Kamis, 03 November 2011

Mengejar Mutiara


Ini adalah sebuah cerpen yang saya tulis untuk diajukan sebagai salah-satu syarat menjadi tim penulis dari manajemennya Mr.Q (baca: Mister Qyu). Beliau adalah pengajar kelas leadership di PPM (program pesantren mahasiswa).
***
SATU
Mobil kijang warna silver meluncur mulus membelah tol Cipularang. Kijang silver itu berangkat dari Bandung hendak menuju Anyer, Banten. Ia melesat cepat bagai peluru yang lari dari larasnya. Tidak terhitung berapa puluh mobil yang terlewati. Pada speedometer, jarum warna merah menunjuk pada angka seratus dua puluh.

Kijang silver itu membawa sebuah keluarga yang baru saja menghadiri acara wisuda anak lelakinya yang baru lulus kuliah di kampus Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Di dalamnya ada lima orang. Sang lelaki pengemudi adalah adik nomer satu dari sarjana baru yang tadi pagi diwisuda. Sang ayah duduk di kursi depan. Pada kursi tengah yang panjang, disana terdapat tiga orang. Di sebelah kanan adalah sang ibu. Sebelah kiri sarjana muda. Ditengah-tengah, antara sang ibu dan sang kakak, duduk manis anak paling buncit. Dia menggunakan busana muslim warna biru muda. Sementara di bangku belakang, bertumpuk oleh-oleh untuk sanak saudara yang ada di kampung.

“ A, jangan kencang-kencang bawa mobilnya atuh. Ummi takut nih. Kasihan juga Si Akangnya kan belum nikah,” sang ibu mengingatkan putra keduanya yang sedang nikmat mengemudi.

“ Santai aja, Mi. Kali-kali Aa bawa mobil ngebut gak papa dong. Lagian tidak hanya si Akang, Aa juga kan belum kawin,” jawab sang anak kedua santai. Dia melirik ke belakang sebentar mencoba menggodai sang ibu. Mendengar jawaban anaknya seperti itu, sang ayah yang dari tadi sering diam, angkat bicara.

“ A….” ucap sang ayah panjang. Ia memalingkan wajahnya pada sang anak yang sedang mengemudi di samping kanannya. Sang anak melirik mencoba melihat raut wajah sang ayah. Beberapa detik berselang, kijang silver mengurangi kecepatannya menjadi normal. Speedometer menunjukan angka delapan puluh saja. Kini, banyak mobil yang mendahului dan tidak sedikit juga yang didahului.

Di kursi tengah, sang ibu dan anak bungsu tersenyum-senyum melihat mimik muka sang pengemudi. Sementara anak pertama tidak sadar dengan peristiwa yang sedang terjadi. Ia masih belum percaya jika dia sekarang sudah menjadi seorang sarjana. Sarjana pendidikan. Masih teringat jelas ketika tiga setengah tahun lalu dia masih di ospek. Masih nampak di pelupuk mata, kenangan ketika dia bangga dengan statusnya yang sudah menjadi seorang mahasiswa. Namun kini, tiga setengah tahun itu telah terlewat. Ia masih memandang lekat-lekat toga dan jubahnya yang terlipat dan disimpan rapih pada kantong plastik putih yang ada di pangkuannya. Sang sarjana muda itu sedang memikirkan rencana jalan hidupnya yang telah jauh-jauh hari dia buat. Terlihat jelas jalan mana saja yang akan segera dia tempuh. Dia sudah tidak sabar untuk melaksanakan itu semua. Dia sungguh tidak sabar.

Kijang silver masih melaju di jalan tol. Bukit-bukit hijau di sisi kanan dan kiri jalan menjadi pemandangannya. Lagu nasyid menjadi musik penghibur sebuah keluarga yang ada di dalam mobil. Kepala sang pengemudi manggut-manggut mengikuti alunan melodi lagu, namun tatapannya tetap fokus pada jalan di depannya.
***

DUA
Pada sebuah tempat foto kopian di salah-satu sudut pasar Anyer, disana ada seorang pemuda sedang memeriksa lagi berkas-berkas untuk surat lamaran mengajar pada sebuah sekolah. Pemuda itu mengenakan kemeja garis-garis vertikal warna krem. Celana bahan katun warna hitam dan sepatu hitam. Rambutnya tersisir rapih. Pemuda itu bernama lengkap Arif Rahman, yang tidak lain adalah sarjana baru jebolan Universitas Pendidikan Indonesia.

Arif tersenyum puas memandangi surat lamarannya yang sudah lengkap. Ia bayarkan sejumlah uang pada sang penjaga tempat foto kopian itu. Arif ambil surat lamarannya yang tersimpan pada amplop warna cokelat besar di atas etalase toko. Ia hendak segera meluncur pulang menuju rumahnya di kampung Karang Bolong. Baru saja Arif berjalan beberapa langkah dari tempat foto kopian, tiba-tiba ada sebuah panggilan pada hapenya. Arif mengangkat telfon itu.

“ Halo, Assalamu’alaikum,” ucap Arif.

“ Halo, Wa’alaikumussalam,” jawab seseorang diseberang sana. Suaranya berat. Sepertinya dia laki-laki berusia lumayan sepuh.

“ Ma’af ini dengan siapa? Apakah ada yang bisa saya bantu?” tanya Arif pada seseorang yang menelfonnya dengan nomer baru yang belum ia ketahui.

“ Ini Pak Eno, Arif. Oya, ma’af Bapak telfonnya pake nomer teman Bapak, soalnya Bapak belum isi pulsa,” terang pak Eno.

Masya Allah, Pak Eno, ma’afin Arif Pak, Arif agak tahu kalau ini Pak Eno,” ujar Arif sedikit malu. Arif mencari posisi yang enak untuk mengobrol. Ia berdiri di depan toko sepatu yang di depannya terdapat kanopi. Ia berdiri disana dengan diteduhi kanopi itu. Tubuhnya mengarah pada jalan raya. Sambil mengobrol dengan pak Eno, guru SMAnya dulu, Arif memandangi banyak mobil yang hilir mudik di jalan raya Anyer.

“ Bapak apa kabar? Omong-omong sekarang Arif sudah ada di Anyer lagi, Pak. Oya, sebelumnya Arif minta ma’af karena belum sempat mengabari Bapak soal ini.”

Alhamdulillah baik, Rif. Bapak tahu kalau sekarang-sekarang ini Arif masih sedang sibuk-sibuknya dalam mempersiapkan segalanya untuk menjadi seorang guru. Betul tidak? Kan sekarang sudah menjadi sarjana baru, Hehe….” Canda pak Eno pada Arif. Arif menanggapi candaan pak Eno dengan tawa ringan.

“ Oya, Bapak cuman mau ngasih tahu Arif, kalau SMA kita sekarang sedang membutuhkan guru Biologi. Bapak ingat, kalau Arif itu kan ngambil jurusan Biologi, maka dari itu Bapak kasih kabar ini pada Arif, kali aja Arif berminat. Setahu Bapak, dulu Arif bercita-cita ingin mengajar disini kan?” tawar pak Eno sambil membuka kenangan lalu. Mendengar tawaran itu, Arif langsung sumringah. Mungkin pepatah yang bisa mewakili perasaan Arif hari ini adalah “pucuk dicinta ulampun tiba”. Baru saja Arif selesai mempersiapkan surat lamaran mengajar untuk SMA yang dulu tempat dia menuntut ilmu, dan yang rencananya akan Arif ajukan esok hari. Tanpa diduga-duga sebelumnya, malah ada tawaran dari SMA itu untuk dirinya.

“ Kalau bisa, besok Arif segera kirim surat lamarannya ke SMA ya!” titah pak Eno. Mendengar perintah itu Arif tersenyum mesem. Kalaupun sekarang, saya sudah siap pak. Mungkin kalimat itulah yang disuarakan isi hatinya.

“ Kalau Arif ke SMAnya sekarang bisa Pak?” tanya Arif optimis.

“ Hah!! Sekarang!?” pak Eno kaget mendengar pertanyaan dari Arif.

“ Memang semua berkas lamarannya sudah Arif siapkan?” tanya pak Eno lagi.

Alhamdulillah sudah Pak,” jawab Arif pasti.

SubhanAlloh, kamu belum berubah Arif. Sepertinya kamu masih seperti yang dulu Bapak kenal. Kamu selalu mempersiapkan segala sesuatunya sedari awal. Bapak salut pada kamu, Rif. Pemuda seperti kamulah yang dibutuhkan Indonesia, Rif,” sanjung pak Eno pada anak muridnya itu.

“ Ah, Bapak berlebihan menyanjung saya. Kan ilmu ini saya dapatkan dari Bapak sendiri. Jadi, orang seperti Bapaklah yang benar-benar dibutuhkan oleh Indonesia itu,” Arif menyanjung balik pak Eno. Tawa renyah keluar dari mulut kedua guru dan murid itu.

Untuk sesaat pak Eno dan Arif terdiam sejenak. Kemudian, tanpa ada komando terlebih dahulu, mereka mengucapkan sebuah kalimat secara berbarengan,” Persiapan yang kita lakukan berbanding lurus dengan hasil yang akan kita dapatkan. Jika persiapannya baik, maka hasilnya akan baik pula. Dan, jika persiapannnya seadanya saja, maka hasilnya pun akan seadanya juga,” mereka menyuarakan kalimat itu sama persis dan serempak.

“ Masih ingat kalimat ini, Rif?” tanya pak Eno seakan tidak percaya.

“ Tidak mungkin saya melupakan kalimat luar biasa ini, Pak!” jawab Arif yakin.

SubhanAllah, ya sudah kita lanjutkan di sekolah aja ngobrolnya, Arif langsung kesini ya! Bapak sudah kangen nih,” tutup pak Eno.

“ Siap Pak. Laksanakan.”
***

TIGA
Sebulan sudah Arif menjadi pengajar di SMA N 1 Anyer. Terdapat banyak perubahan yang Arif rasakan di sekolah ini. Ada beberapa sarana sekolah yang baru, seperti: ruang kelas yang sudah ada ACnya. Pembelajaran sudah dengan media infocus, di setiap kelas sudah terpasang satu infocus di langit-langit ruangan. Lapangan basket yang dulu sering menjadi rebutan antara anggota ekskul basket dengan anggota futsal, kini sudah dipisah. Kini sudah ada lapangan khusus untuk olahraga futsal. Lapangan bulu tangkis dan lapangan bola voli ditambah jumlahnya. Semua sarana itu semakin membuat nyaman para siswa dan guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar.

Namun, disisi yang lain, ada beberapa perubahan yang dirasa sangat mengganggu pikiran Arif. Adalah moral dari para siswanya. Kemerosotan moral anak-anaknya sangat kentara sekali jika dibandingkan dengan ketika Arif masih menjadi murid di sekolah yang sama. Dulu, pacaran di kalangan siswa merupakan hal yang masih tabu. Siswa yang ketahuan pacaran merupakan suatu hal yang sangat tidak diinginkan oleh para siswa yang pacaran itu. Mereka akan merasa malu sekali jika benar-benar sampai ada orang yang tahu soal hubungan mereka. Kalaupun ada segelintir siswa yang terang-terangan menjalin status pacaran dengan teman sekolahnya. Interaksi diantara mereka masih terjaga. Biasanya, setiap kali siswa yang pacaran itu ingin mengobrol, minimal selalu ada seorang teman yang menemani mereka. Karena mereka takut akan ada sesuatu hal yang tidak diinginkan diantara mereka. Tapi kini, mungkin, hampir lima puluh persen dari keseluruan siswa menjalani yang namanya pacaran. Terang-terangan pula. Tidak hanya dengan teman satu sekolah, dengan siswa sekolah lainpun ada, bahkan dengan yang sudah kerjapun ada. Tidak mengganggu pikiran Arif seandainya interaksi dianara mereka masih berada pada batas-batas yang wajar. Tapi yang terjadi memang sudah berada diluar batas yang seharusnya. Tidak sedikit siswa yang berdua-duaan di taman sekolah. Tidak hanya itu, ada juga para siswa yang berjalan bergandengan di hadapan para guru. Arif tidak habis pikir dengan hal itu.

Selain itu, bahasa yang digunakan anak-anak sangat tidak pantas diucapkan oleh mereka. Bahasanya sangat kasar. Jika sekelompok siswa sedang berkumpul, tidak sedikit nama-nama jenis binatang mereka ucapkan. Tidak jarang Arif memergoki sekelompok siswa yang sedang mengobrolkan beberapa orang guru dengan bahasa yang tidak baik. Sikap mereka kepada guru sangat menghawatirkan. Tidak banyak memang yang seperti itu, namun, semua itu sangat mengganggu perasaan terdalam Arif.

Belum lagi pola pikir dari kebanyakan siswa yang ada. Sebagian besar dari mereka seperti tidak memiliki tujuan hidup. Mereka menjalani kehidupan ini seakan mereka lupa akan adanya hari dimana setiap tindakan akan dimintai pertanggung jawabannya. Mereka lupa dengan akan datangnya hari esok. Hari yang mana seluruh manusia yang pernah hidup di dunia ini dikumpulkan di sebuah lapangan yang maha luas, yaitu padang mahsyar. Tidak akan ada yang bisa menolong mereka kecuali amal mereka sendiri. Mendapati semua ini, Arif tidak ingin hanya diam saja mengalah pada keadaan. Arif ingin merubah semua ini.

...Qod qoomatish-sholaah,
Qod qoomatish-sholaah,
Allahu Akbar, Allahu Akbar,
Laa ilaahaillallaah.


Suara iqamat itu membuyarkan lamunan Arif. Segera Arif beranjak menuju shaf pertama. Beberapa guru senior mempersilahkan Arif untuk menjadi Imam solat. Arif menerima tawaran itu. Ia melangkah menuju mihrab. Arif berdiri menghadap jama’ah solat dan meminta mereka untuk meluruskan dan merapatkan barisan. Arif menoleh ke kanan dan ke kiri memperhatikan jama’ah. Hanya dua shaf jama’ah yang melaksanakan solat dzuhur siang ini. Hati Arif miris. Tiba-tiba saja terbayang kenangan empat tahun lalu. Disini, di mesjid yang sama, saat-saat mesjid ini dipenuhi oleh para siswa untuk melaksanakan solat berjama’ah. Andai saja keadaan yang dulu itu bisa terulang kembali, pikir Arif dalam hati yang terdalam. Arif membalikan badannya mengarah kiblat. Sesaat sebelum mengucapkan takbiratul ikhrom, Arif sempatkan berdo’a agar mesjid ini penuh dengan jama’ah lagi.
***

EMPAT
Malam telah sampai pada sepertiga yang terakhir. Pada waktu ini Sang pemilik langit dan bumi, serta seluruh isinya turun ke langit dunia. Sang Maha Gagah itu berjanji dengan segala kebesaranNya. Bagi siapa saja makhlukNya yang memohon untuk diampuni segala dosanya yang lalu, maka Dia akan mengampuninya. Bagi siapa saja yang memohon sesuatu, maka Dia akan memberikannya. Asalkan orang-orang itu berani untuk bangun untuk bermunajat hanya padaNya, dan berani melawan dinginnya suhu yang terasa seperti menusuk-nusuk tulang hingga ke sum-sumnya. Dingin sekali.

Malam ini, ada segelintir manusia yang hendak mengamalkan berita gembira itu. Mereka bangun dan segera mengambil air wudhu untuk mendirikan solat malam. Satu dari sedikit orang itu adalah Arif. Ia sudah siap untuk sebuah pertemuan ini. Pertemuan dengan raja dari segala raja. Arif ingin segera bermunajat kepadaNya. Bermunajat tentang segala kegundahan yang ada di hatinya. Arif sudah tidak sabar. Tatapannya mengarah pada gambar ka’bah yang ada pada sajadah biru dihadapannya. Hawa dingin dari luar masuk melalui celah-celah jendela. Kemudian menjalar memenuhi ruang kamar dimana Arif berdiri solat. Hawa dingin itu membelai-belai kulit Arif. Arif merasakan kulitnya sedingin salju.

Sesaat saja setelah Arif ungkapkan semua keinginannya kepada pemilik dirinya. Rasa kantung menyerangnya. Matanya terasa berat, seperti ada baja seberat puluhan ton yang menggelayut di kelopak matanya. Arif tidak kuasa untuk menahan rasa kantuk itu. Arif tertidur masih pada tempat yang sama. Ia terkulai lemah di atas sajadah biru bergambar ka’bah. Kini, hawa dingin itu berubah menjadi terasa hangat.

Dalam tidurnya, Arif berada pada sebuah ruangan yang semuanya serba putih. Cat dindingnya putih. Di tengah ruangan tedapat sebuah sofa putih. Di depan sofa itu berdiri meja yang berwarna putih juga. Sofa dan meja itu mengahadap pada sebuah dinding yang terdapat sebuah layar sangat lebar. Lebarnya hampir memenuhi luasnya dinding itu. Tiba-tiba saja tubuh Arif seperti ada yang menggerakan. Arif kebingungan mendapati tubuhnya bergerak sendiri. Ia melangkah mendekat pada sofa putih. Kemudian duduk bersandar dan menghadap pada layar dihadapannya. Layar putih itu menampakan sebuah gambar-gambar bergerak layaknya sebuah televisi pada umumnya. Pada layar itu, Arif melihat sebuah pulau kecil yang letaknya jauh dari pulau-pulau besar yang lain. Pada pulau itu, Arif juga melihat tiga orang penghuninya. Hanya tiga orang saja. Ia mendapati, satu dari ketiga orang itu mengenakan sebuah mahkota besar yang terang kilauannya. Kemudian Arif melihat sebuah lautan yang luas dan dalam. Pada dasar lautan itu, Arif melihat tumpukan kerang-kerang. Kerang-kerang itu ada yang terbuka dan ada juga yang masih tertutup. Pada kerang yang terbuka, Arif dapati seberkas cahaya yang sangat terang. Arif terpesona memandangi kilatan cahaya itu. Tiba-tiba saja, ada seberkas cahaya putih yang muncul tepat di hadapan Arif. Ia terkager. Arif diam seperti terhipnotis. Perlahan cahaya itu mendekat pada Arif. Kemudian masuk pada tempurung kepalanya. Cahaya putih itu hilang dikepala Arif.

Arif terbangun dari tidurnya. Dia mendapati dirinya tergeletak di atas sajadah yang tadi dia gunakan untuk solat malam. Arif terbengong-bengong memikirkan sesuatu yang aneh pada mimpinya barusan. Tidak lama berselang, adzan subuh berkumandang. Arif beranjak menuju kamar mandi. Ia mengambil wudhu, lalu berangkat menuju mesjid yang tidak jauh dari rumahnya.

...Assholaatu khoirumminannauum
Assholaatu khoirumminannauum.
..
(...Solat lebih baik dari pada tidur...)
***

Esoknya. Arif berada di depan kelas 3 IPA 1. Ia sedang mengajar disana. Materi untuk hari ini sudah habis dijelaskan Arif pada anak muridnya. Karena waktu yang tersisa masih cukup banyak, maka Arif mempersilahkan siswanya untuk bertanya terkait materi yang telah dijelaskan. Ada tiga siswa yang bertanya. Dua siswa laki-laki dan satunya siswa perempuan. Pertanyaan pertama dan kedua Arif jawab dengan sangat jelas dan gamblang. Mereka terlihat puas dengan jawaban bapak guru muda yang ganteng itu. Namun, ketika siswa ketiga mengacungkan tangan, Arif mulai tampak sulit menguasai keadaan. Semua ini karena ulah beberapa siswa usil yang menggodai Arif saat mereka tahu siapa siswa perempuan yang mengacungkan tangan.

Namanya Mutiara. Ia salah-satu siswa paling pintar dikelas, bahkan di sekolah. Mutiara merupakan pengurus rohis di sekolahnya. Jika diibaratkan sebuah bunga, Mutiara adalah bunga mawar yang tumbuh di ujung tebing yang terjal. Ia cantik. Prilakunya baik. Banyak temannya yang tertarik padanya. Namun, tidak satupun dari mereka yang berani mendekatinya. Mereka segan untuk mendekati wanita yang selalu berpenampilan sopan itu.

Semenjak kedatangan di sekolah, Arif dikenal sebagai guru yang baik. Ibadahnya rajin. Amalan sunnah senantiasa dia laksanakan. Karenanya, tidak sedikit dari rekannya mengajar memanggilnya dengan sebutan “Akhi Arif”. Arif hanya tersenyum menanggapi panggilan itu. Tidak hanya itu, para siswa tidak mau kalah. Mereka menggodai Arif dengan selalu mengait-ngaitkan Arif dengan siswa paling cantik dan baik di sekolah, tiada lain adalah Mutiara. Seperti hari ini.

Cie, cie…..” goda siswa 3IPA 1 ketika Mutiara mengacungkan tangan untuk bertanya. Arif salah tingkah. Mutiara terlihat malu-malu.

Arif tidak ingin kalah. Dia sudah sering mendapati hal seperti ini ketika masih aktif di lembaga dakwah kampus dulu. Perlahan Arif mulai menguasi keadaan. Ia mulai tenang kembali. Arif jawab pertanyaan Mutiara dengan jelas.

“ Bagaimana, Tia? Cukup? Apa ada pertanyaan lagi?” tawar Arif pada Mutiara. Mutiara menggelengkan kepala pertanda dia puas dengan jawaban gurunya itu. Namun, apa yang dilakukan oleh siswa lainnya. Mereka mendehem seperti yang hendak mengeluarkan dahak dari tenggorokannya, padahal mereka tidak tampak sedang ada gangguan tenggorokan. Arif mencoba untuk menenang-nenangkan dirinya. Sementara Mutiara hanya menunduk saja.

Arif menatap jam yang tertempel pada dinding bagian belakang kelas. Masih tersisa cukup waktu untuk mengajar. tanpa banyak mengambil tempo, khawatir ada godaan lagi dari siswanya, Arif langsung bercerita tentang seorang sahabat semasa kuliahnya yang menjadi salah-satu inspirasi baginya. Arif memulai cerita dari semenjak mereka berkenalan dan kemudian menjadi sahabat. Arif menceritakan masa-masa sulitnya ketika kuliah dulu. Sampai tiba pada satu bagian yang menceritakan saat-saat masa sulit bagi diri Arif, yaitu ketika banyak mahasiswa lain yang menggunjingkan dirinya dan kepemimpinannya pada salah-satu organisasi terbesar di kampus. Arif mengisahkan saat-saat ngedrop itu. Arif putusa asa ketika itu. Sampai sempat terpikir untuk mengundurkan diri dari amanahnya itu. Namun, niatan itu terhenti ketika sahabat yang juga merangkap sebagai wakilnya pada organisasi yang sama menasihati dirinya. Hingga detik ini, Arif tidak akan pernah melupakan nasihat super itu. Melalui nasihat itulah Allah menghendaki Arif untuk terus melanjutkan amanahnya sebagai seorang ketua hingga masa jabatannya habis. Arif menceritakan kembali nasihat itu kepada siswanya.

“ Saat itu, sahabat saya, menasihati saya seperti ini, ‘ Kamu tahu, Rif, bagaimana asal mula terbentuknya sebuah mutiara yang indah dan mahal harganya?’. Saya hanya diam mendengarkan pertanyaan dari sahabat saya itu. Kemudian dia menjawab pertanyaannya sendiri. Dia mengatakan,’Dulu, Ayah saya bercerita kepada saya. Saat kerang muda membuka cangkangnya hendak mencari makan, ada beberapa butiran pasir yang masuk pada sebagian kerang-kerang yang membuka cangkangnya itu. Kerang yang termasuki pasir itu merasakan sakit. Kerang-kerang itu kesakitan. Mereka menangis dan mengeluarkan air matanya. Saat itu, kerang muda itu mengadu kepada ibunya akan rasa sakitnya itu. Dengan sabar sang ibu berbicara kepada anak-anaknya itu. Dengan suara lembut ibu itu menguatkan agar anak-anaknya tetap sabar dalam merasakan sakit itu. Sang ibu menyarankan agar anaknya tidak membalas pasir yang telah menyakitinya dengan keburukan lagi. Sang ibu menyarankan agar anaknya selalu membalas pasir itu dengan kebaikan. Mendengar nasihat bijak itu, kerang-kerang muda itu selalu menggunakan air matanya yang keluar karena kesakian untuk membaluti pasir yang ada di dalam tubuhnya. Setiap merasakan sakit, mereka selalu menggunakan air matanya untuk membalut pasir itu.

Seiring berjalannya waktu, kerang-kerang muda itu kini telah menjadi dewasa. Dan, tahukan kau, Rif? menjadi apa air mata yang digunakan untuk membalut pasir-pasir itu? Air mata itu menjadi mutiara yang sangat elok, Rif! Air mata itu berubah menjadi barang yang sangat berharga dan mahal harganya. Hingga suatu ketika, pemilik tambak siap untuk memanen kerang-kerangnya itu. Saat dipanen, kerang-kerang itu disortir menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah kerang yang terdapat mutiaranya. Kerang yang ada mutiaranya itu dipisahkan pada aquarium yang bagus untuk diambil mutiaranya. Sementara bagian yang kedua, kerang-kerang itu merupakan kerang yang tidak memiliki mutiara. Kerang-kerang ini langsung ditumpuk pada sebuah oblong penampungan kerang. Kemudian mereka dibawa ke pasar ikan untuk dijual menjadi kerang rebus. Sepeti itulah nasib kedua macam kerang itu, Rif! Nasib mereka berbeda. Kerang yang termasuki pasir itu awalnya memang sering kali merasakan kesakitan. Tapi, karena buah dari kesabarannya itu, maka mereka menghasilkan mutiara. Mereka menjadi sangat berharga. Mereka mendapatkan nilai jual yang tinggi, Rif! Sebaliknya, meskipun pada awalnya kerang yang satunya, yaitu kerang yang tidak termasuki pasir pada awalnya santai-santai saja, tapi apa yang terjadi setelahnya. Mereka hanya dijadikan kerang rebus, dan nilai jualnya sangat rendah sekali, Rif. Nah, demikian juga dengan kita. Kalau kita langsung menyerah hanya karena sebuah persoalan sepele, maka kita hanya akan menjadi seperti kerang rebus itu, Rif! Kita hanya akan menjadi seorang pecundang saja, Rif! Mau, kamu jadi seperti itu!’ suara sahabat saya semakin mengeras. Seakan dia ingin agar saya bangkit kembali dari keterpurukan.”

Mendengar cerita Arif, para siswa terbengong-bengong. Sepertinya mereka terhipnotis oleh gaya berceritanya. Semua itu disempurnakan dengan hebatnya hikmah yang terkandung dibalik sebuah kisah pengalaman itu. Sebagian siswa menyangga dagu mereka dengan kedua tangan mereka. Mereka khusuk mendengar dengan tatapan terpesona, layaknya Jaka Tarub yang sedang mengintip bidadari yang mandi di sungai. Menyengaja Arif berjalan dari depan sebelah kiri menuju sisi sebelah kanan. Arif mendapati kepala para muridnya memutar mengikuti kemana Arif berjalan. Arif tersenyum. Karena hal ini berarti mereka sedang benar-benar memperhatikan ceritanya.

Arif melihat jam dinding lagi. Masih tersisa sedikit waktu. Tanpa banyak pemikiran, Arif langsung menawarkan lagi sebuah cerita kepada murid-muridnya. Gayungpun bersambut. Mereka satu suara meng-ia-kan Arif. Arif bercerita lagi. Kali ini Arif bercerita tentang sebuah mimpi yang dia alami semalam. Mimpi tentang sebuah pulau kecil yang terpencil di tengah Samudera. Mimpi tentang tiga orang penghuninya. Serta mimpi tentang mutiara.

“ Kok, ceritanya selalu ada hubungannya dengan mutiara sih, Pak??” celetuk siswa laki-laki yang duduk pada bangku paling pojok. Mendengar celetukan itu, siswa lain mulai bersuara. Mereka saling berbisik dengan bibir tersenyum lebar. Melihat kondisi seperti itu, Arif tidak mau kehilangan momen lagi yang pada akhirnya bisa membuat dia kikuk kembali. Arif segera memulai cerita. Pada salah-satu bangku, Mutiara menahan-nahan senyumnya. Dia menyembunyikan bibirnya yang sedikit melebar. Namun sayangnya, dia tidak pandai dalam melakukan itu. Sepintas, Arif dapati Muridnya itu sedang menahan senyum, lalu menunduk.

Arif hendak berkisah tentang sebuah mimpi aneh yang semalam ia rasakan. Ketika dipikir lebih dalam lagi, Arif mendapati sebuah hikmah dalam mimpi itu. Dan siang ini, Arif hendak berbagi himah yang tekandung itu.

“ Alkisah. Di tengah-tengah Samudera yang luas dan dalam, terapat sebuah pulau kecil yang letaknya sangat jauh dari pulau-pulau lainnya. Pulau kecil itu hanya dihuni oleh tiga manusia saja. Pertama adalah seorang raja. Kedua adalah abdi setia sang raja. Dan yang terakhir adalah rakyat biasa. Pada suatu hari, sang raja memberikan perintah kepada abdinya untuk memanggilkan satu-satunya rakyat yang ada di pulau itu. Dengan setia, abdi itu segera melaksanakan perintah sang raja. Dia langsung meluncur menuju sebuah perkebunan yang ditengah-tengahnya terdapat sebuah gubuk tempat tinggal seorang rakyat itu. Sang abdi langsung memberitahukan kepada seorang rakyat itu bahwa sang raja ingin bertemu dengannya. Mendengar kabar itu, sang rakyat bertanya-tanya dalam hati. Ada apa gerangan sang raja meminta dirinya untuk bertemu. Adakah ini pertanda bahwa dirinya akan mendapatkan penghargaan? Ataukah hukuman? Terdorong ingin segera mengetahui teka-teki ini, sang rakyat menyetujui permintaan itu dan segera meluncur menuju kerajaan.

Sesampainya di kerajaan, sang rakyat langsung disambut oleh sang raja. Ia disuguhi dengan makanan yang super lezat. Seumur hidup belum pernah dia temui makanan senikmat itu. Selepas makan, sang raja mengajaknya mengobrol di sebuah taman kerajaan yang elok. Banyak bunga bermacam warna yang tumbuh. Baunya harum semerbak. Sang rakyat terbuai dengan suasana itu. Mereka mengobrol panjang lebar. Hingga tiba pada sebuah permintaan tolong dari sang raja kepada rakyat itu.

“ Wahai rakyatku yang baik hati, saya hendak meminta tolong Anda untuk mengambilkan sejumlah mutiara yang terdapat pada tumpukan kerang yang ada di dasar Samudera yang mengelilingi pulau kita ini. Apakah Anda bersedia?” pinta sang raja dengan suara berat berwibawa. Mendengar sang raja meminta langsung kepadanya. Sang rakyat merasa tersanjung. Tanpa banyak pikir lagi, dia menyetujui permintaan sang raja. Namun, sebelumnya rakyat itu memohon kepada sang raju untuk memberinya beberapa barang untuk perbekalannya selama melakukan penyelaman itu.

“ Saya bersedia, Tuan. Namun, sebelumnya saya ingin meminta beberapa barang untuk perbekalan saya ketika di dalam laut nanti,” pinta sang rakyat dengan suara pelan.

“ Baik. Silahkan Anda sebutkan semua barang yang diperlukan itu.”

“ Saya butuh: tabung oksigen untuk nafas saya di dalam laut, baju menyelam untuk melindungi kulit saya, kaca mata selam agar saya dapat melihat dengan jelas di dasar laut, sebuah senter untuk penerangan di dasar laut yang gelap, serta peta yang menunjukan dimana tempat mutiara itu berada,” pinta sang rakyat. Mendengar permintaan itu, sang raja langsung mengabulkannya.

Esok harinya, saat Mentari baru memunculkan tubuhnya, ketiga penghuni pulau kecil itu berkumpul di lepas pantai dalam acara pelepasan sang rakyat menuju dasar Samudera. Dengan diiringi sebuah do’a, sang rakyat mulai menyelam. Setelah tidak terlihat lagi di permukaan laut, sang raja dan abdi setianya pulang menuju kerajaannya.

Setengah jam sudah sang rakyat menyelam. Tujuannya adalah sebuah dasar laut yang terdapat markas kerang mutiara. Secara perlahan dia meluncur seperti terbang di dalam laut. Dengan menggunakan senter dia dapat melihat di kegelapan Samudera. Dengan senter itu pula dia bisa membaca peta yang ada pada genggamannya. Dia ikuti semua arah yang ditunjukan oleh peta itu.

Suatu ketika, saat sang rakyat itu sudah menempuh satu jam penyelaman, datang segerombolan ikan hias kecil yang rupawan bentuk dan warnanya. Sang rakyat itu tergoda akan keindahan ikan-ikan kecil itu. Dia memandangi terus ikan elok itu. Ingin sekali dia menangkap ikan itu untuk dijadikan ikan hias dan disimpan di aquarium yang ada dirumahnya. tanpa tersadar, dia mengikuti segerombolan ikan hias itu. Dia mengejarnya hendak menangkap beberapa ekor saja. Semakin sang rakyat itu mengejar, semakin gesit kecepatan berenang ikan-ikan itu. Semakin lama, semakin jauh dan semakin dalam sang rakyat itu menyelam. Namun, belum juga ikan indah itu didapatkan. Tiba-tiba, muncul lagi segerombolan ikan lain. Gerombolan ikan baru itu lebih indah rupanya dari gerombolan ikan yang awal. Sang rakyat itu terpesona pada rupa dari gerombolan ikan yang lebih besar ukurannya. Dia hiraukan gerombolan ikan kecil, kemudian berbelok mencoba mengejar ikan-ikan yang lebih besar itu. Dia ikuti kemana gerombolan ikan itu berenang. Niatnya adalah untuk menangkap ikan-ikan itu.

Tidak terasa, empat jam sudah dia menyelam. Dia merasakan kelelahan karena telah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk mengejar ikan-ikan indah itu. Dia merasakan tubuhnya semakin lemas. Bersamaan dengan itu, persediaan oksigen dalam tabung semakin menipis. Dia berhenti mengejar ikan. Dia diam mencoba melepas lelah. Setelah tubuhnya dirasa cukup kuat, dan pikirannya segar kembali, dia teringat akan perintah sang raja untuk mengambilkannya mutiara. Tersadar akan hal itu, segera dia kembali berbalik menuju tempat dimana dia pertama kali melihat segerombolan ikan hias kecil. Dengan bantuan peta, setelah lama mencari-cari, akhirnya dia sampai pada tempat itu. Kemudian dia kembali melanjutkan penyelaman menuju tempat dimana mutiara berada.

Na’as, persediaan tabung oksigen semakin menipis saja. Dia mulai berat dalam bernafas. Dia mulai panik. Dengan sisa-sisa tenaga dan oksigen yang hanya tinggal sedikit lagi, dia memaksakan dirinya untuk terus menyelam menuju tempat mutiara itu. Saat sang rakyat itu tiba ditujuan, nafas dia mulai tersengal-sengal. Dia tidak bisa berpikir sehat ketika itu. Takut, oksigennya keburu habis, segera dia mengambil sebuah kerang mutiara saja yang ada pada jangkauannya. Setelah satu kerang mutiara itu berada pada genggaman, dia langsung berbalik menuju permukaan Samudera. Belum sampai ke permukaan, persediaan oksigen habis. Dia tidak bisa bernafas. Dia tidak sadarkan diri, kemudian pingsan. Kerang mutiara yang ada pada genggamannya jatuh kembali ke dasar Samudera. Beruntung, arus membawanya muncul ke permukaan sehingga dia tetap bisa bernafas walau masih dalam keadaan pingsan. Dia mengambang di permukaan Samudera dan terombang ambing oleh arus permukaan kesana-kemari. Hingga pada akhirnya, sang arus mendamparkannya ke tepi pantai sebuah pulau kecil yang tidak lain adalah pulau tempat dia dan seorang raja serta abdi setianya menetap. Dia tergeletak di bibir pantai dengan masih menggunakan peralatan menyelamnya.

Menjelang sore hari, sang rakyat itu sadarkan diri. Dia siuman. Sembari merintih kesakitan dia beranjak duduk. Dia melamun memikirkan tentang kelalaiannya dalam menjalankan perintah dari sang raja. Dia sedih. Jika tidak ingat dirinya adalah seorang laki-laki, mungkin dia sudah mengucurkan air mata sepuas-puasnya.

Tidak berselang lama setelah kesadarannya, datanglah seorang raja dan abdi setianya menghampiri sang rakyat yang masih terduduk di tepi pantai. Sang raja menagih mutiara kepada rakyat itu.

“ Wahai rakyatku, selamat atas kedatanganmu sore ini. Saya hendak menagih mutiara yang engkau ambil itu,” pinta sang raja. Mendengar penagihan itu, hati sang rakyat sanga pilu. Pilu sekali. Dengan sura terbata, dia mengiba kepada sang raja.

“ Mohon ma’afkan saya, Tuan. Saya telah lalai dalam menjalankan perintah, Tuan. Ketika menyelam tadi, saya tergoda akan keindahan ikan hias yang berenang disekitar saya, hingga membuat saya lupa dengan tugas dari, Tuan. Sekali lagi saya memohon ma’af kepada,Tuan. Saya mohon, sudi kiranya Tuan memberikan sekali lagi kesempatan kepada saya untuk menjalankan tugas ini lagi. Saya berjanji kepada Tuan. Saya akan melaksanakan kesempatan kedua itu dengan sebaik yang saya bisa. Saya mohon Tuan,” sang rakyat mengiba kepada sang raja. Mendengar ucapan itu, sang raja murka. Dia kecewa. Dia tidak memberikan kesempatan kedua yang diminta oleh rakyatnya itu.

“ Wahai rakyatku yang telah lalai, tidak akan pernah ada kesempatan kedua bagimu. Seungguh tidak akan pernah ada!” murka sang raja. Sang raja memerintahkan kepada abdi setianya untuk menyeret sang rakyat ke kerajaan. Sang raja memerintahkan kepada abdi setianya untuk memenjarakan rakyat itu di penjara bawah tanah seumur hidup. Mendengar perintah itu, sang rakyat sangat kecewa. Dia kecewa pada dirinya sendiri yang telah melalaikan perintah rajanya. Dia hanya bisa menangis dan menyesal. Tiada lain yang bisa dia lakukan selain menangis dan menyesali kelalaiannya.
***

Arif mengakhiri cerita dalam mimpinya semalam. Para siswa terbuai dengan cerita gurunya yang tampan itu.

“ Silahkan, ada yang mau mencoba menggali hikmah dari cerita yang barusan saya sampaikan!” tawar Arif pada seluruh siswa. Mendengar tawaran sang guru, tidak ada satu siswapun yang berani mengacungkan tangan. Sebenarnya ada beberapa siswa yang ingin menjawab. Tapi mereka ragu akan jawabannya. Mereka takut keliru dalam mengambil hikmah. Salah-satu dari mereka adalah Mutiara. Dia hanya diam menyembunyikan jawabannya.

“ Silahkan, ada yang mau berpendapat?” tanya Arif lagi.

Secara tiba-tiba siswa laki-laki yang duduk di kursi paling pojok, seorang siswa yang paling sering menggodai Arif dan Mutiara mengacungkan tangannya. “ Ma’af, Pak. Saya tidak bisa berpendapat tentang cerita tadi. Tapi, coba Bapak tanya kepada Mutiara, mungkin dia bisa menjawabnya,” ceplosnya. Kontan siswa lain mendengungkan bisikan layaknya dengungan lebah yang sedang mencari madu. Mutiara kaget mendengar itu. Arif berdiri mematung di depan kelas. Siswa lain hanya tersenyum memandangi kedua manusia yang sedang salah tingkah itu.

“ Silahkan kepada Mutiara, mau mencoba berpendapat?” tawar Arif terpaksa. Dia mencoba menegas-negaskan suaranya. Padahal hatinya bergetar saat itu. Mendapati tawaran itu, tidak ada pilihan lain bagi Mutiara, selain menjawabnya. Ia mencoba menjawab dengan semampu yang dia bisa. Dia utarakan hikmah yang didapat setelah memperhatikan cerita sang guru. Mutiara mengeluarkan rangkaian kalimat dengan sangat santai dan dengan artikulasi yang jelas. Suara lembutnya membuat yang mendengarkannya merasakan sebuah kenyamanan yang entah dari mana datangnya. Memang seperti itulah Mutiara. Dia tidak berbicara, kecuali hal yang penting dan perlu saja. Mutiara lebih sering menggunakan waktu luangnya dengan membaca Al-Qur’an ketimbang harus ngerumpi layaknya siswa perempuan kebanyakan.

SubhanAlloh...” gumam Arif selepas Mutiara mengakhiri pendapatnya. Tanpa Arif sadari, siswa laki-laki yang duduk di kursi paling pojok mendengar gumaman gurunya itu.

SubhanAlloh kenapa, Pak Arif? Mutiara cantik ya?” celetuk siswa berambut ikal itu. Arif kikuk tidak bisa menaggapi celetukan siswa berambut ikal.

“ Ma’af, Pak. Maksud saya, jawaban Mutiara cantik ya?” goda siswa berambut ikal itu lagi. Tidak ingin tenggelam dalam perangkap siswanya yang usil, Arif langsung mengambil kemudi.

“ Iya, pendapat Mutiara benar. Cerita yang tadi itu merupakan sebuah analogi untuk kehidupan kita di dunia yang fana ini. Sang raja dalam cerita itu kita ibaratkan Allah, Tuhan kita, yang telah menciptakan kita dan yang memerintahkan kita untuk senantiasa beribadah kepadaNya serta menjadikan kita sebagai kholifah dimuka bumi ini.

Kemudian, sang abdi setia itu adalah Nabi Muhammad SAW, rosul kita. Tugas beliau adalah menyampaikan wahyu yang diperoleh dari malaikat Jibril kepada kita. Tujuan akhir dari perintah-perintah itu adalah agar kita beribadah kepada Alloh, Tuhan kita. Dengan mengikuti tata cara beliau tentunya.

Kemudian, lautan atau Samudera itu kita umpamakan dunia ini. Dunia tempat kita hidup sementara ini. Tabung oksigen adalah jatah usia kita. Pakaian selam adalah tubuh kita. Senter adalah ilmu yang kita miliki. Semakin banyak ilmu yang dimiliki, maka akan semakin memudahkan kita dalam melihat dunia yang gelap ini. Lalu, peta adalah sebuah petunjuk untuk hidup kita. Peta itu adalah Al-Qur’an dan As-sunnah. Kita tidak akan pernah tersesat dalam menjalani hidup ini jika kita berpegang teguh pada kedua petunjuk itu.

Ikan-ikan hias itu adalah godaan dunia. Jika kita kalah oleh godaan itu, maka hal itu akan membuat kita terlupa akan tugas kita yang sebenarnya, yaitu beribadah kepada Alloh dan menjadi kholifah untuk kelestarian dunia ini. Dan, mutiara itu merupakan amalan kita selama hidup di dunia. Semakin banyak amalan kita, maka akan semakin beruntung kita. Mutiara itu, atau amalan-amalan itu merupakan bekal untuk kita di hari kemudian, yaitu hari akhirat, yang pada akhirnya menentukan kita, apakah masuk ke dalam surga atau nerakaNya.

Dan, sang rakyat yang diperintahkan oleh sang raja untuk mengambil mutiara itu adalah kita. Saya dan kalian, tidak terkecuali juga Anda, Anda dan Anda,” Arif menunjuk beberapa siswanya.

“ Tidak terkecuali juga Anda!” Arif menunjuk siswa berambut ikal yang duduk di kursi paling pojok yang sering menggodai dirinya. Mendapati gurunya menunjuk dirinya, dia tersenyum malu.

“ Kita semua perlu mengingat ini! Semua hal yang kita lakukan dari mulai membuka mata sampai menutupnya kembali, itu merupakan amal perbuatan kita. Amalan sehari-hari kita itu terkelompokan menjadi dua jenis, yaitu: amalan baik dan amalan buruk. Kedua amalan itu tidak akan lari kemana-mana. Mereka akan memintai pertanggung jawaban kita kelak di hari penghitungan amal. Jika amalan baik kita lebih banyak dari amalan buruk, niscaya kehidupan akhirat kita akan bahagia. Tapi, jika sebaliknya, yaitu amalan buruk kita lebih banyak dari amalan baik kita, maka di akhirat kelak kita akan sengsara. Itu merupakan sebuah kepastian.

Hidup itu adalah sebuah pilihan. Kita ingin akhir yang bahagia atau akhir yang sengsara, bukan orang lain yang menentukan, tapi diri kita sendirilah yang menentukan. Pilihan mana yang dipilih oleh seseorang itu, tercermin dari tingkah lakunya selama ini.

Kalian sudah dewasa, saya meyakini kalian sudah mengetahui yang mana perbuatan baik dan yang mana perbuatan buruk. Saya yakin, kalian pasti tahu jika menggunjingkan orang itu adalah hal yang buruk. Saya yakin, kalian pasti tahu jika dua orang yang belum menikah duduk berduaan di tempat yang sepi dengan sambil berpegangan tangan itu merupakan perbuatan yang buruk. Saya yakin, kalian pasti tahu kalau mencontek itu adalah perbuatan yang buruk. Saya yakin, kalau kalian tahu jika durhaka kepada orang tua itu perbuatan buruk. Dan saya juga yakin, kalian tahu, ketika kalian tidak menjalankan kewajiban solat itu juga merupakan perbuatan yang sangat buruk.

Sekali lagi saya tekankan, yang menentukan akhir kita bahagia atau sengsara itu adalah amalan kita selama hidup di dunia ini,” Arif mengingatkan kembali para siswanya.

Bel tanda istirahat berbunyi. Para siswa mendesah kecewa karena sedang asik-asiknya menikmati pembicaraan sang gurunya. Arif mendekat pada meja guru. Dia membereskan bukunya yang tercecer di atas meja. Arif memeluk buku-buku itu, kemudian berjalan menuju depan kelas lagi. Dia berdiri disana.

“ Pesan untuk pelajaran hari ini adalah: jangan sampai kita melupakan tujuan hidup kita yang sebenarnya. Yaitu menggapai ridho Allah dengan cara-cara yang dilakukan oleh Rosululloh SAW,” Arif menutup kelas. Dia memberikan senyuman manis kepada seluruh siswanya, lalu dia berjalan menuju pintu.
***

LIMA
Di dalam kamar berukuran tiga kali tiga meter yang bercatkan biru muda. Disana ada seorang guru muda yang sedang merenung seorang diri. Dialah Arif. Ia berpikir bahwa usia dia sekarang sudah tidak muda lagi. Mungkin sudah saatnya dia untuk segera menyempurnakan separuh agamanya, yaitu menikah. Dia teringat kembali dengan mimpinya kemarin malam. Dalam mimpinya itu, dia melihat sebuah mahligai indah di samping tumpukan kerang-kerang mutiara. Dengan itu, dia benar-benar semakin yakin, jika sekaranglah waktunya untuk segera menjalankan salah-satu sunnah nabi.

Setelah Arif yakin untuk menyegerakan pernikahannya. Arif berpikir wanita mana yang hendak dia lamar. Arif ingin mendapatkan pendamping hidup yang bisa dia ajak untuk bahu membahu guna menegakan kembali panji-panji islam. Arif menginginkan calon isteri yang seperti itu. Tiba-tiba saja Arif terpikir seorang wanita yang telah dia kenal. Sejauh ini, tidak banyak interaksinya dengan wanita itu. Tapi, meskipun begitu, entah mengapa hati Arif seperti yakin kepada seorang wanita itu.

Segera Arif menuju meja kerjanya. Ia membuka laptop dan menyalakannya, kemudian mengkoneksikan internet. Arif membuka website sekolahnya. Arif mencari-cari data yang ia butuhkan. Setelah mendapatkan data yang dicarai, Arif membaca dan memperhatikan data itu. Dengan menghujamkan bismillah dalam hati, Arif mengahapalkan salah-satu tulisan yang ada pada website itu. Tulisan itu merupakan sebuah alamat rumah, yang esok hari akan Arif sambangi.
***

Hari Minggu pagi. Waktu menunjukan pukul sembilan. Motor yang dikendarai Arif meluncur menuju sebuah alamat. Karena bingung, di pertigaan jalan Arif menanyakan alamat itu kepada tukang ojek yang sedang mangkal. Setelah yakin tahu, Arif melanjutkan perjalanannya lagi.

Arif memarkirkan motornya di depan rumah yang memiliki cat warna krem. Arif perhatikan alamat yang tertulis pada sobekan kertas yang dia pegang. Kemudian ia melihat nomer rumah yang tertempel pada pintu gerbang tembok rumah itu. Nomernya sama. Berarti benar, Arif tidak salah alamat.

Arif berjalan mendekat menuju rumah itu. Ia mengetuk pintu, lalu disempurnakan dengan ucapan salam. Seorang wanita belia berkerudung lebar membuka pintu. Pandangan Arif dan wanita belia itu beradu. Wanita belia itu terkejut dengan kedatangan Arif kerumahnya.

“ Pak Arif...” Mutiara kaget. Arif memberikan senyuman. Mutiara membalas senyuman Arif.

“ Bapaknya ada?” tembak Arif.

“ Oh, Abi ada. Silahkan masuk dulu, Pak” tawar Mutiara. Arif masuk lalu duduk pada sofa cokelat. Sementara Mutiara masuk hendak memanggil Bapaknya. Mutiara melangkah dengan banyak tanda tanya dikepalanya. Ada apa gerangan pak Arif ingin bertemu dengan bapaknya.

Tidak lama berselang. Pada sebuah ruang tamu, disana terdapat tiga orang yang sedang mengobrol. Mereka adalah Arif dan kedua orang tua Mutiara. Dengan suara gemetar tapi pasti, Arif mengutarakan keinginannya untuk meminang Mutiara kepada kedua orang tuanya. Mutiara bergemuruh hatinya ketika menguping pembicaraan Arif kepada Orang tuanya. Dia tidak bisa membohongi hatinya, sesungguhnya dia juga menaruh hati untuk si bapak guru mudanya itu.

Angin lembut bertiup sepoi-sepoi. Angin itu masuk menuju ruang tamu rumah Mutiara. Angin itu membelai lembut jiwa-jiwa yang sedang mengobrol di dalamnya.

Arif menatap bapaknya Mutiara, menunggu jawaban. Bapaknya Mutiara melihat wajah teduh Arif hendak memberikan jawaban. Ibunya Mutiara tersenyum setelah beberapa detik lalu saling tatap dengan suaminya. Sementara Mutiara harap-harap cemas menunggu jawaban apa yang akan terucap dari mulut bijaksana bapaknya. Pada salah-satu sudut dinding, tergantung sebuah foto keluarga. Pada foto itu terdapat empat orang. Bapak dan ibunya duduk pada dua buah kursi. Sementara di belakangnya, berdiri Mutiara dan seorang kakak laki-lakinya yang sudah menikah. Mereka semua tersenyum.
***

3 komentar: