keluar, aku beranjak dari kursi dan berjalan menuju pintu. Sesampainya diluar, hanya tinggal segelintir teman yang masih sedang mengobrol di lorong antara ruang sepuluh dan ruang sebelas. Aku sapa mereka. Mereka balas nyapa. Aku pamit untuk pulang duluan. Satu dari mereka ikut pulang denganku. Karena kami merasa kelelahan, kami bermaksud turunnya pake lift. Kami berjalan menuju lift. Suasana gedung sunyi-senyap. Hentakan langkah kami, terdengar menggema ke pojok-pojok ruangan. Pintu lift masih tertutup. Kami berdiri mematung menghadap ke pintu lift. Temanku menekan tombol arah tanda panah kebawah. Tanda panah digital yang berwarna merah seolah bergerak-gerak kebawah. Di sebelah atas tanda panah menunjukan angka enam, pertanda lift masih berada di lantai enam. Angka enam berubah cepat menjadi angka lima. Bersamaan dengan itu suara tiruan lonceng berdentang. Kemudian dilanjutkan dengan suara rekaman seorang wanita, dengan bunyi,” lantai lima”. Biasanya, pergantian dari angka satu ke angka lainnya numayan sedit memakan waktu, tapi sekarang tidak, berarti di atas tidak ada yang naik lift. Lift itu kosong, pikirku. Wajar, karena waktu sudah sore.

Tanda panah bergerak lagi. Angkanya masih menunjukan nomer lima. Tiba-tiba otakku disinggahi pemikiran yang tidak-tidak. Aku hendak menggunakan waktu tunggu ini dengan sebuah keisengan. Aku palingkan pandanganku kepada temanku. Dia menatapku balik. Aku gerak-gerakan kedua alisku. Wajah temanku terlihat kebengongan. Dia seperti orang linglung. Aku melangkah lebih mendekat ke pintu lift. Aku berbalik pada temanku. Ku gerak-gerakan lagi alis mataku dengan genit. Dia masih menatapku dengan wajah penuh tanda-tanya. Aku angkat kedua tanganku sebahu. Aku berpose laksana seorang binaragawan yang sedang pentas. Aku buat wajahku layaknya binaragawan sungguhan. Aku tekuk-tekuk wajahku. Temanku menggelengkan kepalanya, namun, tetap dengan wajah keanehannya. Aku mengangkat wajah menyombongkan diri. Aku berbalik kembali menghadap pintu lift. Lagi, aku tiru gerak binaragawan yang sedang mempertontonkan ototnya. Kuletakan jari-jari tanganku di pintu lift yang masih tertutup, seakan-akan hendak membuka pintu besi itu dengan kekuatanku. Aku mengerang laksana Hulk yang sedang membuka jeruji baja yang sangat kuat.

“ Ting-tong. Lantai empat,” lift itu bersuara.

Aku masih mengerang. Perlahan pintu terbuka, kedua tanganku maih menemel pada pintu dan mengikuti gerak pintu, seakan tangankulah yang membuka pintu lift itu. Sedikit-demi sedikit pintu lift terbuka semakin lebar. Aku tetap mengerang. Wajahku masih menekuk. Namun, apa yang kulihat dengan kedua mataku sendiri?!!! Tepat di hadapanku, di ruang kotak dengan lebar dua kali dua meter itu, yang oleh orang-orang disebut “lift”, atau orang kampung mengatakannya “lip”. Disana berdiri tiga mahasiswi jurusan MIK. Mereka menatapku dengan wajah yang tidak aku ketahui apa arti dari mimiknya. Mereka mengenakan seragam biru muda ketat. Rok yang dikenakan sangat minim, sekitar satu atau dua senti di atas lutut. Dasi pendek warna merah terikat di leher mereka. Malu, bingung, menyesal, pokoknya semua emosi yang aneh-aneh aku rasakan. Aku masih berdiri mematung di depan lift yang pintunya sudah terbuka. Di belakangku ada suara tawa. Sepertinya tawa itu keluar dari mulut temanku. Para gadis di hadapanku tersenyum dan sedikit mengeluarkan tawa. Sumpah, aku sangat malu ketika itu. Jika dihadapanku ada cermin, mungkin wajahku terlihat blo’on saat itu. Bagiku, semua jam yang ada di dunia ini berhenti berdetak.

Di dalam lift, aku berdiri diantara tiga orang perempuan dan seorang laki-laki. Tidak ada yang bisa kulakukan saat itu selain menunduk. Tidak sepatah katapun yang keluar dari mulutku. Aku diam sejuta bahasa. Sayup-sayup kudengar salah-satu dari ketiga perempuan itu menggumamkan sesuatu,” Samson,” kemudian dilanjutkan dengan tawa yang ditahan-tahan. Sejak saat itu, jika aku berpapasan dengan mereka atau salah-satu dari mereka, kami saling melemparkan senyum. Hingga sekarang.
***

Senin, 04 Juli 2011

Harapan yang Telah Tiada


Minggu malam di akhir bulan. Hari-hari itu merupakan hari kelam bagi mahasiswa pas-pasan. Penderitaan itu diperparah dengan beban pikiran ujian. Iya, senin besok sudah masuk minggu ujian akhir semester (UAS). Namun, biasanya, saat-saat seperti itu, kualitas keimanan seseorang akan bertambah kuat. Memang, itulah salah-satu tabi’at manusia, dia akan mengingat Allah ketika ditimpakan sedikit saja kesulitan, termasuk diriku. Disaat seperti itu, mereka akan berdo’a lebih lama, solat malam disempurnakan, kuantitas sedekah diperbanyak, meskipun hanya dengan sebuah senyuman,pokoknya, pada intinya, mereka memperbaiki kualitas ibadah mereka, baik itu yang hablumminAllah, maupun yang hablumminnannas. Mungkin.

Malam ini, tepatnya ba’da isya, kami, para penghuni kamar lima belas sedang berkumpul. Semua sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Iqbal sedang mengerjakan tugas dengan laptop hasil pinjaman dari teman satu jurusannya, karena laptop dia sedang di servis. Yoga serius membaca buku mata kuliah yang besok akan diujiankan. Mata Yoga tajam menatap buku. Mungkin, jika buku itu bisa berbicara, sepertinya buku itu akan menyatakan ketakutannya karena dilihat seperti itu oleh Yoga. Farhan sedang duduk di atas sajadah warna emasnya, tangannya memegang mushaf kecil yang ada terjemahannya. Sepertinya dia hendak menambah jumlah hafalannya. Aku sedang membolak-balik bundelan kertas karya tulisanku. Bundelan itu adalah kumpulan cerpen yang telah kubuat. Jumlah halamannya masih seratus dua puluh satu halaman. Baru setengah jalan untuk sampai pada target tiga ratus. Mudah-mudahan, akhir tahun ini sudah bisa dirampungkan dan langsung bisa dikirim ke penerbit. Aku mencoba mencari-cari kesalahan pada karyaku itu, baik itu dari segi ceritanya, ataupun dari segi ejaannya.

Di pojok kamar, tepat di depan lemari miliknya, Hanif sedang mencoret-coret sesuatu pada buku agendanya. Memang, itulah salah satu hobi orang satu ini. Entah kenapa? Hanif sangat gemar dalam hal data mendata, mendata apapun itu. Barang-barang yang dia miliki didata. Pengeluaran tiap bulannya dia data. Buku-buku yang dimiliki, dia data.Semua santri PPM, dia data, tidak hanya yang ikhwan, yang akhwat juga iya. Bahkan, yang membuat diriku heran, dari mana asal santri akhwat, usianya, jurusan dan dimana kuliahnya, sampai nomer hapenya, Hanif tahu. Semuanya tertulis rapih pada buku agendanya. Aku heran. Ilmu apa geranganyang dia miliki.

Suasana hening. Semuanya diam, fokus pada pekerjaannya masing-masing, yang terdengar hanyalah lantunan ayat suci Alqur’an melalui pengeras suara mesjid Baiturrahmaan, mesjid yang tidak jauh dari asrama darussalam. Jam dinding besar yang tertempel satu meter di atas antara lemari Yoga dan Iqbal menunjukan pukul delapan malam. Aku lupa, aku belum makan malam. Aku segera beranjak menghampiri lemari plastikku. Aku buka sekat bagian atas. Kuambil dompet hitam lusuh yang sudah butut. Kulihat, isinya hanya tinggal tiga ribu rupiah saja. Aku sedikit bingung, bisakah dengan uang tersisa ini aku membeli makanan berat untuk mengisi perutku malam ini? Sayangnya, sepertinya tidak. Aku tutup lagi dompet lusuh itu. Aku kembali duduk menghadapi bundelan kertasku.

Perutku mulai lapar. Setelah melakukan beberapa pertimbangan, dilihat dahulu sisi baik dan sisi buruknya, akhirnya terpilihlah satu keputusan. Aku sambar hapeku yang tergeletak di depanku. Aku mengetikan sesuatu SMS, kemudian langsung kukirimkan. Hanya berselang beberapa detik, hape Hanif berdering. Terlihat, dia membaca SMS masuk itu. Pandangan dia terpaku pada layar hape. Dia mengetik, sepertinya hendak memberikan balesan. Setelah selesai, dia simpan lagi hape di samping kanannya. Dua detik berselang, hapeku bergetar. Sepertinya, SMS ini adalah balesan dari SMS yang tadi aku kirim. Aku baca.

Walaikum, bisa kang, mau pinjem berapa?

Aku bales lagi SMS itu.

Dua puluh ribu aja nif, insyAllah, setelah dapat kiriman nanti, saya langsung bayar, makasih kawan

Hanif baca SMS balesan dariku. Setelah itu dia beranjak mengambil sesuatu di lemarinya. Hanif menghampiriku, memberikan satu pecahan uang kertas dua puluh ribu. Lega sudah, satu permasalahanku terselesaikan. Hanif kembali duduk, sementara Farhan, Iqbal dan Yoga, masih khusuk dengan kegiatan mereka.

Uang sudah digenggaman. aku bingung hendak makan denganmenu apa. Namun, yang paling jelas di pikiranku adalah mie goreng. Mie goreng spesial, mas nasi goreng yang sering mangkal di samping tukang jahit dekat asrama. Segera aku tutup bundelan kertas. Seper sekian detik hendak berdiri, hapeku bergetar, ada telfon dari ibuku. Aku keluar kamar. Aku angkat telfon ibu. Ibu memberitahukanku bahwa besok akan kirim uang, dan satu pemberitahuan lagi yang mengagetkan diriku. Berita itu tentang seorang akhwat, putrinya teman akrab bapakku. Memang, bapaknya putri itu sangat akrab dengan bapakku, saking akrabnya, sempat terpikir olehku, suatu saat nanti, beliau-beliau akan menjodohkan anak-anaknya.
***

Aku kembali masuk kamar dan duduk di tempat semula. Kali ini aku tidak merevisi cerpen-cerpenku, tapi kali ini aku diam. Iya, aku hanya diam tanpa kata. Aku masih memikirkan kata-kata ibu tadi di telfon. Sungguh.

Aku mencoba membagikan apa yang kupikirkan kepada teman satu kamarku.

“ Ga, Nif, Bal, Han. Saya punya cerita, kalian mau mendengarkan cerita ini?” tanyaku pada mereka. Secara berbarengan mereka melihat ke arahku.

“ Nanti dulu kang, setelah saya selesai ini saja,” ucap Hanif.

“ Gak Ko, nanti aja, tugas saya belum selesai,” ujar Iqbal.

“ Sepertinya nanti aja dengar ceritanya Ko, besok saya ujian mata kuliah FAAL, mata kuliah ini empat SKS ko,” jawab Yoga. Sementara Farhan, hanya menggelengkan kepala. Dia kembali melihat mushaf kecil di genggamannya.

“ Ini tentang akhwat,” tambahku. Mereka melihat ku sekali lagi, dengan gerakan menoleh lebih cepat dari yang tadi. Mereka tidak berkata apa-apa. Mereka diam seribu bahasa, namun, wajahnya penuh harap. Harapan ingin mendengar cerita dariku. Mereka masih melihat diriku, hanya Farhan yang kembali melanjutkan kegiatannya.

“ Begini. Bapak saya punya teman akrab, mereka sangat akrab, karena berteman sedari masih kecil. Temannya bapak saya itu punya anak perempuan, usianya dua tahun dibawah saya. Dia kuliah di Bandung juga, tapatnya di UIN. Dia berkuliah karena mendapatkan beasiswa penuh dari departemen agama. Dia. Dia cantik,” aku membuka cerita. Farhan terlihat mulai menghentikan kegiatannya. Mereka semua mengarahkan tubuhnya padaku. Mereka terlihat lebih serus mendengarkan ceritaku.

“ Iya. Perempuan itu cantik. Dia berpakaian dengan sangat rapih, menutup seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan pergelangan tangan. Dia sopan,” teman satu kamarku lebih mendekat padaku. Aku hanya tersenyum melihat tingkah mereka.

“ Lanjutkan Ko!” perintah Yoga. Sisanya hanya menganggukan kepala, pertanda menyetujui perintah Yoga.

“ Barusan saya ditelfon mamah saya. Beliau memberitahukan saya beberapa hal, salah-satunya tentang perempuan anaknya teman bapak saya itu.”

Yoga mengangkat tangan kanannya,” Jangan dulu dilanjutin Ko!” dia memintaku untuk tidak dulu melanjutkan cerita. ” Kamu dijodohin sama perempuan itu Ko?” tanya Yoga penasaran. Aku diam mendengar pertanyaan Yoga.

“ Bukan, berita itu bukan tentang jodoh menjodohkan, tapi...” aku kembali diam.

“ Tapi apa Ko?” tanya Yoga.

“ Iya kang, tapi kenapa?” Hanif ikut bertanya.

“ Mamah saya bilang, kalau anak perempuan teman bapak saya itu, beberapa hari yang lalu meninggal,” raut wajah mereka berubah. Sepertinya mereka kaget, sama seperti ketika aku mendengar berita ini dari ibuku tadi.

“ Anak perempuan teman bapak saya itu terkena penyakit pencernaan. Selidik punya selidik, ternyata dia terlalu keseringan memakan mie instan.Memang, dia telahir dari keluarga sederhana, mungkin, keadaan ekonominya tidak berbeda jauh dengan keluarga saya,karenanya, dia mencoba untuk tidak boros dalam pengeluaran biaya hidup sehari-hari, termasuk dalam pengeluaran makannya. Namun, inilah akibatnya, dia terkena sakit pencernaan.

“ Padahal, dia adalah harapan keluarganya. Bapaknya sangat berharap kepadanya untuk menaikan derajat keluarga. Tidak jarang saya mendengarkan cerita tentang dia ketika sedang mengobrol dengan bapaknya di rumah saya. Bapaknya selalu membangga-banggakannya. Namun kini, takdir berkehendak lain, perempuan itu telah meninggal, harapan itu telah tiada. Mudah-mudahan dia diterima disisiNya, dan keluarganya diberikan kekuatan dalam menyikapi takdir ini, aamiin,” aku mengakhiri cerita.

Teman satu kamarku masih terdiam. Mereka duduk mematung menghadapku. Aku ikut diam dengan mereka. Kamar lima belas hening. Teringat sebuah kalimat indah yang berbunyi seperti ini: jatuhnya daun dari tangkainya itu bukan karena kebetulan, melainkan sudah tertulis di kitab lauh mahfudz, semuanya telah diatur oleh Allah Swt. Segala apapun yang terjadi di dunia ini, semuanya sudah tertulis di kitab lauh mahfudz.Tinta-tinta telah kering di atas kertas itu.Pun, pasti dengan kejadian malam ini, berita yang datang dari ibuku tadi, sudah pasti itu terjadi atas izin Allah, dan, pasti akan ada hikmah di balik peristiwa ini. Pasti.

Kamar lima belas masih bisu. Teringat mas nasi goreng yang sering mangkal di dekat asrama. Mas, mohon ma’af, kali ini, saya cuti dulu makan mie goreng spesialnya. Aku melihat Hanif menolehkan kepala ke atas lemarinya. Di atas lemari itu, tergeletak dua bungkus mie instan. Tangan kanannya mengelus-elus perutnya.
***