Selasa, 06 September 2016

Ibu Jono

Kami memanggilnya Ibu Jono. Sesungguhnya, hingga hari ini, saya belum tahu nama asli beliau. Kami menyebut beliau Ibu Jono, sebab almarhum suaminya adalah Bapak Jono.

Dalam satu Minggu, setidaknya dua kali kami mengunjungi rumah ibu Jono. Yaitu setiap hari Senin dan Kamis. Secara bergantian, dua orang santri mengambil makanan untuk buka puasa sunnah para santri.

Pagi ini, suatu kebahagiaan bagi santri, ibarat mentari pagi yang cerah, ibu Jono berkunjung ke asrama santri ikhwan. Saat itu hanya ada dua orang yang tersisa di asrama, yakni saya dan Tian. Kami terima sang tamu istimewa itu dengan sambutan sehangat mungkin yang kami bisa.

Kami bertiga duduk di ruang tamu. Ibu Jono duduk di sofa dekat pintu. Tian memilih sofa tengah. Sementara saya kebagian kursi empuk yang paling jauh dari pintu. Kami membuka obrolan dengan saling bertanya kabar. Ibu Jono bertanya bagaimana kabar para santri dan saya menanyakan hal yang serupa pada wanita istimewa itu. Adalah tentang kabar beliau dan keluarganya. Kemudian ibu Jono bertanya tentang keadaan pesantren. Saya dan Tian hanya menjawab yang kami ketahui saja. Lebih dari batas pemahaman kami, saya dan Tian hanya menjawab dengan kalimat "tidak tahu, Bu" saja. Tentunya dengan dibumbui sebuah gelengan dan senyum tipis saja.

Di ruang tamu, kami berbincang selama dua jam. Dari jam sembilan hingga jam sebelas. Waktu selama itu, seperti hanya sekejapan mata bagi saya. Sebab kami sangat larut dalam isi obrolan. Terlebih bagi saya pribadi. Ada banyak pelajaran hidup yang saya petik dari penggalan kisah hidup yang telah dilewati oleh ibu Jono dan keluarga. Saya pikir buah-buah matang yang telah saya petik dari pohon kehidupan ibu Jono, harus saya ikat dengan tulisan. Sebagaimana yang telah diucapkan oleh imam Syafi'i, bahwa ilmu itu ibarat hewan buruan, maka ikatlah ia dengan tulisan. Dan, diantara buah ranum nan segar yang saya petik itu adalah sebagai berikut:

Satu. Ibu Jono adalah seorang pensiunan guru matematika. Dalam perjalanan karirnya, beliau pernah menjabat sebagai kepala sekolah SMA.

"Justru, yang sekarang jadi orang, itu adalah siswa-siswa yang nakal. Kebanyakan dari mereka pernah saya tampar," ibu Jono menyimpulkan beberapa peristiwa yang ia ceritakan pada saya dan Tian. Kemudian diakhiri dengan tawa yang lepas.

"Walau mereka nakal, tapi mereka nurut. Mereka sangat hormat pada guru. Tidak seperti sebagian murid sekarang yang manja, yang kena cubit sedikit sudah lapor polisi. Gurunya sendiri dipenjarakan. Sulit untuk mendapatkan keberkahan ilmu jika seperti itu," tambah ibu Jono.

Dilain kisah, wajah ibu Jono sumringah saat menceritakan bagian yang ini. "Kalau ada siswa yang tidak bisa mengerjakan soal matematika, saya suruh duduk di meja saya, saya perintahkan mereka untuk mengerjakannya di samping saya. Dan lucunya, biasanya mereka jadi bisa," ibu Jono kembali tertawa lepas.

"Kalo Aa Gym, saat dia kesulitan mengerjakan soal, biasanya dia seperti ini," ibu Jono mengemut ibu jari tangan kanannya. Mencoba menirukan tingkah salah satu muridnya dulu. Kemudian ibu Jono tertawa lagi.

"Hormat pada guru, maka ilmu kita akan bermanfaat," ibu Jono menyimpulkan.

Dua. Semua anak ibu Jono, kini telah menjadi orang. Satu diantaranya tinggal di Kanada. Semuanya jebolan universitas ternama.

"Dulu, universitas hanya ada sedikit. Sekarang mah banyak. Dulu, susah mengajak orang untuk sekolah. Harus dipaksa, harus ditarik-tarik dulu. Mbak saya juga sudah nikah ketika kelas empat SD," kenang ibu Jono.

"Pendidikan itu penting. Penting sekali. Kita harus sekolah untuk mendapatkan ilmu. Semua anak saya wajib kuliah. Hanya anak bungsu yang dulu tidak mau kuliah. Dia matematikanya lemah. Dia bilang ingin kerja saja," ujar ibu Jono.

"Saya bilang pada dia 'Ibu itu sarjana, kamu tidak malu kalau hanya lulus SMA saja, orang ibunya saja bisa jadi sarjana kok, masa anaknya tidak'. Setelah itu dia mau kuliah juga. Dan lulus sebagai sarjana hukum," kata ibu Jono.

"Setiap pagi, sebelum berangkat sekolah, saya selalu mentitahkan untuk solat dhuha pada anak-anak saya. Setelah itu baca AlQur'an minimal satu ayat. Setiap hari harus seperti itu," jelas ibu Jono pada saya dan Tian. Kami berdua mengangguk pelan. Kagum dengan setiap kalimat dari ceritanya.

Tiga. Kami, para santri, mengenal ibu Jono sebagai sosok yang dermawan.

"Saya dan almarhum bapak, sepakat untuk selalu berbagi rezeki pada sesama. Selama kami ada rezeki lebih, bapak selalu mengingatkan saya untuk berbagi. Saya selalu berdo'a pada Allah, 'Yaa Allah, mohon selalu ingatkan saya untuk terus berbagi'. Pokoknya hidup itu harus berbagi," Tutur ibu Jono.

"Kamu pasti ingat saat bapak meninggal?" Ibu Jono bertanya pada saya.

Saya mengangguk.

Benar, saat itu bapak Jono solat ashar di mesjid pondok. Selepas solat, saat turun dari tangga, beliau jatuh. Penyakitnya kambuh. Asatidz dan para santri membantu bapak Jono. Beliau dibawa ke rumah sakit terdekat. Dan, tidak lama setelah itu, bapak Jono meninggal.

"Sehari sebelum kepulangannya, ternyata bapak membagi-bagikan sebungkus tahu pada semua warga komplek. Saya sendiri tidak tahu itu. Saya baru tahu setelah bapak tiada. Para warga yang menceritakannya. Bapak itu sering berbagi. Bapak itu selalu berbagi." Kenang ibu Jono.

Empat.

"Kita harus mengalah demi kebaikan. Alhamdulillah, selama hidup, saya tidak pernah memiliki musuh. Kita harus berbaik sangka pada siapapun. Pokoknya, selama nama kita tidak disebut, meski arahnya tertuju pada kita, kita jangan marah. Meskipun smesh-annya pada kita, selama nama kita tidak disebut, kita harus husnudzon saja bahwa itu bukan untuk kita." Nasihat ibu Jono.

"Meski ada yang memusuhi kita, kita harus tetap berbuat baik. Kita harus mewariskan kebaikan untuk keturunan kita. Ingat! Karma itu ada! Jika kita menendang orang, pasti nanti kita juga akan ditendang orang. Jika tidak terjadi pada kita, pasti anak atau cucu kita akan ditendang orang. Karenanya kita harus selalu berbuat baik. Agar kita bisa mewariskan kebaikan untuk anak dan cucu kita nanti."

Kemudian ibu Jono mengisahkan bagaimana keajaiban-keajaiban yang menyapa hidup beliau bersama bapak Jono. Setiap kali keajaiban itu datang, setiap itu juga mereka mengucap syukur. Pada beberapa kejadian yang di luar logika, ibu Jono selalu melakukan sujud syukur. Jujur, saya dibuat kagum dengan kisah ibu Jono dan bapak Jono. Pada kebaikan mereka. Dan pada semua keajaiban yang dianugerahkan Allah pada mereka. Saya takjub.

Di sela-sela ibu Jono menceritakan kisahnya dengan bapak Jono, saya tidak tahan untuk mengajukan sebuah pertanyaan.

"Ibu," saya mencuri tanya pada jeda ceritanya. "Saya boleh tanya?"

"Iya." Ibu Jono mempersilahkan.

"Selama hidup bersama bapak, saya pikir pasti pernah ada perbedaan pendapat, atau mungkin sampai bertengkar. Nah, jika itu sedang terjadi, bagaimana ibu dan bapak menyelesaikannya?"

Ibu Jono tersenyum menatap saya. Wajah beliau sumringah seperti segera ingin menjawab pertanyaan saya.

"Kami tidak pernah bertengkar mulut. Tidak pernah ada suara."

Saya mengernyitkan dahi. Maksudnya?

Ibu Jono paham tatapan saya.

"Kami bertengkar lewat surat."

"Surat?!" Mata saya membulat. Kening bergelombang.

"Jika sedang kesal, saya marah lewat surat. Saya simpan surat itu di meja. Setelah itu bapak juga membalas dengan surat. Pokoknya, jika kami sedang bertengkar, anak-anak tidak boleh ada yang tahu. Mereka harus tahunya kami baik-baik saja," jelas ibu Jono.

"Yang paling membuat saya kesal itu, jika bapak sedang marah, larinya pasti ke makanan. Semua makanan yang ada di rumah pasti habis. Pernah kue satu toples dilahap habis. Pernah juga makanan satu meja dihabiskan," lalu ibu Jono tertawa lepas sebab kenangan ini.

"Waktu itu bapak pernah kesal. Saya tahu dia sedang marah. Saya segera ambil sebagian makanan yang ada di meja. Saya sembunyikan di lemari. Sebab jika tidak begitu, semua makanan di atas meja pasti habis," ibu Jono tertawa lagi.

Ini adalah beberapa buah manis yang saya petik dari obrolan kami. Seperti yang sudah saya tuliskan di depan. Pagi ini, ibu Jono laksana mentari pagi. Kedatangannya menghangatkan pagi saya hari ini. Terima kasih ibu Jono. Terima kasih bapak Jono. Dan terima kasih Allah, karena telah menuntun hidup saya hingga bertemu dengan sepasang Romeo dan Juliet-nya Indonesia. Saya tidak melebih-lebihkan permisalan ini ya. Sebab ibu Jono sendiri yang mengatakannya pada saya.

"Jika sedang bergandengan bersama bapak. Warga selalu memanggil kami dengan sebutan Romi dan Yuli, hehehe..."

Demikian.


***