Rabu, 01 Agustus 2012

Sahur Spesial

Marhaban Yaa Ramadhan.

    Ini adalah Ramadhan ketigaku di Bandung. Tampak tidak berbeda dengan Ramadhan-Ramadhan sebelumnya. Sebagai seorang anak kos-kosan, aku menjalani puasa ini dengan kebiasaan mahasiswa kebanyakan lainnya. Seperti berburu ta’jil di mesjid-mesjid terdekat. Memperbanyak silaturahim ke markas teman-teman kampus atau organisasi guna menghemat pengeluaran. Dalam hal ini, terkadang, tidak jarang kos-kosanku yang menjadi tujuan terselubung ini. Juga, bangun sahur dengan hanya mengandalkan pada alarm hape. Jika beruntung, dengan jalan hape itu, aku bisa terbangun untuk makan sahur. Namun, jika tidak, aku bangun saat adzan subuh sedang berkumandang dengan syahdunya. Saking luar biasa merdunya lantunan azan itu, mataku hingga berkaca-kaca seperti akan meneteskan air mata. Tapi, satu yang perlu digaris bawahi. Aku seperti itu bukan karena menghayati adzan yang berkumandang. Tapi sedih karena tidak makan sahur. Haruuuuh Maaak.

    Terkait menu makan, juga tidak berbeda dengan sebelum-sebelumnya. Menjelang tidur, aku keluar untuk membeli lauk. Setelah itu tidur, hingga nanti terbangun karena deringan alarm. Aku makan sahur dengan menu seadanya. Seperti tumis beberapa jenis sayuran dan tahu, atau tempe yang berkuah. Aku gak tahu nama pasakannya, yang penting ada kuahnya. Itu alasanku memilih menu itu. Selain murah tentunya.

    Tapi tidak untuk sahur pagi ini. Kali ini berbeda. Bagiku, sahur ini terasa sangat spesial. Bagaimana tidak? Rezeki datang dengan tiba-tiba. Tidak dijemput, tapi diantar. Dan, datangnya dari seorang akhwat pula. Saat aku dan Mamat baru terbangun, kami segera beranjak duduk hendak mengumpulkan nyawa yang belum balik semua. Saat itu aku panik karena malam tadi ketiduran sampai lupa untuk membeli lauk untuk sahur. Segera aku beranjak untuk membeli lauk. Semoga masih ada warung yang buka dan masih tersisa lauk untukku dan Mamat. Baru hendak beranjak dari duduk, hapeku berdering. Ada SMS masuk.

    Kang Niko, udah sahur? Kalo belum, ini ada makanan lebih. Kang Niko mau?

    SMS itu datangnya dari seorang akhwat. Sebut saja namanya Siti. Aku biasa memanggilnya dengan sebutan Citi. Mahasiswi jurusan pendidikan Bahasa Arab. Dia adalah teman seperjuanganku di PPM. Selepas wisuda kemarin, ia memilih untuk melanjutkan status santrinya. Ia menjadi santri penghafal Qur’an sekarang.

    Jika dibanding dengan santri akhwat kebanyakan, Citi memang satu dari beberapa santri akhwat yang sedikit lebih bisa berbaur denganku. Satu penyebabnya adalah status kami yang ketika masih menjadi santri dulu. Kami merupakan santri yang dituakan oleh teman-teman santri lainnya. Aku bagi santri ikhwan dan Citi untuk santri akhwat. Tidak jarang, kami berkomunikasi, meskipun kebanyakan hanya via SMS, dalam rangka kordinasi tentang banyak hal terkait kegiatan santri PPM.

    Aku baca ulang SMS dari Citi. Kuperlihatkan pada Mamat.

    “Wah, rezeki itu Kang, gak baik kalau ditolak. Hajar aja Kang,” ucap Mamat sumringah. Alangkah ajaibnya, wajah Mamat yang barusan masih sedang nundutan, kepalanya naik-turun serta matanya yang merem-melek. Kini segar bukan main. Bola matanya mengkilat. Bibirnya tersenyum lebar. Kedua alisnya dia angkat-angkat. Aku tahu apa yang sedang dia pikirkan. Wajahnya penuh harap, agar aku menerima makanan itu.

    Aku mengulum senyum. Kutatap wajah Mamat. Belum sempat aku berbicara, tapi Mamat sudah bisa merespon apa yang akan kukatakan.

    “Asiiiiik, hayu ah, segera ambil Kang,” Mamat sumringah.

    Aku balas SMS Citi. Kami bertemu di pertigaan gang menuju Muslimah Center.

    “Ini Kang, semoga bermanfaat,” Citi menyodorkan kantong plastik hitam padaku. Aku terima plastik itu.

    “Oh, iya, makasih Citi ya. Semoga Alloh membalas dengan yang lebih baik.”

    “Aamiin,” ujar kami berbarengan.

    Citi pamit. Kami berpisah. Ia membalikan badannya hendak menuju mesjid DT. Dengan bantuan cahaya seadanya, aku melihat Citi berjalan menjauh. Samar-samar, kudapati mukena warna biru mudanya berkibar tertiup angin dini hari. Aku berbalik menuju kosan lagi.
***

    Mungkin, jika beberapa waktu lalu, aku hanya diam saja saat berpapasan dengan Citi di pertigaan menuju Muslimah Center, boleh jadi, peristiwa sahur spesial ini tidak akan pernah terjadi. Saat itu aku hendak balik ke kosan. Disana, aku bertemu dengan Citi. Awalnya aku hendak pura-pura tidak melihat. Aku sempat akan menunduk terus. Setelah dipikir lagi, tampaknya aku harus menengadah. Aku harus mengangkat dan menegakan kepalaku serta memberikan senyuman. Itu akan lebih baik ketimbang hanya pura-pura tidak melihat karena malu.

    Saat itu, kami saling pandang. Mata kami beradu. Segera kuberikan senyum milikku. Citi langsung membalas senyumku itu dengan senyumnya. Kami saling melempar senyum.

    Aku rasa, senyum saja belum cukup. Segera kuucapkan salam.

    “Assalamu’alaikum.”

    “Wa’alaikumussalam,” jawab Citi mengangguk.  

    Tampaknya belum sempurna jika diriku tidak menyapa. Sepertinya aku memang harus menyapa Citi. Tapi aku bingung hendak menyapa apa. Alahhh, hajar saja lah, jangan dibuat-buat. Sapa saja sesuai dengan situasi. Tak usah mikir apakah sapaan itu berkesan atau tidak. Yang paling terpenting dari semua itu adalah niatnya. Jika niat baik, Insya Allah kemana-mananya juga akan baik.

    “Oh ya, kosan Akang disini,” aku menunjuk ke arah kos-kosan dekat Muslimah Center. “Citi mau mampir?” tawarku pada Citi.

    “Hah,” Citi merespon dengan wajah kaget. Mungkin dia kaget karena aku yang notabene adalah seorang laki-laki, berani-beraninya untuk mengajak mampir seorang perempuan ke kos-kosannya. Aku nyengir kuda. Tampaknya aku memang salah menyapa.

    “Oh iya, mangga Kang,” tambah Citi.

    “Mari, Citi,” aku pamit saat berbelok menuju kosanku.

    “Iya.”

    Kami berpisah. Sambil berjalan, aku menepuk-nepuk kening akibat tragedi salah menyapa tadi. Tapi, siapa sangka. Tragedi ini mengantarkanku pada moment sahur spesial. Selidik punya selidik, ternyata Citi memberikan menu makan sahur padaku dan Mamat itu karena kosanku adalah kos-kosan alumni santri PPM yang paling dekat dengan Muslimah Center. Tempat dimana Citi dan teman-teman santri tahfidz lainnya sering melakukan kegiatan. Di lain kesempatan, saat ada makanan lebih selepas ada kegiatan, Citi segera SMS aku atau Mamat.

    Kang Niko, ini ada makanan lebih lagi. Dimakan ya

    Wah, rezeki lagi. Asiiiiiiik.
    Aku balas SMS Citi.

    Wah, nuhun Citi, semoga Alloh membalas dengan yang lebih baik...

    Citi membalas lagi.

    Aamiin. Sami-sami Kang. Citi hanya berusaha untuk menjadi tetangga yang baik

    Tidak dinyana, ternyata tragedi salah menyapa itu mengantarkanku pada rezeki demi rezeki yang menghampiri kos-kosanku. Berharap, kedepannya akan ada banyak kegiatan lagi di Muslimah Center. Kemudian masih banyak konsumsi yang lebih. Lalu Citi teringat padaku dan Mamat. Hahay...

1 komentar: