Kamis, 28 Juni 2012

Tentara yang Tumbang

 Sore hari. Aku baru tiba dari setelah main sepak bola pada kompetisi antar angkatan di jurusanku. Alhamdulillah pada pertandingan tadi, angkatanku memenangkan permainan itu. Insya Allah, jika sekali lagi saja angkatanku menang, maka tiket babak final akan kami genggam. Aku pulang ke asrama dengan wajah merona.

 Setibanya di asrama, aku langsung meluncur menuju kamarku. Saat melihat hape, ada pesan masuk. Saat dibaca, pesan itu berisi ajakan untuk merumuskan langkah-langkah sebuah organisasi. Organisasi yang roda-roda penggeraknya adalah para santri program pesantren mahasiswa (PPM). Termasuk aku didalamnya. Acaranya akan dimulai setelah isya di Daruul Hajj. Aku termenung mengingat-ingat agendaku. Malam ini, setelah isya. Insya Allah kosong. Berarti, kemungkinan besar aku akan hadir.

 Segera aku mandi. Sebentar lagi tiba waktu magrib.
***

 Dua hijab besar berdiri kokoh. Mereka ibarat tembok berlin yang memisahkan Jerman Barat dan Jerman Timur dulu. Kedua hijab itu memisahkan kelompok santri laki-laki dan santri perempuan. Mereka terbuat dari kayu yang bercatkan warna coklat. Kami, para santri, duduk pada tempat kami masing-masing. Jumlah santri perempuan lebih banyak dibanding dengan santri laki-laki.

 Seorang laki-laki bertubuh subur duduk di depan kami. Ia mengenakan sarung, baju koko dan peci hitam. Ada tonjolan sedikit pada atas peci yang ia kenakan. Ia adalah ketua organisasi terpilih untuk periode tahun ini.

 Sang ketua terpilih membuka acara. Ia mulai dengan beberapa pengantar. Hingga masuk pada acara inti, yaitu pemilihan kepengurusan inti dan koordinator setiap divisi. Untung saja, sang ketua pandai dalam membawa suasana. Jadi, acara ini terasa seperti sedang mengobrol biasa saja. Tidak sedikitpun muncul suasana tegang. Bahkan, sesekali kami dibuat tertawa oleh celotehnya ketua.

 Beberapa santri ditunjuk untuk menempati pos-pos yang ada. Seperti wakil ketua, sekretaris dan bendahara. Setelah dimusyawarahkan terlebih dahulu, terpilihlah orang-orang yang mengemban amanah itu. Selanjutnya, adalah pemilihan untuk koordinator tiga divisi yang ada dalam struktur organisasi. Disinilah terjadi musyawarah yang alot. Mengapa? Sebab beberapa orang yang ditunjuk untuk menjadi koordinator, menolak semuanya. Sayangnya, aku adalah salah-satu dari pemuda yang ditawari itu.

 “Kang, gimana? Bersedia ya?” tawar sang ketua.

 Aku menggelengkan kepala.

 “Gimana Kang?” tanya ketua sekali lagi. Tampaknya ia hendak menegaskan.

 “Jangan saya,” jawabku dengan ditegaskan oleh lambayan tangan.

 “Kalo boleh tahu, alasannya apa Kang?” ketua meminta alasan.

 “Punten sebelumnya,” aku memberi jeda,”Begini. Kedepannya saya kan lagi ada agenda. Ada sesuatu yang harus saya raih. Jadi saya harus fokus pada agenda saya itu. Yang saya takutkan nanti amanah untuk menjadi koordinator ini akan terbengkalai karena perhatian saya terbagi. Jadi, saran saya mah, yang lain aja yang ditunjuk. Akan tetapi, hal ini bukan berarti saya nanti tidak ikut bekerja menjalankan organisasi ini. Saya akan tetap membantu. Cuman, tidak sebagai koordinator, hanya sebagai anggota saja,” aku memberikan alasanku. Mendengar semua itu, sang ketua menerimanya. Akhirnya aku tidak jadi ditunjuk sebagai koordinator. Aku lega, sebab aku bisa fokus untuk meraih mimpiku.

 Musyawarah masih berjalan. Malam bertambah larut. Akhirnya, ada juga santri yang bersedia untuk mengemban amanah sebagai koordinator dari ketiga divisi di struktur organisasi. Acara ditutup. Sebelum bubar, ada beberapa pengumuman dari beberapa santri. Setelah itu, kami pulang. Santri aktif, pulang ke asrama. Santri alumni, meluncur menuju kos-kosan mereka masing-masing.
***

 Tidak seperti biasa. Malam ini ghurfahku penuh dengan santri. Mereka asyik dengan obrolannya. Aku tidak ikut pada perbincangan itu, karena masih ada tugas untuk menyelesaikan laporan hasil Praktikum di Lombok-Bali beberapa waktu lalu. Luar biasa. Aku dibuat mabok karena tugas ini. Ditambah lagi pengumpulannya yang hanya tinggal dua hari saja. Aku harus sprint. Berlari sekencang-kencangnya. Sekencang yang aku mampu.

 Teman-teman larut pada obrolan mereka. Aku sedikit terganggu. Tidak baik jika aku melanjtukan tugas ini. Pikiranku sudah tidak konsen lagi. Aku berhenti mengetik tugas. Mataku tertuju pada modem warna putih yang tergeletak tak bertuan. Aku ambil modem itu, lalu berselancar di dunia maya. Mencoba menghilangkan rasa penat ini.

 Aku menelusuri beberapa situs terkenal. Termasuk situs jejaring sosial. Dan, tak sengaja, aku membaca tulisan seorang santri perempuan. Ia satu program denganku di PPM. Aku eja tulisan itu.

    Kenyataan di lapangan tidak sesuai dengan apa yang dikatakan
    Jundulloh yang tumbang


 Kurang lebih seperti itu kalimatnya. Aku baca lagi.

    Kenyataan di lapangan tidak sesuai dengan apa yang dikatakan
    Jundulloh yang tumbang


 Aku menelan ludah. Aku baca lagi.

    Kenyataan di lapangan tidak sesuai dengan apa yang dikatakan
    Jundulloh yang tumbang


 Aku tersentak. Berulang kali aku menelan ludah. Aku tidak tahu kata-kata itu ditujukan kepada siapa. Namun, aku merasa ada gejolak aneh dalam jiwa saat aku membacanya. Seperti ada puting beliung yang mengacak-acak pikiranku. Sungguh, aku merasa malu karenanya, karena makna dari tulisan itu. Terlebih saat teringat kejadian yang barusan aku alami, yakni, saat aku menolak untuk dijadikan koordinator untuk divisi kajian dan dakwah pada organisasi PPM. Aku menolak karena alasan ingin fokus pada kegiatan pribadiku saja. Aku malu. Aku sungguh malu. Siapa diriku ini, hingga berani-beraninya menolak tugas mulia itu??!!

 Ketika aku ditunjuk dan menolak begitu saja. Hanya sedikit rasa bersalah yang kurasakan. Itupun hanya dua alasannya, yaitu karena tidak enak kepada teman-teman santri lain yang telah mempercayakan tugas itu kepadaku. Dan merasa sudah satu langkah lebih baik dari para santri yang tidak hadir sama sekali (santri yang tidak hadir, padahal tidak sedang ada kegiatan yang penting). Hanya dua itu saja. Aku lupa dengan rasa maluku pada Yang Menciptakan Diriku, karena telah lupa dengan tugasku sebagai makhluk-Nya. Aku melupakan perkara penting itu. Aku telah berdosa.

 Dengan bodohnya aku meninggalkan jalan mulia ini hanya karena alasan remeh-temeh atas nama mimpi. Atas nama cita-cita. Padahal, keduanya bisa saja aku jalankan secara berbarengan. Aku memang bodoh dan tidak tahu rasa terima kasih. Aku egois karena hanya memikirkan kepentinganku saja. Aku egois!

 Terima kasih Yaa Allah. Engkau telah menegur diri yang lemah ini. Terima kasih karena Engkau telah menggerakan hati seorang santri untuk menuliskan suasana hatinya itu, dan Engkau menuntunku untuk membacanya. Mohon ampuni diri ini, Duhai Sang Maha Pengampun. Ampuni hamba.

 Semoga kedepannya, tidak akan pernah ada lagi seorang laki-laki yang bermental lemah. Semoga semua laki-laki memiliki mental yang kokoh dan berani berjuang demi kebangkitan Islam yang damai. Semoga juga, semua perempuan di kolong langit ini berani menyuarakan saat menemukan kebatilan.

    Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan     meneguhkan kedudukanmu. (Muhammad: 7)     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar