Beberapa waktu lalu, kami, para santri PPM telah di wisuda. Bagi PPM baru, wisuda ini merupakan wisuda perdana. Tapi, bagi santri PPM lanjuan, ini merupakan wisuda kali kedua. Menurut kabar yang kudengar, ada sekitar lima puluh persen dari santri baru, baik santri ikhwan ataupun santri akhwat yang melanjutkan. Sisanya lebih memilih untuk tidak melanjutkan, atau dengan kata lain, mereka lebih memilih untuk ngekost. Sementara para santri lanjutan, karena jatah menjadi santri PPM hanya dua tahun saja, maka sebagian besar segera berlomba untuk mendapatkan kos-kosan yang nyaman. Mereka berlomba dengan para mahasiswa baru yang jumlahnya mencapai ribuan kepala. Tidak terkecuali juga diriku. Sebagian kecil lainnya, mengikuti program tahfidz mahasiswa.
Jauh-jauh hari sebelum hari ini, kepalaku muter-muter memikirkan perkara ini. Perkara untuk ngekost. Ada banyak pertimbangan bagi diriku dalam memilih kos-kosan. Pertama, lingkungannya harus baik. Sebab lingkungan sangat berperan dalam pembentukan karakter seseorang. Jika lingkungannya baik, maka akan berkemungkinan besar para penghuninya menjadi baik. Pun sebaliknya, lingkungan buruk bisa membuat penduduknya menjadi buruk. Berkenaan dengan ini, maka tempat terbaik adalah di sekitar lngkungan mesjid. Aku memilih mesjid Daarut Tauhiid (DT). Mesjid ini menyejarah di hatiku.
Kedua, biayanya bisa terjangkau. Sebenarnya, semua kos-kosan yang ada di sekitar mesjid DT merupakan kawasan kos-kosan yang terbilang sangat mahal. Namun, perkara ini aku siasati dengan cara mengajak seorang teman untuk ngekost bareng. Jadi, biaya yang harus dikeluarkan menjadi lebih ringan. Lima puluh persen-lima puluh persen.
Kemudian, timbul lagi satu tugas yang harus aku selesaikan. Yaitu, memilih teman yang cocok untuk dijadikan teman satu kamar. Untuk itu, aku list beberapa teman santri PPM. Hasilnya, tercantum beberapa nama santri. Dari sini, aku menemukan jalan buntu. Aku bingung hendak mengajak siapa. Segera aku meminta petunjuk pada Sang Pemberi Petunjuk.
“Ya Allah, berikanlah aku petunjuk,” harapku dalam do’a.
Tidak berselang lama setelah kupanjatkan do’a itu, terjadilah suatu prahara di asrama Darussalam. Prahara itu kecil bagi santri lain, sangat kecil malah. Tapi tidak bagi dua orang santri. Yaitu aku dan Mamat. Adalah magic com kami rusak dalam waktu yang hampir berbarengan. Kami kalang kabut bak kebakaran jenggot. Bagaimana tidak! Dengan rusaknya alat ini, alamat pengeluaran perbulan akan membengkak. Karena harus beli nasi ke warung setiap kali hendak makan.
Saat dicek, milikku yang rusak adalah bagian pemanasnya. Sementara punyanya Mamat adalah wadah untuk menampung nasinya. Ketika itu Mamat sedang di sampingku. Kami duduk bersebelahan sambil memandangi dua magic com yang tergeletak tak berdaya di hadapan kami. Aku pandangi bagian pemanas milikku yang rusak, kemudian melirik bagian wadah nasinya yang masih utuh dan baik. Lalu, kugeser pandanganku pada magic com milik Mamat. Kulihat wadah nasinya yang rusak, juga kutatap bagian pemanasnya yang masih baik. Aku pandangi keempat barang itu sekali lagi secara berbarengan. Kemudian kupisahkan yang rusak dengan yang rusak dan yang masih benar dengan yang masih benar. Aku hiraukan satu bagian lain. Sementara bagian lainnya aku angkat. Tangan kiri mengangkat bagian pemanasnya dan tangan kanan mengangkat bagian wadah nasinya. Aku satukan kedua benda itu, lalu kuambil bagian kabelnya, kemudian kuculokkan pada sumber listrik. Dan, lampu sensornya menyala. Mataku melotot mendapati hal ini. Aku menoleh pada Mamat. Di sampingku, Mamat melakukan hal yang sama dengaku. Dia membuka matanya lebar-lebar sembari menatap diriku. Aku sampai kaget dibuatnya. Kedua mata Mamat seperti hendak meloncat dari tempatnya. Raut wajahnya serupa dengan vampir kehausan yang baru menemukan mangsa. Mamat seperti hendak menghisap darahku.
Aku melihat magic com yang menyala lagi, lalu melihat Mamat kembali. Tanpa komando, secara berbarengan bibir kami tersungging indah. Kami tersenyum sangat lebar. Kami tidak saling melepas kata, tapi kami tahu apa yang sedang ada dalam pikiran orang yang ada di hadapan masing-masing. Kami berkomunikasi lewat bahasa qolbu.
Aku meyakini, rusaknya dua magic com ini merupakan sebuah tanda bagiku. Satu lagi pelajaran yang kudapat. Kejadian apapun yang terjadi, sepahit apapun itu, pastilah yang terbaik yang telah dirancang oleh Sang Maha Sutradara. Dibalik semua kejadian, akan ada jalan baru yang akan mengantarkan pada jalan yang lebih baik.
Jawabannya adalah Arahmat Jatnika. Alias Mamat.
***
Dari sekian banyak alumni santri PPM, hanya kos-kosan aku dan Mamatlah yang letaknya paling dekat dengan Mesjid DT. Karenanya, kosanku ini menjadi tempat transit bagi para alumni santri PPM ikhwan. Saat hendak menunggu waktu adzan yang waktunya terbilang masih lama, mereka singgah dulu di kosanku. Ketika baru selesai solat, terkadang mereka menyempatkan untuk mampir ke kosanku. Ada juga yang niatnya sedikit melenceng.
“Wah, kosan kamu enak Ko, dekat dengan Muslimah Center, bisa sering-sering liat akhwat inimah. Kalo gitu, saya akan sering-sering main kesini lah, biar bisa liat akhwat terus, hehe...” seloroh seorang teman. Aku hanya bisa tersenyum menanggapi apa yang dikatakannya. Aku memaklumi ucapannya, karena mungkin dia belum tahu. Sesungguhnya, betapa tersiksanya diriku saat takdir harus menggariskan aku bisa menatap para akhwat dengan busana yang penuh dengan warna. Di mataku, mereka terlihat sangat manis, layaknya permen yang bisa berjalan. Sedikit saja salah menyikapinya, aku, ataupun siapapun itu bisa tergelicir pada kubangan dosa. Mengerikan.
Seperti halnya kos-kosan baru lainnya, tempatku belum memiliki semua barang-barang yang dibutuhkan. Untuk sementara ini hanya seadanya saja. Jika diumpamakan, mungkin tidak berbeda dengan pasangan pengantin baru yang baru bikin rumah. Tidak banyak peralatan rumah tangga yang dimiliki. Isi rumah itu masih kosong melongpong.
Satu dari sekian banyak barang yang belum ada itu adalah cermin. Cermin untuk aku dan Mamat guna mematut diri. Untuk melihat penampilanku saat hendak bepergian, apakah sudah keren atau belum. Awalnya aku kelabakan saat hendak bepergian. Apalagi saat hendak menghadiri acara penting. Namun, kehawatiran kami itu menguap entah kemana saat aku dan Mamat berbicara dengan bahasa qolbu lagi. Percakapan qolbu part dua.
Saat itu, kami hendak pergi keluar. Karena tidak ada cermin, untuk mengetahui apakah penampilan kami sudah baik atau belum, kami saling menilai. Aku melihat penampilan Mamat dan Mamat menilai penampilanku. Jika ada sedikit kekurangan dengan penampilan kami, kami akan saling mengoreksi satu sama lain, kemudian memperbaikinya. Namun, terjadi sedikit masalah saat kami hendak menyisir rambut. Masa kami akan saling menyisiri rambut. Aku menyisiri rambut Mamat, pun sebaliknya. Gak lucu kan?! Apa yang akan terjadi jika saat rambutku disisiri Mamat, ketika itu datang seorang teman memergoki skandal ini. Apa kata dunia?! Dan akhirnya, dengan sangat terpaksa, kami jadikan layar hape masing-masing untuk menjadi cermin sementara. Meskipun bayangan wajahku tidak terlihat begitu jelas, setidaknya ini masih bisa menolong.
Ketika aku menyisir rambutku sembari melihat bayangnku di layar hape. Aku sempatkan untuk memandangi Mamat di sampingku. Masya Allah, kudapati dia sedang memiring-miringkan kepalanya. Matanya ia kerut-kerutkan. Kasihan aku melihat temanku yang satu ini. Mungkin ia tidak terlalu jelas dapat melihat bayangan wajahnya. Aku tersenyum simpul mendapati pemandangan mengenaskan ini.
“Aduh, susah banget Kang, bayangan rambut saya gak jelas nih,” keluh Mamat sambil masih memiring-miringkan kepalanya.
“Sabar Mat, nikmati saja prosesnya. Jangan dikira kejadian ini tidak memiliki arti. Suatu saat nanti, jika kita masih ada umur, kisah ini akan menjadi cerita yang menarik untuk dibagikan pada anak cucu kita kelak. Percayalah,” aku berseloroh sok bijak. Sok-sok menasihati Mamat. Dibalik perkataan ini, sesungguhnya aku sedang menghibur diri.
Aku melihat Mamat. Mamat memandangiku. Kami berdua tersenyum, lalu mengangguk-angguk.
“Hehe, iya juga ya,” Mamat mengimani perkataanku. Ia mengangguk-anggukan lagi kepalanya. “Oya Kang, padahal di tempat wudhu mesjid DT kan ada cerminnya ya. Guweude lagi,” celetuk Mamat. Mendengar itu aku berhenti menyisir. Aku melotot memandangi wajah Mamat yang ketika itu tiba-tiba berubah sangat ganteng dan mirip Albert Einstein. Entah bagaimana, Mamat tampak cerdas saat itu. Bahkan ia menjelma menjadi orang paling cerdas abad ini.
Aku masih melotot menatap Mamat. Mungkin, karena Mamat bisa melihat apa yang sedang kupikirkan lewat gelembung pemikiran yang melayang-layang di atas kepalaku, ia ikut melotot, lalu ikut juga tersenyum. Kami saling tatap. Aku menunjuk wajah Mamat. Mamat menunjuk mukaku. Aku mengangguk sekali. Mamat mengikuti. Qolbu kami bercengkrama lagi. Sejak saat itu, kami sering menyempatkan untuk mampir ke tempat wudhu mesjid DT saat hendak bepergian. Paling tidak sampai kami bisa membeli cermin nanti.
***
Kawan, satu lagi yang perlu kalian ketahui dari kos-kosanku. Disini, kamar mandinya hanya ada dua saja. Para penghuninya dapat dikatakan tidak sedikit. Sebagian besar adalah laki-laki. Sisanya perempuan. Umumnya tidak ada masalah dengan semua itu. Namun, sesekali memang terjadi sedikit hal diluar dugaanku. Sejauh ini, kejadiannya baru hanya terjadi tidak lebih dari tiga kali. Peristiwa itu, adegannya kurang lebih seperti ini:
Aku berlari kecil dari kamarku menuju kamar toilet. Apa lagi yang kulakukan jika bukan hendak membuang hajat. Hajat besar, kawan. Saat tiba di depan toilet, aku hanya bisa berdiri mematung, sembari kedua tanganku menggenggam, bahkan terkadang mencengkeram tubuh bagian belakangku. Disaat-saat seperti itu, dunia seakan tidak bersahabat denganku. Mereka seolah memusuhiku. Aku lihat cicak yang sedang menempel pada dinding di hadapanku. Entah bagaimana? Tiba-tiba saja dia menjulurkan lidahnya. Dia meledek diriku. Kurang ajar cicak itu. Awas saja jika aku sudah tenangan nanti!
Pada saat wajahku memerah, karena sudah terlalu lama menunggu orang di dalam toilet yang tak kunjung juga keluar, aku mencoba menenang-nenangkan diri. Sabar, Ko, sebentar lagi mungkin akan segera keluar. Sabar, sabar. Insya Allah satu menit lagi.
Dan akhirnya, satu menitpun lewat. Sayang seribu sayang, belum juga dua orang penunggu toilet itu keluar sarangnya. Aku maju, selangkah lebih dekat pada pintu toilet. Aku pasang telingaku baik-baik. Mencoba mendengarkan suara apa saja yang terdengar di dalam sana. Telingaku mendekat pada pintu yang sebelah kiri. Kudengar suara guyuran air berkali-kali. Tampaknya orang di dalam sedang mandi. Kemungkinan besar dia akan membutuhkan waktu yang lebih lama lagi di dalam. Kemudian telingaku mendekat pada pintu yang satunya. Samar-samar, kudengar senandung orang yang sedang mengeden-ngeden. Busyet, tampaknya dia sedang menikmati prosesi membuang hajat besarnya. Yang ini mungkin akan lebih lama lagi. Ingin sekali aku menggedor kedua pintu itu. Tapi aku tak sanggup. Kasian, mereka pasti akan terganggu. Aku menghibur diri lagi. Sabar, Ko. Satu menit lagi.
Saat wajahku meringis. Ketika dinamit hampir diujung dan sudah siap untuk ditembakan. Terdengar suara santri yang mendendangkan sholawat di mesjid DT. Seper sekian detik setelah mendengar dendangan sholawat itu. Muncul ide brilian di tempurung kepalaku.
BUANG HAJAT DI TOILET MESJID!!!!
Sejak saat itu, jika aku mendapati lagi peristiwa menyedihkan yang serupa ini. Aku tidak khawatir lagi. Dengan santai aku langsung berjalan menuju mesjid DT. Di sana, terdapat berjejer-jejer toilet yang bersih dan wangi. Dan, aku tidak perlu antri lagi.
Lagi-lagi, mesjid DT menjadi penyelamat hidupku. Betapa bahagianya ngekos di dekat mesjid.
***
Hari ini, kosanku sudah seperti pasar. Banyak orang dan berisik. Siapa lagi pelakunya jika bukan para alumni santri PPM. Di satu sisi aku gembira, karena rasa rinduku tersalurkan dengan hadirnya mereka disini. Tapi, di sisi lain aku merasa sedikit risih dengan keributan ini. Aku merasa tidak enak pada para tetangga kamarku, juga pada ibu kos.
Dari Abu Hurairah ra. Sesungguhnya Rasulullah SAW, bersabda,” Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia BERKATA BAIK ATAU DIAM. Barang siap beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia MENGHORMATI TETANGGANYA. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia MEMULIAKAN TAMUNYA.” (HR. Bukhari dan Muslim)
ijin share..ya
BalasHapusmangga... :-)
HapusMenarik, saya cukup hanyut
BalasHapus:)
silaturahmi ke blog ane juga ya bang. Saya anak ILP2MI j
siap insyAllah... :-)
Hapuswaaah anak kos yang baik :)
BalasHapusmemang magic com itu perlu sekali untuk menunjang keberlangsungan hidup anak kos hehehe
hehe, betul tuh, mungkin sekarang magic com itu sudah menjadi kebutuhan primer bagi mahasiswa... :-)
Hapussalam kenal...
:)selalu ada cerita..
BalasHapusbuku yang kmrin belum didapat kang..
he...
BalasHapuside bermunculan dimana-mana Nden... :-)
ya, mungkin memang begitulah penulis kang,,,
BalasHapusTetap Semangath! ^_^