Dulu, seringkali aku kagum pada
orang lain. Dan rasa kekagumanku itu membuat diriku merasa ingin sekali
berteman dengan dirinya. Saat zaman SMP, aku kagum kepada salah seorang siswa
yang memiliki otak cemerlang. Dia sangat pintar. Serumit apapun rumus matematika
ataupun fisika, dia pasti melahapnya dengan enteng saja. Keistimewaan itu
membuat diriku mencari cara agar aku bisa berteman dengan dirinya. Dan
akhirnya, aku berteman.
Ketika
SMA, aku kagum kepada seorang siswa yang jago dalam bermain sepak bola. Dia
merupakan satu-satunya siswa SMAku yang masuk skuad salah-satu klub yang ada di
daerahku. Mendapati itu, aku sangat ingin seperti dia. Aku mencoba mendekatinya
dan berteman dengan dirinya. Dan akhirnya kami berteman.
Dan,
sering aku langsung merasa kagum kepada orang-orang baru yang aku jumpai.
Mereka unggul di bidang yang mereka geluti masing-masing. Mereka memiliki
kepribadian yang baik dan kuat. Pola pikirnya lurus. Sikapnya santun. Dan masih
banyak lagi kebaikan lainnya yang kutemui. Namun, setelah sekian lama aku
berinteraksi dengan mereka, pasti ada saja kekurangan yang kudapati dari mereka
yang aku kagumi itu. Sehebat apapun mereka. Sepintar apapun mereka. Dan sebaik
apapun mereka. Aku tidak heran dengan itu semua, karena ini adalah sunnatulloh, yang mana tidak akan ada
manusia yang sempurna selain Nabi Muhammad SAW.
Berdasarkan
beberapa cerita di atas, aku bermaskud memberikan gambaran kepada calon
isteriku kelak. Seseorang yang telah ditakdirkan oleh Yang Maha Memberi untuk
mendampingi hidupku kedepannya. Seseorang yang akan menjadi ibu untuk
anak-anakku nanti. Seseorang yang masih dirahasiakan olehNya. Seseorang yang
hinga detik ini aku belum tahu bagaimana akhlak dan rupanya.
Duhai
calon isteriku, engkau menjatuhkan pilihanmu padaku mungkin karena kekagumanmu
pada apa yang ada dalam diriku. Saat itu mungkin engkau dapati banyak yang
baik-baiknya dari diriku. Karena itulah engkau memilih diriku yang menjadi
pendamping hidupmu. Menjadi imam untuk dirimu.
Duhai
calon isteriku, saat engkau memutuskan untuk menerima pinanganku, mungkin saat
itu, satu dari sekian banyak pertimbanganmu adalah kelebihan-kelebihan yang aku
miliki. Tapi, sadarkah dirimu wahai bidadariku, kelak, saat ikatan suci
mengikat kita, saat kita diteduhi atap rumah yang sama. Saat kita tidur di atas
ranjang yang sama. Saat tidak ada lagi rasa sungkan ketika kita berinteraksi. Saat
itu pasti engkau akan temui sangat banyak kekurangan yang aku miliki. Hijab
mulai tersingkap. Pintu-pintu rahasia yang dulu tertutup rapat, kini telah
terbuka dan membuat apapun yang ada di dalamnya tampak dengan jelas.
Untuk
itu, sedari sekarang, engkau harus mempersiapkan mental sebaik mungkin untuk
menghadapi kemungkinan-kemungkinan itu semua. Engkau harus siap jika nanti
kenyataan tidak sesuai dengan harapanmu dulu terhadapku. Engkau harus siap jika
nanti harapan tidak sejalan dengan apa yang terjadi. Tapi, satu yang mesti
diingat. Meskipun memang benar itu adalah sunnatulloh,
tidak pernah ada manusia yang sempurna selain Rasulullah. Meskipun benar kelak engkau akan menemui banyak
kekurangan dariku. Semua itu bukanlah sebuah alasan bagi diriku untuk tidak
melakukan yang terbaik untukmu. Untuk keluarga kita.
Duhai
calon isteriku, terlepas karena kecantikan rupa dan jiwamu yang membuatku
memilih dirimu, mungkin dan bahkan pasti, kelak, akupun akan menemui banyak
kekurangan dari dirimu. Karena aku tahu, tidak akan pernah ada manusia yang
sempurna selain khotaman nabiyyin. Namun,
meskipun begitu, jangan pernah semua itu engkau jadikan alasan untuk tidak
melakukan yang terbaik dalam memperbaiki dirimu.
Teringat
sebuah saran dari seorang teman yang sudah menyempurnakan separuh agamanya. Ketika
itu aku meminta nasihat tentang pernikahan.
“Saat
berkeluarga nanti, kamu harus siap dengan segala kemungkinan. Kamu harus siap,
ketika mendapati pendampingmu tidak sesuai dengan yang kamu harapkan dulu. Sering
kali harapan tidak sejalan dengan kenyataan. Dan, kalian harus saling menerima,”
ujarnya padaku.
Duhai
calon isteriku. Kita dibesarkan oleh dua keluarga yang berbeda, dengan latar
belakang yang berbeda pula. Semua itu berpengaruh terhadap pola pikir kita.
Boleh jadi, pola pikir diriku dan dirimu berbeda. Selain itu, mungkin masih banyak
perbedaan-perbedaan lainnya antara diriku dan dirimu. Tapi, jangan pernah kita
jadikan perbedaan itu sebagai tembok besar penghalang keharmonisan keluarga
kita. Kita harus saling menghargai dan menerima perbedaan itu, selama tidak
bertentangan dengan syari’ah. Karena
adanya perbedaan di dunia ini bukan untuk dipertandingkan, tetapi untuk
dipersandingkan.
Kelak,
mari kita saling menambal kekurangan yang kita miliki. Mari kita bahu membahu
saling membantu dalam memperbaiki kualitas diri dan keluarga kita. Demi
terlahirnya generasi penerus yang lebih baik. Generasi penerus yang bisa
menegakan kembali panji-panji kebenaran.
Dan,
bagi siapapun yang ditakdirkan oleh Allah untuk membaca tulisan ini, begitu
pula dengan kalian. Kalian harus segera mempersiapkan segalanya. Kelak, kalian
harus menerima dengan lapang dada jika mendapati kenyataan yang ada pada
pendamping kalian tidak sesuai dengan yang dulu diharapkan. Kuncinya adalah
saling menerima dan saling memperbaiki diri. Jagalah Allah agar tetap ada di
hati kita, maka Allah akan menjaga kita.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar