Ibarat pengantin baru, aku dan Mamat sibuk untuk mengisi kekosongan prabotan di kosan. Seperti hari ini. Selepas solat Jum’at di mesjid DT, kami membeli beberapa alat dan barang untuk persediaan beberapa hari kedepan. Tidak jarang, kami berdiskusi dalam menentukan barang yang hendak dibeli. Karena kami sama-sama masih mahasiswa, pertimbangan utama kami tidak lain dan tidak bukan adalah harga. Jika ada dua barang yang kegunaannya sama, dengan senang hati kami akan memilih barang yang harganya lebih murah. Hal seperti ini adalah sebuah keniscayaan bagi kami.
Beberapa langkah sekeluarnya dari SMM (super mini market), aku melihat ustad Mardais sedang berjalan sendiri di seberang jalan.
“Mat, ustad Mardais, Mat. Kita salaman yuk!” ajakku pada Mamat. Mamat mengiyakan. Segera kami menyeberang jalan menghampiri ustad Mardais.
Dalam radius jarak sekitar tujuh meter, ustad Mardais melihat kami. Seketika itu juga, senyumnya langsung mengembang. Kami lebih mendekat.
“Assalamu’alaikum, Ustad,” sapaku berbarengan dengan Mamat. Ustad menjawab salam kami. Kami salami tangan beliau.
Kami bertiga, berdiri di samping jalan, tapat di depan toko kerudung, samping mesjid DT. Kami saling tanya kabar. Lalu.
“Kapan siap nikah?” tanya ustad Mardais dengan wajah seperti anak tanpa dosa. Kawan, itulah topik pertama yang beliau tanyakan. Kontan, aku dan Mamat langsung saling pandang.
“Eh, ditanya kok pada diam. Kapan nih siap nikah?” ustad Mardais mempertegas pertanyaannya. Kami terpojok, seperti seorang petinju yang tersudutkan ke pojok ring oleh hujan pukulan lawannya. Aku hanya bisa tersenyum dingin sembari melihat senyumnya ustad yang seperti senyum orang kampung setelah dapat warisan. Senyum itu mengembang penuh arti. Arti yang tidak bisa ku tafsirkan.
“Bel, belum Ustad. He...” jawabku kikuk.
“Mmmm,” Mamat menggaruk-garuk kepalanya.
“Eeeeeeh, gimana Indonesia mau maju, jika ditanya nikah saja pada belum siap. Akhwat-mah udah pada siap tuh, tinggal nunggu keberanian dari para ikhwannya saja untuk melamar,” ustad Mardais mengejek kami. Aku dan Mamat tak bisa mengelak ucapan ustad. Kami mati kutu. Hanya senyuman datar yang bisa kami berikan. Aku tidak tahu akan kebenaran dari ucapan ustad Mardais barusan. Apakah memang nyata? Atau hanya sekedar stimulus bagi aku dan Mamat.
“Yaudah, saya pamit dulu ya. Kasian bidadari saya takut kelamaan nunggu di rumah. Oya, kalau nanti sudah siap nikah, jangan jauh-jauh ya, sama santri PPM aja. Saya ada daftar para alumni santri yang sudah siap nikah. Sudahlah, jangan muluk-muluk, santri ikhwan PPM-mah nikahnya dengan santri akhwat PPM saja. Kan sudah pada saling tahu tuh modal ilmunya,” lagi-lagi ustad bersabda. Dan, seperti biasa, aku dan Mamat saling pandang lagi.
“Ingat, pilih dan cintailah produk dalam negeri. Kualitas super dan mutu terjamin,” tutup ustad. Aku tahu maksud dari “produk dalam negeri itu”. Pastilah santri PPM.
Pertemuan singkat itu ditutup dengan kami menyalami tangan ustad Mardais. Kami berpisah.
***
Kawan, cerita pertemuan dengan ustad Mardais tadi merupakan gambaran kebanyakan ustad di DT. Mereka selalu mendorong para santrinya, khususnya santri PPM untuk segera menikah (bagi yang sudah mampu menikah), dengan santri DT lagi. Setelah ku selidiki, ternyata tersimpan maksud baik nan mulia dibalik semua itu. Ternyata, goal dari maksud ini adalah agar terciptanya bangsa yang baik. Lantas apa hubungannya sesama santri menikah dengan bangsa yang baik? Mari kita bahas bersama.
Kawan, ada point plus yang dimiliki santri jika dibandingkan dengan orang yang tidak mengecap sebagai status santri. Apa point plusnya? Salah satunya adalah ilmu agama yang mereka dapatkan di pesantren. Ilmu yang bisa menjadi lampu penerang dalam mengarungi hidup mereka kedepannya. Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah SAW, bersabda. Aku tidak hafal betul bagaimana redaksi kalimatnya, namun, kurang lebih pesannya adalah seperti ini,”Seluruh manusia itu celaka, kecuali orang-orang yang memiliki ilmu, ....” Nah, itulah kawan, betapa sangat pentingya peran ilmu.
Memang, tidak semua santri itu lebih baik dari orang yang tidak nyantri. Sedikit banyaknya, ada saja bukan santri yang kualitas dirinya lebih baik dari seorang santri. Tergantung bagaimana idivudu-individu itu mampu mengamalkan ilmu yang mereka miliki. Melanjutkan hadits nabi di atas yang belum selesai,”..., seluruh orang yang berilmu itu celaka, kecuali mereka yang mampu mengamalkan ilmunya, ...” Ternyata, memiliki ilmu saja itu belum cukup, kawan. Masih ada tahapan lain agar bisa masuk kedalam golongan orang yang beruntung. Yaitu mampu mengamalkan ilmu yang dimiliki. Banyaknya ilmu yang dimiliki tidak menjamin seseorang itu secara otomatis masuk pada kelompok manusia beruntung. Semuanya tergantung bagaimana dia mengamalkan ilmu itu. Santri yang memiliki segudang ilmu tapi tidak mengamalkan ilmunya, jika dibandingkan dengan bukan santri yang hanya memiliki ilmu segenggam tangan saja, namun dia mampu mengamalkan ilmu tersebut, pastilah kualitasnya dimata Allah SWT, lebih baik dari santri tadi.
Hati-hati kawan. Ternyata, hadits di atas masih koma, belum tiba pada titiknya. Lanjutannya adalah seperti ini,”..., seluruh orang yang mengamalkan ilmu itu celaka, kecuali mereka yang ikhlas dalam mengamalkan ilmunya.” Alhamdulillah, akhirnya hadits ini sampai juga pada titiknya.
Kawan, siapapun itu, entah itu santri atau bukan, yang menentukan posisi mereka di mata Allah SWT, adalah bagaimana kesungguhan mereka dalam mencari ilmu, kemudian berusaha mengamalkan ilmu yang sudah didapat, dan sekuat tenaga bergelut dengan hati agar selalu ikhlas dalam mengamalkan ilmunya itu. Itulah kuncinya, kawan. Bukan yang lain. Namun memang, secara kasat mata, tidak bisa kita pungkiri, biasanya, santri memiliki kelebihan jika dibandingkan dengan bukan santri.
Kembali pada pembahasan inti, yakni hubungan sesama santri menikah dengan bangsa yang baik. Ternyata, kunci utama dari terciptanya sebuah bangsa yang baik adalah terletak pada setiap individu yang hidup dan membentuk bangsa tersebut. Mari kita renungkan lebih dalam lagi. Jika saja setiap individu itu baik, maka, berdasarkan janji Allah SWT, dalam surat An-Nuur ayat 26, --Wanita-wanita yang tidak baik adalah untuk laki-laki yang tidak baik, dan laki-laki yang tidak baik adalah untuk wanita-wanita yang tidak baik (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik pula...-- maka mereka akan mendapatkan jodoh, atau pendamping hidup yang baik pula. Coba bayangkan lagi. Orang baik jika disandingkan dengan orang baik, maka akan berkemungkinan besar bisa menghasilkan keluarga yang baik. Dan, jika setiap keluarga itu baik (sakinah, mawadah, warahmah), maka akan tercipta sebuah masyarakat yang baik pula. Kemudian, jika setiap masyarakat itu baik, maka akan terciptalah sebuah bangsa yang diidam-idamkan oleh setiap manusia, yaitu bangsa yang baik.
Nah, kawan, inilah maksud tersembunyi yang baik nan mulia dari para ustad yang menginginkan agar santri menikah dengan santri lagi.
***
Aku penasaran, benar-benar penasaran. Aku ingin mengetahui bagaimana pengaruh serangan stimulus dari para ustad kepada para santri. Apakah itu ada pengaruhnya atau tidak?
Beberapa hari ke belakang, aku melakukan riset kecil-kecilan. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh santri PPM. Dan, sampel yang kugunakan adalah teman-teman alumni santri ikhwannya. Aku melaksanakan riset ini secara diam-diam. Instrumen penelitiannya tidak tertulis, tapi hanya aku hapal saja.
Saat aku mengobrol dengan mereka, diam-diam, aku menjalankan riset itu. Dan untungnya, mereka tidak sadar jika aku sedang meneliti mereka. Menurut sepengatahuanku, penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Yang mana, objek yang diteliti tidak sadar jika mereka sadang diteliti.
Dan, SubhanAllah, hasilnya sungguh diluar dugaanku. Ternyata stimulus itu memang berpengaruh pada pemikiran para santri. Hasil riset menjelaskan bahwa: sebagian besar santri ikhwan ingin mendapatkan jodoh sesama santri, khususnya santri PPM. Dan celakanya, tidak terkecuali juga diriku. Weleh-weleh.
Kawan, do’akan aku. Semoga saja ada satu jatah santri akhwat untukku. Mengenai kriteria, aku tidak muluk-muluk. Cantik tidak apa-apa, yang penting dia penurut dan mau diajak untuk tinggal di kampung halamanku tercinta. Dia bersedia diajak untuk berlelah-lelah dalam membina pemuda dan pemudi di daerahku. Itu saja.
Aku sadar. Keinginan terkadang tidak sejalan dengan kenyataan. Kalaupun nanti takdir menggariskan aku mendapatkan pendamping yang bukan santri. Semoga saja aku bisa mendapatkan wanita dengan tipe yang serupa. Tapi, yang menjadi pertanyaan besar sekarang adalah: Kapan aku siap menikahnya?! Sepertinya aku harus segera membuat instrumen penelitian lagi. Penelitinya adalah aku, dan yang ditelitinya juga diriku.
tulisannya bagus,,
BalasHapussemoga di lancarkan segala sesuatunya ya dek,,
Aamiin...
HapusNuhun Kang... :-)