Salah
satu yang membuatku selalu bersyukur adalah letak rumahku sekarang ini. Dulu,
saat aku kecil, aku tidak menyadari anugerah ini. Saat itu aku sering mendebat
bapak, mengapa beliau membuat rumahnya sangat dekat dengan kuburan. Aku sering
merasa takut jika sendirian di rumah. Tapi sekarang, aku baru paham dengan
maksud bapak mengambil keputusa itu. Keputusan yang dulu sering aku protes.
Jawabannya adalah agar kami selalu mengingat kematian. Setiap kami keluar
rumah, tepat di depan, hanya dipisahkan oleh sebuah jalan, disana terlihat
banyak sekali miniatur gunung tangkuban perahu yang entah mengapa memiliki batu
atau kayu nisan.
Selain itu,
masih ada lagi yang membuatku gembira dengan posisi rumahku. Adalah angin
sepoi-sepoi. Dari bibir pantai sampai ke rumahku, jaraknya adalah tiga ratus
meteran. Seratus lima puluh meter pertama, topografinya relatif datar. Kemudian
lima puluh meter berikutnya meninggi, dengan kemiringan lereng yang landai.
Seratus meter sisanya datar lagi. Jadi, jika diamati dari bibir pantai, rumahku
berada pada posisi perbukitan. Hal inilah yang menyebabkan angin sepoi-sepoi
itu ada.
Saat
siang hari, karena pengaruh sinar matahari, suhu di daratan lebih panas
dibanding dengan suhu lautan. Karena suhu daratan lebih panas, maka udara yang
ada di daratan memuai, tekanan udaranya menjadi rendah. Sejumlah udara itu lalu
melayang ke atas. Dan, karena tekanan udara di lautan lebih tinggi, serta
mustahil di daratan tidak ada udara, maka udara yang tadinya ada di lautan, bergerak
mengalir menuju daratan. Nah, udara yang bergerak inilah yang pada akhirnya
dinamakan angin. Angin laut tepatnya.
Siang
hari, dari semenjak pagi hingga menjelang petang. Angin laut itu tak
henti-hentinya bertiup. Dua kelompok angin laut meluncur menuju daratan, yaitu
kelompok angin bagian bawah dan bagian atas. Mereka berbarengan melajunya.
Awalnya mereka masih berjalan pada treknya masing-masing, dengan kekuatan
tiupan yang sama tentunya. Namun, saat kelompok angin bawah menjumpai
perbukitan, mereka menanjak, mendaki perbukitan yang landai itu. Tak terasa,
pada akhirnya kedua kelompok angin itu bertemu di perbukitan. Saat mereka
bertemu, kekuatan tiupannya menjadi berlipat. Mereka melaju semakin kencang di
perbukitan. Mereka menerpa pepohonan hijau. Angin itu menyelinap diantara
rimbunan dedaunan. Daun-daun itu menari-nari lemah gemulai. Daun-daun itu bak
saringan raksasa bagi angin kencang itu. Saat angin laut itu tiba di depan
rumahku, kekuatannya sudah melemah. Angin itu telah menjadi lembut. Angin
sepoi-sepoi.
Akibat
sentuhan angin sepoi-sepoi inilah yang sering membuat teman-teman sekolahku
dulu selalu ketiduran jika sebentar saja rebahan di rumahku. Rebahan di ruang
tamu atau ruang paviliun tepatnya. Dalam keadaan pintu yang terbuka, hingga
memudahkan sang angin menyelinap perlahan.
“Rebahan
di rumahmu membahayakan Ko. Bisa mengakibatkan saya menjadi malas. Malas
bangun, malas pulang, pokoknya malas ngapa-ngapain. Bawaannya ingin tidur mulu.
Anginnya gak nahan. Sepoi-sepoi,” ujar seorang teman yang paling sering main ke
rumahku setiap sepulang sekolah. Dengan tujuan ikut tidur doang tentunya.
Jika
sedang ada teman yang bertandang, kami rebahannya di paviliun. Kami rebahan
bareng disana, karena ruangannya numayan luas. Cukup untuk menampung beberapa
orang. Tapi, jika sedang sendirian, aku memilih rebahannya di ruang tamu. Aku
buka pintu depan lebar-lebar, lalu rebahan pada sofa empuk warna hitam yang
paling panjang. Posisi favoritku adalah seperti ini: aku tidur terlentang
dengan kepala bersandar pada ujung sofa sebelah kiri. Karena ujung sofa itu
empuk, maka aku tidak menggunakan bantal. Kaki sebelah kiri, aku biarkan
memanjang hingga ujung sofa bagian kanan. Sementara kaki bagian kanannya, aku
angkat dan simpan pada sandaran sofa. Dengan posisi itu aku dapat dengan jelas
melihat paha dan betis kananku, karena aku selalu menggunakan celana pendek
jika hendak tiduran. Jika posisinya sudah pewe
seperti itu, maka hanya dalam hitungan beberapa detik saja, aku sudah berpindah
dunia, menuju dunia mimpi. jika mimpi itu juga.
***
Saat
ini aku sedang mudik. Mudik dalam rangka liburan idul fitri. Barusan aku
bersilaturahim ke rumah paman dari pihak bapak. Aku biasa memanggilnya Mang
Ipi. Beliau adalah salah satu pembina komunitas bismillah. Banyak yang kami
bicarakan di rumahnya. Tentang degradasi moral yang terjadi pada remaja di
hampir seluruh daerah dimanapun. Pun dengan di kampung kami.Juga tentang
bagaimana solusi terbaik untuk diterapkan pada remaja kampung kami agar tidak
terlalu jauh melanceng dan bisa kembali berjalan pada trek yang benar. Tentang
program-program remaja kedepannya. Juga tidak lupa, aku ceritakan tentang
misiku yang diam-diam sedang mengamati beberapa teman santri ataupun
teman-teman organisasi serta teman-teman kampus yang sekiranya bisa menjadi
partner tangguh dalam membina remaja kampungku nanti. Jika ada takdirnya, aku
akan persunting wanita yang seperti itu. Kelak, isteriku akan membina anak-anak
dan remaja wanita yang ada di kampungku. Dan, aku fokus pada para pemudanya. Semoga
Allah menjaga niat ini.
Mang
Ipi tersenyum simpul mendengar penuturanku. Ia angkat bicara,”Mangga lanjutkan
saja apa yang Iko niatkan itu. Selama itu niatnya baik, Mamang pasti dukung. Pesan
Mamang hanya satu, niatkan semuanya hanya karena Allah.”
“InsyAlloh Mang.”
Sepulang
dari rumah mamang, aku sedikit merasa lelah. Ibarat hape, mungkin baterenya
tinggal tiga puluh persen lagi. Untuk itu aku harus segera mencasnya lagi, yakni dengan tidur.
Aku
menuju ruang tamu, lalu kubuka pintunya. Angin sepoi langsung membelai diriku.
Tanpa banyak pikir lagi, segera aku rebahan pada sofa empuk warna hitam. Tanpa
kusadarai sebelumnya, posisi tidurku sama persis dengan posisi tidurku saat
masa sekolah dulu. Dengan kaki kanan terangkat pada sandaran sofa. Aku
perhatikan paha dan betisku yang terbuka. Aku santai-santai aja mendapati hal
ini, karena sedang tidak ada siapa-siapa dirumah saat itu.
Jika
diperhatikan lebih jauh lagi, ada perubahan yang kutemui dengan paha dan
betisku. Dulu, betisku mulus. Tapi sekarang, paha dan betisku dipenuhi dengan
bulu. Bulu-bulu halus itu ibarat padang ilalang liar. Tidak heran jika teman laki-lakiku
melihat sering berkicau seperti ini. “Wah, bulu kaki kamu banyak amat!” sering
aku mendapati teman-teman bertanya seperti itu. Jika sudah seperti itu, hanya
satu tanggapan yang kuberikan. “Ini untuk isteri saya kelak.” Ya, hanya itu
jawaban yang kuberikan. Setelah itu mereka terdiam. Mereka tidak bertanya lagi.
Hanya kata “Oh” dan senyuman saja yang mereka suguhkan.
Memang,
paha dan betisku sekarang berbeda jauh dengan masa sekolah, terlebih lagi
dengan ketika SD dulu. Saat SD betisku sangat mulus. Dan, jika direnungkan
lagi, lebih jauh dari hanya sekedar betis dan bulu. Kudapati sang waktu terasa
sangat cepat berlalu. Perasaan, baru kemarin pagi aku mengenakan seragam merah
putih. Baru kemarin siang aku hujan-hujanan sambil main bola dengan keadaan
tubuh telanjang bulat. Baru kemarin sore aku berkelahi dengan teman hanya
karena main kelereng. Perasaan, baru tadi pagi aku diam-diam memecahkan
celengan ibu karena ngambek tidak diberi uang untuk beli layangan. Baru tadi
siang aku menitipkan sepucuk surat cinta kepada teman seorang siswi yang aku
cintai. Baru tadi sore aku berangkat kuliah ke kota kembang. Tapi kini,
lihatlah bagaimana diriku. Sekarang aku sudah berada pada titik ini. Aku sudah KOLOT.
Jika ada umur, mungkin, beberapa
detik kedepan, aku akan menjadi seorang suami, lalu menjadi seorang bapak,
kemudian seorang kakek. Dan setelah itu mati. Hanya itu.
Hidup itu memang singkat. Hidup
itu memang sangat singkat. Hidup itu memang sangat singkat sekali. Kemarin
lahir, sekarang hidup, lalu besok mati. Hanya itu saja. Dan yang menjadi tanda
tanya besar adalah: seberapa seriuskah aku dalam menjalani waktu yang singkat
ini hingga membuat hidupku tidak sia-sia dan menjadi bermakna??!! Dan satu lagi
yang menjadi pertanyaan besar. Seberapa seriuskan para pembaca yang telah
ditakdirkan Allah untuk membaca tulisan ini dalam menjalani waktu yang singkat
ini hingga membuat hidup Anda tidak sia-sia dan menjadi bermakna!!??
Wahai diriku dan sahabat semua. Apakah
kita telah leha-leha? Apakah setengah serius? Atau memang sudah serius????
Apapun itu, kita jualah yang akan memetik hasil dari usaha kita itu. Hasil
akhir di dunia esok kelak, itu bergantung pada hari ini kita.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar