Minggu, 27 Juni 2010

SUARA KERINDUAN


Kenapa harus dia lagi yang muncul dalam pikiranku. Aku ingat wajahnya. Aku ingat tubuhnya. Aku ingat bibirnya. Aku ingat tingkahnya. Aku sangat ingat saat-saat dia merasakan kesal ketika aku selalu mendekati dia, tetapi ‘tak kunjung juga aku mengungkapkan perasaanku kepadanya.

Aku tahu dia merasa sangat kesal. Sampai detik ini masih terngiang jelas ditelingaku, kalimat yang sering dia ucapkan ketika sedang merasa kesal, “ Mau aku seperti ini, atau seperti bagaimanapun, ya, terserah aku, ‘gak ada hubungannya dengan kamu kan?”

Aku faham. Bahkan aku sangat faham. Dari kalimat yang dia ucapkan itu, terselip maksud agar aku memperjelas hubungan aku dengan dia. Dia ingin hubungan kami jelas, bukannya menggantung ‘tak bertuan.

Bukannya aku ‘tak ingin mengutarakan isi hatiku. Sungguh berat rasanya. Aku ‘tak mampu. Lidah ini kelu dan kaku. Tubuhku gemetar. Wajahku pucat ‘tak berwarna. Aku ‘tak sanggup melepas kata jika membicarakan masalah yang satu ini. Aku ‘tak bisa. Aku ‘tak mampu. Aku ‘tak sanggup.

Hingga saat perpisahan itu tiba, Aku ‘tak kunjung juga mengutarakan apa yang ada di hatiku. Kami berpisah layaknya teman biasa, yang tidak ada kesan manis seperti di film-film romantis

Aku tahu tidak sedikit waktu yang dia butuhkan agar bisa mengikis apa yang telah terjadi antara kami berdua. Aku sangat yakin akanhal itu, seyakin kalau aku juga butuh banyak waktu supaya kenangan kami bisa menghilang dari otakku.

Aku tahu ini terlambat dan tidak ada gunanya untuk diungkapkan. Seperti apapun warna hatimu sekarang dan tersampaikan atau tidaknya suara hatiku ini, aku tidak perduli. Aku sungguh tidak perduli. Sayangku, perlu engkau ketahui, sesungguhnya aku sangat mencintaimu.

Duhai sayangku, masih ingatkah engkau dimana tempat kita berkenalan dulu. Ketika kita saling bertanya nama, ketika kita saling bertanya kelas. Ketika itu kita berbicara layaknya seorang anak manusia yang baru belajaar berbicara.

Masih ingatkah engkau dimana tempat kita saling bertemu dan melepas rindu. Ketika kita saling berpandangan dan engkau menunduk menyembunyikan rasa malu. Apakah engkau ingat? Ketika itu kita tidak membuat janji untuk bertemu di tempat itu. Tetapi cinta dan rasa rindulah yang membuat aku dan kamu untuk terus dating dan dating lagi ketempat bersejarah itu. Tempat yang tidak mungkin bias aku lupakan. Sayangku, apakah engkau ingat dimana tempat itu?

Sayangku, ingatkah engkau ketika meminjamkan sebuah buku kepadaku? Perlu engkau ketahui, sebenarnya aku meminjam buku itu bukan karena bukunya, akan tetapi karena engkau, sayangku, karena aku ingin selalu berada disampingmu. Dan perlu juga engkau ketahui, sebenarnya saat itu aku sangat anti dan tidak suka membaca, tapi, lagi-lagi cintalah penyebabnya. Cintalah yang bisa membuat aku melahap habis buku itu dalam waktu yang sangat singkat. Sayangku, masih ingatkah engkau apa judul buku itu?

Sayangku, apakah engkau ingat juga dengan memori telepon genggam. Saat itu aku sangat senang ketika aku tahu semua SMS yang kukirim tersimpan rapih di memori telepon genggammu, ‘tak satupun yang hilang. Sayangku, aku juga tahu kalau engkau merasakan hal yang sama ketika aku berucap semua SMS yang engkau kirim tersimpan rapih di memori telepon genggamku. Ingakah engkau, sayangku, ketika mendengar kalimat itu, engkau tersipu malu dan memalingkan pandangannmu dariku. Wajahmu memerah. Engkau menahan senyum manismu, meskipun saat itu engkau gagal melakukannya. Sayangku, cinta jualah yang membuataku dan kamu mempertahankan SMS-SMS itu.

Ratusan kilo jarak yang memisahkan kita, ‘takkan pernah bias membuat hati ini jauh darimu. Tidak akan pernah sayangku, sungguh tidak akan pernah.

Tahukah engkau, Sayangku. Dalam hembusan angin yang menerpa wajah cantikmu, disitu ada rinduku. Dalam butiran air hujan yang membasahi tubuhmu, disitu ada cintaku. Dan dalam sinar matahari pagi yang menerpa kulit putihmu, disitu ada aku.

Sayangku, aku melihatmu diantara indahnya warna pelangi. Aku mendengar senandungmu diantara kicauan burung. Aku merasakan amarahmu diantara dentuman Guntur.

Sayangku, suatu saat nanti, entah itu esok, lusa, atau kapanpun, aku ingin engkau berada disampingku. Engkau menghiburku disaat aku merasa lelah. Engkau menyemangatiku dikala aku terpuruk. Engkau menghapus air mataku ketika aku menangis. Dan engkau membacakan sebuah dongeng apabila aku merasa ngantuk.

Sayangku, jika esok engkau bersamaku, akan aku peluk erat tubuh mu hingga engkau merasakan kehangatan berada dalam pelukku.Tidak akan kubiarkan engkau jauh lagi dari sisiku. Aku akan membuat engkau merasa damai hidup denganku. Aku akan melakukan semuanya untuk mu, Sayangku.

Sayangku, tahukah engkau siapa yang aku pikirkan ketika menulis kalimat kerinduan ini? Engkau sayangku, Engkau yang aku pikirkan, tiada lain hanyalah engkau.

Sayangku, meskipun tangan kita tidak saling berjabat. Walaupun mata kita tidak saling bertatap. Dan biarpun bibir kita tidak saling berucap. Tetapi hati ini berbicara, sayangku, dia mengucapkan sesuatu. Dengan penuh ketulusan¸hati ini mengajakmu untuk ikut memanjatkan sebuah do’a, agar semuanya bias menjadi nyata.

Jumat, 25 Juni 2010

KADO ISTIMEWA


Satu kata yang dapat mewakili perasaan saya saat itu, yaitu KAGET. Bagaimana tidak, tanpa pemberitahuan terelebih dahulu, kakak angkatan menunjuk saya sebagai juragan acara atau yang lebih keren disebut dengan Master of Ceremony di acara Musyawarah Mahasiswa atau MUMAS jurusan saya yaitu Jurusan Pendidikan Geografi. Padahal, belum genap lima menit saya memasuki ruangan tempat MUMAS dilaksanakan.

Awalnya saya menolak permintaan itu, tapi karena beberapa pertimbangan, walaupun dengan perasaan yang sedikit ragu, akhirnya saya menyanggupinya. Saya bergelut dengan waktu tersisa untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Saya perhatikan siapa saja tamu undangan yang hadir, dan gelar apa yang mengekor di belakang namanya. Khawatir salah sebut nama dan gelar, maka untuk memastikan, saya tanyakan kepada kakak angkatan yang mengetahui.

Satu alasan yang membuat saya menerima permintaan kakak angkatan untuk menjadi MC adalah sebuah buku kecil pemberian dari motivatorku, namanya Fifit Sari Nur Alam. Dia adalah motivator terbak dunia, paling tidak menurut saya. Buku kecil tapi penuh motivasi itu dia berikan kurang lebih sekitar satu setengah tahun yang lalu, yaitu hanya beberapa bulan sebelum saya dinyatakan lolos Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri atau SNMPTN. Ketika itu, saya merasa semangat belajar saya menurun drastis. Mungkin salah satu penyebabnya adalah suatu peristiwa yang sedang terjadi dalam keluarga saya.

Setelah mendengarkan perkataan-perkataan ajaib beliau, semangat belajar saya sedikit demi sedikit berangsur-angsur naik.

“ Oh ya, ini ada buku untuk Niko. Siapa tahu dapat menolong. Buku ini Teteh beli ketika kuliah dulu,” ujar Teh fifit, sesaat setelah saya pamit untuk pulang.

Yang paling saya ingat, karena ada hubungannya dengan peristiwa yang baru-baru ini saya alami, yaitu salah satu bahasan dalam buku kecil pemberian sang motivator. Di dalam salah satu bab bukunya, sang penulis membedakan sifat-sifat yang dimiliki oleh sang pemenang dengan sang pecundang. Penulis buku itu menjelaskan bahwa, salah satu perbedaan sang pemenang dan sang pecundang adalah, ketika dihadapkan kepada perintah untuk berbicara di depan umum, dalam hal yang baik-baik tentunya, sang pemenang menjawab permintaan itu dengan satu kata, yaitu “SIAP”, sedangkan sang pecundang sibuk mencari beribu-beribu alasan agar dia terbebas dari perintah itu. Karena saya tidak ingin masuk kedalam golongan orang-orang yang pecundang, maka dari itu saya terima dan bersedia menjadi MC dalam acara MUMAS ini.

Meskipun pada akhirnya ada saja kesalahan kecil yang terjadi ketika memandu acara, akan tetapi saya sudah merasa puas dengan tindakan yang telah saya lakukan, dengan tindakan itu, setidaknya saya adalah bukan termasuk kedalam golongan orang yang pecundang.

“ Terima kasih ya, Ko. Tadi sangat bagus, Teteh tidak menyangka, ternyata kamu bisa melucu juga,” puji salah satu kakak angkatan sesaat setelah acara pembukaan MUMAS selesai.

“ Sama-sama, Teh,” jawab saya berselimut bangga.
**********

Tiba-tiba saja suasana ruangan ini menjadi hening. Dengan perlahan, kicauan mahasiswa Jurusan Pendidikan Geografi menjadi melemah, hingga akhirnya menghilang, yang terdengar hanyalah suara lembaran-lembaran kertas yang dibolak-balik. Agenda sekarang adalah pemilihan presidium MUMAS. Setidaknya hati saya sudah merasa aman dan tenang. Hal ini karena fraksi angkatan saya telah memutuskan untuk memilih Teh mercy dari angkatan 2008 sebagai bakal calon presidium. Saya sandarkan badan saya pada kursi empuk berwarna merah yang sedang saya duduki sembari menikmati ketenangan jiwa karena terbebas dari kemungkinan terpilihnya menjadi pimpinan MUMAS.

“ Fraksi 2008 memilih Niko sebagai bakal calon presidium,” ujar presidium sementara dengan lantang. Suaranya serasa menghujam jantungku. Dengan reflek badanku tegak kembali. Puluhan kepala serempak menoleh kearah dimana saya berada dan disambung dengan riuhan tepuk tangan dan sorakan. Presidium sementara memperlihatkan kertas kecil kepada dua orang saksi yang telah disepakati forum.

“ Sah,” ucap dua orang saksi, sambil kepala mereka manggut-manggut. Terlihat Teteh yang tadi menyuruh saya menjadi MC tersenyum sambil mengangkat dua jempolnya.
Astaganaga, lirih saya dalam hati. Apa gerangan yang harus saya lakukan??? Kenapa harus saya yang terpilih? Kenapa tidak yang lain? Hati saya bertanya-tanya. Haruskah saya berpura-pura ada keperluan penting yang mendadak untuk lari dari amanah ini. Atau, beralasan pulang kampung karena ada acara keluarga yang tidak bisa ditinggalkan. Atau, bagaimana??? Saya sudah tidak bisa berpikir lagi.

“ Fraksi 2007 memilih…….” Presidium sementara menghentikan ucapannya. Pandangannya diarahkan ke semua fraksi secara bergantian. Bibirnya sedikit tersenyum.

“ Lagi-lagi adalah Niko…..” presidium sementara melanjutkan ucapannya sambil tersenyum melihat saya yang kebingungan. Suara sorakan dan tepukan tangan membuat saya serasa semakin terpuruk saja. Oh Tuhan, mimpi apa saya semalam.

“ Fraksi 2006 memilih Asep Ilham Saputro,” Asep adalah ketua angkatan saya. Dia mahasiswa asal Jogjakarta, akan tetapi sampai detik ini saya masih merasa heran, kenapa gerangan nama depannya adalah Asep, kenapa tidak Tarjo, Agus, Paimin, atau mungkin Parto, setahu saya, Asep adalah nama yang umumnya untuk orang yang bersuku Sunda.

“ Fraksi aliansi memilih Niko,” kalimat yang diucapkan presidium sementara membuat hati ini pilu. Pilu karena menurut riwayat yang saya dengar dari angkatan atas yang sudah-sudah, tugas menjadi presidium amatlah berat. Harus berani mengambil keputusan disaat-saat yang genting. Bahkan tidak jarang mendapat makian dari fraksi yang tidak merasa puas dengan keputusan yang diambil presidium.

“ Pokoknya, tidak beda dengan sidang DPR di Senayan yang tidak jarang terjadi konflik itu,” jawab salah satu kakak angkatan, disuatu hari ketika saya menanyakan tentang MUMAS.
********

Setelah sekitar lima belas menit diasingkan dari ruang sidang MUMAS. Saya, Asep Ilham Saputro dan Teh Mercy, berdiri berjajar menghadap meja presidium. Beberapa detik lagi penentuan siapa yang menjadi presidium ke-satu, ke-dua, dan ke-tiga akan diumumkan. Presidium sementara memegang erat selembar kertas. Kertas yang akan menentukan nasib Saya untuk beberapa hari kedepan.

Foto Bapak Presiden Indonesia dan wakilnya tertempel di dinding yang dibelakangi meja presidium. Bendera merah putih terikat pada tiang, sedikit di samping kanan meja presidium, sementara bendera berlambang Logo Himpunan Mahasiswa Geografi terikat pada tiang di sisi yang lainnya. Palu sidang yang terbuat dari kayu berwarna coklat, terlihat sakral di atas meja presidium.

“……. dan ……..” presidium sementara menghentikan ucapannya. Matanya memandang kami bertiga secara bergantian. Terdengar suara bisikan-bisikan diantara para peserta sidang.

“ NIKO…” presidium sementara memperhatikan saya. Tubuh saya serasa kaku untuk digerakan. Detak jantung semakin berdebar. Keringat dingin mengucur deras. Sudah ‘tak terhitung, berapa kali saya mengusap wajah. Presidium sementara memperhatikan saya lagi. Ah…, saya sudah tidak kuat lagi. Saya sudah pasrah. Saya hanya bisa menunduk dan memejamkan mata, berharap ada keajaiban datang.

“ NIKO…” sekali lagi presidium sementara menyebutkan nama saya. Bisikan-bisikan dibelakang semakin mengeras.

“ Selamat, Anda terpilih melalui musyawarah sebagai presidium pertama. Dan saudara Asep Ilham Saputro sebagai presidium ke-dua. Kemudian Saudara Mercy sebagai presidium ke-tiga.”

Ya Tuhan, apa yang harus saya lakukan??? Haruskah saya kabur dan membiarkan amanah yang dibebankan kepada saya ini begitu saja. Tapi, saya tidak ingin menjadi seorang yang pecundang.
********

Selasa, 08 Juni 2010

Arti Pendidikan, Paling Tidak Menurut Saya


Jika saya perhatikan, orang-orang yang dihormati oleh kebanyakan orang di kampung saya adalah orang-orang yang berduit, juga orang-orang yang berilmu. Mungkin fenomena ini tidak hanya terjadi di kampung saya tercinta, atau dengan kata lain terjadi juga di setiap daerah di dunia ini, baik itu dari ujung kutub utara sampai dengan ujung kutub selatan, juga dari Mekah di Arab Saudi terus berputar mengelilingi dunia hingga akhirnya sampai ke Mekah lagi.

Memang benar apa kata Sosiologi yang saya dapatkan di bangku sekolah dulu. Dia menjelaskan bahwa, status sosial bisa meningkat atau naik karena beberapa jalan, peran uang dan peran pendidikan adalah dua diantaranya. Bagaimana peran pendidikan itu??? Mungkin pertanyaan itulah yang muncul di benak para pembaca (kalau memang ada yang membaca) setelah membaca tulisan saya ini. Jika memang pertanyaan itu benar adanya dan para pembaca menginginkan jawabannya, atau mungkin pembaca sendiri juga sudah tahu, namun ingin mencoba membandingkan jawabannya dengan jawaban saya, maka dengan senang hati saya akan menjawab pertanyaan ini.

Di lembaga pendidikan, orang-orang mendapatkan ilmu yang sangat berguna untuk bekal dalam menjalani kehidupan dunia yang rimba ini. Dengan catatan sang objek yang dididik atau para peserta didik itu bisa memanfaatkan lembaga pendidikan itu dengan baik dan tidak banyak melakukan tindakan-tindakan yang bisa menghambat untuk mereka dalam mendapatkan ilmu tersebut. Jika mereka mampu melakukan semua hal itu, hampir dipastikan mereka akan berhasil mendapatkan ilmu yang berdampak baik pada kepintaran mereka. Apabila mereka sudah pintar, akan berkemungkinan besar mereka akan mudah dalam mendapatkan pekerjaan, atau bakhan mungkin mereka sendiri yang menciptakan lapangan pekerjaan itu. Hingga pada akhirnya entah itu yang bekerja untuk perusahaan orang lain atau untuk perusahaan ciptaannya sendiri, akan menghasilkan uang yang banyak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, juga kebutuhan hidup anak dan istrinya jika memang sudah memiliki. Bahkan saudara-saudaranya bisa mereka bantu, atau mungkin jika uangnya itu sangat banyak, orangn lain yang tidak mereka kenalpun akan mereka bantu. Pokoknya apapun bisa mereka lakukan dengan uang yang mereka miliki itu.

"Uang itu bukan segalanya!!!" mungkin banyak orang yang mengatakan seperti itu. Benar, saya setuju dengan mereka yang berkeyakinan seperti itu, bahkan mungkin saya adalah salah satu dari mereka, akan tetapi, saya memiliki fersi lain dari kalimat itu. "Memang uang adalah bukan segalanya, akan tetapi, uang bisa mempengaruhi segalanya." untuk selanjutnya, saya berikan kebebasan kepada para pembaca, apakah itu mau setuju atau tidak sependapat dengan saya.

Ternyata, tanpa disadari, jawaban pada paragraf sebelumnya, juga mewakili untuk peran uang dalam kenaikan status sosial. Jadi, jika kita cermati lebih dalam lagi, ternyata sumber dari segala sumber penyebab dari kenaikan status sosial seseorang itu adalah lembaga pendidikan. Mau bukti!!! silahkan baca tulisan selanjutnya.

Sosiologi juga menerangkan bahwa, kenaikan status sosial seseorang itu tidak muncul dan datang dengan sendirinya, melainkan membutuhkan saluran. Selain peran lembaga pendidikan dan peran uang yang telah kita bicarakan sebelumnya, masih ada saluran-saluran yang lainnya, seperti: angkatan bersenjata, organisasi politik, ekonomi, keahlian, dan lembaga keagamaan. Tapi, jika kita lihat lebih jauh lagi, orang -orang yang bisa menaikan status sosialnya karena saluran-salulran lain selain melalui lembaga pendidikan, tanpa disadari, sebenarnya ada andil pendidikan di balik kenaikan status sosialnya itu. Bagaimana semua itu bisa terjadi!!?

Semua orang pintar baik itu dari angkatan bersenjata, organisasi politik, ekonomi, keahlian ataupun dari lembaga keagamaan, sebelum mengalami kenaikan statusnya karena kegiatan atau apapun yang membuat mereka naik status sosialnya melalui lembaga yang mereka geluti itu, entah dari organisasi politik ataupun yang lainnya, terlebih dahulu mereka mendapatkan perbekalan ilmu untuk kenaikan statusnya itu melalui lembaga pendidikan.

Jadi, sekarang sudah cukup jelas apa yang paling berperan dalam kenaikan status sosial seseorang. Jika para pembaca menginginkan status sosialnya tidak hanya mandek dimana status sosial yang sekarang, maka dengan penuh keyakinan, saya sarankan untuk memanfaatkan lembaga pendidikan yang sekarang digeluti, entah itu sekolahan untuk yang masih sekolah, atau juga kampus bagi yang sudah berkuliah.

Bagi para orang tua yang merasa sudah terlambat karena sudah tidak mungkin untuk kembali ke dunia sekolah karena kesibukan mereka yang super dalam mengelola bahtera keluarga mereka, maka saya akan mengabarkan berita gembira. Bahwa sesungguhnya tidak sepenuhnya itu terlambat, karena masih ada anak untuk meneruskan apa yang dicita-citakan. Oleh karena itu, silahkan dukung dan beri motivasi anak Anda untuk bisa menaikan status sosialnya. Sesungguhnya, jika seseorang mengalami kenaikan status sosial, maka secara tidak langsung status sosial orang tuanya pasti akan terkatrol mengikuti status sosial anaknya.

Dan, oleh karena alasan-alasan diatas, maka dengan penuh perjuangan yang tidak mengenal lelah juga tidak lupa berdo'a kepada Sang Maha Pemberi, saya memutuskan untuk bersekolah setinggi tingginya yang saya bisa. Semata-mata semua ini saya lakukan, demi: pertama, kebahagiaan saya dimasa yang akan datang. Kedua, untuk kebanggaan orang tua saya karena bisa melihat anak mereka tumbuh sukses. Ketiga, untuk kebanggaan adik-adik saya karena melihat kakak yang berhasil. Keempat, demi kebahagiaan anak dan istri saya nanti jika saya sudah berkeluarga. Kelima, supaya dengan mudah saya bisa membantu semua saudara yang membutuhkan bantuan. Keenam, supaya dengan mudah saya bisa membantu semua orang yang memerlukan pertolongan. Selanjutnya, ini tidak kalah pentingnya dengan yang lain, atau mungkin yang paling penting, yaitu, supaya memudahkan saya dalam menjalankan kewajiban saya sebagai seorang hamba Sang Maha Pencipta.

Senin, 07 Juni 2010

Berkurang, asyik...


Aku sering mengalami penyesalan ketika sesuatu yang kumiliki telah berkurang jumlahnya, entah itu berkurang banyak ataupun hanya sedikit. Memang, kapasitasku sebagai seorang manusia, sangat manusiawi jika aku merasakan hal seperti ini, karena setiap manusia pasti merasakan hal yang sama jika mereka kehilangan sesuatu. Seseorang akan merasa memiliki sesuatu jika sesuatu itu telah hilang dari genggamannya, apapun itu, entah benda yang sifatnya kongkrit ataupun yang abstrak.

Aku pernah merasa menyesal setelah mengetahui bahwa tabunganku menjadi semakin menipis. " Kenapa aku bisa boros seperti ini?" tanyaku pada diri sendiri ketika itu. Atau penyesalan yang seperti ini," barang yang aku beli barusan kan tidak terlalu penting untukku!!! jadi berkurang kan jumlah perbendaharaan uang yang kumiliki!!?". Masih banyak yang berhubungan dengan permasalahan ini, jika dituliskan satu-persatu, ditakutkan akan menghabiskan waktu untuk mengetik semua itu, sayangkan listrik yang terpakai nanti bayarnya bisa mahal. hehehe...

Berkenaan dengan permasalahan kurang-mengurang ini, aku memiliki pengalaman yang sedikit unik, setidaknya unik menurut kacamataku. Aku pernah kehilangan sesuatu, dan seiring berjalannya waktu, yang kumiliki itu semakin berkurang keberadaannya. Yang membuatku merasa aneh adalah, aku tidak merasakan sedikitpun penyesalan. Malahan karena berkurangnya itu, aku merasa gembira, seperti ada air es yang membasuh hatiku, ada getar-getar aneh yang sebelumnya belum pernah aku rasakan.

Jika tidak salah ingat, peristiwa ini terjadi ketika aku masih duduk di bangku sekolah menengah atas, hanya terpaut beberapa minggu setelah aku berkenalan dengan adik kelas yang cantik jelita. Perlu kamu ketahui, kawan, butuh satu juta motivator cinta sebelum aku benar-benar berani berkenalan dengan bidadari itu. Tidak bisa kuukur berapa kubik keringat yang keluar dari tubuhku hanya untuk menyapanya dengan kata "hai". dan berapa skala richter detak jantungku ketika melangkah mencoba mendekati dia.

Setelah berhasil berkenalan dengan sang adik kelas pujaan, meskipun istilahnya harus menempuh terlebih dahulu jalan yang terjal dan berliku, akhirnya tibalah pada langkah yang kedua, yaitu bagaimana caranya untuk aku supaya bisa mengambil simpatinya. Berbagai cara coba kulakukan, bermacam eksperimen coba kuciptakan dan beribu literatur telah kubaca untuk mencari tahu cara yang paling jitu untuk kesuksesanku. Setelah melalui pemikiran panjang, akhirnya ditemukanlah teori baru tentang bagaimana caranya bisa meraih simpati sang wanita pujaan. Bunyi dari teori itu kurang lebih seperti ini," Jika ingin meraih simpati seseorang, berusahalah sesering mungkin untuk berhubungan dengan seseorang itu." Dengan berpegang teguh pada teori itu, maka sebisa mungkin aku harus sering berhubungan dengan dia, entah itu bertemu langsung ataupun melalui media telepon genggam alias HP.

Seiring semakin seringnya matahari terbit dan tenggelam, semakin dekat pula hubungan aku dengan dia. Aku tidak merasa canggung lagi untuk sekedar mengobrol guna mempererat tali silaturahmi. Hampir setiap hari, kecuali hari libur sekolah, aku menyempatkan waktu untuk bertemu dia. Jika hari minggu tiba, pulsaku terkuras habis. Tidak jarang kami telfon-telfonan atau sms-an sekedar saling bertanya kabar.
***

Ba'da isya, jam dinding menunjuk tepat pada angka delapan. Lagu romantis mengalun sangat merdu, semerdu suasana hatiku saat ini. Jendela kamar terbuka, gordennya diikat dan dicantelkan pada paku. Angin malam berhembus ke dalam kamar dan membelai tubuh orang-orang yang ada di dalamnya, tidak terkecuali juga aku. Melalui jendela yang terbuka, sesekali aku melihat orang berlalu-lalang, karena tepat di depan rumah teman akrabku ini, terhampar jalan desa selebar dua meteran. Saat ini aku sedang menunggu balesan sms dari sang adik kelas.

Seterlah beberapa menit menunggu, akhirnya datang juga sms yang ditunggu-tunggu itu. Dengan membaca bismillah dalam hati, ku awali membaca sms.

walaikum,alhmdllh kbr neng baik a niko,a niko gmn?knp td gk ke prpus?a niko gk skul ya?

Kubaca sms kata perkata, rasanya sangat berbeda dengan jika aku membaca sms yangn datangnya bukan dari sang adik kelas. Hati ini terasa sejuk. Akan tetapi ada yang sedikit aneh dengan sms ini, seingatku, kemarin-kemarin neng Siti jika sms aku, selalu menggunakan sebutan "ka niko", tapi kenapa sekarang menjadi hanya "a niko" doang. Karena merasa sedikit penasaran, aku mencoba tanyakan hal ini kepada pakarnya. Dia adalah pemilik kamar ini, tiada lain adalah teman akrabku. Namanya Wendi Sofyan. Mengenai urusan cinta, jangan ditanya. Dia sang maestro dalam hal cinta-cintaan. Aku berani memanggilnya guru dalam hal ini.

Sebuah gitar butut berwarna coklat dipeluk Wendi. Petikan demi petikan senar mengalun dengan sangat harmonis, serasi dengan lagu romantis yang diputar dari VCD. Tampaknya sang guru mencoba menyamai nada demi nada lagu yang didengarnya. Petikan gitarnya sama persis dengan lagu yang di VCD, tanpa cacat. Orang-orang yang pandai dalam bercinta biasanya memang lihai dalam memainkan gitar.

Sang guru tampak menikmati permainan gitarnya. Matanya terpejam tapi jemarinya tetap bergerak dengan lincah. Badannya bersandar di dinding yang terdapat banyak sekali poster-poster legenda gitaris dunia, sebut saja salah-satunya adalah Jimi Hendrik. Di dalam poster itu, Jimi sedang memetik gitar dengan menggunakan gigi-giginya, dahsyat. Sang guru berpikir sejenak setelah mendengarkan pertanyaan yang kuberikan padanya.

" Jangan khawatir, kawan, ini merupakan perkembangan baik untuk kamu. Ogut yakin, tidak berapa lama lagi kamu akan memiliki wanita itu. Keyakinan Ogut ini, seyakin kalau matahari besok akan terbit. Ogut jamin, bukan hanya 'ka' berkurang menjadi 'a', sebentar lagi pasti kata 'Niko'nya akan menghilang," jawab sang guru dengan tidak menatapku. Matanya memejam. Kepalanya menengadak ke atas. Jemarinya tetap lincah memetik gitar.

" Sekarangn kamu jawab sms dia, tanyakan sesuatu, coba lihat perkembangannya," perintah sang guru.

Sebagai murid yangn baik, aku jalankan tahap demi tahap perintahnya, tanpa terkecuali. Kugerakan jemariku untuk menekan huruf demi huruf pada keypad HPku. Khawatir ada yang salah ketik, aku perhatikan lagi hasil ketikanku. Sempurna, tidak ada yang salah. Tanpa banyak pikir lagi, langsung kubalas sms sang adik kelas pujaan. Tidak begitu lama menunggu, datang balesan sms.

iya a,neng do'ain a lancar ngrjain tgs2nya,smangat ya a...

Oh my God, prediksi Wendi tidak melesat, bahkan hanya terpaut beberapa menit saja langsung terjadi. Dengan hati yang berbinar-binar, kutunjukan layar HPku pada Wendi. Dia hanya merespon tingkahku dengan senyuman khasnya.

" Jangan sampai lupa, besok kamu temui wanita itu, kamu ungkapkan semua isi hatimu," saran sang guru sambil tangannya memegangi pundakku.

Nyuci Baju


Belum genap satu hari aku berada di Bandung lagi. Kemarin sore, sekitar jam lima-an aku tiba di kota kembang ini. Satu minggu terasa cepat berlalu begitu saja. Liburan kali ini aku belum cukup merasa puas. Masih tersisa banyak program-program yang ingin aku lakukan di kampung halamanku tercinta. Namun mengingat waktu yang bentrok dengan kuliah, terpaksa aku tunda dahulu program-program tersisa yang telah aku susun jauh-jauh hari itu. Mudah-mudahan pada liburan mendatang aku bisa menjalankan semuanya, amin.

Pada liburan kemarin, aku hanya membawa tiga pasang baju. Dua pasang kaos biasa dan satu pasang lagi pakaian resmi, takut-takut ada acara mendadak yang mengharuskan aku memakai pakaian resmi. Beberapa hari keberadaanku di kampung, ternyata dugaanku itu benar, teman wanita sekolah dasarku menikah. Namun, karena aku sudah mengantisipasi hal tersebut, aku jadi tidak direpotkan dengan kejadian ini. Ibarat pepatah mengatakan sedia payung sebelum hujan, dan pada peristiwa yang sudah terjadi ini, alhamdulillah aku sudah menyiapkan payung tersebut.

Karena baju yang aku bawa tidak sesuai dengan jumlah hari libur yang ada, maka aku harus berusaha sesegera mungkin untuk langsung mencuci baju kotor yang sudah aku pakai. Semua ini dilakukan untuk mengantisipasi tidak adanya baju bersih yang bisa aku gunakan. Namun, dalam hal ini, aku tidak perlu terlalu pusing untuk memikirkannya, karena baju-baju itu sudah ada yang mencucikan, malaikat itu adalah adikku tercinta.

"Biar Adek aja yang nyuciin baju AA," begitu pinta Dini, adikku, kepadaku. Karena aku adalah salah satu dari sekian banyak orang di muka bumi ini yang menganut faham tidak baik menolak rezeki, maka dengan senang hati aku penuhi permintaan adikku itu.

Setelah aku perhatikan, hasil cucianku dengan hasil cuciannya adikku, jika dibandingkan, hasilnya sangat jauh. Cucian dia benar-benar sangat bersih, sampai-sampai aku heran dibuatnya. Apakah ini karena dia memang pandai mencuci ataukah akunya yang belum bisa mencuci. Padahal setiap kali mencuci, aku selalu menggunakan deterjen berkekuatan sepuluh tangan.

Ngomongin masalah cuci-mencuci, aku jadi teringat ketika sedang mencuci handukku yang sangat kotor. Karena saking kotornya, harus beberapa kali aku membilasnya. Aku bilas lagi. aku kucek lagi. Dibilas lagi. Dikucek lagi. Kuperas-peras. Ku banting-banting. Diperas lagi. Di banting lagi, sampai lelah aku dibuatnya. Namun, yang menjadi inti dari tulisanku kali ini adalah bukan masalah susahnya mencuci handuk yang kotor, akan tetapi hikmah yang dapat diambil dari mencuci handuk ataupun pakaian lain yang kotor itu.

Sejenak kita bayangkan diri kita sedang berada di sebuah alam yang belum pernah kita ketahui bentuk dan rasanya. Walaupun kita belum mengetahuinya, karena ini sifatnya hanya membayangkan, anggap saja kita sudah mengetahui alam itu. Di alam itu banyak orang yang disiksa karena akibat dari perbuatan mereka semasa hidup di dunia. Di alam itu juga, para penghuninya merasakan penyesalan yang sangat mendalam dan mereka ingin dikembalikan lagi ke alam dunia agar bisa memperbaiki apa yang telah mereka perbuat. Alam itu tiada lain adalah alam yang sudah dijanjikan oleh-Nya di dalam kitab suci Al-Qur'an.

Sudah pasti kebenarannya, orang yang banyak berbuat tidak baik atau melakukan perbuatan yang dilarang agama, maka akan kotor pula orang itu atau dengan kata lain banyak dosa yang dia miliki. Semakin banyak perbuatan tidak baiknya, akan semakin kotor pula orang tersebut. Jika orang itu diumpamakan sebuah handuk atau jenis pakaian yang lainnya, maka perlu waktu yang lama dan tenaga yang ekstra untuk bisa membersihkannya. Jadi, tidak bisa dipungkiri lagi, untuk membersihkan dosa-dosa orang yang kotor itu, tidak sedikit waktu yang dibutuhkan. Jadi kesimpulannya adalah, semakin kotor atau semakin banyak dosa yang dimiliki, maka akan semakin lama dia mendekam di alam yang sangat mengerikan yang telah kita bicarakan di atas.

Aku yakin, bahkan sangat, kalau aku ataupun para pembaca (seandainya ada yang membaca tulisanku ini) tidak ingin merasakan lama-lama berada di alam yang mengerikan itu, atau bahkan tidak ingin sedikitpun mencicipi rasa dari alam tersebut. Oleh karena itu, marilah kita bersama-sama berusaha sekuat mungkin untuk membersihkan luar-dalam diri kita, selagi kita masih berpijak di atas tanah ini, karena sesungguhnya kita tidak akan bisa melakukan hal ini jika kita sudah hidup di bawah tanah yang kita pijak sekarang. Jangan sampai kita termasuk salah satu dari sekian banyak orang yang merugi. Jangan sampai kita menyesal dan meminta untuk dikembalikan ke alam dunia bermaksud untuk memperbaiki amalan yang telah kita perbuat.

Selagi kita masih bisa bergerak. Selagi kita masih bisa berpikir. Selagi kita masih mempunyai waktu luang. Selagi kita masih mempunyai harta benda. Selagi kita masih sehat. Selagi kita masih muda. Selagi kita masih bisa bernafas. Mari kita pergunakan semua itu sebagai investasi untuk kebahagiaan kita di alam yang dirindukan semua ummat. Agar kita bisa berjumpa dan bisa melihat wajah-Nya dan wajah orang terbaik di jagat raya ini yaitu Rasullulah Saw.