Sabtu, 25 Agustus 2012

Angin Sepoi-sepoi



Salah satu yang membuatku selalu bersyukur adalah letak rumahku sekarang ini. Dulu, saat aku kecil, aku tidak menyadari anugerah ini. Saat itu aku sering mendebat bapak, mengapa beliau membuat rumahnya sangat dekat dengan kuburan. Aku sering merasa takut jika sendirian di rumah. Tapi sekarang, aku baru paham dengan maksud bapak mengambil keputusa itu. Keputusan yang dulu sering aku protes. Jawabannya adalah agar kami selalu mengingat kematian. Setiap kami keluar rumah, tepat di depan, hanya dipisahkan oleh sebuah jalan, disana terlihat banyak sekali miniatur gunung tangkuban perahu yang entah mengapa memiliki batu atau kayu nisan.

Selain itu, masih ada lagi yang membuatku gembira dengan posisi rumahku. Adalah angin sepoi-sepoi. Dari bibir pantai sampai ke rumahku, jaraknya adalah tiga ratus meteran. Seratus lima puluh meter pertama, topografinya relatif datar. Kemudian lima puluh meter berikutnya meninggi, dengan kemiringan lereng yang landai. Seratus meter sisanya datar lagi. Jadi, jika diamati dari bibir pantai, rumahku berada pada posisi perbukitan. Hal inilah yang menyebabkan angin sepoi-sepoi itu ada. 

Saat siang hari, karena pengaruh sinar matahari, suhu di daratan lebih panas dibanding dengan suhu lautan. Karena suhu daratan lebih panas, maka udara yang ada di daratan memuai, tekanan udaranya menjadi rendah. Sejumlah udara itu lalu melayang ke atas. Dan, karena tekanan udara di lautan lebih tinggi, serta mustahil di daratan tidak ada udara, maka udara yang tadinya ada di lautan, bergerak mengalir menuju daratan. Nah, udara yang bergerak inilah yang pada akhirnya dinamakan angin. Angin laut tepatnya.

Siang hari, dari semenjak pagi hingga menjelang petang. Angin laut itu tak henti-hentinya bertiup. Dua kelompok angin laut meluncur menuju daratan, yaitu kelompok angin bagian bawah dan bagian atas. Mereka berbarengan melajunya. Awalnya mereka masih berjalan pada treknya masing-masing, dengan kekuatan tiupan yang sama tentunya. Namun, saat kelompok angin bawah menjumpai perbukitan, mereka menanjak, mendaki perbukitan yang landai itu. Tak terasa, pada akhirnya kedua kelompok angin itu bertemu di perbukitan. Saat mereka bertemu, kekuatan tiupannya menjadi berlipat. Mereka melaju semakin kencang di perbukitan. Mereka menerpa pepohonan hijau. Angin itu menyelinap diantara rimbunan dedaunan. Daun-daun itu menari-nari lemah gemulai. Daun-daun itu bak saringan raksasa bagi angin kencang itu. Saat angin laut itu tiba di depan rumahku, kekuatannya sudah melemah. Angin itu telah menjadi lembut. Angin sepoi-sepoi.

Akibat sentuhan angin sepoi-sepoi inilah yang sering membuat teman-teman sekolahku dulu selalu ketiduran jika sebentar saja rebahan di rumahku. Rebahan di ruang tamu atau ruang paviliun tepatnya. Dalam keadaan pintu yang terbuka, hingga memudahkan sang angin menyelinap perlahan. 

“Rebahan di rumahmu membahayakan Ko. Bisa mengakibatkan saya menjadi malas. Malas bangun, malas pulang, pokoknya malas ngapa-ngapain. Bawaannya ingin tidur mulu. Anginnya gak nahan. Sepoi-sepoi,” ujar seorang teman yang paling sering main ke rumahku setiap sepulang sekolah. Dengan tujuan ikut tidur doang tentunya.

Jika sedang ada teman yang bertandang, kami rebahannya di paviliun. Kami rebahan bareng disana, karena ruangannya numayan luas. Cukup untuk menampung beberapa orang. Tapi, jika sedang sendirian, aku memilih rebahannya di ruang tamu. Aku buka pintu depan lebar-lebar, lalu rebahan pada sofa empuk warna hitam yang paling panjang. Posisi favoritku adalah seperti ini: aku tidur terlentang dengan kepala bersandar pada ujung sofa sebelah kiri. Karena ujung sofa itu empuk, maka aku tidak menggunakan bantal. Kaki sebelah kiri, aku biarkan memanjang hingga ujung sofa bagian kanan. Sementara kaki bagian kanannya, aku angkat dan simpan pada sandaran sofa. Dengan posisi itu aku dapat dengan jelas melihat paha dan betis kananku, karena aku selalu menggunakan celana pendek jika hendak tiduran. Jika posisinya sudah pewe seperti itu, maka hanya dalam hitungan beberapa detik saja, aku sudah berpindah dunia, menuju dunia mimpi. jika mimpi itu juga.
***

Saat ini aku sedang mudik. Mudik dalam rangka liburan idul fitri. Barusan aku bersilaturahim ke rumah paman dari pihak bapak. Aku biasa memanggilnya Mang Ipi. Beliau adalah salah satu pembina komunitas bismillah. Banyak yang kami bicarakan di rumahnya. Tentang degradasi moral yang terjadi pada remaja di hampir seluruh daerah dimanapun. Pun dengan di kampung kami.Juga tentang bagaimana solusi terbaik untuk diterapkan pada remaja kampung kami agar tidak terlalu jauh melanceng dan bisa kembali berjalan pada trek yang benar. Tentang program-program remaja kedepannya. Juga tidak lupa, aku ceritakan tentang misiku yang diam-diam sedang mengamati beberapa teman santri ataupun teman-teman organisasi serta teman-teman kampus yang sekiranya bisa menjadi partner tangguh dalam membina remaja kampungku nanti. Jika ada takdirnya, aku akan persunting wanita yang seperti itu. Kelak, isteriku akan membina anak-anak dan remaja wanita yang ada di kampungku. Dan, aku fokus pada para pemudanya. Semoga Allah menjaga niat ini.

Mang Ipi tersenyum simpul mendengar penuturanku. Ia angkat bicara,”Mangga lanjutkan saja apa yang Iko niatkan itu. Selama itu niatnya baik, Mamang pasti dukung. Pesan Mamang hanya satu, niatkan semuanya hanya karena Allah.”

 InsyAlloh Mang.”

Sepulang dari rumah mamang, aku sedikit merasa lelah. Ibarat hape, mungkin baterenya tinggal tiga puluh persen lagi. Untuk itu aku harus segera mencasnya lagi, yakni dengan tidur. 

Aku menuju ruang tamu, lalu kubuka pintunya. Angin sepoi langsung membelai diriku. Tanpa banyak pikir lagi, segera aku rebahan pada sofa empuk warna hitam. Tanpa kusadarai sebelumnya, posisi tidurku sama persis dengan posisi tidurku saat masa sekolah dulu. Dengan kaki kanan terangkat pada sandaran sofa. Aku perhatikan paha dan betisku yang terbuka. Aku santai-santai aja mendapati hal ini, karena sedang tidak ada siapa-siapa dirumah saat itu. 

 Jika diperhatikan lebih jauh lagi, ada perubahan yang kutemui dengan paha dan betisku. Dulu, betisku mulus. Tapi sekarang, paha dan betisku dipenuhi dengan bulu. Bulu-bulu halus itu ibarat padang ilalang liar. Tidak heran jika teman laki-lakiku melihat sering berkicau seperti ini. “Wah, bulu kaki kamu banyak amat!” sering aku mendapati teman-teman bertanya seperti itu. Jika sudah seperti itu, hanya satu tanggapan yang kuberikan. “Ini untuk isteri saya kelak.” Ya, hanya itu jawaban yang kuberikan. Setelah itu mereka terdiam. Mereka tidak bertanya lagi. Hanya kata “Oh” dan senyuman saja yang mereka suguhkan. 

Memang, paha dan betisku sekarang berbeda jauh dengan masa sekolah, terlebih lagi dengan ketika SD dulu. Saat SD betisku sangat mulus. Dan, jika direnungkan lagi, lebih jauh dari hanya sekedar betis dan bulu. Kudapati sang waktu terasa sangat cepat berlalu. Perasaan, baru kemarin pagi aku mengenakan seragam merah putih. Baru kemarin siang aku hujan-hujanan sambil main bola dengan keadaan tubuh telanjang bulat. Baru kemarin sore aku berkelahi dengan teman hanya karena main kelereng. Perasaan, baru tadi pagi aku diam-diam memecahkan celengan ibu karena ngambek tidak diberi uang untuk beli layangan. Baru tadi siang aku menitipkan sepucuk surat cinta kepada teman seorang siswi yang aku cintai. Baru tadi sore aku berangkat kuliah ke kota kembang. Tapi kini, lihatlah bagaimana diriku. Sekarang aku sudah berada pada titik ini. Aku sudah KOLOT
 
Jika ada umur, mungkin, beberapa detik kedepan, aku akan menjadi seorang suami, lalu menjadi seorang bapak, kemudian seorang kakek. Dan setelah itu mati. Hanya itu. 
Hidup itu memang singkat. Hidup itu memang sangat singkat. Hidup itu memang sangat singkat sekali. Kemarin lahir, sekarang hidup, lalu besok mati. Hanya itu saja. Dan yang menjadi tanda tanya besar adalah: seberapa seriuskah aku dalam menjalani waktu yang singkat ini hingga membuat hidupku tidak sia-sia dan menjadi bermakna??!! Dan satu lagi yang menjadi pertanyaan besar. Seberapa seriuskan para pembaca yang telah ditakdirkan Allah untuk membaca tulisan ini dalam menjalani waktu yang singkat ini hingga membuat hidup Anda tidak sia-sia dan menjadi bermakna!!?? 

Wahai diriku dan sahabat semua. Apakah kita telah leha-leha? Apakah setengah serius? Atau memang sudah serius???? Apapun itu, kita jualah yang akan memetik hasil dari usaha kita itu. Hasil akhir di dunia esok kelak, itu bergantung pada hari ini kita.
***
      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar