Sabtu, 29 Maret 2014

Nyanyian Hati (19)

Esoknya adalah hari Minggu. Seperti biasa, beberapa santri melakukan operasi bersih, yaitu bersih-bersih kobong atau asrama santri. Kali ini, hanya segelintir santri saja yang ikut gotong royong membereskan kobong santri laki-laki. Beberapa adalah santri yang tinggal di kobong dan beberapa sisanya santri yang menginap di rumah masing-masing yang ikut membantu. Untuk pagi ini, Fajar tidak terlihat diantara para santri itu.

Seusai operasi bersih kobong, Akang mencuci beberapa potong pakaiannya yang kotor. Tiga puluh menit bergelut dengan baju dan celana kotor, deterjen serta air, Akang menggantungkan cuciannya pada tali jemuran di halaman kobong. Jajaran kain basah itu tertimpa hangatnya sinar matahari pagi. Setetes demi setetes air yang masih menempel berjatuhan menyapa bumi.

Akang meluncur kembali ke kamar mandi. Ia hendak mandi. Beberapa santri lain ada yang masih duduk-duduk istirahat sembari mengobrol bermaksud melepas lelah. Lima menit berselang, Akang keluar kamar mandi dengan bugar sebab telah diguyur oleh air segar. Akang melangkah menuju kamarnya. Tidak lupa ia menyapa beberapa santri yang masih mengobrol di teras kobong. Akang masuk kamarnya. Pintunya ia tutup rapat. Di dalam, Akang sedang berganti pakaian.

Pintu kamar Akang terbuka kembali. Tapi hanya sedikit saja. Sekira bisa masuk sinar dan udara pagi saja. Di dalam, Akang sudah berpakaian rapih. Sajadah telah tergelar. Akang berdiri di atasnya. Bersiap untuk mendirikan solat sunah dhuha.

Akang masih berdiri. Rukuk. I’tidal. Turun untuk sujud. Beranjak duduk diantara dua sujud. Sujud lagi. Kemudian beranjak berdiri lagi. Masuk rakaat kedua.

Dari luar, ada seseorang yang membuka pintu kamar Akang perlahan. Dia adalah Fajar. Mendapati Akang sedang solat, Fajar masuk pelan-pelan. Lalu duduk pada karpet, sekitar satu meter di samping Akang. Fajar duduk sila, tidak sabar menunggu Akang meneyelesaikan solatnya. Ia hendak memberikan kabar tentang hari kemarin. Tentang sebuah tulisan pada sebuah halaman buku yang ditulis Anita.

Akang berucap salam. Kepalanya menoleh ke kanan. Lalu salam lagi. Kali ini menoleh ke kiri.

“Kang,” ucap Fajar semangat. Ia tidak memberi jeda bagi Akang untuk sebentar berdzikir.

Akang menoleh. “Iya, Jar?”

“Ada kabar baik untuk Akang.”

“Kabar baik?” kedua mata Akang menyipit. Pertanda sedang menerka apa maksud ucapan Fajar.

“Iya,” Fajar mengangguk tegas. “Tentang Teh Anita.”

Kening Akang melipat. Ada segurat senyuman di bibirnya. Akang diam. Ia hanya menatap Fajar. Senyumnya belum hilang dari ujung bibir.

Akang masih menatap Fajar. Senyumya masih tampak.

Akang beranjak dari duduknya. Ia melipat sajadah. Lalu diletakan di atas bantal. Akang melangkah pada pintu. Ia menutupnya rapat-rapat. Akang kembali menghampiri Fajar. Mengambil posisi duduk tepat di hadapan keponakannya ustad Ipun itu. Akang bersiap untuk menerima kabar lebih lengkapnya dari kawan santrinya itu.

Kedua orang santri itu mulai berbincang. Fajar mulai bercerita. Bercerita tentang hari kemarin. Akang memasang wajah serius menatap wajah Fajar. Mendengarkan dengan baik setiap kata yang keluar dari mulut laki-laki di hadapannya.

Fajar terus bercerita. Hati Akang membuncah. Luapan kebahagiaannya itu tergambar dari senyumnya yang mengembang. Terlebih saat Fajar menceritakan kronologis ketika Anita hanya berani memberi jawabannya melalui coretan. Kemudian melangkah masuk kamar. Meninggalkan sang adik sepupu seorang diri.

Belum lepas senyum di bibir Akang. Sebuah senyum penanda kebahagiaan jiwa.

Fajar berhenti berucap. Sang informan itu kini hanya menatap seraut wajah cerah di hadapannya.

Pada kubangan kebahagiaan yang sedang dirasakan hatinya, Akang masih berusaha untuk tetap berpikir setenang mungkin. Ketenangan itu keluar dari sebuah mata air ketauhidan. Pada takdir Allah. Pada suratan tentang jodoh dariNya. Sebab jodoh adalah rahasia Illahi. Setiap kemungkinan masih memiliki peluang yang sama besarnya. Begitu pula tentang Akang dan Anita. Akang memang bahagia, tapi dia tidak ingin berlebihan. Sebab boleh jadi kehendak Allah akan berbeda. Namun, harapan di hati Akang tidak pernah berhenti menyanyikan tentang keinginannya. Keinginan untuk bersanding dengan gadisnya ustad Ipun.
***

Pada sepertiga malam yang tenang. Langitnya cerah. Bulan baru, melengkung bak belahan kecil buah melon. Kerlipan bintang bertaburan serupa serpihan emas yang tersorot matahari. Titik-titik kilau cahaya itu seperti berebut ingin menonjolkan keindahan mereka.

Udara dini hari ini masih perawan. Tiupan angin kecil menyapa dedaunan. Mereka melambai membalas sapaan sang angin dini hari.

Di dalam kamarnya, Akang sedang bersimpuh di atas sebuah sajadah. Akang membisikan kembali nyanyian hatinya. Sebuah nyanyian yang dipersembahkan untuk Sang penggenggam hati. Dipersembahkan untuk Sang Penguasa jagat raya. Raja dari segala raja.

Akang bermunajat. Ia meminta agar takdirNya seiring sejalan dengan harapan sang hati. Akang meminta lagi. Lagi. Dan lagi. Hanya kepada Allah Akang berharap. Hanya kepada Dia Akang memohon permintaan. Sebab sesuatu apapun itu, tidak akan pernah terjadi jika tanpa seizinNya. Pun sebaliknya, segala sesuatu pasti akan terjadi jika atas izinNya. Meski semua makhluk berkumpul mencoba untuk menghentikan kuasaNya. Tidak akan pernah bisa. Sungguh tidak akan pernah bisa.

Sementara di tempat lain. Pada sebuah kamar yang tidak begitu jauh dari kobong Akang. Anita telah lebih dulu menyenandungkan bisik hatinya. Do’anya telah lebih dulu terbang ke langit ke tujuh.

Saat ini Anita sedang rebahan di atas tempat tidurnya. Ia rebahan untuk menunggu waktu subuh. Meski raganya diam. Tapi sang hati tidak pernah berhenti bernyanyi. Bernyanyi tentang keinginannya. Nyanyian hati itu meluncur ke langit. Berkejaran dengan nyanyian yang dilantunkan oleh hati Akang. Dua buah nyanyian itu melesat di antara bintang-bintang.

***

Jumat, 28 Maret 2014

Pertanyaan Titipan (18)

Terkadang, ada beberapa waktu dimana pengajian malam berakhir lebih lambat dari biasanya. Jika ustad sedang semangat dalam menjelaskan materi pengajian, atau saat materi yang diberikan merupakan perkara yang sangat penting untuk diketahui. Seperti malam ini. Saat para santri sedang mendapatkan pengajian akidah.

Beberapa santri masih tidak bergeming dari duduknya. Mereka tampak masih antusias dalam menikmati hidangan pengajian. Namun ada beberapa santri lain yang duduknya sudah bergoyang-goyang. Mereka ingin segera melepas pantatnya dari lantai majelis dan ingin segera merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Seperti Fajar. Dia merasakan kelopak matanya yang perlahan terasa berat. Dan bertambah berat seiring jarum detik jam dinding majelis yang terus berputar.

Betapa sumringahnya Fajar ketika ustad Ipun menutup pengajian. Selepas merapihkan majelis, Fajar berjalan menguntit Akang. Dia hendak bermalam di kamar sahabatnya yang dua tahun lebih tua dari dirinya itu.

“Kang...,” gumam Fajar pelan.

“Iya,” jawab Akang masih tetap berjalan di depan sang penanya.

“Malam ini saya nginep di kamar Akang lagi ya.”

“Hmm,” Akang mengiyakan. Kedua santri itu melanjutkan langkah menuju kobong santri laki-laki.

Setibanya di kamar, Fajar langsung merebahkan tubuhnya di karpet yang sudah tergelar. Dia tidak sempat untuk membuka sarung dan baju kokonya. Bahkan pecinya pun masih menempel di kepala. Kantuk adalah penyebab utamanya.

Akang menggeleng melihat tingkah Fajar.

Akang melepas peci dan baju koko. Lalu ia cantelkan pada gantungan baju di balik pintu. Kemudian Akang duduk di samping Fajar. Ia menempelkan punggungnya pada dinding. Akang menarik nafas panjang. Lalu dikeluarkan. Akang menarik nafas lagi. Lalu dikeluarkan lagi. Perlahan raga Akang rileks kembali.

Akang menoleh pada Fajar. Ditatapnya kedua mata santri yang sedang tepar di sampingnya. Mata itu setengah terpejam. Akang tersenyum menatap pemandangan itu.

“Jar,” panggil Akang.

Fajar menggeliat sedikit. “Hmm...”

“Usia Fajar berapa?”

Fajar menggeliat lagi. Malam-malam begini. Tidak ada angin juga tidak ada hujan, malah tanya usia. Protes Fajar dalam hati.

Fajar membuka matanya perlahan. Ia beranjak duduk. Pandangannya menerawang pada dinding di hadapannya. Sepertinya dia sedang mencoba menghitung biji usianya.

“Dua puluh satu,” Fajar menoleh pada Akang. Lalu berpaling lagi.

Akang manggut-manggut mendengar jawaban Fajar.

“Kapan menikah?”  

Cepat sekali Fajar kembali menoleh pada Akang. “Menikah?!” tanyanya heran. Mungkin heran dengan bunyi pertanyaan dari Akang.

“Iya.”

“Akang aja yang usianya sudah dua puluh empat belum menikah, apalagi saya yang masih dua puluh satu.”

“Dua puluh tiga,” Akang meralat pernyataan Fajar.

“Iya. Tapi tetap saja lebih tua dari saya.” Fajar mengakhiri kalimatnya dengan sebuah cengiran. Jumlah usia Akang yang lebih banyak mungkin penyebab cengiran itu. Akang ikut tersenyum juga. Meski hanya sedikit.

Akang memalingkan matanya dari wajah Fajar. Ia menatap dinding kembali.

Beberapa detik, kedua pemuda itu tidak bersuara. Akang masih menerawang seperti sedang memikirkan sesuatu.

Beberapa detik berikutnya kembali terlewat begitu saja.

Akang melirik Fajar.

“Jar,” panggil Akang lirih.

“Iya,” Fajar menoleh pada sumber suara.

“Saya boleh tanya?”

“Gak boleh.”

Akang bersiap untuk bertanya. Sebab dia tahu bahwa jawaban Fajar barusan hanyalah canda semata.

“Jar.”

“Iya.”

“Teh,” Akang berhenti. “Teh Anita sudah ada yang melamar?”

“Eh!” mata Fajar membulat tersebab pertanyaan Akang. Kedua ujung bibirnya melebar. “Apa Kang?!” Fajar malah kembali bertanya. Bertanya untuk meyakinkan bahwa telinganya tidak salah dengar.

“Apa Kang?!” Fajar bertanya lagi. Senyumnya bertambah lebar. Ada bau-bau ledekan dari bentuk senyum itu.

Akang merasakan ledekan Fajar. Ia tidak tinggal diam begitu saja.

“Neng Dian adiknya Sabil yang imut itu sudah ada yang melamar belum kira-kira ya? Jika belum, saya hendak melamar gadis imut itu,” Akang menutup ledekannya dengan sebuah senyum yang tidak kalah kerennya dengan senyuman Fajar.

Seketika itu juga senyum Fajar hilang. Kini wajahnya menekuk ke bawah.

“Gimana Jar? Fajar tahu gak? Saya berharap sih neng Dian belum ada yang melamar. Biar besok saya langsung bisa melamarnya.” Akang tersenyum lagi.

Fajar berpaling dari Akang. Ia melempar pandangnya pada dinding. Wajahnya masih menekuk. Meski ia tahu Akang hanya bercanda.

Fajar diam.

“Setahu saya Teh Anita belum ada yang melamar, Kang.” Setelah diserang balik, akhirnya Fajar menjawab juga pertanyaan utama Akang.

Akang belum memberi respon atas jawaban Fajar. Ia masih diam. Diam memikirkan sesuatu.

“Jar.”

“Iya.”

“Saya boleh meminta tolong?” pinta Akang.

“Tentang apa?”

Akang menatap Fajar. Fajar juga melihat Akang. Akang sedikit ragu untuk berujar. Fajar siap untuk menampung pinta Akang.
***

Waktu dhuha. Langit sedang cerah. Mentari pagi mulai beranjak. Sinarnya hangat menerpa rumah ustad Ipun.

Hari ini Fajar mengajar agak siang. Untuk itu, dia menyempatkan untuk mampir ke rumah sang paman, ustad Ipun. Selepas sarapan bareng sang paman dan sang bibi, Fajar ikut solat dhuha di mushola rumah. Sepuluh menit setelah itu, Fajar menghampiri teteh sepupunya di ruang tamu. Ia hendak menjalankan amanah yang semalam telah diberikan kepadanya.

Fajar mendapati Anita sedang membaca buku. Ia duduk di sofa sebelah sofa yang Anita duduki.

“Lagi ngapain Teh?” Fajar bertanya basa basi.

“Baca,” Anita menoleh sebentar. Tidak lupa dia memberi seutas senyuman pada sang adik sepupu.

“Oooh,” Fajar mengangguk. Anita kembali membaca.

“Baca buku apa Teh?” Fajar bertanya lagi.

Anita kembali berhenti membaca. Ia menatap Fajar lagi. Ia tidak menjawab. Sang Teteh sepupu itu hanya tersenyum saja. Kemudian menunjukan sampul buku yang ada di tangannya.

Fajar membaca judul buku yang ditunjukan Anita. “Oooh.” Ia mengangguk.

Anita membaca lagi.

“Teh,” ucap Fajar.

“Iya,” jawab Anita pelan. Suaranya lembut sekali. Kali ini ia tetap menatap buku.

“Fajar boleh tanya sesuatu pada Teteh?”

“Mangga atuh tanya saja,” Anita masih tidak berpaling dari buku.

“Teh.”

“Iya,” Anita tetap membaca.

“Teteh udah ada yang melamar belum?”

Anita kaget. Tidak menyangka dengan pertanyaan yang diberikan adik sepupunya. Ia berhenti membaca. Dahinya melipat.

Anita menutup buku di tangannya. Ia menoleh pada Fajar.

“Melamar?”

“Iya. Apakah Teteh sudah ada yang melamar?”

Anita tersenyum lembut. “Nanti juga Fajar akan tahu jika memang sudah waktunya.” Anita masih tersenyum pada Fajar.

Fajar diam. Diam karena belum menemui jawaban atas pertanyaannya.

Anita membuka bukunya lagi.

“Teh.”

“Iya,” Anita tetap menatap buku.

“Pertanyaan yang tadi adalah pertanyaan titipan,” Fajar memberi jeda. Anita masih membaca. “Titipan dari seseorang,” Fajar melanjutkan. “Pertanyaan tadi adalah pertanyaan titipan dari Akang. Akang meminta tolong Fajar untuk menanyakannya kepada Teteh.”

Anita tersentak. Dadanya seperti ada yang menghantam.

Anita masih melihat buku, tapi tidak sedang membaca. Gadis itu memikirkan ucapan Fajar beberapa detik lalu.

Pelan-pelan Anita menyimpan pandangannya pada Fajar. Kedua sepupuan itu beradu pandang. Tidak ada kata. Hanya bertabrak pandang saja. Benarkah? Sorot mata Anita bertanya demikian.

Anita kembali melihat buku. Namun tetap, meski pusat matanya tertuju pada susunan kata, tapi pikirannya masih belum lepas dari kalimat yang keluar dari mulut sang adik sepupu. Hampir satu menit Anita seperti itu. Fajar tetap diam. Ia setia menunggu jawab dari sang teteh sepupu.

Anita perlahan menutup buku. Ia tidak menoleh pada Fajar.

Anita mengambil pulpen yang tergeletak pada meja tamu di hadapannya. Ia membuka sampul buku. Lalu menuliskan sesuatu di lembar pertama buku.

Fajar masih diam. Ia hanya memperhatikan apa yagn dilakukan Anita.

Anita menyelipkan pulpen pada lembar yang ia coretkan sebuah tulisan. Kemudian ia simpan buku di tanganya pada meja. Anita beranjak. Ia meleos pergi. Melangkah menuju kamarnya. Anita meninggalkan Fajar. Tanpa sepatah kata pun. Bahkan walau hanya isyarat sekalipun.

Saat Anita hilang ditelan pintu kamar yang tertutup, Fajar mengalihkan tatapnya pada buku di atas meja. Ia mengambil buku itu.

Fajar membuka lembaran yang terselip pulpen. Pada lembar kosong itu, Fajar menemukan sebuah tulisan tangan yang terbaca “Teteh belum ada yang khitbah.”.

Fajar sekali lagi membaca coretan itu.

“Teteh belum ada yang khitbah.”

Bibir Fajar mengembang setelah membaca kalimat itu. Ia tidak sabar ingin segera mengabari hal ini kepada Akang. Juga tidak sabar untuk melihat ekspresi seperti apa yang akan Akang tunjukan setelah mendengar berita ini.

Bibir Fajar masih mengambang. Sementara disana. Di dalam kamarnya. Anita berdiri menyandarkan tubuhnya pada balik pintu. Tubuhnya gemetar tersebab berita dari Fajar. Telapak tangan kirinya masih tetap membekap mulutnya sendiri. Sedangkan tangan kanannya ia simpan di dadanya. Mencoba meredakan detaknya yang masih bergelora. Anita sendiri tidak tahu. Apakah bibir di balik telapak tanganya itu sedang tersenyum atau menangis. Yang jelas, matanya berkaca-kaca.

***