Rabu, 27 Juni 2012

Tak Secerah Langit Pagi Ini

Sebut saja namanya Mawar. Aku mengenalnya saat awal-awal masuk SMA. Ketika itu aku sedang menunggu angkot di halte sekolah, berdua saja dengan teman semasa SMP. Saat aku sedang mengobrol sembari menunggu mobil yang belum kunjung juga datang, seorang teman SMP lain mengahampiri kami. Dia datang bersama dua orang siswi. Bertambah satu peserta obrolan ini. Sementara kedua siswi yang hadir di antara kami, mereka hanya sesekali tertawa menguping. Sesekali juga aku dan kedua siswi itu saling melempar senyum. Itulah awal aku mengenal Mawar.

Mentari timbul tenggelam. Perlahan purnama menipis. Entah sudah berapa puluh, atau ratus kali aku pulang pergi dengan rute rumah-sekolah. Hingga tibalah pada hari itu. Hari yang mana aku mendapat kabar dari seorang teman satu kelas. Kelas 10 A saat itu. Sebuah kabar yang membuat dahiku melipat. Membuat hati ini bertanya-tanya.

 “Ko, istirahat ini nanti ke perpus ya!” pinta seorang teman perempuan satu kelas itu.

 Aku hanya memandang temanku itu saja. Aku belum menjawab permintaannya.

 “Udah jangan banyak mikir, pokoknya ke perpus dulu aja!” ujarnya dengan nada setengah memaksa.

 “Memang ada apa?” akhirnya aku bertanya juga.

 “Ada yang mau kenalan.”

Kenalan!!?? Dengan diriku? Kenapa harus direncanakan segala? Kenapa harus melalui perantara? Padahal akan lebih nyaman jika langsung dan apa adanya. Tapi, wajar, mungkin karena dia adalah seorang wanita, yang mana tingkat rasa malunya lebih besar dari kaum laki-laki. Namun, jika saja aku adalah temannya wanita yang sebentar lagi akan berkenalan denganku ini. Maka aku akan sangat dengan senang hati untuk menyarankan dia agar berkenalannya seolah tidak direncanakan. Mengalir begitu saja. Karena setahuku, berkenalan dengan direncanakan, apalagi melalui perantara itu akan terasa canggung. Kikuk. Seperti ada maksud lain dibalik acara perkenalan itu.

 Dan akhirnya, saat jam istirahat, akupun meluncur menuju perpustakaan. Tidak sedikit siswa kutemui di gudang buku itu. Mereka menjalani aktivitas mereka masing-masing. Di antara banyaknya siswa itu, aku melihat dua orang siswi yang duduk berhadapan pada sebuah meja baca. Aku mengenal satu di antaranya. Dialah teman sekelasku yang tadi memberi kabar bahwa ada seseorang yang ingin kenalan denganku. Dan wanita satunya, samar-samar aku seperti mengenal dia. Iya, benar, aku memang menganalnya. Dia adalah siswi yang beberapa bulan lalu aku temui di halte SMA. Salah-seorang dari dua siswi yang datang dengan teman SMPku.

 Aku masih berdiri memandang mereka dari kejauhan. Mereka juga melihatku. Teman sekelasku tersenyum. Seakan dia memberi isyarat kepadaku untuk segera datang mengahmpiri. Sementara wanita di hadapannya kembali membuang wajah. Ia menundukan kepalanya. Terlihat, bibirnya sedang mengulum senyum. Senyumnya itu berirama rasa malu.

 Aku menghampiri kedua wanita itu. Aku menyapa, lalu duduk pada kursi yang tidak jauh dari mereka. Tapi tidak juga terlalu dekat. Kami masih berada pada satu meja besar yang sama. Dan akhirnya, terjadilah perkenalan itu disana. Di perpustakaan sekolah. Ia, di antara ribuan buku yang membisu.
Benar saja perkiraanku sebelumnya. Acara ini pasti akan beraroma rasa canggung. Terlebih lagi wanita di hadapanku ini. Iya, Mawar tampak grogi sekali. Apalagi setelah teman satu kelasku pamit untuk meninggalkan kami berdua saja di meja besar itu. Saat itu, akupun jadi ikut canggung. Aku minta temanku untuk tetap menemani kami. Tapi dia menolaknya. Aku melihat Mawar di hadapanku, dia hanya menunduk.

 Untuk beberapa saat sepeninggal teman sekelasku, kami hanya diam saja. Namun, karena merasa tidak enak, dengan keraguan yang menyelimuti, akhirnya aku angkat bicara. Aku mencoba sebisaku agar suasana tidak sebeku di Kutub Selatan. Perlahan, kami menikmati perbincangan itu. Sampai bel masuk berbunyi. Kami keluar, menjalani aktivitas kami masing-masing. Aku menuju kelasku, dan Mawar memasuki kelasnya. Kelas 10 B, tetangga kelasku. Kami belajar lagi.

 Mentari timbul tenggelam lagi. Rembulan membesar dan mengecil berulang kali. Selama waktu itu, tidak jarang Mawar mengajak diriku mengobrol. Sekali, dua kali, tiga kali dan seterusnya. Jujur, aku merasa ada sesuatu yang janggal disana. Tidak jarang juga aku memberikan alasan agar aku tidak berduaan dengannya. Namun, karena permintaan itu berulang kali. Sesekali aku penuhi permintaannya itu. Untuk menghindari sesuatu yang tidak diinginkan, aku memilih perpustakaan untuk tempat pertemuan itu.

 Waktu terus berjalan, dan masih seperti itu perlakuannya kepadaku. Bahkan Mawar tampak lebih baik dari sebelumnya. Aku jadi lebih sering mendapatkan hadiah yang tak terduga. Seperti saat itu.

 “Suka bola ya?” tanya Mawar padaku.

 “Iya.”

 “Klub favoritnya apa?”

 “Inter Milan.”

Beberapa hari selepas percakapan itu, aku menerima sebuah kado yang dibungkus dengan sangat rapih dan indah. Saat kubuka. Isinya adalah handuk bergambar lambang klub Inter Milan. Tidak berhenti sampai disitu, masih banyak lagi kejutan-kejutan lainnya. Sungguh, aku merasa ada yang salah disini. Dan akhirnya kau berusha untuk menjaga jarak. Meskipun akhirnya aku tidak berhasil, karena sepertinya Mawar masih tetap berusaha menghubungiku berulang kali.

Suatu ketika, ditengah-tengah perbincangan kami, Mawar mengungkapkan sesuatu. Saat ku selidiki dari redaksi dan nada bicaranya, tampaknya dia akan mengarahkan pada perbincangan yang selama ini aku sangat takuti. Aku harus melakukan sesuatu! Pikirku ketika itu. Mau tidak mau, akhirnya aku alihkan arah perbincangan itu. Dan, Mawar mengikuti arus perbincanganku. Dia melupakan apa yang akan diucapkannya tadi. Untuk sementar itu, aku selamat. Entah nanti?

Dan, hari kelulusan pun tiba. Setelah kami tidak lagi berada di sekolah yang sama, seiring berlarinya waktu, semakin berkuranglah intensitas Mawar menghubungiku. Dan, ketika aku berkuliah di kota kembang sekarang ini, hampir bisa dikatakan tidak lagi Mawar menghubungiku.

Namun, entah apa yang terjadi, belakangan ini Mawar mulai lagi menghubungiku. Dan, tibalah pada sebuah malam itu. Mawar menelfonku.

Seperti biasa, Mawar memulai pembicaraan dengan beberapa basa-basi. Lama kelamaan, tibalah pada saat-saat yang paling aku takuti.

“..........
Bersediakan menjadi pendamping hidup Mawar?
............,” ujarnya dengan sedikit terbata. GLEEK, aku menelan ludah. Akhirnya, aku mendengar apa yang selama ini aku takutkan.     

    “Kenapa? Apa?” aku mengungkap tanya. Entah, karena apa aku bertanya seperti itu. Apakah karena aku tidak mendengar apa yang tadi Mawar ucapkan atau karena aku memang pura-pura tidak mendengar.
Mendengar pertanyaanku, Mawar mengaku tidak berani untuk mengulangi ucapannya  yang tadi. Diputuskanlah pertanyaannya itu dia sampaikan lewat SMS. Obrolan via hape malam itu berakhir. Beberapa menit berselang, SMS Mawar masuk hapeku. Aku terseret pada pusaran kebingungan. Apa yang harus aku katakan padanya.

Namun, untung saja Mawar memberikan jeda waktu padaku untuk tidak menjawabnya langsung. Ia menyediakan dua hari untukku dalam mempertimbangkan permintaannya. Aku masuk pada kubangan yang aku sendiri tidak tahu kubangan apa.

Jarum detik berjalan terasa sangat lambat. Semenit seperti setahun. Se-jam menyamai lamanya satu abad. Otakku jungkir balik memikirkan jawaban terbaik yang akan aku berikan pada Mawar. Jawaban yang tidak boleh ada hati yang terluka. Dengan menikamkan pisau bismillah ke dalam hati, aku menulis surat kecil untuk Mawar.

Assalamu'alaikum Wr Wb...

Kepada Mawar, sahabat saya yang InsyAlloh tetap berada pada lindungan-NYA. Singkat saja, menanggapi SMS Mawar tempo hari, saya meminta maaf karena tidak bisa menjadi sopir untuk kendaraan Mawar yang akan menuju kepada tujuan baik itu. Semoga Mawar bisa segera mendapatkan sopir untuk kendaraan Mawar itu. Seorang sopir yang bisa mengantarkan Mawar kepada tujuan yang dirahmati Alloh SWT. Aamiin.


Wassalam
Sahabatmu.


Aku tidak tahu. Semoga surat ini baik untuk semuanya.

Tidak lama berselang, aku menerima surat balasan dari Mawar. Alhamdulillah, Mawar bisa menerima kenyataan ini. Walaupun memang, aku dapat membaca sedikit nada kekecewaan dari surat balasannya. Aku tidak bisa membohongi hatiku. Hampir saja aku meneteskan air mata setelah membaca surat mini itu.

Untuk menghibur diri, aku berpetualang di dunia maya. Aku tersesat di sebuah situs jejaring sosial. Aku menemukan sebuah tulisan pendek. Entah kenapa, aku ingin sekali membacanya.

pagi ini begitu cerah. .
Tapi tidak sama dengan suasana hatiku. .
Terima kasih Yaa Rabb,
Hari ini ku dapatkan jawaban dari-Mu, setelah 7 tahun penantianku. .
Yaa Allah...
Peliharalah hatiku dari rasa kecewa dan sakit hati. .   T_T


JLEEEB. Seperti ada belati karat yang menusuk ulu hatiku. Sepintas tulisan itu biasa-biasa saja. Namun ada beberapa kata yang seperti meninju diriku. Meninju masa laluku lebih tepatnya. Kata itu adalah “Setelah 7 tahun penantianku”.

Pikiranku kembali mundur menuju masa laluku. Menuju saat aku masih berseragam putih abu-abu. Aku telusuri labirin-labirin memori yang ada. Pada halte depan sekolah. Pada perpustakaan. Pada banyak kado yang terbalut hiasan-hiasan indah. Pada semuanya yang terekam oleh otakku. Juga pada Mawar yang mati-matian untuk mencoba mengungkapkan tiga buah kata yang mungkin satu minggu sebelumnya sudah dia persiapkan. Aku baru sadar, betapa kejamnya diriku ketika itu. Aku musnahkan rasa percaya dirinya saat itu, hanya demi kepentinganku semata. Hanya karena aku tidak ingin mendengarkan tiga buah kata yang akan dia ucapkan. Maafkan aku.

Seorang sahabat pernah memberikan petuahnya padaku. “Lebih baik kamu tegasin saja. Jika seperti ini tidak akan ada ujungnya. Kamu seperti memberi harapan kosong pada wanita itu.”

Sempat terpikir untuk mengikuti saran temanku itu. Namun, saat ditimang-timang lagi, aku merasa tidak mampu. Aku takut akan ada hati yang terluka disana. Akhirnya, aku urungkan lagi niatku itu. Aku tidak mengikuti saran temanku. Tapi kini, setelah aku berada pada ujung cerita, aku baru tahu arti penting nasihat itu.

Jika saja waktu itu aku biarkan dia untuk mengeluarkan sekeranjang kata yang sudah mendesak-desak untuk segera dikeluarkan dari batinnya. Mungkin jalan ceritanya tidak akan serumit ini. Setidaknya bagi Mawar.
Mungkin benar apa kata seorang teman. Aku egois. Aku hanya memikirkan perasaanku saja. Dengan dalih untuk menghargai rasa yang ada pada Mawar untukku. Dengan alasan aku tidak ingin membuatnya kecewa saat aku menjawab pertanyaannya. Dengan pembelaan aku sangat tidak bisa melihat seorang wanita sakit hati, apalagi sampai menangis. Aku tidak bisa. Sungguh tidak bisa.

Namun ternyata, rasa dulu, yang tidak ingin membuat Mawar menelan kekecewaan itu justru membawa pada episode yang lebih pahit bagi Mawar. Dia harus rela memendam rasa yang masih terbungkus rapih itu di brangkas hatinya seorang diri. Tujuh tahun dia berteman sepi. Bercengkrama dengan kesunyian hatinya. Jiwanya mungkin menggantung entah dimana.

Maafkan aku Mawar. Dengan teganya diriku menjatuhkan benih pohon rasa di halaman hatimu. Sementara aku tidak tahu jika dirimu merawat benih itu. Engkau menanamnya. Engkau beri pupuk. Engkau sirami setiap waktu. Hingga pohon itu tumbuh dengan kokoh. Akarnya menancap kuat di pekarangan hatimu itu. Batangnya tumbuh menjulang menunjuk langit. Dahannya merindang. Daunnya merimbun. Bunganya memekar. Serta buahnya yang meranum. Engkau melakukan itu seorang diri. Engkau mungkin merasa sangat lelah. Lelah sekali. Maafkan aku Mawar.

Meskipun kita tidak berada dalam satu mobil yang sama. Semoga kita bisa tiba pada tujuan akhir yang indah itu bersama-sama. Kita bisa bertemu di halaman parkir yang maha luas. Dengan mobil yang berbeda tentunya.

Mawar. Aku yakin. Pasti akan ada pangeran langit tak bersayap yang akan Tuhan turunkan khusus hanya untukmu. Sabarlah Mawar. Meskipun aku tidak bisa menjadi pemandu jalanmu. Engkau akan tetap tersimpan rapih di rak tertinggi pada lemari hatiku. Bersama orang-orang terkasihku lainnya. Engkau adalah sebuah cerita dalam hidupku. Teruslah melangkah Mawar. Bersinarlah kembali. Mekarlah kembali.

Maafkan aku.  

2 komentar:

  1. Luar biasa mas ceritanya.. banyak hal yang bisa saya ambil dari cerita ini. "seindah apapun rencana kita, lebih indah rencana allah" :)

    BalasHapus